Rabu, 04 Maret 2020

PUTM dan Kaderisasi Ulama: Menelusuri Latar Belakang Lahirnya Lembaga Kaderisasi Ulama Muhammadiyah

PUTM dan Kaderisasi Ulama: Menelusuri Latar Belakang Lahirnya Lembaga Kaderisasi Ulama Muhammadiyah

 

Oleh:  Niki Alma Febriana Fauzi

(Kepala Pusat Tarjih Muhammadiyah ) 


Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) yang hadir sebagai respon atas kelangkaan ulama pada waktu itu, tidak lahir dari ruang hampa. Dengan kata lain, ada ruang lingkup sosio-historis yang melatarbelakangi para tokoh di Muhammadiyah, terutama di Majelis Tarjih untuk membentuk suatu program pendidikan kader yang fokus untuk mendidik dan ‘mencetak’ ulama-ulama tarjih. Di usianya yang telah lebih dari setengah abad, PUTM telah mengalami dinamika yang menempanya menjadi semakin matang.

Berbicara PUTM, bukanlah soal kaderisasi semata. Ia jauh lebih dari itu; PUTM (sebagaimana diharapkan banyak orang) bukan saja menjadi tempat munculnya kader biasa, tapi juga kader intelektual cum ulama yang menjadi penerus gerak ilmu dan dakwah Muhammadiyah. Dalam semangat itulah, memahami dengan baik latar belakang munculnya PUTM akan dapat membantu kita untuk menilai apakah PUTM kini telah berada pada jalur yang tepat; apakah perhatian pada kaderisasi ulama telah menjadi perhatian bersama dan perhatian utama persyarikatan; ataukah memang PUTM dan persoalan pentingnya kaderisasi ulama hanyalah wacana yang selalu didengungkan pada momen-momen tertentu saja.

Tulisan ini mencoba menelisik latar belakang munculnya PUTM sebagai lembaga pendidikan kader ulama tarjih. Dari data-data yang coba penulis telusuri, setidaknya latar belakang tersebut dapat dibagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu latar belakang internal dan latar belakang eksternal. Sebagaimana dijelaskan di atas, tulisan ini bermaksud mengajak para pembaca untuk merefleksikan tentang kaderisasi ulama dengan berkaca pada latar belakang lahirnya lembaga kader ulama Muhammadiyah, bernama PUTM.

Latar Belakang Internal

Latar belakang internal perlunya mendirikan PUTM ini dapat dirincikan menjadi dua; latar belakang internal tidak langsung dan latar belakang internal langsung.
Latar belakang internal tidak langsung artinya hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai motif yang tidak berkaitan secara langsung, tapi masih ada irisannya dengan hal-hal yang berkaitan dengan pentingnya kaderisasi ulama tarjih. Latar belakang internal tidak langsung ini dapat terbaca misalnya dari narasi Seroean Madjlis-Tardjih yang disuguhkan dalam majalah Soera Moehammadijah sekitar tahun 1930-an. Sebagai contoh misalnya adalah Seroean Madjlis-Tardjih yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Soera Moehammadijah No. 3 Oktober 1933. Seroean Madjlis-Tardjih tersebut ditunjukkan “kepada sekalian Anggota Madjlis-Tardjih dan segenap Ladjnah-Tardjih Moehamadijah diseloeroeh Indonesia”.

Seroean ini secara substansi berisi ajakan kepada seluruh ulama atau tokoh yang menjadi anggota tarjih di berbagai daerah di Indonesia untuk memberikan masukan dan saran pada materi yang akan dibahas dalam muktamar tarjih yang akan datang. Materi tersebut “membitjarakan 4 boeah kitab: Thaharah, Sijam, Zakat, dan Djinazat.” Tidak hanya sekadar memberikan masukan dan saran, dalam Seroean tersebut Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhamadiyah juga meminta kepada seluruh ulama dan tokoh di daerah untuk menyertakan dalil-dalil terkait.[1]

Dalam hal ini, tampak bahwa harapan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah kepada para ulama dan tokoh tarjih di daerah sangatlah besar. Secara tidak langsung, daerah-daerah di seluruh Indonesia diharapkan memiliki beberapa ulama atau tokoh yang mumpuni dalam bidang ketarjihan. Bahkan seruan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah kepada daerah-daerah di seluruh Indonesia agar membentuk Majelis Tarjih dikukuhkan menjadi bagian dari Qa’idah Madjlis Tardjih Moehammadijah di mana ia merupakan salah satu putusan kongres Muhammadiyah ke-28 di Medan tahun 1939. Pasal tersebut berbunyi,
“Tiap-tiap Tjabang sewilajahnja soepaja mengadakan badan tardjih terdiri dari setidaknya tiga oelama Tardjih, demikian poela tiap-tiap groep dengan diberitahoekan kepada dan diloeloeskan oleh Tjabang pada tiap-tiap vergadering tahoenan. Badan itoe diseboet Ladjnah Tardjih”.[2]
Harapan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut sayangnya tidak terealiasi sepenuhnya. Banyak anggota Majelis Tarjih daerah yang  secara kualitas tidak mampu mengikuti alur dari tokoh dan ulama tarjih yang lain dalam hal keilmuan ketika berada di muktamar tarjih. Akhirnya mereka pun banyak yang mengundurkan diri. Hal ini tampak dari pengakuan HM Junus Anis dalam tulisannya di Soera Moehammadijah berjudul “Asal-Mula: Diadakan Madjlis Tardjih dalam Muhammadijah”,

“Setelah berdjalan 3-5 kali Mu’tamar, anggota2 Madjlis Tardjih jang merasa kurang mampu lalu mengundurkan diri, sedang jang masuk baru daripada Alim Ulama di Tjabang2 sudah dapat diharapkan bernilai lebih tinggi”.[3]
Latar belakang internal tidak langsung tersebut kemudian dikuatkan dengan latar belakang yang lain, yaitu latar belakang internal langsung. Latar belakang internal langsung artinya latar belakang yang berkaitan langsung tentang pentingnya mendirikan PUTM sebagai program kaderisasi ulama. Setidaknya ada dua pernyataan tokoh Muhammadiyah yang secara tegas menyatakan bahwa PUTM pada tahun 1968 perlu didirikan.

Pertama, adalah KH Umar Afandi. Pernyataan Umar Afandi ini diriwayatkan secara muttasil (bersambung) dari para murid-muridnya. Menurut Afandi – sebagaimana disampaikan oleh H. Muhammad Suprapto atau yang biasa disapa Ibnu Juraimi, salah satu alumni angkatan pertama PUTM – banyak ulama/kyai Muhammadiyah yang sudah udzur bahkan sebagian telah meninggal dunia, di tambah banyak generasi muda Muhammadiyah pada waktu itu tidak bisa bahasa Arab secara baik dan menguasai turats.[4] Dengan kata lain menurut Afandi apabila ketiadaan program kaderisasi ulama ini terus dibiarkan dan tidak diperhatikan, dikhawatirkan Muhammadiyah akan kehabisan stok ulama yang mumpuni.

Perlu diketahui bahwa sesungguhnya pada saat wacana mendirikan PUTM ini bergulir, Muhammadiyah telah memiliki beberapa sekolah yang concern pada persoalan pendidikan kader, seperti Qismul Aqra yang pada gilirannya menjadi Mu’alimin Muhammadiyah. Lembaga ini didirikan langsung oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Selanjutnya pada tahun 1951, Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah membuat Akademi Tabligh Muhammadiyah (ATM), di mana program pendidikan ini “diharapkan dapat ikut membantu tebentuknya mubaligh-mubaligh Muhammadiyah tingkat akademi, di samping pada tahun-tahun itu Muhammadiyah berkembang di luar negeri, sehingga diperlukan mubaligh-muballigh yang cakap untuk itu”.

Di samping itu yang tidak kalah penting untuk dicatat adalah bahwa Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga mendirikan apa yang disebut sebagai Madrasah Muballighin. Didirikannya madrasah ini bertujuan untuk membina tenaga ahli dalam bidang khusus.[5]

Program pendidikan kader di atas, dirasa oleh Umar Afandi belum terlalu fokus pada penekanannya untuk mencetak dan mendidik kader ulama tarjih yang memiliki kualifikasi seminimal-minimalnya sebagai mujtahid pemula. Pada titik inilah kemudian, Umar Afandi membawa gagasannya tersebut ke dalam rapat pengurus Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam rapat tersebut forum menyetujui gagasan Afandi untuk menggagas PUTM.[6]

Kedua, pernyataan dari KH Wardan Diponingrat. Setelah mendengarkan gagasan dari Umar Afandi, Wardan yang pada saat itu diamanahi sebagai ketua Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan ulama-ulama lain di lingkungan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyambut baik gagasan tentang perlunya program kaderisasi ulama tarjih. Pernyataan Wardan ini dapat ditemukan dalam tulisannya bertajuk “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih” di majalah Soera Moehammadijah tahun 1968. Dalam tulisannya, Wardan menulis:
“Lain daripada itu, ada satu hal jang hingga sekarang masih tetap mendjadi keprihatinan kita dan jang sewadjarnja pula harus mendjadi pemikiran kita bersama, iaitu pengkaderan Ulama Tardjih, soal mepersiapkan Kader2 Tardjih. Hal ini dirasa amat penting sekali mengingat djumlah Ulama Muhammadijah tidak bertambah, bahkan berkurang karena jang ada tidak sedikit jang telah mendahului kita (meninggal dunia) sedang jang baru belum kelihatan tampak, karena pula dalam angkatan muda tampak gedjala2 kurangnja perhatian dan kurang tertarik kepada persoalan2 hukum agama (Islam). Dalam hal ini PP. Madjlis Tardjih telah merentjanakan pendirian Pendidikan Tinggi (Akademi) Tardjih lengkap dengan susunan curiculumnja dan anggaran belandjanja. Perentjanaan jang telah lengkap itu sedang dalam pertimbangan PP. Muhammadijah. Mengingat kebutuhan akan adanja Pendidikan Tardjih itu semakin medesak, maka untuk sementara sambil menunggu kelengkapannja, PP. Madjlis Tardjih telah mengambil langkah, pendirian Pendidikan Tardjih itu segera dimulai meskipun baru dalam tingkat persiapan”.[7]
Pernyataan Wardan tersebut, selain menunjukkan kegelisahan dan kekhawatiran tokoh-tokoh tarjih pada waktu itu terkait kurangnya kader ulama tarjih, juga menunjukkan satu hal: bahwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah awalnya kurang mendukung atau menanggapi dengan baik rencana Majelis Tarjih untuk mendirikan program kaderisasi secara khusus yang diorintesikan untuk mendidik kader ulama tarjih.

Hal ini tampak dari pengakuan Wardan bahwa sampai pada waktu dilaunchingnya PUTM, Pimpinan Pusat Muhammmadiyah belum mendukung secara penuh atau dalam bahasa Wardan “sedang dalam pertimbangan PP. Muhammadijah”, padahal “kebutuhan akan adanja Pendidikan Tardjih itu semakin medesak”. Alasannya karena menurut Pimpinan Pusat Muhammadiyah lebih baik memaksimalkan peran Mu’alimin Muhammadiyah sebagai garda terdepan pendidikan kader persyarikatan daripada harus mendirikan lembaga baru yang mungkin belum tentu bisa berjalan lancar dan membuahkan hasil maksimal secara kuantitas.

Meskipun pada awalnya kurang mendapat dukungan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, hal tersebut tidak menyurutkan niat KH Umar Afandi, KH Wardan Diponingrat, KH Hadjid, KH Baqir Soleh dan ulama-ulama Muhammadiyah lain yang memiliki kegelisahan yang sama, untuk tetap mendirikan PUTM. Mereka yakin bahwa PUTM ini berbeda dengan pendidikan kader yang lain di lingkungan Muhammadiyah, karena PUTM ini output-nya diproyeksikan setara dengan sarjana.
Dengan segala upaya dan ketulusan para tokoh tarjih awal untuk mewujudkan suatu program pendidikan kader ulama tarjih, akhirnya pada tanggal 12 Muharram 1388 H atau bertepatan dengan 10 April 1968, Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah resmi didirikan dengan disaksikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kehadiran Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada saat diresmikannya PUTM ini secara halus dapat dimaknai sebagai pemberian restu dan dukungan moril kepada Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk membuat program kaderisasi ulama secara khusus. Wardan dalam hal ini menulis,
“Maka pada tgl. 12 Muharram 1388 H atau 10 april 1968 M dengan disaksikan  oleh PP. Muhammadijah, Pendidikan Kader Ulama Tardjih tersebut diatas telah dimulai serta dibuka dan diresmikan berdirinja dengan nama PENDIDIKAN ULAMA TARDJIH MUHAMMADIJAH berkedudukan di Jogjakarta. Penghargaan PP. Muhammadijah Madjlis Tardjih, hendaknja atas inisiatip Pimpinan Madjlis Tardjih Wilajah dan Daerah dapat pula didirikan Pendidikan Ulama Tardjih sematjam diatas ditempatnja masing2. Fatabiqul Chairat”.[8]
Latar Belakang Eksternal
Latar belakang eksternal maksudnya adalah hal-hal atau faktor-faktor dari luar yang secara langsung maupun tidak langsung turut mendorong muncul dan lahirnya program kaderisasi ulama tarjih (PUTM) di lingkungan Muhammadiyah. Latar belakang ini tampaknya cukup erat kaitannya dengan kiprah Muhammadiyah dan anggota-anggotanya bersinggungan dengan politik praktis.
Jika menilik secara historis pada pergerakan Muhamadiyah di tahun-tahun menjelang diresmikannya PUTM, akan dijumpai satu fakta bahwa pada masa-masa tersebut Muhammadiyah sedang cukup erat bersinggungan dengan partai politik. Di antara keputusan sidang Tanwir pada tahun 1956 di Yogyakarta menunjukkan pada hal tersebut. Dua butir keputusan sidang tanwir yang berkaitan erat dengan poitik adalah bahwa: (a) anggota-anggota Muhammadiyah yang akan aktif di bidang politik dianjurkan supaya masuk partai politik Islam, dan (2) perlu dipelihara hubungan baik antara Muhammadiyah dengan Masyumi.

Eratnya hubungan antara anggota Muhammadiyah dengan partai politik memuncak pada sekitar tahun 1966-1967. Pada tahun 1967, karena merasa tidak ada partai politik yang sejalan dengan arah pergerakannya, Muhammadiyah kemudian menjadi – meminjam isitilah Pasha dan Darban – “tulang punggung” utama berdirinya Partai Muslimin Indonesia. Persentuhannya dengan partai politik yang cukup kentara ini, menjadikan Muhammadiyah tidak hanya tampil sekadar sebagai gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar tapi juga sekaligus memliki fungsi politik riil. Bahkan pada masa-masa itu, sekitar tahun 1966-1967 Muhammadiyah akrab dikenal sebagai ormaspol, yaitu “organisasi kemmasyarakatan yang  juga berfungsi sebagai partai politik” – meskipun Muhamadiyah tetap tidak melebur menjadi partai politik.

Keterlibatan Muhammadiyah atau lebih tepatnya anggota-anggota Muhammadiyah dalam politik praktis, menurut Din Syamsuddin, lebih merupakan implementasi dari spirit  dakwah Muhammadiyah  yang melihat bahwa politik adalah bagian integral dari kehidupan beragama.[9]
Pergolakan politik menjelang berdirinya PUTM ini secara langsung maupun tidak mempengaruhi perhatian para anggota dan tokoh Muhammadiyah. Fokus mereka terpecah antara mendukung dan berkecimpung dalam partai politik Islam di satu sisi, dan di sisi yang lain menyiapkan diri secara kapasitas keilmuan keagamaan sebagai bentuk pemenuhan terhadap Seroean Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada titik inilah fenomena krisis ulama di lingkungan Muhammadiyah semakin tampak.

Catatan:

[1] Soera Moehammadijah, No. 4 (Rajab 1352 H / Oktober 1933), Tahun ke-XV, h. 113.
[2] Soera Moehammadijah, No. 3 (Rabiul Awal 1359 H / April 1940), Tahun ke-XXII, h. 82.
[3] HM Junus Anis, “Asal-Mula: Diadakan Madjlis Tardjih dalam Muhammadijah”, dalam Soera Moehammadijah, No. 6 (Maret 1972), Tahun ke-52, h. 3 dan 13.
[4] Wawancara dengan Ibnnu Juraimi ini dikutip dari Sabaruddin, “Kontinuitas dan Perubahan Pendidikan Pesantren (Kasus Pondok Pesantren Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta)” Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 6, No. 1 (2009), h. 151. Pengakuan Umar Affandi tersebut juga diriwayatkan oleh murid-muridnya yang lain, seperti Syatibi – thalabah angkatan pertama bersama Ibnu Juraimi – dan lain sebagainya. Ia telah menjadi semacam khabar masyhur – meminjam istilah dalam ilmu hadis – di kalangan thalabah PUTM.
[5] Sabaruddin, “Kontinuitas dan Perubahan Pendidikan Pesantren (Kasus Pondok Pesantren Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta)”, h. 152.
[6] K.H.M Wardan, “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih”, dalam Soera Moehammadijah, No. 15-16 (Agustus 1968), h. 25.
[7] K.H.M Wardan, “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih”, h. 25.
[8] K.H.M Wardan, “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih”, dalam Soera Moehammadijah, No. 15-16 (Agustus 1968), h. 25.
[9] M. Din Syamsuddin, “The Muhammadiyah Da’wah and Allocative Politics in the New Order Indonesia”, Studia Islamika, Vol. 2, No. 2 (1995), h. 41 dan seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar