Catatan Akhir Tahun (II)
DAKWAH MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
Oleh: Aya S Miza
(Anggota Majelis Tabligh PWM SUMBAR)
Muhammadiyah terkenal dengan
dakwah disektor pendidikan yang pada awalnya sangat diperlukan umat, ketika
perkembangan zaman tidak saja menuntut masyarakat dapat tulis baca, tetapi
zamanpun berubah kepada lebih jauh dari itu, yaitu “penguasaan teknologi”. Dalam
perubahan masa berbagai pertanyaan umat bermunculan kedepan, diantaranya “apakah
keunggulan kompetitif Muhammadiyah?”. Satu kenyataan, bahwa Muhammadiyah
Sumatera Barat sudah terbilang tua usianya. Karena itu amal Muhammadiyah tampil
seiring dengan pengalaman usianya. Contoh
kecil, perguruan tinggi Islam pertama yang dikelola Muhammadiyah di Indonesia
berlokasi di Sumatera Barat, yang sekarang bernama Universitas Muhammadiyah
Sumatera Barat (UMSB). Walau harus diakui, pertumbuhanya jauh kalah cepat
dibandingkan dengan perguruan tinggi Muhammadiyah lainya di Indonesia.
Globalisasi memang merupakan kecemasan bagi hampir seluruh lapisan
masyarakat. Dan Muhammadiyah yang berjuang untuk amar ma’ruf nahi mungkar harus
mempersiapkan diri membentengi umat Islam. “kerja besar kita sekarang adalah
bagimana potensi yang potensial itu menjadi riil“. Untuk menjawab globalisasi,
bagaimana peningkatan kualitas pelayanan produk pendidikan tersebut, perlu
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh di era persaingan yang semakin tajam
ini. Karena itu masih sangat dituntut untuk membentuk pribadi-pribadi yang utuh
dan unggul dengan iman dan taqwa, berilmu pengetahuan dan menguasai teknologi,
berjiwa wiraswasta, bermoral akhlak, beradat dan beragama.
Hubungan pemuda-pemudi kita tidak hanya tersungkup oleh kehidupan
kampung, tapi sudah bisa meniru kota dengan bermacam implikasinya. Mereka mulai
terbuka meniru segala perkembangan di kota, hampir-hampir tidak punya batas. Kita mulai
disibukan dengan pertanyaan degenerasi kedepan. Apakah generasi penyambung
masih berminat mempertahankan nilai-nilai agama dan budayanya itu perlu? Pertanyaan
terlahir ditengah berlakunya hubungan kekerabatan dalam keluarga yang mulai
menipis. Peran ninik mamak terlihat dominan dalam batas-batas seremonial. Peran
da’i dan khatib terbatas sekedar mengisi ceramah di masjid, khutbah jum’at,
atau mengaji dan kalau-kalau ada yang lahir dan mati. Kedudukan orang tua,
terutama hanya menyediakan serba keperluan fisik dan materi. Guru-guru di
sekolah semata bertugas mengajar. Peran pendidikan menjadi kabur dan melemah.
Mestilah dikembangakan “hidup modern dan maju dengan keimanan yang
kokoh“. Kalaulah umat Islam masih „“mendua“, maksudnya tidak sepenuh hati
menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, maka selama itu pulalah umat Islam
akan ditimpa berbagai macam kegelisahan dengan bentuk penderitaan. Sebab, umat
Islam yang menderita itu, tidak bisa dilepaskan dari keingkaranya pada
kebenaran ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu marilah kita benar-benar
menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup yang membawa kesejahteraan secara
keseluruhan.
Tantangan di bidang sosial, budaya, ekonomi, politik dan lemahnya
penghayatan agama akan menyangkut setiap aspek kehidupan. Dampaknya sangat
terasa di beberapa medan dakwah dan daerah terpencil, berbentuk gerakan
salibiyah dan bahaya pemurtadan. Di tengah perkotaan berkembang upaya
pendangkalan agama dan keyakinan seiring dengan menipisnya pengamalan agama
serta pula bertumbuhnya penyakit masyarakat (tuak, arak, judi, dadah, pergaulan
bebas dikalangan kaula muda, narkoba, dan beberapa tindkan kriminal dan
anarkis) dan semuanya tidak dapat dibantah telah mengarah kepada dekadensi
moral.
Selain itu mesti ditopang oleh budaya dan tamadun yang dipakai turun
temurun oleh umat jua, bagi kita tidak lain hanyalah " Adat Basandi Syara‘, Syara‘
Basandi Kitabullah". Meski ada kecendrungan pemahaman bahwa tercabutnya agama
dari diri masyarakat (khusunya di bekahan dunia Barat) tidak banyak pengaruh
pada kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Akan tetapi akan lain halnya bila
tercabutnya agama dari diri masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau), tercabut
agama dari budaya mereka akan berakibat besar kepada perubahan perilaku dan
tatanan masyarakatnya. Hal tersebut dikarenakan “Adat Basandi Syara‘, Syara‘
Basandi Kitabullah“ dan “Syara mangato Adat Mamakai“ .
Di Sumatera Barat sangat banyak amal usaha milik Muhammadiyah menekuni
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan dan lembaga sosial lainya yang berjalan
sendiri-sendiri, tanpa pengarahan yang jelas dari pimpinan Muhammadiyah,
akibatnya tidak jarang terjadi, lembaga yang berkembang dikalangan Muhammadiyah
menjadi pusat persengketaan dengan saling tuding menuding. Lembaga pendidikan
mulai dari tingkat Ibtida’iyah hingga tingkat ‚Aliyah milik Muhammadiyah sejak
lama berkembang melalui madrasah yang menjadi sistem pendidikan agama ciri
Minangkabau berpola musyawarah dan egaliter, seiring perubahan masa beralih ke
pondok pesantren dan populer sebagai sistem pendidikan agama di Jawa dengan
pola pemisahan antara kiyai dan santri.
Sekarang masih tersedia alternatif introspeksi, inisiatif, dan aktif
untuk mengikat ukhuwah, memlihara kesemoatan yang ada, mencari titik pertemuan
dan menegakan secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Terutama sekali
tentu, memperbaiki niat.
Kita harus jujur melihat, semakin banyak umat yang rusak pada zaman yang
tak berketentuan ini. Pergesaran sedang berlaku dimana orang Minang hanya
sebagai “Tukang“ dibelakang. Lebih menyedihkan bila nanti suatu ketika tidak
pernah memiliki kesempatan duduk di belakang meja kasir, menghitung uang
menentukan manajemen.
Disinilah peran persyariaktan Muhammadiyah membentuk kader-kader terarah
yang selektif dengan misi Muhammadiyah. Semoga
Allah memberikan kekukuhan pada kita semua. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar