Fiqih Muhammadiyah, Wawancara Ketua Majelis Tarjih Tajid PP Muhammadiyah
Bagi muhammadiyah perubahan perubahan keputusan keputusan yang lain adalah hal yang biasa, termasuk dalam hal fiqih , asalkan berkesesuaian dengan sumber utamanya Alquran dan Sunnah Makbullah. Dalam ibadah mahda harus sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah (pemurnian). Dan diluar ibadah mahdah dalam rangka dinamisasi masyarakat awam, hal ini sering dipertanyakan. Kenapa demikian? Kenapa ini berbeda dengan yang dahulu?
Untuk lebih jauh mengetahui tentang fiqih muhammadiyah tersebut, kami mewawancarai ketua majelis tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr H Syamsul Anwar, MA. Berikut ini sejumlah penjelasan tentang fiqih Muhammadiyah:
Ada yang mempertanyakan, kenapa fiqih Muhammadiyah sekarang ini
berbeda dengan fiqih era KH Ahmad Dahlan. Dulu KH Ahmad Dahlan shalat
terawih 20 rakaat, kini 8 rakaat, dulu KH Ahmad Dahlan shalat shubuh
pakai qunut, kini tidak, apakah ini berarti sudah melenceng dari ajaran
KH Ahmad Dahlan?
Yang perlu dicatat, bahwa fiqih Muhammadiyah sebagaiman fiqih pada
umumnya. Itu yang paling pokoknya. Tetapi seperti halnya fiqih-fiqih
yang ada. Tentu ada perbedaan di sana sini dengan fiqih yang lain. Fiqih
Muhammadiyah itu sesuai dengan identitas Muhammadiyah sebagai gerakan
tajdid. Maka dari zaman ke zaman selalu berupaya melakukan tajdid.
Karenanya bisa saja kajian saat ini berbeda dengan kajian sebelumnya.
Apa yang dicapai oleh generasi yang lalu, bisa saja diubah oleh generasi
berikutnya tentu saja dengan kajian yang lebih dapat di pertanggung
jawabkan keabsahan alasan atau dalilnya.
Muhammadiyah dalam hal fiqih tidak merujuk pada seseorang, tetapi
murujuk pada dalil-dalil dalam Alquran dan Sunnah Makbullah.
Muhammadiyah itu akan terus menerus melakukan kajian, baik itu di bidang
ibadah khusus dan akidah ataupun dibidang ibadah social. Karenanya,
ketika suatu fiqih telah ditetapkan bias saja di kemudian hari dapat
berubah ketika menemukan dalil-dalil yang lebih dapat diterima. Apalagi
jika fiqih tersebut belum merupakan keputusan persyarikatan dan masih
berupa ajaran ajaran ulama pada saat itu, tentu akan lebih mungkin
berubah ajaran tersebut ketika dalam kajian Muhammadiyah menemukan
dalil yang lebih tepat dan berbeda dengan ajaran yang selama ini telah
berlaku.
Apa yang dilakukan Muhammadiyah ini, tidak bertentangan dengan ajaran KH
Ahmad Dahlan yang juga sudah menjadi identitas Muhammadiyah. Yaiut
ajaran tajdid ini Muhammadiyah membagi dua bagian atau dengan kata lain
tajdid itu mempunyai dua makna. Tajdid di bidang ibadah Mahdah atau
ibadah Khusus dan juga dalam Aqidah, Muhammadiyah memilih ibadah
sebagaimana yang dilakukan dan diajarkan Rasulullah melalui AL-Quran dan
Sunnah Makbullah.
Langkah ini biasa disebut pemurnian. Sedangkan tajdid dibidang muamalah
atau kehidupan social, ini lebih bebas dilakukan. Tajdid dibidang ini
kita kenal sebagai dinamisasi kehidupan social kemasyarakatan umat, dan
Muhammadiyah sebetulnya pada awalnya lebih dikenal dalam gerakan
pembaruaan dibidang social ini.
Jadi selama ini yang dilakukan KH Ahmad Dahlan masih terfokus pada
tajdid dibidang sosial dibanding tajdid dibidang ibadah Mahdlah?
Karena waktu tenaga dan dana yang terfokus pada bidang-bidang sosial ini, maka KH Ahmad Dahlan belum sempat melakukan kajian-kajian dibidang ibadah Mahdlah ini. Sehingga apa yang dilakukan kiai masih seperti yang diajarkan atau diterima dari ulama-ulama pendahulunya. Karena memang kajian seperti ini banyak menyita waktu. Kajian-kajian fiqih di bidang ibadah khusus mulai dilakukan ketika tajdid dibidang social sudah mulai tertata. Ide pendirian Majelis Tarjih yang bertugas mengkaji dalam bidang ini muncul tahun 1927 dan b aru terbentuk kepengurusan tahun 1928 yang diketuai oleh KH Mas Mansur. Sejak itu, kajian-kajian yang dilakukan lebih intensif.
Apakah yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam meluruskan kiblat shalat
dan yang terakhir dalam era Muhammadiyah saat ini dalam penetapan awal
bulan itu bukan ibadah mahdlah sehingga ada perbedaan dengan yang
lainnya?
Demikian pula cara penentuan awal bulan. Awal bulannya, merupakan syarat syar’I untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan atau shalat Id Fitri(termasuk ibadah madlah),tetapi penentuan awal bulannya termasuk kategori dinamisasi kehidupan masyarakat. Caranya bisa berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pada waktu itu.
Apakah setelah dilakukan kajian-kajian oleh muhammadiyah secara
khusus tentang fiqih ini menghasilkan hanya satu keputusan tentang
sesuatu?
Bahkan karena Muhammadiyah terus menerus melakukan kajian, maka shalat Trawih yang empat rakaat itu juga menimbuilkan pertanyaan, apakah ada tasyahud awal seperti pada shalat wajib empat rakaat atau tidak. Kajian-kajian semacam ini biasa dilakukan Muhammadiyah untuk mencari kesesuaian atau paling sesuai dengan ibadah yang dilakukan Rasulullah/ seperti dalam hal shalat tarawih 8 rakaat, 20 rakaat, 36 rakaat dan 40 rakaat mana yang sesuai.
Ternyata setelah dilakukan kajian secara terus menerus, tidak pernah satu kali pun Rasulullah SAW melakukan shalat tarawih lebih dari 8 rakaat. Demikian pula yang dilakukan para sahabat, bahkan termasuk yang dilakukan Umar bin Khattab tetap 8 rakaat. Tetapi memang Khalifah Umar bin Khatab pernah melakukan penyatuan shalat dalam satu masjid yang tadinya dilakukan secara spordis. Namun demikian rakaatnya tetap 8 rakaat, tidak ditambah-tambah, hanya saja di dalam kajian tentang pelaksanaanya ada beberapa variasi, oleh karena itu Muhammadiyah menetapkan rakaat tarawih 8 rakaat dan pelaksanaannya bisa dilakukan secara tanawwuh( dimungkinkan berbeda antara satu dengan yang lain) dua-dua atau empat empat.
Sumber: https://sangpencerah.id/2015/05/fiqih-muhammadiyah-ketua-majelis-tarjih-tajdid/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar