METODE TAKHRIJUL AHKAM (I)
Oleh: Aya S Miza
Anggota Majelis Tabligh PWM SUMBAR
Islam sebagai Agama Universal, ajaran-ajaranya menyeluruh dan
kompherensif. Aqidah, ibadah, dan akhlak harus mendasari pemahaman ayat-ayat hukum
dan pengamalanya serta penerapanya, agar dapat diperoleh natijah yang
mantap dan terukur.
Islam mewajibkan ummatnya berfikir, tetapi bukan berfikir liberal yang
meninggalkan nash-nash, melainkan berfikir berdasarkan aqidah, ibadah, dan
akkhlak Islamiyah. Penggalian, pengkajian dan pendalaman yang dilakukan secara jama’i
akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang mantap daripada yang dilakukan
secara fardhi.
Dalam memahami nash baik Qur’an maupun Sunnah. Pemahaman nash-nash dapat
dilakukan dengan jalan ta’lil ahkam dan dengan memperhatikan maqashid
syari’ah. Ta’lil ahkam merupakan hal yang pelik dalam ijtihad. Jika illat
hukum termaktub dalam nash maka tidak mengalami kesulitan. Misalnya ketentuan
bagian warisan anak perempuan setengah bagian anak laki-laki dengan illat
suami berkewajiban mencukupi nafkah keluarga sebagaimana ditentukan di dalam UU
No. 1 tahun 1974 tentang UU Perkawinan, pasal 34, yang dapat difahami dengan
mudah. Harta fa’i harus dibagi dengan illat agar kekayaan jangan
tertumpuk di tangan golongan raya, pun mudah difahami. Riba dilarang karena
mengandung unsur kezaliman, juga mudah dimengerti.
Tetapi ta’lil ahkam terhadap ketentuan hukum yang illatnya tidak
manshuh, memerlukan ketajaman persepsi terhadap ruh syariat. Khalifah Umar
telah memberi contoh ta’lil ahkam macam ini. Yaitu bagian zakat muallaf
digugurkan dengan alasan illat memberi bagian zakat kepada mereka telah
tiada, yaitu kelemahan Islam pada awal sejarahnya. Disini berlaku qaidah
fiqhiyah “al hukmu yaduuru ma’a ilatihi
wujudan au ‘adaman“
Seringkali harus diperhatikan bahwa dalam sesuatu ketentuan hukum tidak
hanya terdapat satu macam ‘ilat saja. Misalnya
istri yang ditinggal mati atau ditalak suaminya harus menjalani ‘iddah, yang
ditetapkan bukan semata-mata ‘illatnya untuk mengetahui kekosongan
rahim, melainkan harus dipertimbangkan faktor psikologis.
Menentukan maqashid syari’ah atau ruh syariah yang menjadi dasar ijtihad
tidak kurang pelik dari rumusan yang perrama tadi. Jika ahli fiqh merumuskan
tujuan syariah yang pertama adalah “mashalihul ‘ibad“, sudah
pasti nash-nash hukum telah mengandung tujuan ini. Dengan dalil mashlahah
baru menuntut ketentuan hukum baru, karena tidak sesuai dengan kemaslahatan saat
Qur’an diturunkan, kemudian membatalkan nash, mengganti dengan hukum baru, hal
ini tidak dapat dibenarkan.
Nasikh mansukh tidak dapat menjadi jalan ijtihad, sebab waktunya
telah berakhir semenjak Qur’an selesai diwahyukan, dan yang berhak menaskh
hanya Allah sendiri terhadap ketentuan hukum-Nya. Selain Allah tidak berhak
menaskh hukum Allah. Ijtihad tidak dapat menaskh Al-Qur’an.
Masih dalam kerangka maslahah, jika terjadi konflik maslahah yang
semuanya merupakan tujuan syari’at, maka diutamakan maslahah ‘ammah atas
maslahah khashah.
Istihsan dapat ditempuh jika terjadi konflik maslahah. Nash khusus
ditinggalkan untuk mengamalkan nash lain yang lebih kuat, sesuai dengan tujuan
syari’ah. Misalnya pencabutan hak milik perorangan atas tanah yang digunakan
untuk pembuatan jalan umum. Istihsan bukan jalan mengubah hukum, tetapi
meninggalkan ketentuan hukum khusus untuk mengamalkan ketentuan hukum yang
lebih umum. Misalnya, menjual harta wakaf yang tidak berfungsi, meninggalkan
ketentuan larangan menjual harta wakaf untuk menghindari larangan tabdzir.
‘Urf atau hukum adat, memperoleh tempat di dalam hukum Islam
dalam rangka tujuan syari’ah, sepanjang tidak bertentangan dengan nash syariat.
Dalam keadaan terbatas, urf dapat digunakan untuk mentaksish nash dalam
mu’amalat (kemasyarakatan). Tetapi tidak secara umum mashalih yang
tercermin dalam ‘Urf dapat mendesak nash. Urf dilestarikan
sepanjang mengandung nilai yang sejalan dengan nilai syari’at. Wallahul
Muwaafiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar