Masalah kewajiban memakai cadar
sebenarnya tidak disepakati oleh para ulama. Maka wajarlah bila kita sering
mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkannya dengan didukung dengan
sederet dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang
mengatakan bahwa cadar itu bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun
biasanya diikuti dengan sederet dalil dan hujjah juga.
Dalam kesempatan ini, marilah kita
telusuri masing-masing pendapat itu dan berkenalan dengan dalil masing-masing.
Sehingga kita bisa memiliki wawasan dalam memasuki wilayah ini bukan mencari
titik perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran
yang lengkap tentang dasar kedua pendapat ini. Agar kita bisa berbaik sangka
dan tetap menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak.
1. Kalangan
yang Mewajibkan Cadar
Mereka yang mewajibkan setiap wanita
untuk menutup muka (memakai niqab) berangkat dari pendapat bahwa wajah itu
bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis
non mahram.
Dalil-dalil yang mereka kemukakan
antara lain:
a. Surat
Al-Ahzab: 59
Hai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mu`min, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS Al-Ahzah: 59)
Ayat ini adalah ayat yang paling
utama dan paling sering dikemukakan oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka
mengutip pendapat para mufassirin terhadap ayat ini bahwa Allah
mewajibkan para wanita untuk menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka
termasuk kepala, muka dan semuanya, kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat
ini dikutip dari pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan
lainnya, meskipun tidak ada kesepakatan di antara mereka tentang makna `jilbab`
dan makna `menjulurkan`.
Namun bila diteliti lebih jauh, ada
ketidak-konsistenan nukilan pendapat dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab.
Karena dalam tafsir di surat An-Nuur yang berbunyi (kecuali yang zahir darinya),
Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya.
Para ulama yang tidak mewajibkan
niqab mengatakan bahwa ayat ini sama sekali tidak bicara tentang wajibnya
menutup muka bagi wanita, baik secara bahasa maupun secara `urf (kebiasaan).
Karena yang diperintahkan jsutru menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya.
Dan tidak ditemukan ayat lainnya yang memerintahkan untuk menutup wajah.
b. Surat
An-Nuur: 31
Katakanlah
kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak
dari padanya."(QS An-Nur: 31)
Menurut mereka dengan mengutip
riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa yang dimaksud perhiasan yang tidak
boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah adalah pusat dari kecantikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan
selendang dan baju.
Namun riwayat ini berbeda dengan
riwayat yang shahih dari para shahabat termasuk riwayat Ibnu Mas`ud sendiri,
Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud
dengan `yang biasa nampak darinya` bukanlah wajah, tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin. Riwayat ini
menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.
c. Surat
Al-Ahzab: 53
`Apabila
kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari belakang tabir. Cara
yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu
menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya
sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi
Allah. (QS
Al-Ahzab: 53)
Para pendukung kewajiban niqab juga
menggunakan ayat ini untuk menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah
mereka dan bahwa wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan
bahwa meski khitab ayat ini kepada istri Nabi, namun kewajibannya juga terkena
kepada semua wanita mukminah, karena para istri Nabi itu adalah teladan dan
contoh yang harus diikuti.
Selain itu bahwa mengenakan niqab
itu alasannya adalah untuk menjaga kesucian hati, baik bagi laki-laki yang
melihat ataupun buat para istri nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini
bahwa cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka (istri
nabi).
Namun bila disimak lebih mendalam,
ayat ini tidak berbicara masalah kesucian hati yang terkait dengan zina mata
antara para shahabat Rasulullah SAW dengan para istri beliau. Kesucian hati ini
kaitannya dengan perasaan dan pikiran mereka yang ingin menikahi para istri
nabi nanti setelah beliau wafat.
Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka
jangan menyakiti hati nabi dengan mengawini para janda istri Rasulullah SAW
sepeninggalnya. Ini sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan
bahwa ada shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra. bila kelak Nabi wafat. Ini
tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.
Adapun makna kesucian hati itu bila
dikaitkan dengan zina mata antara shahabat nabi dengan istri beliau adalah
penafsiran yang terlalu jauh dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para
shahabat nabi yang agung.
Sedangkan perintah untuk meminta
dari balik tabir, jelas-jelas merupakan kekhusususan dalam bermuamalah dengan
para istri Nabi. Tidak ada kaitannya dengan `al-Ibratu
bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah`. Karena ayat ini memang khusus
membicarakan akhlaq pergaulan dengan istri nabi. Dan mengqiyaskan antara para
istri nabi dengan seluruh wanita muslimah adalah qiyas yang tidak tepat, qiyas
ma`al-fariq. Karena
para istri nabi memang memiliki standar akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan
dalam ayat Al-Quran.
`Hai
isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.` (QS Al-ahzab: 32)
d. Hadits
Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim
Para pendukung kewajiban menutup
wajah bagi muslimah menggunakan sebuah hadits yang diambil mafhum mukhalafanya,
yaitu larangan Rasulullah SAW bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.
`Janganlah
wanita yang sedang berihram menutup wajahnya (berniqab) dan memakai sarung
tangan`.
Dengan adanya larangan ini, menurut
mereka lazimnya para wanita itu memakai niqab dan menutup wajahnya, kecuali
saat berihram. Sehingga perlu bagi Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang
mereka. Seandainya setiap harinya mereka tidak memakai niqab, maka tidak
mungkin beliau melarangnya saat berihram.
Pendapat ini dijawab oleh mereka
yang tidak mewajibkan niqab dengan logika sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram,
seseorang memang dilarang untuk melakukan sesuatu yang tadinya halal. Seperti
memakai pakaian yang berjahit, memakai parfum dan berburu. Lalu saat berihram,
semua yang halal tadi menjadi haram. Kalau logika ini diterapkan dalam niqab,
seharusnya memakai niqab itu hukumnya hanya sampai boleh dan bukan wajib. Karena semua larangan dalam ihram itu hukum asalnya pun boleh dan bukan wajib.
Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa sebelumnya hukumnya wajib?
Bahwa ada sebagian wanita yang di
masa itu menggunakan penutup wajah, memang diakui. Tapi masalahnya menutup
wajah itu bukanlah kewajiban. Dan ini adalah logika yang lebih tepat.
e. Hadits
bahwa Wanita itu Aurat
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,
"Wanita
itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya`.
Menurut At-turmuzikedudukan hadits
ini hasan shahih. Oleh para pendukung pendapat ini maka seluruh tubuh wanita
itu adalah aurat, termasuk wajah, tangan, kaki dan semua bagian tubuhnya.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan
Al-Hanabilah.
f. Mendhaifkan
Hadits Asma`
Mereka juga mengkritik hadits Asma`
binti Abu Bakar yang berisi bahwa, "Seorang wanita yang sudah hadih itu
tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali ini dan ini" Sambil beliau
memegang wajar dan tapak tangannya.
* * *
2. Kalangan yang
Tidak Mewajibkan Cadar
Sedangkan mereka yang tidak
mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat wanita. Mereka
juga menggunakan banyak dalil serta mengutip pendapat dari para imam mazhab
yang empat dan juga pendapat salaf dari para shahabat Rasulullah SAW.
a. Ijma`
Shahabat
Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang masalah batas aurat wanita.
Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang masalah batas aurat wanita.
b. Pendapat
Para Fuqoha bahwa Wajah Bukan termasuk Aurat Wanita.
Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi yang merdeka kecuali wajah dan tapak tangan. (lihat Kitab Al-Ikhtiyar). Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan.
Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi yang merdeka kecuali wajah dan tapak tangan. (lihat Kitab Al-Ikhtiyar). Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan.
Al-Malikiyah dalam kitab `Asy-Syarhu
As-Shaghir` atau sering disebut kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik,
susunan Ad-Dardiri dituliskan bahwa batas aurat waita merdeka dengan laki-laki
ajnabi (yang bukan mahram) adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan.
Keduanya itu bukan termasuk aurat.
Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat
As-Syairazi dalam kitabnya `al-Muhazzab`, kitab di kalangan mazhab ini
mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh badannya adalah aurat kecuali wajah
dan tapak tangan.
Dalam mazhab Al-Hanabilah kita
dapati Ibnu Qudamah berkata kitab Al-Mughni 1: 1-6,`Mazhab tidak berbeda
pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam
shalat.
Daud yang mewakili kalangan zahiri
pun sepakat bahwa batas aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak
tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan
Ibnu Hazm mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab
Al-Muhalla.
c. Pendapat
Para Mufassirin
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.
d.
Dhai`ifnya Hadits Asma Dikuatkan oleh Hadits Lainnya
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau `hijab wanita muslimah`, `Al-Irwa`, shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau `hijab wanita muslimah`, `Al-Irwa`, shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.
e. Perintah
Kepada Laki-laki untuk Menundukkan Pandangan.
Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.
Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: `Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS An-Nuur: 30)
Dalam hadits Rasulullah SAW kepada
Ali ra. disebutkan bahwa,
Janganlah
kamu mengikuti pandangan pertama (kepada wanita) dengan pandangan berikutnya.
Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua adalah ancaman/dosa. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim).
Bila para wanita sudah menutup
wajah, buat apalagi perintah menundukkan pandangan kepada laki-laki. Perintah
itu menjadi tidak relevan lagi.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1138716118&=bagaimana-hukum-memakai-cadar.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar