Carilah Udzur Untuk Saudaramu, Jagalah Persatuan
Telah dimaklumi bersama bahwa perpecahan sangat
tercela dalam agama Islam yang mulia ini, bahkan perpecahan termasuk ciri-ciri
orang kafir dan ahlu bid’ah. Allah ta’ala telah mengingatkan dalam kitab-Nya
yang mulia,
وَلا تَكُونُوا
مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ
حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Janganlah kamu seperti kaum musyrikin, yaitu
orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi
bergolong-golongan, setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
mereka.” [Ar-Rum: 31-32]
Oleh karena itu, generasi Salaf senantiasa
berusaha menjaga persatuan kaum muslimin dengan menghindari sebab-sebab
terjadinya perpecahan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Sehingga, Salaf
dahulu sangat berhati-hati dari semua yang mengandung sebab perpecahan dan
rusaknya hubungan antara sesama muslim.
Sampai Al-Khalifah Ar-Rasyid, Sahabat yang mulia,
Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata,
لاَ تَظُنَّ
كَلِمَةً خَرَجَتْ مِنْ أَخِيكَ شَرًّا وَأَنْتَ تَجِدَ لَهَا فِي الْخَيْرِ
مَحْمَلاً
“Janganlah engkau berprasangka buruk terhadap
kalimat yang diucapkan saudaramu sedang engkau masih menemukan kemungkinan
makna yang baik dalam ucapannya itu.” [Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih
rahimahullah, (2/418)]
Demikianlah wasiat generasi teladan kita, para
sahabat nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam menyikapi ucapan saudara muslim
kita yang masih mengandung kemungkinan benar dan salah, terlebih jika saudara
kita telah menegaskan bahwa yang dia maksudkan adalah makna yang benar, bukan
makna yang salah.
Sebagai contoh, jika saudara kita mengucapkan
bahwa, “Hukum karma itu ada dalam Islam.” Maka ucapan seperti ini mengandung
dua makna:
Makna yang batil, jika yang dimaksudkan dengan
hukum karma adalah yang dipahami oleh umat Hindu dan Budha yang kafir kepada
Allah ta’ala.
Makna yang benar, adalah makna yang dipahami
oleh kebanyakan orang awam dalam ilmu tentang Bahasa Indonesia, dimana mereka
memahami bahwa yang dimaksud dengan karma adalah balasan setimpal atas pelaku
kejahatan.
Tidak diragukan lagi makna pertama salah dan
makna kedua benar, maka hendaklah Anda bertanya apa yang dimaksud dalam ucapan
saudaramu, apakah makna yang pertama atau kedua. Kalau memang Anda tidak mau
bertanya maka bawalah ucapan saudaramu kepada makna yang benar sebagaimana
bimbingan teladanmu, para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Terlebih jika saudaramu telah menegaskan bahwa
karma yang dia maksudkan adalah makna yang kedua, seperti dalam penegasan
berikut ini,
“Hukum karma dimaklumi ya dalam bahasa
Indonesia, dalam pengertian kita. Seorang berbuat kejelekan, ada seseorang dia
juga mendapatkan akibat yang semisalnya. Nah hal yang semacam ini mungkin saja
ada sebab dia adalah bentuk dari siksaan, bentuk dari pembalasan, iya, bentuk
dari pembalasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa
pembalasannya itu sangatlah berat. Di dalam berbagai ayat diterangkan bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala, iya, memberikan balasan kepada orang yang berbuat
dosa sesuai dengan amalannya masing-masing.”
Dan terlebih lagi jika saudaramu adalah seorang
penyeru kepada kebaikan, kepada manhaj yang haq di tengah-tengah ramainya
manusia yang menyeru kepada kesesatan, bukankah engkau memiliki kewajiban untuk
menolong saudaramu dengan mengharumkan namanya agar manusia mengikuti seruannya
dan tidak lari dari kebenaran yang ia serukan. Sedangkan Anda memaklumi bahwa
sang penyeru kepada kebenaran tersebut adalah manusia biasa yang mungkin
berbuat kesalahan,
Berikut ini adalah ringkasan nasihat Al-Walid
Al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullah dalam menyikapi kesalahan para da’i Ahlus
Sunnah dalam sebuah risalah yang berjudul, “Uslub An-Naqd bayna Du’at wat
Ta’qib ‘alaihi.”
Beliau rahimahullah berkata,
وقد شاع في هذا
العصر أن كثيرا من المنتسبين إلى العلم والدعوة إلى الخير يقعون في أعراض كثير من
إخوانهم الدعاة المشهورين , ويتكلمون في أعراض طلبة العلم والدعاة والمحاضرين .
يفعلون ذلك سرا في مجالسهم . وربما سجلوه في أشرطة تنشر على الناس , وقد يفعلونه
علانية في محاضرات عامة في المساجد , وهذا المسلك مخالف لما أمر الله به ورسوله من
جهات عديدة منها
“Telah tersebar di zaman ini, banyak orang yang
menghubungkan dirinya kepada ilmu dan dakwah kepada kebaikan, mereka itu telah
menodai kehormatan banyak saudara-saudara mereka para da’i yang terkenal
(berjalan di atas kebenaran). Mereka juga menjatuhkan kehormatan para penuntut
ilmu, da’i dan penceramah. Mereka lakukan itu secara rahasia di majelis-majelis
mereka dan bisa jadi mereka merekamnya dan disebarkan kepada khalayak. Bisa
jadi juga perbuatan tersebut mereka lakukan secara terang-terangan dalam
ceramah umum di masjid-masjid. Dan ini adalah sebuah metode yang menyelisihi
perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya dari banyak sisi.”
Berikut ringkasan pelanggaran dalam perbuatan
tersebut:
Pertama: Perbuatan tersebut melampaui batas
terhadap hak-hak manusia, bahkan manusia yang paling mulia, yaitu para penuntut
ilmu dan da’i yang telah mengerahkan tenaga mereka untuk membimbing manusia
kepada kebaikan, memperbaiki aqidah umat dan manhaj mereka serta
bersungguh-sungguh dalam mengadakan pengajaran, ceramah dan penulisan buku-buku
yang bermanfaat.
Kedua: Perbuatan tersebut memecah belah kesatuan
kaum muslimin, terlebih para du’at Ahlus Sunnah membutuhkan kekuatan dalam
persatuan untuk menghadapi ahlul bid’ah dan orang-orang kafir.
Ketiga: Perbuatan tersebut menolong ahlul bid’ah
dan orang-orang kafir dalam menjatuhkan Ahlus Sunnah.
Keempat: Perbuatan tersebut merusak hati kaum
muslimin yang umum maupun yang khusus, sehingga memunculkan banyaknya
kedustaan, ghibah, namimah dan membuka pintu-pintu keburukan terhadap
orang-orang yang lemah jiwanya lagi suka menebar syubhat dan fitnah serta
menyakiti kaum muslimin.
Kelima: Bahwa kebanyakan ucapan yang disebarkan
tersebut adalah kedustaan atau sebuah kalimat yang masih mungkin ditafsirkan
kepada makna yang benar sebagaimana ucapan Salaf (Umar bin Khattab
radhiyallahu’anhu) di atas.
Keenam: Sebagian ulama dan penuntut ilmu yang
melakukan ijtihad tidaklah dicela karena kesalahan mereka dalam berijtihad,
akan tetapi hendaklah dinasihati dengan cara yang terbaik dalam keadaan kita
mengingankan agar sampai kepada kebenaran dan menolak tahrisy (memecah belah)
yang dilakukan oleh setan. Jika tidak memungkinkan disampaikan secara langsung
dan sembunyi-sembunyi, dan mengharuskan adanya nasihat secara terbuka maka
hendaklah dinasihati dengan kata-kata yang paling halus dan lemah lembut.
Pada bagian akhir Asy-Syaikh Ibnu Baz
rahimahullah mewasiatkan,
فالذي أنصح به
هؤلاء الأخوة الذين وقعوا في أعراض الدعاة ونالوا منهم أن يتوبوا إلى الله تعالى
مما كتبته أيديهم , أو تلفظت به ألسنتهم مما كان سببا في إفساد قلوب بعض الشباب
وشحنهم بالأحقاد والضغائن , وشغلهم عن طلب العلم النافع , وعن الدعوة إلى الله
بالقيل والقال والكلام عن فلان وفلان , والبحث عما يعتبرونه أخطاء للآخرين وتصيدها
, وتكلف ذلك
“Maka yang aku nasihatkan kepada para Ikhwah
yang menjatuhkan kehormatan para da’i dan melecehkan mereka, untuk segera
bertaubat kepada Allah ta’ala dari apa yang mereka tulis dengan tangan-tangan
mereka atau yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka yang telah menjadi sebab
rusaknya hati sebagian pemuda dan membakar mereka dengan kedengkian dan
kebencian, serta menyibukkan mereka dari menuntut ilmu yang bermanfaat dan
dakwah kepada Allah ta’ala dengan qila wa qaala (desas desus) dan pembicaraan
tentang fulan dan fulan, dan membahas apa yang mereka anggap sebagai kesalahan
orang lain, mencari-carinya dan berlebihan padanya.”
Sebagaimana beliau (Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah)
juga mewasiatkan agar tidak terburu-buru dalam menulis suatu bantahan sebelum
mengembalikannya kepada para orang-orang yang berilmu. Allah ta’ala telah
mengingatkan,
وَإِذَا
جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ
إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ
يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita
tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri).” [An-Nisa’: 83]
[Diringkas dengan sedikit perubahan dari Majmu’
Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, (7/311-314)]
Bimbingan Ulama dalam Menasihati Kesalahan
Orang-orang yang Berilmu
Terlebih lagi jika ternyata orang yang engkau
jatuhkan kehormatannya itu adalah seorang yang berilmu maka ketahuilah, tidak
ada yang lebih mengenal keutamaan dan kedudukan orang-orang yang berilmu
melebihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan inilah salah satu karakter Ahlus
Sunnah yang membedakannya dengan Ahlul Bid’ah. Tanda Ahlus Sunnah adalah
memuliakan orang-orang yang berilmu dan tanda Ahlul Bid’ah adalah menjatuhkan
kehormatan mereka.
Oleh karena itu, termasuk kewajiban seorang
muslim adalah memberikan nasihat kepada orang-orang yang berilmu berdasarkan
keumuman sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
الدين النصيحة
قلنا : لمن ؟ قال لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama itu adalah nasihat,” Kami bertanya, “Bagi
siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan
para pemimpin (ulama dan pemerintah) kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.”
[HR. Muslim dari Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu’anhu]
Adapun yang dimaksud dengan nasihat terhadap
orang-orang yang berilmu adalah,
1. Mencintai mereka
2. Menolong mereka dalam menyampaikan kebenaran
3. Membela kehormatan mereka
4. Meluruskan kesalahan mereka dengan ADAB dan
PENGHORMATAN
5. Menunjukkan cara terbaik dalam mendakwahi
manusia
Tahapan Dalam Menyikapi Kesalahan Orang yang
Berilmu
Seorang yang berilmu mungkin melakukan
kesalahan, akan tetapi berbeda cara menyikapi kesalahan orang yang berilmu dan
orang yang jahil. Inilah tahapan menyikapi kesalahan orang yang berilmu, kami
ringkas dengan sedikit perubahan dari penjelasan Faqihul ‘Asrh Al-‘Allamah
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah,
TAHAPAN PERTAMA: Melakukan tatsabbut [pemastian]
berita tentang kesalahan tersebut kepadanya, karena berapa banyak kesalahan
yang dinisbahkan kepada seorang yang berilmu secara dusta.
TAHAPAN KEDUA: Hendaklah diteliti apakah yang
dianggap sebagai kesalahan tersebut benar-benar suatu kesalahan atau ternyata
justru itu adalah kebenaran, karena sering terjadi di awal kali kita menganggap
sesuatu sebagai kesalahan padahal yang sebenarnya setelah diteliti lebih jauh
menjadi jelas bahwa hal itu adalah kebenaran.
TAHAPAN KETIGA: Apabila ternyata hal itu bukan
suatu kesalahan maka wajib bagi engkau untuk membela orang yang berilmu dan
menerangkan kepada manusia bahwa ucapannya adalah suatu kebenaran.
TAHAPAN KEEMPAT: Adapun jika ternyata ucapan
orang yang berilmu itu memang suatu kesalahan dan penisbatan kesalahan itu
kepadanya juga benar, maka yang wajib engkau lakukan adalah:
MENGHUBUNGI orang yang berilmu tersebut dengan
ADAB dan SOPAN SANTUN, lalu engkau katakan, “Aku mendengar darimu kesalahan ini
dan itu, maka aku ingin engkau jelaskan kepadaku sisi kebenarannya, sebab
engkau lebih tahu dariku?”
Setelah benar-benar jelas bagimu bahwa sang
‘alim tersebut telah salah maka engkau memiliki hak untuk munaqosyah
[menyampaikan pendapatmu], akan tetapi dengan ADAB dan PENGHORMATAN kepadanya
sesuai dengan kedudukan dan kehormatannya sebagai seorang ‘alim.
Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang,
berupa sikap keras dan kasar serta menjatuhkan kehormatan orang-orang yang
berilmu maka hal tersebut muncul dari sikap ‘ujub [kagum terhadap diri sendiri]
dalam keadaan mereka menyangka bahwa merekalah Ahlus Sunnah yang berjalan di
atas manhaj Salaf padahal mereka itulah yang paling jauh dari jalan Salaf.
Demikianlah manusia, jika memiliki sifat ‘ujub maka dia akan melihat yang
lainnya kecil di hadapannya.
[Diringkas dengan sedikit perubahan dari Syarhul
‘Arba’in An-Nawawiyah, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 140-142]