Rabu, 15 November 2017

METODE TAKHRIJUL AHKAM (I)



METODE TAKHRIJUL AHKAM (I)
Oleh: Aya S Miza
Anggota Majelis Tabligh PWM SUMBAR 



Islam sebagai Agama Universal, ajaran-ajaranya menyeluruh dan kompherensif. Aqidah, ibadah, dan akhlak harus mendasari pemahaman ayat-ayat hukum dan pengamalanya serta penerapanya, agar dapat diperoleh natijah yang mantap dan terukur.

Islam mewajibkan ummatnya berfikir, tetapi bukan berfikir liberal yang meninggalkan nash-nash, melainkan berfikir berdasarkan aqidah, ibadah, dan akkhlak Islamiyah. Penggalian, pengkajian dan pendalaman yang dilakukan secara jama’i akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang mantap daripada yang dilakukan secara fardhi.

Dalam memahami nash baik Qur’an maupun Sunnah. Pemahaman nash-nash dapat dilakukan dengan jalan ta’lil ahkam dan dengan memperhatikan maqashid syari’ah. Ta’lil ahkam merupakan hal yang pelik dalam ijtihad. Jika illat hukum termaktub dalam nash maka tidak mengalami kesulitan. Misalnya ketentuan bagian warisan anak perempuan setengah bagian anak laki-laki dengan illat suami berkewajiban mencukupi nafkah keluarga sebagaimana ditentukan di dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang UU Perkawinan, pasal 34, yang dapat difahami dengan mudah. Harta fa’i harus dibagi dengan illat agar kekayaan jangan tertumpuk di tangan golongan raya, pun mudah difahami. Riba dilarang karena mengandung unsur kezaliman, juga mudah dimengerti.

Tetapi ta’lil ahkam terhadap ketentuan hukum yang illatnya tidak manshuh, memerlukan ketajaman persepsi terhadap ruh syariat. Khalifah Umar telah memberi contoh ta’lil ahkam macam ini. Yaitu bagian zakat muallaf digugurkan dengan alasan illat memberi bagian zakat kepada mereka telah tiada, yaitu kelemahan Islam pada awal sejarahnya. Disini berlaku qaidah fiqhiyah  “al hukmu yaduuru ma’a ilatihi wujudan au ‘adaman“

Seringkali harus diperhatikan bahwa dalam sesuatu ketentuan hukum tidak hanya  terdapat satu macam ‘ilat saja. Misalnya istri yang ditinggal mati atau ditalak suaminya harus menjalani ‘iddah, yang ditetapkan bukan semata-mata ‘illatnya untuk mengetahui kekosongan rahim, melainkan harus dipertimbangkan faktor psikologis.

Menentukan maqashid syari’ah atau ruh syariah yang menjadi dasar ijtihad tidak kurang pelik dari rumusan yang perrama tadi. Jika ahli fiqh merumuskan tujuan syariah yang pertama adalah mashalihul ‘ibad“, sudah pasti nash-nash hukum telah mengandung tujuan ini. Dengan dalil mashlahah baru menuntut ketentuan hukum baru, karena tidak sesuai dengan kemaslahatan saat Qur’an diturunkan, kemudian membatalkan nash, mengganti dengan hukum baru, hal ini tidak dapat dibenarkan.

Nasikh mansukh tidak dapat menjadi jalan ijtihad, sebab waktunya telah berakhir semenjak Qur’an selesai diwahyukan, dan yang berhak menaskh hanya Allah sendiri terhadap ketentuan hukum-Nya. Selain Allah tidak berhak menaskh hukum Allah. Ijtihad tidak dapat menaskh Al-Qur’an.

Masih dalam kerangka maslahah, jika terjadi konflik maslahah yang semuanya merupakan tujuan syari’at, maka diutamakan maslahah ‘ammah atas maslahah khashah.

Istihsan dapat ditempuh jika terjadi konflik maslahah. Nash khusus ditinggalkan untuk mengamalkan nash lain yang lebih kuat, sesuai dengan tujuan syari’ah. Misalnya pencabutan hak milik perorangan atas tanah yang digunakan untuk pembuatan jalan umum. Istihsan bukan jalan mengubah hukum, tetapi meninggalkan ketentuan hukum khusus untuk mengamalkan ketentuan hukum yang lebih umum. Misalnya, menjual harta wakaf yang tidak berfungsi, meninggalkan ketentuan larangan menjual harta wakaf untuk menghindari larangan tabdzir.

Urf atau hukum adat, memperoleh tempat di dalam hukum Islam dalam rangka tujuan syari’ah, sepanjang tidak bertentangan dengan nash syariat. Dalam keadaan terbatas, urf dapat digunakan untuk mentaksish nash dalam mu’amalat (kemasyarakatan). Tetapi tidak secara umum mashalih yang tercermin dalam ‘Urf dapat mendesak nash. Urf dilestarikan sepanjang mengandung nilai yang sejalan dengan nilai syari’at. Wallahul Muwaafiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar