TOLERANSI DALAM KACA MATA ISLAM
Oleh: Aya S Miza
(Anggota Majelis Tabligh PWM SUMBAR)
Alhamdulillah
wa Shalatu wa Salamu ‘Alaa Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, wa Ba’du:
Hadirin
Jama’ah Jum’at yang Dimuliakan Allah SWT
Islam
adalah agama yang diturunkan Allah untuk umat manusia dengan tuntunan hidup
yang serba sempurna, agar dapat dijadikan pedoman hidup bagi umat manusia
supaya mereka dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dari sini
dapatlah kita fahami bahwa Agama Islam diturunkan guna kepentingan umat Islam
itu sendiri. Karena itulah Islam pernah tidak memaksa seseorang untuk
memeluknya. Sebab Agama Islam bukanlah suatu ideology yang mencari keuntungan
dibaliknya.
Dengan
ini seseorang yang mau memikirkan dengan mendalam arti dan tujuan Islam, maka
dia akan memilihnya dengan senang hati, karena dia merasa bahwa Islam adalah agama
yang sempurna. Oleh karena itu dapat kita saksikan dengan jelas dalam sejarah
perkembangan Islam, bahwa Islam tidak pernah disiarkan dengan paksaan atau
dengan tipu muslihat, baik hal ini sejak mulai zaman Nabi Muhammad SAW. Maupun
sampai masa kini. Bahkan penyiaranya selalu diikuti dengan penuh toleransi dan dengan
cara yang elegan untuk mengajak umat manusia ke dalam agama Islam.
Akhir-akhir
ini kita sering mendengar adanya kelompok yang sering membubarkan pengajian
dengan paksa hanya karena pemateri yang menjadi narasumber tidak sesuai
dengan mdzhab,faham, dan aliran kelompoknya. Mereka tidak segan-segan
menggunakan berbagai cara untuk membubarkan pengajian tersebut, termasuk
menggunakan cara kekerasan agar pengajian tersebut bubar.
Hadirin
Jama’ah Jum’at yang Dimuliakan Allah SWT
Agama Islam adalah
agama toleransi. Toleransi berasal dari Bahasa 'Arab yaitu tasamuh. Tasamuh secara
bahasa artinya adalah tenggang rasa. Sedangkan menurut istilah artinya adalah
saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Adapun yang kita maksudkan
kan disini adalah toleransi dalam masalah yang dibolehkan berijtihad di
dalamnya. Para sahabat sering berbeda pendapat dalam banyak masalah, siapa yang
ingin meneliti perselisihan pendapat di antara mereka hendaklah dia merujuk
kepada atsar-atsar yang ada tentang mereka, maka dia akan menemukan ikhtilaf
dalam banyak masalah dan lebih besar dari masalah yang ada pada zaman
sekarang ini sebagai adat (kebiasaan) untuk berselisih dan menimbulkan
keresahan di tengah masyarakat.
Kalau kita mentela'ah
kitab-kitab fiqh misal kitab Al Mughni karya Imam Ibnu
Qudamah, kita akan melihat
bahwa para Ulama dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, terutama yang diakui
secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan
objektivitas yang tinggi. Mereka tetap
mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur’an dan Hadits, tidak memaksakan
pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat
dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia.
Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah
sehingga wajib untuk diikuti.
“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.
“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.
Hadirin Jama’ah Jum’at
yang Dimuliakan Allah SWT
Toleransi termasuk amalan
yang paling utama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya
: "Seutama-utama keimanan adalah sabar dan toleransi" [Shahih
Al-Jami' As-Shaghir 1108]
Pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sembari bertanya : "Wahai Rasulullah ! Amalan apakah yang paling utama ?" Jawab beliau : "Iman kepada Allah, membenarkan-Nya, dan berjihad di jalan-Nya". Orang tadi berkata : "Aku ingin yang lebih ringan daripada itu wahai Rasulullah ?" Kata beliau : "Sabar dan toleransi" Kata orang itu : "Aku ingin yang lebih ringan lagi". Beliau bersabda : "Janganlah engkau menuduh Allah Tabaraka wa Ta'ala dalam sesuatu yang telah Allah putuskan untukmu" [Dikeluarkan oleh Ahmad 5/319 dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radliyallahu 'anhu dan 4/385 dari 'Amr bin Arbasah Radliyallahu anhu dia berkata : 'Apa itu Iman ?" Beliau menjawab : "Sabar dan toleransi", Dia punya penguat dari hadits Jabir Radliyallahu 'anhu, maka hadits ini pun shahih dengan jalan-jalan dan penguatnya].
Pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sembari bertanya : "Wahai Rasulullah ! Amalan apakah yang paling utama ?" Jawab beliau : "Iman kepada Allah, membenarkan-Nya, dan berjihad di jalan-Nya". Orang tadi berkata : "Aku ingin yang lebih ringan daripada itu wahai Rasulullah ?" Kata beliau : "Sabar dan toleransi" Kata orang itu : "Aku ingin yang lebih ringan lagi". Beliau bersabda : "Janganlah engkau menuduh Allah Tabaraka wa Ta'ala dalam sesuatu yang telah Allah putuskan untukmu" [Dikeluarkan oleh Ahmad 5/319 dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radliyallahu 'anhu dan 4/385 dari 'Amr bin Arbasah Radliyallahu anhu dia berkata : 'Apa itu Iman ?" Beliau menjawab : "Sabar dan toleransi", Dia punya penguat dari hadits Jabir Radliyallahu 'anhu, maka hadits ini pun shahih dengan jalan-jalan dan penguatnya].
Hadirin Jama’ah Jum’at yang Dimuliakan Allah SWT
Berikut akan kami
berikan contoh penerapan toleransi pada masa salaf
Di antara sahabat Ibnu
‘Abbas dengan Zaid bin Tsabit terjadi perselisihan pendapat tentang masalah
yang berkaitan dengan hukum waris, di mana ia berpendapat bahwa kedudukan kakek
itu seperti ayah, bisa menggugurkan saudara-saudara mayit dari mendapatkan
warisan. Sementara sahabat Zaid berpendapat bahwa saudara-saudara mayit tetap
mendapat warisan bersama adanya kakek. Ibnu ‘Abbas sangat yakin bahwa pendapat
Zaid salah, sampai-sampai Ibnu ‘Abbas berkeinginan untuk menantangnya bermubahalah
(saling berdoa agar Allah memberi laknat kepada yang salah) di sisi Ka’bah.
Pada suatu saat, Ibnu
‘Abbas melihat Zaid mengendarai kendaraannya. Maka dia pun mengambil kendali kendaraan Zaid
dan menuntunnya. Zaid berkata: “Lepaskan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu
‘Abbas menjawab: “Seperti inilah yang kita diperintahkan untuk melakukan
(penghormatan) kepada ulama dan pembesar kita.”
Zaid berkata:
“Perlihatkan kepadaku tanganmu!” Ibnu ‘Abbas mengeluarkan tangannya. Lalu Zaid menciumnya,
seraya mengatakan: “Seperti inilah kita diperintahkan untuk menghormati
keluarga Nabi.”
Ketika Zaid meninggal dunia, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Seperti
inilah –yakni wafatnya ulama– (caranya) ilmu itu lenyap. Sungguh pada hari ini
telah terkubur ilmu yang banyak.” (Adabul Khilaf hal. 21-22)
Agama Islam adalah
Agama Tauhid yang menebarkan kasih sayang dan menegakkan perdamaian (peace
making). Implementasi konsep ini salah satunya terwujud dalam perilaku
menghargai harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi nilai-nilai
toleransi dalam hidup bermasyarakat. Tetapi pada dataran realitas sekarang
banyak orang, kelompok yang mengobarkan kerusuhan, kekerasan bahkan peperangan
atas nama perbedaan pendapat. Inilah poin penting mengapa kita harus
merenungkan kembali makna toleransi dalam kehidupan
Islam telah menjaga diri kita dari ikatan dan belenggu jahiliyyah, maka Islam-pun menghapus pengaruh fanatisme yang merupakan sumber bencana, kerusahan, dan perperangan. Islam tidak meridhoi kebathilan fanatisme kelompok, suku, madzhab dan ras-ras. Dengan demikian, Islam telah menghidupkan hati dan memakmurkannya dengan iman yang benar dan mengajaknya kepada kebajikan, petunjuk dan keadilan. Serta menghapus segala jalan yang mengantarkan kepada kerusakan, kehancuran, dan kebinasaan.(ASM)
Islam telah menjaga diri kita dari ikatan dan belenggu jahiliyyah, maka Islam-pun menghapus pengaruh fanatisme yang merupakan sumber bencana, kerusahan, dan perperangan. Islam tidak meridhoi kebathilan fanatisme kelompok, suku, madzhab dan ras-ras. Dengan demikian, Islam telah menghidupkan hati dan memakmurkannya dengan iman yang benar dan mengajaknya kepada kebajikan, petunjuk dan keadilan. Serta menghapus segala jalan yang mengantarkan kepada kerusakan, kehancuran, dan kebinasaan.(ASM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar