PUTM dan Kaderisasi Ulama: Menelusuri Latar Belakang Lahirnya Lembaga Kaderisasi Ulama Muhammadiyah
Oleh:
Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM)
yang hadir sebagai respon atas kelangkaan ulama pada waktu itu, tidak
lahir dari ruang hampa. Dengan kata lain, ada ruang lingkup
sosio-historis yang melatarbelakangi para tokoh di Muhammadiyah,
terutama di Majelis Tarjih untuk membentuk suatu program pendidikan
kader yang fokus untuk mendidik dan ‘mencetak’ ulama-ulama tarjih. Di
usianya yang telah lebih dari setengah abad, PUTM telah mengalami
dinamika yang menempanya menjadi semakin matang.
Berbicara PUTM, bukanlah soal kaderisasi
semata. Ia jauh lebih dari itu; PUTM (sebagaimana diharapkan banyak
orang) bukan saja menjadi tempat munculnya kader biasa, tapi juga kader
intelektual cum ulama yang menjadi penerus gerak ilmu dan
dakwah Muhammadiyah. Dalam semangat itulah, memahami dengan baik latar
belakang munculnya PUTM akan dapat membantu kita untuk menilai apakah
PUTM kini telah berada pada jalur yang tepat; apakah perhatian pada
kaderisasi ulama telah menjadi perhatian bersama dan perhatian utama
persyarikatan; ataukah memang PUTM dan persoalan pentingnya kaderisasi
ulama hanyalah wacana yang selalu didengungkan pada momen-momen tertentu
saja.
Tulisan ini mencoba menelisik latar
belakang munculnya PUTM sebagai lembaga pendidikan kader ulama tarjih.
Dari data-data yang coba penulis telusuri, setidaknya latar belakang
tersebut dapat dibagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu latar belakang
internal dan latar belakang eksternal. Sebagaimana dijelaskan di atas,
tulisan ini bermaksud mengajak para pembaca untuk merefleksikan tentang
kaderisasi ulama dengan berkaca pada latar belakang lahirnya lembaga
kader ulama Muhammadiyah, bernama PUTM.
Latar Belakang Internal
Latar belakang internal perlunya
mendirikan PUTM ini dapat dirincikan menjadi dua; latar belakang
internal tidak langsung dan latar belakang internal langsung.
Latar belakang internal tidak langsung
artinya hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai motif yang tidak
berkaitan secara langsung, tapi masih ada irisannya dengan hal-hal yang
berkaitan dengan pentingnya kaderisasi ulama tarjih. Latar belakang
internal tidak langsung ini dapat terbaca misalnya dari narasi Seroean Madjlis-Tardjih yang disuguhkan dalam majalah Soera Moehammadijah sekitar tahun 1930-an. Sebagai contoh misalnya adalah Seroean Madjlis-Tardjih yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Soera Moehammadijah No. 3 Oktober 1933. Seroean Madjlis-Tardjih tersebut ditunjukkan “kepada sekalian Anggota Madjlis-Tardjih dan segenap Ladjnah-Tardjih Moehamadijah diseloeroeh Indonesia”.
Seroean ini secara substansi
berisi ajakan kepada seluruh ulama atau tokoh yang menjadi anggota
tarjih di berbagai daerah di Indonesia untuk memberikan masukan dan
saran pada materi yang akan dibahas dalam muktamar tarjih yang akan
datang. Materi tersebut “membitjarakan 4 boeah kitab: Thaharah, Sijam,
Zakat, dan Djinazat.” Tidak hanya sekadar memberikan masukan dan saran,
dalam Seroean tersebut Majelis Tarjih Pimpinan Pusat
Muhamadiyah juga meminta kepada seluruh ulama dan tokoh di daerah untuk
menyertakan dalil-dalil terkait.[1]
Dalam hal ini, tampak bahwa harapan
Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah kepada para ulama dan tokoh
tarjih di daerah sangatlah besar. Secara tidak langsung, daerah-daerah
di seluruh Indonesia diharapkan memiliki beberapa ulama atau tokoh yang
mumpuni dalam bidang ketarjihan. Bahkan seruan Majelis Tarjih Pimpinan
Pusat Muhammadiyah kepada daerah-daerah di seluruh Indonesia agar
membentuk Majelis Tarjih dikukuhkan menjadi bagian dari Qa’idah Madjlis
Tardjih Moehammadijah di mana ia merupakan salah satu putusan kongres
Muhammadiyah ke-28 di Medan tahun 1939. Pasal tersebut berbunyi,
“Tiap-tiap Tjabang sewilajahnja soepaja mengadakan badan tardjih terdiri dari setidaknya tiga oelama Tardjih, demikian poela tiap-tiap groep dengan diberitahoekan kepada dan diloeloeskan oleh Tjabang pada tiap-tiap vergadering tahoenan. Badan itoe diseboet Ladjnah Tardjih”.[2]
Harapan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat
Muhammadiyah tersebut sayangnya tidak terealiasi sepenuhnya. Banyak
anggota Majelis Tarjih daerah yang secara kualitas tidak mampu
mengikuti alur dari tokoh dan ulama tarjih yang lain dalam hal keilmuan
ketika berada di muktamar tarjih. Akhirnya mereka pun banyak yang
mengundurkan diri. Hal ini tampak dari pengakuan HM Junus Anis dalam
tulisannya di Soera Moehammadijah berjudul “Asal-Mula: Diadakan Madjlis Tardjih dalam Muhammadijah”,
“Setelah berdjalan 3-5 kali Mu’tamar, anggota2 Madjlis Tardjih jang merasa kurang mampu lalu mengundurkan diri, sedang jang masuk baru daripada Alim Ulama di Tjabang2 sudah dapat diharapkan bernilai lebih tinggi”.[3]
Latar belakang internal tidak langsung
tersebut kemudian dikuatkan dengan latar belakang yang lain, yaitu latar
belakang internal langsung. Latar belakang internal langsung artinya
latar belakang yang berkaitan langsung tentang pentingnya mendirikan
PUTM sebagai program kaderisasi ulama. Setidaknya ada dua pernyataan
tokoh Muhammadiyah yang secara tegas menyatakan bahwa PUTM pada tahun
1968 perlu didirikan.
Pertama, adalah KH Umar Afandi. Pernyataan Umar Afandi ini diriwayatkan secara muttasil
(bersambung) dari para murid-muridnya. Menurut Afandi – sebagaimana
disampaikan oleh H. Muhammad Suprapto atau yang biasa disapa Ibnu
Juraimi, salah satu alumni angkatan pertama PUTM – banyak ulama/kyai
Muhammadiyah yang sudah udzur bahkan sebagian telah meninggal
dunia, di tambah banyak generasi muda Muhammadiyah pada waktu itu tidak
bisa bahasa Arab secara baik dan menguasai turats.[4]
Dengan kata lain menurut Afandi apabila ketiadaan program kaderisasi
ulama ini terus dibiarkan dan tidak diperhatikan, dikhawatirkan
Muhammadiyah akan kehabisan stok ulama yang mumpuni.
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya pada
saat wacana mendirikan PUTM ini bergulir, Muhammadiyah telah memiliki
beberapa sekolah yang concern pada persoalan pendidikan kader,
seperti Qismul Aqra yang pada gilirannya menjadi Mu’alimin Muhammadiyah.
Lembaga ini didirikan langsung oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad
Dahlan. Selanjutnya pada tahun 1951, Majelis Tabligh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah membuat Akademi Tabligh Muhammadiyah (ATM), di mana program
pendidikan ini “diharapkan dapat ikut membantu tebentuknya
mubaligh-mubaligh Muhammadiyah tingkat akademi, di samping pada
tahun-tahun itu Muhammadiyah berkembang di luar negeri, sehingga
diperlukan mubaligh-muballigh yang cakap untuk itu”.
Di samping itu yang tidak kalah penting
untuk dicatat adalah bahwa Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
juga mendirikan apa yang disebut sebagai Madrasah Muballighin.
Didirikannya madrasah ini bertujuan untuk membina tenaga ahli dalam
bidang khusus.[5]
Program pendidikan kader di atas, dirasa
oleh Umar Afandi belum terlalu fokus pada penekanannya untuk mencetak
dan mendidik kader ulama tarjih yang memiliki kualifikasi
seminimal-minimalnya sebagai mujtahid pemula. Pada titik inilah
kemudian, Umar Afandi membawa gagasannya tersebut ke dalam rapat
pengurus Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam rapat
tersebut forum menyetujui gagasan Afandi untuk menggagas PUTM.[6]
Kedua, pernyataan dari KH
Wardan Diponingrat. Setelah mendengarkan gagasan dari Umar Afandi,
Wardan yang pada saat itu diamanahi sebagai ketua Majelis Tarjih
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan ulama-ulama lain di lingkungan Majelis
Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyambut baik gagasan tentang
perlunya program kaderisasi ulama tarjih. Pernyataan Wardan ini dapat
ditemukan dalam tulisannya bertajuk “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih” di majalah Soera Moehammadijah tahun 1968. Dalam tulisannya, Wardan menulis:
“Lain daripada itu, ada satu hal jang hingga sekarang masih tetap mendjadi keprihatinan kita dan jang sewadjarnja pula harus mendjadi pemikiran kita bersama, iaitu pengkaderan Ulama Tardjih, soal mepersiapkan Kader2 Tardjih. Hal ini dirasa amat penting sekali mengingat djumlah Ulama Muhammadijah tidak bertambah, bahkan berkurang karena jang ada tidak sedikit jang telah mendahului kita (meninggal dunia) sedang jang baru belum kelihatan tampak, karena pula dalam angkatan muda tampak gedjala2 kurangnja perhatian dan kurang tertarik kepada persoalan2 hukum agama (Islam). Dalam hal ini PP. Madjlis Tardjih telah merentjanakan pendirian Pendidikan Tinggi (Akademi) Tardjih lengkap dengan susunan curiculumnja dan anggaran belandjanja. Perentjanaan jang telah lengkap itu sedang dalam pertimbangan PP. Muhammadijah. Mengingat kebutuhan akan adanja Pendidikan Tardjih itu semakin medesak, maka untuk sementara sambil menunggu kelengkapannja, PP. Madjlis Tardjih telah mengambil langkah, pendirian Pendidikan Tardjih itu segera dimulai meskipun baru dalam tingkat persiapan”.[7]
Pernyataan Wardan tersebut, selain
menunjukkan kegelisahan dan kekhawatiran tokoh-tokoh tarjih pada waktu
itu terkait kurangnya kader ulama tarjih, juga menunjukkan satu hal:
bahwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah awalnya kurang mendukung atau
menanggapi dengan baik rencana Majelis Tarjih untuk mendirikan program
kaderisasi secara khusus yang diorintesikan untuk mendidik kader ulama
tarjih.
Hal ini tampak dari pengakuan Wardan
bahwa sampai pada waktu dilaunchingnya PUTM, Pimpinan Pusat
Muhammmadiyah belum mendukung secara penuh atau dalam bahasa Wardan
“sedang dalam pertimbangan PP. Muhammadijah”, padahal “kebutuhan akan
adanja Pendidikan Tardjih itu semakin medesak”. Alasannya karena menurut
Pimpinan Pusat Muhammadiyah lebih baik memaksimalkan peran Mu’alimin
Muhammadiyah sebagai garda terdepan pendidikan kader persyarikatan
daripada harus mendirikan lembaga baru yang mungkin belum tentu bisa
berjalan lancar dan membuahkan hasil maksimal secara kuantitas.
Meskipun pada awalnya kurang mendapat
dukungan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, hal tersebut tidak
menyurutkan niat KH Umar Afandi, KH Wardan Diponingrat, KH Hadjid, KH
Baqir Soleh dan ulama-ulama Muhammadiyah lain yang memiliki kegelisahan
yang sama, untuk tetap mendirikan PUTM. Mereka yakin bahwa PUTM ini
berbeda dengan pendidikan kader yang lain di lingkungan Muhammadiyah,
karena PUTM ini output-nya diproyeksikan setara dengan sarjana.
Dengan segala upaya dan ketulusan para
tokoh tarjih awal untuk mewujudkan suatu program pendidikan kader ulama
tarjih, akhirnya pada tanggal 12 Muharram 1388 H atau bertepatan dengan
10 April 1968, Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah resmi didirikan
dengan disaksikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kehadiran Pimpinan
Pusat Muhammadiyah pada saat diresmikannya PUTM ini secara halus dapat
dimaknai sebagai pemberian restu dan dukungan moril kepada Majelis
Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk membuat program kaderisasi
ulama secara khusus. Wardan dalam hal ini menulis,
“Maka pada tgl. 12 Muharram 1388 H atau 10 april 1968 M dengan disaksikan oleh PP. Muhammadijah, Pendidikan Kader Ulama Tardjih tersebut diatas telah dimulai serta dibuka dan diresmikan berdirinja dengan nama PENDIDIKAN ULAMA TARDJIH MUHAMMADIJAH berkedudukan di Jogjakarta. Penghargaan PP. Muhammadijah Madjlis Tardjih, hendaknja atas inisiatip Pimpinan Madjlis Tardjih Wilajah dan Daerah dapat pula didirikan Pendidikan Ulama Tardjih sematjam diatas ditempatnja masing2. Fatabiqul Chairat”.[8]
Latar Belakang Eksternal
Latar belakang eksternal maksudnya
adalah hal-hal atau faktor-faktor dari luar yang secara langsung maupun
tidak langsung turut mendorong muncul dan lahirnya program kaderisasi
ulama tarjih (PUTM) di lingkungan Muhammadiyah. Latar belakang ini
tampaknya cukup erat kaitannya dengan kiprah Muhammadiyah dan
anggota-anggotanya bersinggungan dengan politik praktis.
Jika menilik secara historis pada
pergerakan Muhamadiyah di tahun-tahun menjelang diresmikannya PUTM, akan
dijumpai satu fakta bahwa pada masa-masa tersebut Muhammadiyah sedang
cukup erat bersinggungan dengan partai politik. Di antara keputusan
sidang Tanwir pada tahun 1956 di Yogyakarta menunjukkan pada hal
tersebut. Dua butir keputusan sidang tanwir yang berkaitan erat dengan
poitik adalah bahwa: (a) anggota-anggota Muhammadiyah yang akan aktif di
bidang politik dianjurkan supaya masuk partai politik Islam, dan (2)
perlu dipelihara hubungan baik antara Muhammadiyah dengan Masyumi.
Eratnya hubungan antara anggota
Muhammadiyah dengan partai politik memuncak pada sekitar tahun
1966-1967. Pada tahun 1967, karena merasa tidak ada partai politik yang
sejalan dengan arah pergerakannya, Muhammadiyah kemudian menjadi –
meminjam isitilah Pasha dan Darban – “tulang punggung” utama berdirinya
Partai Muslimin Indonesia. Persentuhannya dengan partai politik yang
cukup kentara ini, menjadikan Muhammadiyah tidak hanya tampil sekadar
sebagai gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar tapi juga sekaligus
memliki fungsi politik riil. Bahkan pada masa-masa itu, sekitar tahun
1966-1967 Muhammadiyah akrab dikenal sebagai ormaspol, yaitu “organisasi
kemmasyarakatan yang juga berfungsi sebagai partai politik” – meskipun
Muhamadiyah tetap tidak melebur menjadi partai politik.
Keterlibatan Muhammadiyah atau lebih
tepatnya anggota-anggota Muhammadiyah dalam politik praktis, menurut Din
Syamsuddin, lebih merupakan implementasi dari spirit dakwah
Muhammadiyah yang melihat bahwa politik adalah bagian integral dari
kehidupan beragama.[9]
Pergolakan politik menjelang berdirinya
PUTM ini secara langsung maupun tidak mempengaruhi perhatian para
anggota dan tokoh Muhammadiyah. Fokus mereka terpecah antara mendukung
dan berkecimpung dalam partai politik Islam di satu sisi, dan di sisi
yang lain menyiapkan diri secara kapasitas keilmuan keagamaan sebagai
bentuk pemenuhan terhadap Seroean Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada titik inilah fenomena krisis ulama di lingkungan Muhammadiyah semakin tampak.
[1] Soera Moehammadijah, No. 4 (Rajab 1352 H / Oktober 1933), Tahun ke-XV, h. 113.
[2] Soera Moehammadijah, No. 3 (Rabiul Awal 1359 H / April 1940), Tahun ke-XXII, h. 82.
[3] HM Junus Anis, “Asal-Mula: Diadakan Madjlis Tardjih dalam Muhammadijah”, dalam Soera Moehammadijah, No. 6 (Maret 1972), Tahun ke-52, h. 3 dan 13.
[4]
Wawancara dengan Ibnnu Juraimi ini dikutip dari Sabaruddin,
“Kontinuitas dan Perubahan Pendidikan Pesantren (Kasus Pondok Pesantren
Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta)” Jurnal Pendidikan Agama Islam,
Vol. 6, No. 1 (2009), h. 151. Pengakuan Umar Affandi tersebut juga
diriwayatkan oleh murid-muridnya yang lain, seperti Syatibi – thalabah
angkatan pertama bersama Ibnu Juraimi – dan lain sebagainya. Ia telah
menjadi semacam khabar masyhur – meminjam istilah dalam ilmu hadis – di kalangan thalabah PUTM.
[5]
Sabaruddin, “Kontinuitas dan Perubahan Pendidikan Pesantren (Kasus
Pondok Pesantren Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta)”, h. 152.
[6] K.H.M Wardan, “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih”, dalam Soera Moehammadijah, No. 15-16 (Agustus 1968), h. 25.
[7] K.H.M Wardan, “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih”, h. 25.
[8] K.H.M Wardan, “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih”, dalam Soera Moehammadijah, No. 15-16 (Agustus 1968), h. 25.
[9] M. Din Syamsuddin, “The Muhammadiyah Da’wah and Allocative Politics in the New Order Indonesia”, Studia Islamika, Vol. 2, No. 2 (1995), h. 41 dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar