KYAI
SUPRAPTO DAN PUTM: TUJUH FALSAFAH AJARAN KH SUPRAPTO IBNU JURAIMI
K.H. Suprapto Ibnu Juraimi, biasa juga dipanggil Ustadz Prapto atau Ustadz Ibnu
Juraimi, adalah mudir ke-2 (1990-1993) dan ke-4 (2003-2009) Pendidikan Ulama
Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Beliau juga
adalah alumni angkatan 1 (1968-1970) pada lembaga tersebut, dibawah asuhan KH.
Umar Afandi (selaku mudir) dan KHR. Hadjid. Kedua sosok tersebut begitu
berkesan dan berpengaruh dalam kehidupan beliau, termasuk dalam membimbing
murid-muridnya.
Berangkat dari keprihatinan KH. Umar
Afandi (salah satu anggota Majelis Tarjih PPM) atas kelangkaan ulama dikalangan
Muhammadiyah saat itu, yang kemudian didukung oleh tokoh-tokoh lainnya seperti
KHR. Hadjid, Kyai Baqir Shaleh, Kyai Wardan Diponingrat, Majelis Tarjih yang
diketuai oleh KH. RM. Wardan Diponingrat, mendirikan Pendidikan Ulama Tarjih
Muhammadiyah pada tahun 1968 dengan menunjuk KH. Umar Afandi sebagai mudirnya.
Dengan demikian, pada tahun 1968, Muhammadiyah secara resmi mendirikan lembaga
kaderisasi ulama yang diberi nama “Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM)”
di bawah kepemimpinan KH. AR. Fakhruddin yang melanjutkan kepememimpinan KH.
Faqih Usman.
Sebagai alumni PUTM angkatan
pertama, sekaligus sebagai murid dari KHR. Hadjid (murid termuda KHA. Dahlan),
Ustadz Ibnu Juraimi memiliki celupan yang kuat terhadap murid-muridnya. Selain
mewariskan ilmu, beliau juga mewariskan petuah-petuah yang sangat berguna bagi
kami dan para mujahid lainnya. Semoga amal baiknya menjadi jariyah tak
terhingga. Amin.
Berikut ini kami tuliskan Tujuh
Falsafah Ajaran KH S. Ibnu Juraimi yang telah kami peroleh selama menimba ilmu
di hadapan beliau.
Pertama, paksakan dirimu walaupun
hatimu belum mau.
Kalimat ini termasuk petuah-petuah
awal yang kami terima pada masa percobaan di Pendidikan Ulama Tarjih
Muhammadiyah di bawah asuhan KH S. Ibnu Juraimi. Menurutnya, kebaikan
harus dipaksakan melalui riyādhah (pembiasaan) berupa pemaksaan terhadap
anggota badan.
Menurutnya, tidak mengapa bila
melaksanakan kebaikan dengan terpaksa di awal. Kami yang tidak terbiasa puasa
Senin-Kamis, tahajud, dzikir, dan duduk sila berjam-jam harus memaksa kan diri
untuk melakukan semua itu. Begitu pula, kami yang terbiasa bersantai ria harus
memaksakan diri hidup dengan rutinitas sesuai arahan beliau, dalam waktu yang
sangat lama (empat tahun).
KH S. Ibnu Juraimi memang
menggunakan metode pemaksaan terutama di awal-awal pendidikan. Sikap beliau
saat mengajar sangat jauh berbeda dengan sikap beliau di luar ruang kelas. Saat
mengajar, beliau begitu keras, bersuara tinggi, dan sesekali memarahi. Namun,
pada saat di luar kelas, Ustadz Ibnu Juraimi begitu lembut dan santun. Kami
para muridnya, terkadang sulit menyesuaikan diri dengan dua kepribadian beliau
yang tadhad tersebut.
Kedua, kekuatanmu ada pada
tahajudmu.
Kyai Suprapto adalah orang yang
sangat mencintai tahajud. Di masa sakitnya sekalipun, beliau tidak meninggalkan
ibadah tersebut. Setiap ada acara-acara persyarikatan yang melibatkan beliau,
pastilah pak Kyai tidak lupa menggerakkan peserta untuk melaksanakan tahajud.
Bacaan al-Quran beliau sangat khas, sekali saja menjadi makmumnya pasti membawa
kesan dalam masa yang panjang.
Mengenai pentingnya tahajud bagi
para mujahid dakwah (menurutnya, istilah itu diperkenalkan oleh Amin
Rais), tidak bisa lepas dari Qs. Al-Mudatsir.
Melalui kajian surat tersebut, pak
Kyai menanamkan kepada kami para santrinya bahwa Janji Allah itu pasti.
Menurut surat Al-Mudatsir, ibadah
tahajud mengantarkan pada kemuliaan (maqāman mahmūda), memberi pengaruh
pada perilaku (asyaddu wath'an), memberikan sibghah (bobot) pada ucapan
(aqwamu qīlan). Menurutnya, para mujahid dakwah sangat memerlukan ketiga
hal tersebut. Karena itu, berulang kali beliau mengingatkan agar membekali diri
dengan tahajud sebelum tampil ke gelanggang perjuangan.
Ketiga, pakai kopiahmu sembari
jagalah pandanganmu.
Kopiah adalah identitas kethalabahan
(thalabah; sebutan bagi peserta Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah)
sekaligus simbol muru'ah, dan pelengkap rasa malu. Sebagai murid, kami
tahu betul betapa Pak Kyai ingin menjaga kami dari pergaulan yang salah.
Perpaduan antara kopiah di kepala dan kebiasaan menundukkan pandangan adalah
benteng pertahanan kepribadian.
Menurutnya, cobaan terbesar bagi
para pemuda adalah syahwatnya. Karena itu, Pak Kyai selalu mewanti-wanti agar
menundukkan pandangan dimana saja kami berada. Jangan mudah tergoda dengan si
bainol (perempuan cantik), jangan jelalatan, kata beliau. Seolah Pak Kyai ingin
mengatakan bahwa kebersihan hati melahirkan ketajaman mata batin (firasat).
Setelah berpisah dengan beliau
sembilan tahun lamanya, barulah kami mulai menyadari betapa penting kekuatan
firasat dalam mengarungi medan dakwah yang penuh godaan dan tantangan.
Soal pengaruh syahwat bagi para
pemuda, Pak Kyai selalu membawa pikiran kami pada peristiwa yang dialami oleh
Nabiyullah Yususf as. Selevel Yusuf saja hampir takluk saat berhadapan dengan
Zulaikha. Untung saja, Allah berkenan mengirimkan burhan kepadanya
sehingga mampu berpaling dari kebinasaan.
Keempat, al-Qur'an tidak cukup
dilagukan, dihafalkan, dan diseminarkan.
Pak Kyai termasuk ulama yang tidak
meninggalkan karya tulis. Kami pun para santrinya tidak pernah menanyakan hal
tersebut. Walau demikian, Pak Kyai mempunyai tulisan ringan tentang bagaimana
memperlakukan al-Quran. Tulisan itu satu-satunya karya beliau yang kami
ketahui. Melalui karya kecil itu, tergambar bagaimana perasaan beliau kepada
al-Quran.
Menurutnya, kekuatan al-Quran
terletak pada namanya yang menandakan bahwa ia adalah kitab yang harus dibaca
dengan mentadabburinya. Al-Quran harus diamalkan dan diperjuangkan.
Pak Kyai sering mengutip ungkapan
Ibn Taimiyah, "Siapa yang tidak membaca al-Quran, sungguh ia telah
meninggalkan al-Quran. Siapa yang membaca al-Quran tetapi tidak memahami
kandungannya, sungguh ia telah meninggalkan al-Quran. Siapa yang membaca
al-Quran, memahami isinya, tetapi tidak mengamalkannya, sungguh ia telah
meninggalkan al-Quran”.
Namun, bagi KH S. Ibnu Juraimi,
mengamalkan saja tidak cukup, al-Quran harus diperjuangkan.
Karena itu, beliau melanjutkan
ungkapan Ibn Taimiyah tersebut, “Siapa yang membaca al-Quran, memahami
kandungannya, mengamalkan al-Quran tapi tidak memperjuangkannya, sungguh ia
telah meninggalkan al-Quran". Demikianlah, betapa tinggi rasa beliau
terhadap al-Quran.
Kelima, orang terdekatmu adalah
isterimu.
Pak Kyai selalu mengatakan kepada
kami, “Isteri adalah orang yang mengetahui persis tentang suaminya, dari
gaya hingga modelnya". Karenanya, kehormatan suami ada pada isterinya.
Seolah pak Kyai ingin mengatakan kepada murid-muridnya, bahwa perjuangan dalam
mengemban amanah ditopang oleh keberadaan sosok isteri.
Seingat kami, Pak Kyai tidak pernah
menceritakan liku-liku perjuangan yang beliau hadapi di tengah-tengah umat.
Akan tetapi, sekali waktu kami mendengar Bu Nyai bercerita tentang suka duka
yang mereka alami di gelanggang perjuangan. Dari cerita itu kami menyadari
betapa isteri punya peran penting bagi ketegaran para mujahid.
Pak Kyai amat sering mengungkit
kisah Umar ra. "Bersikaplah pada isterimu layaknya Umar ra bersikap
pada isterinya. Sosok Umar yang tampak perkasa di hadapan siapa pun,
ternyata hanya diam mendengarkan saat isterinya marah. Bahkan, andai kamu
mampu, siapkan makanan untuk isterimu dan pakaikan pakaian untuknya".
Keenam, jangan ghibah.
Terhadap ghibah, Pak Kyai
betul-betul mengingatkan agar kami menjauhinya. Hampir di setiap keadaan, entah
dengan mimik serius maupun sambil guyon (bercanda), kami diingatkan agar tidak
melakukan ghibah (Jawa; ngrasani).
Menurutnya, ghibah erat kaitannya
dengan kehormatan sesama muslim. Pak Kyai sangat menjunjung tinggi kehormatan
setiap muslim. Sering beliau mengutip sabda Nabi saw, “Siapa yang menutupi
aib saudaranya (muslim), Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat”.
Nasehat-nasehat beliau begitu
membekas di hati kami saat itu, hingga kemudian memberi pengaruh yang begitu
kuat saat kami telah selesai dari pendidikan.
Ketujuh, buatlah pondok.
Pada akhir-akhir masa pendidikan,
Pak Kyai sering menyampaikan bahwa, “kamu (kalian) tidak cukup ada di
Majelis Tarjih, rapat sana rapat sini, sidang ini, sidang itu, kamu harus buat
pondok”.
Sebagai alumni pendidikan Tarjih,
hal itu cukup mengganggu pikiran kami saat itu, alumni Tarjih tetapi diberi
pesan untuk membuat pondok (pesantren). Nampaknya, pesan beliau tersebut bukan
tanpa alasan. KH S. Ibnu Juraimi adalah sosok tokoh Persyarikatan yang begitu
besar perhatiannya terhadap kaderisasi Muhammadiyah di satu sisi, dan
perhatiannya kepada kaum muslimin yang begitu kokoh.
Beliau, di banyak kesempatan, selalu
mengutarakan pertanyaan kepada para pimpinan Persyarikatan dan pimpinan AUM, “Dari
sekian banyak sarjana yang diluluskan Muhammadiyah setiap tahun, berapa yang
berkiprah untuk Persyarikatan?”
Karena keprihatinan itulah, hingga
akhir hayatnya, beliau ingin agar PUTM tetap menjadi lembaga kaderisasi Muhammadiyah
yang mandiri (tidak bercampur dengan kegiatan Universitas). Hal itu sering
beliau ungkapkan dengan istilah "PUTM is PUTM".
Sedangkan terhadap kaum muslimin, KH
S.Ibnu Juraimi betul-betul menginginkan tegaknya izzah kaum muslimin.
Pak Kyai sering mengutip potongan
riwayat (dhaif) dari Khuzaifah dalam kitab Al-Mustadrak karya Imam Hakim, “Barangsiapa
yang tidak memperhatikan (abai) urusan kaum muslimin, maka ia bukan bagian dari
mereka”. Bahkan sedemikian pesar perhatiannya terhadap persoalan itu,
sampai-sampai kalimat tersebut ia pasang di ruang tamunya. Setiap orang yang
datang ke rumah beliau, diduga keras akan membaca kalimat tersebut.
Sehingga harapan KH S. Ibnu Juraimi
sesungguhnya adalah bahwa Pondok Pesantren merupakan sarana yang paling baik
untuk meraih dua hal di atas: penguatan internal Persyarikatan dan perhatian
(simpati-empati) terhadap urusan kaum muslimin.
Pesan KH S. Ibnu Juraimi begitu
jelas bagi kami dan kita semua bahwa pesantren harus melahirkan mujahid-mujahid
yang siap menegakkan dan membela kalimah Allah sehingga terwujud izzatul
Islam wal muslimin.
Asrul Jamaluddin, M.Hum.
Alumni Pendidikan Ulama Tarjih
Muhammadiyah
Sumber: http://langsa-kota.muhammadiyah.or.id/artikel-kyai-suprapto-dan-putm-tujuh-falsafah-ajaran-kh-suprapto-ibnu-juraimi-detail-1035.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar