Selasa, 07 November 2017

MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT DAN PAMEO MASA LALU



Catatan Akhir Tahun (VIII) 
MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT DAN PAMEO MASA LALU
Oleh: Aya S Miza
Anggota Majelis Tabligh PWM SUMBAR



Tidak seorangpun akan membantah, bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi sosial keagamaan yang tumbuh dan berkembang begitu pesatnya di Minagkabau, bila dibandingkan dengan pertumbuhan dan perkembanganya di tempat lahirnya sendiri. Sehingga timbul pameo; Muhammadiyah lahir di Yogya, dibesarkan di Minangkabau.

Pameo ini punya rujukan sejarah yang benar dan jelas, namun pameo itu kemudian sudah tinggal pameo saja. Kebesaran dan pertumbuhan yang pesat itu semakin hari semakin memudar dan mungkin sekarang tinggal sebagai sebuah mitos.

Mitos, sesuatu yang diyakini dan dipercaya, dulu, tetapi tidak memberikan bekas yang nyata pada hari ini. Sebagaimana juga layaknya adagium adat Minangkabau; adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah, yang kini juga menjadi sebuah mitos, bukan lagi suatu kenyataan yang berlaku secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakatnya sampai hari ini.

Mungkin saja ungkapan bahwa Muhammadiyah dibesarkan di Minangkabau hanya tinggal sebagai sebuah mitos agak berlebihan, terlalu mengada-ngada, memancing-mancing persoalan, atau dapat membangkitkan kemarahan, namun ungkapan yang menyakitkan itu bukan pula suatau yang tidak beralasan.

Apa yang telah dilakukan oleh orang Muhammadiyah -julukan dan panggilan yang paling akrab dan enak diucapkan dan didengar oleh orang Minangkabau terhadap warga Muhammadiyah- jelas tidak akan dapat dihitung dengan jari. Semuanya bersuluh matahari, bahwa Muhammadiyah telah memberikan sumbangan yang sangat besar, tidak hanya dalam bidang kemasalahatan umum melalui program-program PKU-nya, tidak hanya dalam bidang pendidikan melalui sekolah-sekolah yang tersebar sampai ke pelosok-pelosok negeri, tetapi yang lebih terpenting dari semua itu adalah sikap dan pembaruan pemikiran yang dibawanya ke tengah masyarakat Islam.

Pembaruan pemikiran yang dibawanya telah memberikan andil yang besar sekali ketika umat Islam ditantang untuk menjawab perubahan  dan perkembangan zaman, para pemikir Islam apakah mereka secara resmi atau tidak sebagai anggota Muhammadiyah, yang jelas warna pemikiran Muhammadiyah telah merasuki berbagai cara berfikir mereka.

Muhammadiyah berusha merasionalkan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, saat ummat terkurung dalam fanatisme. Taqlid yang menyebabkan terjadinya pembodoh-pembodohan. Munculnya tokoh pemikir Islam dari perut Muhammadiyah sebagai pelopor mempunyai dampak besar sekali dalam dinamisasi kehidupan beragama, terutama dalam pemikiran-pemikiran kearah kemerdekaan.

Walaupun tidak pula dapat dikesampingkan bagaimana perbenturan yang terjadi antara orang-orang Muhammadiyah dengan umat Islam lainya, namun perbenturan itu pulalalah yang kemudian memperjelas bagaimana cara berfikir dan cara bersikap orang Muhammadiyah dengan ummat Islam lainya. Mulai dari masalah-masalah khilafiyah sampai pada masalah-masalah aqidah.

Masa-masa itu seperti itu, adalah masa keemasan bagi gerak dan langkah Muhammadiyah. Orang-orang Muhammadiyah, anggotanya, pengurusnya, dan pemimpinya, jadi panutan dan rujukan, sekaligus sebagai penggerak berbagai sektor kehidupan sosial kemasyarakatan. Sekolah-sekolah dibuka sampai ke kampong-kampung, asrama-asrama yatim, rumah-rumah sakit berdiri seperti cendawan tumbuh. Para dermawan dan orang-orang kaya saling berlomba mewakafkan tanah dan hartanya kepada gerakan Muhammadiyah. Buku-buku Agama diterbitkan, penulisan-penulisan marak, para ulama, ilmuwan, budayawan bersatu padu berfikir, berdialog tentang berbagai masalah.

Semua itu dapat terjadi karena, waktu itu, orang-orang Muhammadiyah bersikap terbuka, kritis, demokratis, dan egaliter. Muhammadiyah dalam kepengurusanya di Minangkabau tidak mengenal pengurus yang berdarah biru tetapi semua orang adalah sama. Muhammadiyah tidak hanya diurus oleh para Ulama, ustadz-ustadz, tetapi juga diurus oleh wali nagari, ketua pemuda kampong, para budayawan, dan seniman. Ketika itu orang-orang Muhammadiyah sama sependapat, bahwa organisasinya adalah sebuah kapal yang boleh ditompangi siapa saja untuk mencapai tujuanya; baldatun thayyibatun wa rabbul ghafur.

Ketika zaman beralih dan msuim berganti, dengan berbagai alas an sosial, politik dan ekonomi, lambat laun Muhammadiyah seperti kehilangan “api”, kehilangan “semangat” dan kehilangan “daya” pikat. Dari suatu perjalanan sejarah yang tidak begitu lama (setelah masa kemerdekaan sampai sekarang) perkembangan Muhammadiyah di Minangkabau seperti mengalami pasang surut.

Mungkin saja selama masa itu jumlah sekolah-sekolah, panti asuhan, rumah sakit dan masjid bertambah, tetapi “produk” yang dilahirkanya berupa tokoh-tokoh pemikir Islam baru, yang lebih dinamik, lebih kritis, dan berwawasan luas serta punya sikap keIslaman yang kuat tiadalah memuaskan.

Bila dibandingkan dengan masa-masa sebelum sarana pendidikan itu begitu banyak, justru tokoh-tokoh yang dilahirkan oleh Muhammadiyah kemudian adalah tokoh-tokoh “status quo” yang mempertahankan kedudukan dalam kepengurusan dalam keorganisasian yang bernama Muhammadiyah. Hal ini dapat diikuti dari berbagai pernyataan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang begitu ngotot mengatakan bahwa Muhammadiyah itu tidak berpolitik !

Pernyataan itu adalah pernyataan dari tokoh-tokoh Muhammadiyah yang ketakutan karena dirongrong dan ditekan oleh sebuah kekuasaan. Padahal dulu, di zaman Belanda sekalipun, Muhammadiyah pada hakikatnya adalah organisasi politik yang paling tangguh dengan peti kemas yang memikat ; kemashlahatan umat.
Pada hakikatnya, semua organisasi Islam adalah organisasi politik dalam pengertian yang luas dan kompleks, karena ajaran Islam tak memberi batas antara masalah sosial dan politik. Semua harus menyatu dan mengkristal. Namun tokoh-tokoh Muhammadiyah yang datang kemudian mencanangkan, bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi politik. Suatu sikap yang dipertanyakan kembali. Benarkah orang Muhammadiyah, atau ajaran Nabi Muhammad SAW yang diikutinya itu memisahkan antara kegiatan social dan politik ?

Orang Muhammadiyah sepeti kehilangan nyali untuk mengatakan organisasinya sebagai organisasi yang kompleks dan lengkap; sebuah organisasi yang kegiatanya mencangkup berbagai aspek sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Mana ada orang Muhammadiyah mengajarkan, bahwa Islam hanya untuk beribadah saja. Bila mau jujur, justru Muhammadiyalah yang ikut memberikan kesadaran berpolitik kepada bangsa ini.

Selanjutnya, persoalan yang dihadapi Muhammadiyah ke depan cukup rumit. Pada satu sisi orang Muhammadiyah ingin mengembalikan ciri Muhammadiyah sebagai organisasi panutan, seperti dulu. Namun mereka tidak dapat menembus sekat-sekat yang ada pada dirinya. Orang Muhammadiyah sekarang terlalu ekslusif. Seakan mereka saja yang boleh masuk sorga. Pada waktu tertentu orang Muhammadiyah harus pula ditandai oleh kartu tanda Anggota (bukankah hal itu sebagai salah satu cirri dari sebuah partai politik?).

Bahwa Muhammadiyah akan tinggal menjadi sebuah mitos dapat dilihat dari system-sistem pendidikan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ada, dan karena system pendidikan itulah dulu salah satu yang membedakan Muhammadiyah dengan organisasi lainya. Sekarang umumnya, sistem pendidikan mengikuti system pemerintah, yang kita tahu semua, bahwa sistem itu adalah perpanjangan dari sistem colonial yang dulu sangat ditentang oleh Muhammadiyah. System pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah Muhammadiyah sekarang sama sebangun dengan system pendidikan sekolah pemerintah. Muhammadiyah sudah meninggalkan prinsip-prinsip pendidikanya.  

Jadi, dapat dikatakan, saat Muhammadiyah meninggalkan prinsip dan ciri pendidikanya, pada saat itulah awal Muhammadiyah ditinggalkan dan kemudian akan tinggal hanya sebagai sebuah mitos. Muhammadiyah sekarang kehilangan keberanian untuk memberikan fatwa sehingga tidak lagi memberikan makna bagi kehidupan bersama.

Jika Muhammadiyah tidak mau hanya akan dijadikan sebagai mitos masa lalu, dua hal pokok yang harus dipermasalahkan kembali adalah tentang cara berfikir dan cara bersikap dari tokoh dan orang-orang Muhammadiyah terhadap lingkungan, perkembangan, dan problematik masyarakatnya. Wallahua’lam.  (WH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar