Sabtu, 04 November 2017

DAKWAH MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT



Catatan Akhir Tahun (II)
DAKWAH MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
Oleh: Aya S Miza
(Anggota Majelis Tabligh PWM SUMBAR)



Muhammadiyah terkenal dengan dakwah disektor pendidikan yang pada awalnya sangat diperlukan umat, ketika perkembangan zaman tidak saja menuntut masyarakat dapat tulis baca, tetapi zamanpun berubah kepada lebih jauh dari itu, yaitu “penguasaan teknologi”. Dalam perubahan masa berbagai pertanyaan umat bermunculan kedepan, diantaranya “apakah keunggulan kompetitif Muhammadiyah?”. Satu kenyataan, bahwa Muhammadiyah Sumatera Barat sudah terbilang tua usianya. Karena itu amal Muhammadiyah tampil seiring dengan pengalaman  usianya. Contoh kecil, perguruan tinggi Islam pertama yang dikelola Muhammadiyah di Indonesia berlokasi di Sumatera Barat, yang sekarang bernama Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB). Walau harus diakui, pertumbuhanya jauh kalah cepat dibandingkan dengan perguruan tinggi Muhammadiyah lainya di Indonesia.

Globalisasi memang merupakan kecemasan bagi hampir seluruh lapisan masyarakat. Dan Muhammadiyah yang berjuang untuk amar ma’ruf nahi mungkar harus mempersiapkan diri membentengi umat Islam. “kerja besar kita sekarang adalah bagimana potensi yang potensial itu menjadi riil“. Untuk menjawab globalisasi, bagaimana peningkatan kualitas pelayanan produk pendidikan tersebut, perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh di era persaingan yang semakin tajam ini. Karena itu masih sangat dituntut untuk membentuk pribadi-pribadi yang utuh dan unggul dengan iman dan taqwa, berilmu pengetahuan dan menguasai teknologi, berjiwa wiraswasta, bermoral akhlak, beradat dan beragama.

Hubungan pemuda-pemudi kita tidak hanya tersungkup oleh kehidupan kampung, tapi sudah bisa meniru kota dengan bermacam implikasinya. Mereka mulai terbuka meniru segala perkembangan di kota, hampir-hampir tidak punya batas. Kita mulai disibukan dengan pertanyaan degenerasi kedepan. Apakah generasi penyambung masih berminat mempertahankan nilai-nilai agama dan budayanya itu perlu? Pertanyaan terlahir ditengah berlakunya hubungan kekerabatan dalam keluarga yang mulai menipis. Peran ninik mamak terlihat dominan dalam batas-batas seremonial. Peran da’i dan khatib terbatas sekedar mengisi ceramah di masjid, khutbah jum’at, atau mengaji dan kalau-kalau ada yang lahir dan mati. Kedudukan orang tua, terutama hanya menyediakan serba keperluan fisik dan materi. Guru-guru di sekolah semata bertugas mengajar. Peran pendidikan menjadi kabur dan melemah.

Mestilah dikembangakan “hidup modern dan maju dengan keimanan yang kokoh“. Kalaulah umat Islam masih „“mendua“, maksudnya tidak sepenuh hati menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, maka selama itu pulalah umat Islam akan ditimpa berbagai macam kegelisahan dengan bentuk penderitaan. Sebab, umat Islam yang menderita itu, tidak bisa dilepaskan dari keingkaranya pada kebenaran ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu marilah kita benar-benar menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup yang membawa kesejahteraan secara keseluruhan.

Tantangan di bidang sosial, budaya, ekonomi, politik dan lemahnya penghayatan agama akan menyangkut setiap aspek kehidupan. Dampaknya sangat terasa di beberapa medan dakwah dan daerah terpencil, berbentuk gerakan salibiyah dan bahaya pemurtadan. Di tengah perkotaan berkembang upaya pendangkalan agama dan keyakinan seiring dengan menipisnya pengamalan agama serta pula bertumbuhnya penyakit masyarakat (tuak, arak, judi, dadah, pergaulan bebas dikalangan kaula muda, narkoba, dan beberapa tindkan kriminal dan anarkis) dan semuanya tidak dapat dibantah telah mengarah kepada dekadensi moral.

Selain itu mesti ditopang oleh budaya dan tamadun yang dipakai turun temurun oleh umat jua, bagi kita tidak lain hanyalah " Adat Basandi Syara‘, Syara‘ Basandi Kitabullah". Meski ada kecendrungan pemahaman bahwa tercabutnya agama dari diri masyarakat (khusunya di bekahan dunia Barat) tidak banyak pengaruh pada kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Akan tetapi akan lain halnya bila tercabutnya agama dari diri masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau), tercabut agama dari budaya mereka akan berakibat besar kepada perubahan perilaku dan tatanan masyarakatnya. Hal tersebut dikarenakan “Adat Basandi Syara‘, Syara‘ Basandi Kitabullah“ dan “Syara mangato Adat Mamakai“ .

Di Sumatera Barat sangat banyak amal usaha milik Muhammadiyah menekuni lembaga pendidikan, lembaga keagamaan dan lembaga sosial lainya yang berjalan sendiri-sendiri, tanpa pengarahan yang jelas dari pimpinan Muhammadiyah, akibatnya tidak jarang terjadi, lembaga yang berkembang dikalangan Muhammadiyah menjadi pusat persengketaan dengan saling tuding menuding. Lembaga pendidikan mulai dari tingkat Ibtida’iyah hingga tingkat ‚Aliyah milik Muhammadiyah sejak lama berkembang melalui madrasah yang menjadi sistem pendidikan agama ciri Minangkabau berpola musyawarah dan egaliter, seiring perubahan masa beralih ke pondok pesantren dan populer sebagai sistem pendidikan agama di Jawa dengan pola pemisahan antara kiyai dan santri.

Sekarang masih tersedia alternatif introspeksi, inisiatif, dan aktif untuk mengikat ukhuwah, memlihara kesemoatan yang ada, mencari titik pertemuan dan menegakan secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Terutama sekali tentu, memperbaiki niat.

Kita harus jujur melihat, semakin banyak umat yang rusak pada zaman yang tak berketentuan ini. Pergesaran sedang berlaku dimana orang Minang hanya sebagai “Tukang“ dibelakang. Lebih menyedihkan bila nanti suatu ketika tidak pernah memiliki kesempatan duduk di belakang meja kasir, menghitung uang menentukan manajemen.

Disinilah peran persyariaktan Muhammadiyah membentuk kader-kader terarah yang selektif dengan misi Muhammadiyah.  Semoga Allah memberikan kekukuhan pada kita semua. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar