KADERISASI ULAMA MUHAMMADIYAH
Menurut Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, MA, ulama itu terlahir, tidak
diciptakan. Proses pendidikan keulamaan hanyalah lorong-lorong untuk menjaring
mereka yang berbakat menjadi ulama. Pendapat mantan Menteri Agama dan ahli Ilmu
Perbandingan Agama ini menggambarkan bahwa pengkaderan ulama bukanlah suatu
yang mudah. Tidak semua orang yang menjalani pendidikan ulama akan menjadi
ulama. Namun begitu, proses tersebut tetap perlu dilakukan untuk menyediakan
wadah bagi mereka yang berminat dan berbakat untuk berbakti di bidang ini.
Seorang ulama diharuskan menguasai sekurang-kurangnya ilmu
pengetahuan ke-Islaman dan akan semakin ideal bila disertai dengan penguasaan
cabang pengetahuan lain. Dengan demikian seorang ulama itu adalah juga seorang
ahli ilmu, dan memang demikian adanya sepanjang sejarah Islam. Bahkan kata
‘ulama’ itu sendiri, secara harfiah, berarti ‘orang yang berilmu.’ Selain itu
ulama juga harus memiliki tingkat tertentu kesalihan relijius dan kearifan
rohani. Hal ini terwujud dengan banyak mempraktikkan amal ibadah yang
dituntunkan dalam agama guna mendapatkan kedalaman spiritual dan meningkatkan
kepekaan nurani. Aspek inilah yang membedakan seorang sarjana dengan ulama.
Oleh karena itu dalam proses pendidikan keulamaan hal ini dilatihkan melalui
praktik konkret karena karakter ini akan terbentuk secara berangsur melalui
praktik yang kontinyu. Lebih lanjut seorang ulama bukanlah figur yang hidup di
menara gading. Ia harus memiliki tingkat tertentu keterlibatan dalam
masyarakatnya dalam suatu atau lain bentuk. Ia hidup bersama, untuk dan
berkarya bagi masyarakat. Ia adalah penyuara hati nurani umat di samping juga
sebagai rujukan rohani dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar