Minggu, 19 November 2017

TOLERANSI DALAM KACA MATA ISLAM

TOLERANSI DALAM KACA MATA ISLAM
Oleh: Aya S Miza
(Anggota Majelis Tabligh PWM SUMBAR)



Alhamdulillah wa Shalatu wa Salamu ‘Alaa Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, wa Ba’du:
Hadirin Jama’ah Jum’at yang Dimuliakan Allah SWT

Islam adalah agama yang diturunkan Allah untuk umat manusia dengan tuntunan hidup yang serba sempurna, agar dapat dijadikan pedoman hidup bagi umat manusia supaya mereka dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.  Dari sini dapatlah kita fahami bahwa Agama Islam diturunkan guna kepentingan umat Islam itu sendiri. Karena itulah Islam pernah tidak memaksa seseorang untuk memeluknya. Sebab Agama Islam bukanlah suatu ideology yang mencari keuntungan dibaliknya.

Dengan ini seseorang yang mau memikirkan dengan mendalam arti dan tujuan Islam, maka dia akan memilihnya dengan senang hati, karena dia merasa bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Oleh karena itu dapat kita saksikan dengan jelas dalam sejarah perkembangan Islam, bahwa Islam tidak pernah disiarkan dengan paksaan atau dengan tipu muslihat, baik hal ini sejak mulai zaman Nabi Muhammad SAW. Maupun sampai masa kini. Bahkan penyiaranya selalu diikuti dengan penuh toleransi dan dengan cara yang elegan untuk mengajak umat manusia ke dalam agama Islam.

Akhir-akhir ini kita sering mendengar adanya kelompok yang sering membubarkan pengajian dengan paksa hanya karena pemateri yang menjadi narasumber  tidak sesuai dengan mdzhab,faham, dan aliran kelompoknya. Mereka tidak segan-segan menggunakan  berbagai cara untuk membubarkan pengajian tersebut, termasuk menggunakan cara kekerasan agar pengajian tersebut bubar.

Hadirin Jama’ah Jum’at yang Dimuliakan Allah SWT

Agama Islam adalah agama toleransi. Toleransi berasal dari Bahasa 'Arab yaitu tasamuh. Tasamuh secara bahasa artinya adalah tenggang rasa. Sedangkan menurut istilah artinya adalah saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Adapun yang kita maksudkan kan disini adalah toleransi dalam masalah yang dibolehkan berijtihad di dalamnya. Para sahabat sering berbeda pendapat dalam banyak masalah, siapa yang ingin meneliti perselisihan pendapat di antara mereka hendaklah dia merujuk kepada atsar-atsar yang ada tentang mereka, maka dia akan menemukan ikhtilaf dalam banyak masalah dan lebih besar dari masalah yang ada pada zaman sekarang ini sebagai adat (kebiasaan) untuk berselisih dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. 

Kalau kita mentela'ah kitab-kitab  fiqh misal kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah, kita akan melihat bahwa para Ulama dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur’an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti.

“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.

Hadirin Jama’ah Jum’at yang Dimuliakan Allah SWT

Toleransi termasuk amalan yang paling utama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : "Seutama-utama keimanan adalah sabar dan toleransi" [Shahih Al-Jami' As-Shaghir 1108]

Pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sembari bertanya : "Wahai Rasulullah !
Amalan apakah yang paling utama ?" Jawab beliau : "Iman kepada Allah, membenarkan-Nya, dan berjihad di jalan-Nya". Orang tadi berkata : "Aku ingin yang lebih ringan daripada itu wahai Rasulullah ?" Kata beliau : "Sabar dan toleransi" Kata orang itu : "Aku ingin yang lebih ringan lagi". Beliau bersabda : "Janganlah engkau menuduh Allah Tabaraka wa Ta'ala dalam sesuatu yang telah Allah putuskan untukmu" [Dikeluarkan oleh Ahmad 5/319 dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radliyallahu 'anhu dan 4/385 dari 'Amr bin Arbasah Radliyallahu anhu dia berkata : 'Apa itu Iman ?" Beliau menjawab : "Sabar dan toleransi", Dia punya penguat dari hadits Jabir Radliyallahu 'anhu, maka hadits ini pun shahih dengan jalan-jalan dan penguatnya].

 Hadirin Jama’ah Jum’at yang Dimuliakan Allah SWT

Berikut akan kami berikan contoh penerapan toleransi pada masa salaf
Di antara sahabat Ibnu ‘Abbas dengan Zaid bin Tsabit terjadi perselisihan pendapat tentang masalah yang berkaitan dengan hukum waris, di mana ia berpendapat bahwa kedudukan kakek itu seperti ayah, bisa menggugurkan saudara-saudara mayit dari mendapatkan warisan. Sementara sahabat Zaid berpendapat bahwa saudara-saudara mayit tetap mendapat warisan bersama adanya kakek. Ibnu ‘Abbas sangat yakin bahwa pendapat Zaid salah, sampai-sampai Ibnu ‘Abbas berkeinginan untuk menantangnya bermubahalah (saling berdoa agar Allah memberi laknat kepada yang salah) di sisi Ka’bah.

Pada suatu saat, Ibnu ‘Abbas melihat Zaid mengendarai kendaraannya. Maka dia pun mengambil kendali kendaraan Zaid dan menuntunnya. Zaid berkata: “Lepaskan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu ‘Abbas menjawab: “Seperti inilah yang kita diperintahkan untuk melakukan (penghormatan) kepada ulama dan pembesar kita.”

Zaid berkata: “Perlihatkan kepadaku tanganmu!” Ibnu ‘Abbas mengeluarkan tangannya. Lalu Zaid menciumnya, seraya mengatakan: “Seperti inilah kita diperintahkan untuk menghormati keluarga Nabi.”

Ketika Zaid  meninggal dunia, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Seperti inilah –yakni wafatnya ulama– (caranya) ilmu itu lenyap. Sungguh pada hari ini telah terkubur ilmu yang banyak.” (Adabul Khilaf hal. 21-22)

Agama Islam adalah Agama Tauhid yang menebarkan kasih sayang dan menegakkan perdamaian (peace making). Implementasi konsep ini salah satunya terwujud dalam perilaku menghargai harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dalam hidup bermasyarakat. Tetapi pada dataran realitas sekarang banyak orang, kelompok yang mengobarkan kerusuhan, kekerasan bahkan peperangan atas nama perbedaan pendapat. Inilah poin penting mengapa kita harus merenungkan kembali makna toleransi  dalam kehidupan

Islam telah menjaga diri kita dari ikatan dan belenggu jahiliyyah, maka Islam-pun menghapus pengaruh fanatisme yang merupakan sumber bencana, kerusahan, dan perperangan. Islam tidak meridhoi kebathilan fanatisme kelompok, suku, madzhab dan ras-ras.  Dengan demikian, Islam telah menghidupkan hati dan memakmurkannya dengan iman yang benar dan mengajaknya kepada kebajikan, petunjuk dan keadilan. Serta menghapus segala jalan yang mengantarkan kepada kerusakan, kehancuran, dan kebinasaan.(ASM)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar