Mazhab dan Pencarian Kebenaran dalam
Islam
Oleh: Al Yasa` Abubakar
Penulis
yakin semua umat Islam sepakat bahwa ajaran Islam berdasar kepada Al-qur'an dan
hadis. Dua sumber ini, untuk dapat diamalkan secara baik, mesti ditafsirkan dan
dipahami terlebih dahulu. Hanya ayat qath`i dilalah yang mesti diamalkan tanpa
penafsiran (tidak memerlukan tafsir). Agar pemahaman dan penafsiran dianggap
benar dan dapat diterima, maka dia mesti dilakukan dengan metode yang memenuhi
persyaratan ilmiah dan sesuai dengan akal sehat (hati nurani, pemikiran
jernih). Dengan demikian hampir dalam semua ibadah dan amalan yang kita
kerjakan ada aspek penafsiran/ pemikiran manusiawinya, sehingga ibadah tersebut
tidka dapat kita katakan seratus persen wahyu.
Para ulama
berusaha menafsirkan Al-qur'an dan hadis, dan menyusun hasil penafsiran dan
pemahaman tersebut secara sistematis. Sebagian kecil ulama berhasil menyusun
metode sendiri untuk menafsirkan Al-qur'an dan hadis, dan lebih dari itu dapat
menyusun hasil pemikirannya secara relatif sistematis dan menyeluruh. Ketika
pendapat dan metode para ulama yang relatif sistematis dan menyeluruh ini
diterima, dikembangkan dan diajarkan oleh murid-muridnya maka pemikiran
tersebut meningkat kedudukannya dan dihargai sebagai mazhab. Inilah yang
terjadi pada beberapa ulama besar kita seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam asy-Syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Hasan al-Asy`ari, Abu Manshur
al-Maturidi, al-Muhasibi, Ibnu Hazm, Al-Ghazali, Ibnu Taymiyyah, Asy-Syathibi
dan beberapa yang lainnya. Mereka dapat kita sebut sebagai manusia paripurna
karena mempunyai ilmu yang dalam dan beberapa kelebihan lain, yang
menjadikannya kita hargai sebagai ulama besar (imam, tokoh mazhab).
Tetapi
sebagai manusia mereka pasti mempunyai kelemahan dan kekurangan, walaupun
mereka sudah kita hargai dan kita sebut sebagai ulama besar atau imam mazhab.
Kalau kita ingin mencari ulama yang sempurna yang tidak mempunyai kekurangan,
maka upaya itu akan sia-sia, karena yang ma`shum hanyalah Rasulullah. Sebagai
manusia pasti ada pemikiran mereka yang kita anggap kurang tepat, yang mungkin
dirasakan oleh sebagian orang, akan lebih baik sekiranya diubah atau diganti.
Hal ini adalah wajar, karena memang demikianlah adanya. Sepanjang bacaan
penulis, para imam mazhab pernah memberi jawaban yang berbeda untuk masalah
yang sama (hampir sama), sehingga ada dua atau tiga qaul untuk suatu masalah.
Imam syafi`i sebagai contoh yang agak ekstrim mengubah banyak pendapatnya
ketika dia pindah dari Irak ke Mesir, sehingga dalam mazhab Syafi`i dikenal
adanya qaul qadim dan qaul jadid. Sekiranya fakta sejarah ini kita perhatikan
(walaupun tidak secara teliti sekali), kita akan sampai pada kesimpulan bahwa
keragaman dalam memahami Al-qur’an (adanya berbagai mazhab dan aliran dalam
Islam) adalah fakta sejarah yang tidka mugkin ditutup-tutupi. Dengan kalimat lain
dapat kita katakan, adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memahami
Islam atau menjelaskan Islam, sudah merupakan keniscayaan yang tidak mungkin
kita hapus.
Sekiranya
hal ini dapat kita pahami (dan saya rasa tidak terlalu susah untuk dapat memahaminya),
maka marilah kita merenung dan belajar untuk menahan diri. Marilah kita coba
mencari keterangan, dan memikirkan apa yang mendorong seorang ulama menempuh
jalan yang berbeda atau membuat pendapat yang tidka sama dengan ulama lain.
Mari kita pelajari bagaimana jalan pikiran dan bagaimana keadaaan zaman
sehingga mendorong seorang ulama mengeluarkan pendapat, yang oleh sebagian
orang dianggap aneh, dianggap sesat bahkan kafir (murtad). Saya rasa sekiranya
kita mau mencari tahu, mau membaca tulisan ulama (cendekiawan) tersebut dengan
sungguh-sunggguh, menggunakan logika yang jujur serta hati yang jernih dan
terbuka, maka saya yakin si pembaca tersebut tidak akan sampai hati untuk
mengeluarkan tuduhan yang buruk kepadanya. Kalau ada pendapat atau bagian
tertentu yang dianggap salah dlm tulisan ulama tersebut, maka jawab dan
jelaskan dengan argumen yang kuat, tunjukkan apa yang salah dan kenapa salah.
Tunjukkan juga bagaimana yang anda anggap lebih tepat dengan argumen yang
logis, dalil yang memenuhi syarat, dengan bahasa yang santun, meyakinkan dan
menggembirakan. Saya yakin seorang sarjana apalagi yang menganggap dirinya
“ulama pembela umat”, sanggup dan mampu menunjukkan kesalahan, kekeliruan atau
kesilapan yang dia temukan dalam sebuah tulisan, tanpa perlu menunjukkan emosi
yang tidak terkendali, tanpa perlu mengeluarkan tuduhan-tuduhan kotor, apalagi
fitnah (yang kadang-kadang tidak dapat diterima oleh akal sehat).
Saya yakin
group WA ini dan banyak group WA lain, dibuat untuk menyambung silaturrahim,
membuka wawasan, mencerahkan pemahaman agama dan mendorong peningkatan
pengamalannya, sehingga peristiwa memalukan seperti yang dipertontonkan
sebagain saudara kita di Masjid Oman, tidak akan terulang lagi. Karena hal tersebut marilah kita tidka menyebarkan
berita hoax, tidka menggunakan kata-kata kasar, tidka menuduh sesat apalagi
murtad secara sembarangan. Kalau ada yang salah, kritiklah dengan santun.
Mungkin mereka telah melakukan berbagai hal yang baik (bahkan berat) untuk
mensejahterakan dan membela umat tetapi kita tidka tahu, sehingga kritikan kita
hanya menunjukkan bahwa kita ibarat katak yang berada di bawah tempurung.
Mungkin dia tersilap, atau mungkin juga dia melakukan kesalahan karena
“ijtihad” yang keliru, sehingga dapat dianggap sebagai disengaja. Dalam keadaan
ini marilah kita berbaik sangka. Tahan emosi buruk anda dan jangan diledakkan
terlau cepat. Kita perlu ingat bahwa Rasulullah telah bersabda, usaha seorang
ulama untuk mencari kebenaran (tentu, dengan metode yang memenuhi syarat) akan
dihargai dengan satu pahala walaupun dia hanya sampai pada kesimpulan yang
keliru. Usaha tersebut akan dihargai dengan dua pahala sekiranya sampai pada
kesimpulan yang benar.
Dengan kata
lain, Rasulullah melalui hadis, menghargai setiap usaha untuk mencari kebenaran
yang dilakukan para ulama, walaupun tidak sampai kepada kesimpulan yang benar.
Karena hal tersebut janganlah kita berburuk sangka kepada saudara seagama yang
kebetulan berbeda pendapat atau mazhab dengan kita. Pemahaman atas Islam telah
beragam sejak dahulu dan akan terus beragam sampai ke hari kiamat kelak. Ulama
kita sangat sedikit jumlahnya dan kalau sebagian dari ulama yang sedikit ini
kita tuduh sesat pula, maka secara tidak disadari kita telah menjadikan umat
ini terkotak-kotak dan terpecah belah, dan mungkin silaturrahim diantara kita
pun akan terputus. Kita tidak akan mempunyai panutan atau tokoh yang dapat
menyatukan kita, karena mereka telah kita kerdilkan, ke dalam kotak-kotak
mazhab yang sebagiannya dituduh sesat tanpa alasan yang memenuhi syarat. Allah
SWT berfirman, kalau Dia mau maka Dia akan menjadikan semua manusia sebagai
satu umat saja. Tetapi Allah menjadikan manusia bersuku-suku dan
bergolongan-golongan untuk saling kenal (bersilaturrahim) (al-Hujurat ayat 14).
Marilah kita hidupkan silaturrahim dengan semangat saling menghargai. Marilah
kita gunakan kata-kata santun yang bernada merangkul dalam berkomunikasi. Hindarilah kata-kata kasar apalagi fitnah
yang tidka patut diucapkan oleh seorang muslim yang mengaku beriman, apalagi
ketika dia sudah dituakan, ditokohkan dijadikan penceramah atau dijadikan
panutan. Mari kita pererat silaturrahim dan saling menghagai diantara kita.
Wallahu a`lam bish-shawab wa ilayh-il marji`` wa-l ma`ab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar