Rabu, 19 Februari 2020

Al-Mā'dah 51, Buya Yun rahimahullāh, dan Pak Ahok.


Al-Mā'dah 51, Buya Yun rahimahullāh, dan Pak Ahok.



Oleh: Faturrahman Kamal, Lc, M.Si
(Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Periode 2015-2020)

Hari itu, menjelang pertengahan Nopember 2016. Buya Yun rahimahullāh telepon saya. "Fathur, bantu saya ya untuk menjawab beberapa pertanyaan tertulis dari penyidik Bareskrim Polri terkait posisi sebagai saksi ahli pada persidangan Ahok." Tak perlu mikir lama, saya nyatakan "siap", sekalian minta diemailkan beberapa pertanyaan yang dimaksud.14 Nopember 2016 draft jawaban dan beberapa soft file kitab/hasil penelitian (disertasi) berbahasa Arab saya kirimkan kepada beliau via email.

Buya sempat bertutur kepada saya mengenai keputusan PP Muhammadiyah mengamanahkan beliau untuk menunaikan tugas ini sebagai representasi Muhammadiyah secara resmi, dan karena kepakarannya di bidang Ulumul Qur'an dan tafsirnya. Termasuk pula agar penyidik Polri berkenan interview beliau di Gedung Dakwah Muhammadiyah Menteng, dan Buya tidak perlu datang ke Reskrim. Ini sebagai isyarat menjaga marwah dan kewibawaan Persyarikatan.

21 Pebruari 2017, saya diamanahi mendampingi Buya Yun menghadiri persidangan Ahok atas dakwaan penistaan Al-Qur'an terkhusus Surah Al-Maidah 51. Tentu tak ketinggalan Uni (isteri Buya yang setia membersamai beliau). Ruang tunggu (isolasi) Kejaksaan terasa "menegangkan", tak semata karena ketatnya penjagaan oleh aparat Polri dan TNI, tapi juga kepungan ratusan ribu masa yang menggelar unjuk rasa di luar gedung Kementerian Pertanian, termasuk di depan Gedung Parlemen. Tuntutannya mengkerucut: penjarakan Ahok!.

Dengan pengawalan yang ketat, kami mendampingi Buya Yun rahimahullāh masuk ke ruang persidangan yang tak kalah "angkernya". Di perjalanan kami menyaksikan beberapa aktifitas spiritual yang unik, tepatnya praktek dukun. Tidak tau persis mereka ini bekerja untuk apa dan siapa. Yang pasti temen-temen dari Pemuda Muhammadiyah (Ndan Masyhuri) dan tim GNPF selalu mengingatkan agar tak luput membaca kalimat thayyibah, dan tidak menerima minuman kecuali yang diberikan langsung oleh mereka.
Di ruang pengadilan inilah untuk pertama kali saya bertemu muka dengan Pak Ahok dengan wajah tegang, tak seperti tampilan beliau yang penuh percaya diri di ruang kaca/publik sebelum berstatus pesakitan di meja hijau. Begitu banyak tim pengacara yang mendampinginya.

Yang selalu saya ingatkan Buya rahimahullāh, agar beliau tenang dan dapat mengontrol emosi, serta jangan lupa mengucapkan "Pak Hakim ketua yang mulia" jika mohon izin untuk minum air melepas dahaga. Satu demi satu pertanyaan dari hakim ketua dan anggota-anggotanya dijawab dengan cermat oleh beliau, meskipun beberapa Ayat sebagai dalil pendukung terkait dakwaan penistaan sempat lupa. Pertanyaan-pertanyaan hakim tak keluar dari apa yang sudah dicatat dengan baik pada berita acara pemeriksaan (BAP) yang tebalnya melebihi rata-rata bilangan halaman disertasi itu!.

Yang tak mungkin saya lupakan ialah pertanyaan hakim ketua terkait inti masalah : penistaan, dan makna kata "awliyā' " yang tertera pada Ayat 51 QS. AL-Mā'idah.
Dengan penuh keyakinan Buya Yun menjawab bahwa pernyataan Pak Ahok dari perspektif teologi Islam termasuk penistaan. Dan bahwasanya makna "awliyā' " dalam ayat tersebut adalah "pemimpin" atau "penguasa" struktural yang dipilih oleh rakyat secara elektoral dalam pemilihan umum. Termasuk dalam kategori pemimpin ini misalnya; presiden, gubernur, bupati/walikota.

Ketika hakim mengkonfirmasi lebih lanjut, bagaimana dengan pandangan yang menyatakan bahwa makna "awliyā' " adalah sahabat setia, penolong, kekasih dst?. Buya Yun rahimahullāh menjawab, memang benar makna-makna tersebut melekat dengan kata "awliyā' ", akan tetapi bersifat parsial. Sementara dalam makna "pemimpin" tercakup segala predikat sebagai teman setia, penolong, kekasih dan seterusnya. Jadi, firman Allah yang berbunyil "lā tattakhidzū al-Yahūdā wa al-Nashārā awliyā' " artinya : "Janganlah kalian jadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpinmu."

Satu lagi, umat, dan khususnya warga Persyarakitan jangan lupa bahwa kehadiran Buya Yun pada persidangan tersebut tak semata sebagai "saksi ahli", tapi juga sebagai representasi "resmi" Muhammadiyah yang konsisten mengawal kasus penistaan agama ini. Demikian penegasan Sekum PP Muhammadiyah Dr. Abdul Mu'thi kepada media dan masyarakat (lihat misalnya, https://www.republika.co.id/…/olqjad383-muhammadiyah-jelask…).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar