Rabu, 04 Maret 2020

Fiqih Muhammadiyah, Wawancara Ketua Majelis Tarjih Tajid PP Muhammadiyah

 Fiqih Muhammadiyah, Wawancara Ketua Majelis Tarjih Tajid PP Muhammadiyah






Bagi muhammadiyah perubahan perubahan keputusan keputusan yang lain adalah hal yang biasa, termasuk dalam hal fiqih , asalkan berkesesuaian dengan sumber utamanya Alquran dan Sunnah Makbullah. Dalam ibadah mahda harus sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah (pemurnian). Dan diluar ibadah mahdah dalam rangka dinamisasi masyarakat awam, hal ini sering dipertanyakan. Kenapa demikian? Kenapa ini berbeda dengan yang dahulu?

Untuk lebih jauh mengetahui tentang fiqih muhammadiyah tersebut, kami mewawancarai  ketua majelis tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr H Syamsul Anwar, MA. Berikut ini sejumlah penjelasan tentang fiqih Muhammadiyah:

Ada yang mempertanyakan, kenapa fiqih Muhammadiyah sekarang ini berbeda dengan fiqih era KH Ahmad Dahlan. Dulu KH Ahmad Dahlan shalat terawih 20 rakaat, kini 8 rakaat, dulu KH Ahmad Dahlan shalat shubuh pakai qunut, kini tidak, apakah ini berarti sudah melenceng dari ajaran KH Ahmad Dahlan?
 
Yang perlu dicatat, bahwa fiqih Muhammadiyah sebagaiman fiqih pada umumnya. Itu yang paling pokoknya. Tetapi seperti halnya fiqih-fiqih yang ada. Tentu ada perbedaan di sana sini dengan fiqih yang lain. Fiqih Muhammadiyah itu sesuai dengan identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Maka dari zaman ke zaman selalu berupaya melakukan tajdid. Karenanya bisa saja kajian saat ini berbeda dengan kajian sebelumnya. Apa yang dicapai oleh generasi yang lalu, bisa saja diubah oleh generasi berikutnya tentu saja dengan kajian yang lebih dapat di pertanggung jawabkan keabsahan alasan atau dalilnya.
 
   Muhammadiyah dalam hal fiqih tidak merujuk pada seseorang, tetapi murujuk pada dalil-dalil dalam Alquran dan Sunnah Makbullah. Muhammadiyah itu akan terus menerus melakukan kajian, baik itu di bidang ibadah khusus dan akidah ataupun dibidang ibadah social. Karenanya, ketika suatu fiqih telah ditetapkan bias saja di kemudian hari dapat berubah ketika menemukan dalil-dalil yang lebih dapat diterima. Apalagi jika fiqih tersebut belum merupakan keputusan persyarikatan dan masih berupa ajaran ajaran ulama pada saat itu, tentu akan lebih mungkin berubah  ajaran tersebut ketika dalam kajian Muhammadiyah menemukan dalil yang lebih tepat dan berbeda dengan ajaran yang selama ini telah berlaku.
 
Apa yang dilakukan Muhammadiyah ini, tidak bertentangan dengan ajaran KH Ahmad Dahlan yang juga sudah menjadi identitas Muhammadiyah. Yaiut ajaran tajdid ini Muhammadiyah membagi dua bagian atau dengan kata lain tajdid itu mempunyai dua makna. Tajdid di bidang ibadah Mahdah atau ibadah Khusus dan juga dalam Aqidah, Muhammadiyah memilih ibadah sebagaimana yang dilakukan dan diajarkan Rasulullah melalui AL-Quran dan Sunnah Makbullah. 
 
Langkah ini biasa disebut pemurnian. Sedangkan tajdid dibidang muamalah atau kehidupan social, ini lebih bebas dilakukan. Tajdid dibidang ini kita kenal sebagai dinamisasi kehidupan social kemasyarakatan umat, dan Muhammadiyah sebetulnya pada awalnya lebih dikenal dalam gerakan pembaruaan dibidang social ini. 
 
Jadi selama ini yang dilakukan KH Ahmad Dahlan masih terfokus pada tajdid dibidang sosial dibanding tajdid dibidang ibadah Mahdlah?
 
    Gerakan tajdid yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan pada saat itu memang lebih terfokus kepada gerakan tajdid dibidang sosial. Gerakan tajdid ini utamanya dibidang pendidikan yang menyita waktu tersendiri bagi KH Ahmad Dahlan, karena ia harus meletakan dasar-dasarsendiri bersama para pengurus Muhammadiyah pada waktu itu. Yang kesemua gerakannya langsung ditangani Pimpinan pusat. Demikian pula dengan gerakan social yang lain, seperti penyantunan anak yatim dan fakir miskin, masih dilakukan dengan tenaga dan dana yang terbatas.

    Karena waktu tenaga dan dana yang terfokus pada bidang-bidang sosial ini, maka KH Ahmad Dahlan belum sempat melakukan kajian-kajian dibidang ibadah Mahdlah ini. Sehingga apa yang dilakukan kiai masih seperti yang diajarkan atau diterima dari ulama-ulama pendahulunya. Karena memang kajian seperti ini banyak menyita waktu. Kajian-kajian fiqih di bidang ibadah khusus mulai dilakukan ketika tajdid dibidang social sudah mulai tertata. Ide pendirian Majelis Tarjih yang bertugas mengkaji dalam bidang ini muncul tahun 1927 dan b aru terbentuk kepengurusan tahun 1928 yang diketuai oleh KH Mas Mansur. Sejak itu, kajian-kajian yang dilakukan lebih intensif. 
 
Apakah yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam meluruskan kiblat shalat dan yang terakhir dalam era Muhammadiyah saat ini dalam penetapan awal bulan itu bukan ibadah mahdlah sehingga ada perbedaan dengan yang lainnya?
 
    Shalat menghadap kiblat itu merupakan ketentuan syar’I untuk melaksanakan shalat sebagai ibadah mahdlah. Tetapi cara penentuan arah kiblatnya bukanlah termasuk ibadah mahdlah. Maka cara penentuan arah kiblat itu di dalam muhammadiyah termasuk dinamisasi kehidupan masyarakat. Caranya bisa berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pada waktu itu.

    Demikian pula cara penentuan awal bulan. Awal bulannya, merupakan syarat syar’I untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan atau shalat Id Fitri(termasuk ibadah madlah),tetapi penentuan awal bulannya termasuk kategori dinamisasi kehidupan masyarakat. Caranya bisa berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pada waktu itu. 
 
Apakah setelah dilakukan kajian-kajian oleh muhammadiyah secara khusus tentang fiqih ini menghasilkan hanya satu keputusan tentang sesuatu?
 
    Di Muhammadiyah ini ada prinsi[ tanawuh fil ibadah atau keberagaman dalam beribadah. Tanawwuh itu artinya pluaritas sepanjang ada contoh dari Rasulullah Muhammad SAW, meski kadang juga ada yang satu keputusan organisasi. Misalnya tentang shalat terawih, keputusan organisasi hanyalah satu yaitu 8 rakaat. Sedangkan pelaksanaannya dilakukan secara tanawwuh (pluaritas) sebagaimana contoh Rasulullah, boleh dua-dua atau empat-empat .contoh lain dalam doa iftitah didalam sholat juga ada beberapa pilihan, Allahumma ba’id atau wajahtu. Itulah pluralitas dalam ibadah, asal ada dasar dari sunnah Rasulullah yang makbullah bisa diterima dan di jalankan sesuai pilihan.

    Bahkan karena Muhammadiyah terus menerus melakukan kajian, maka shalat Trawih yang empat rakaat itu juga menimbuilkan pertanyaan, apakah ada tasyahud awal seperti pada shalat wajib empat rakaat atau tidak. Kajian-kajian semacam ini biasa dilakukan Muhammadiyah untuk mencari kesesuaian atau paling sesuai dengan ibadah yang dilakukan Rasulullah/ seperti dalam hal shalat tarawih 8 rakaat, 20 rakaat, 36 rakaat dan 40 rakaat mana yang sesuai.

    Ternyata setelah dilakukan kajian secara terus menerus, tidak pernah satu kali pun Rasulullah SAW melakukan shalat tarawih lebih dari 8 rakaat. Demikian pula yang dilakukan para sahabat, bahkan termasuk yang dilakukan Umar bin Khattab tetap 8 rakaat. Tetapi memang Khalifah Umar bin Khatab pernah melakukan penyatuan shalat dalam satu masjid yang tadinya dilakukan secara spordis. Namun demikian rakaatnya tetap 8 rakaat, tidak ditambah-tambah, hanya saja di dalam kajian tentang pelaksanaanya ada beberapa variasi, oleh karena itu Muhammadiyah menetapkan rakaat tarawih 8 rakaat dan pelaksanaannya bisa dilakukan secara tanawwuh( dimungkinkan berbeda antara satu dengan yang lain) dua-dua atau empat empat.

Sumber:  https://sangpencerah.id/2015/05/fiqih-muhammadiyah-ketua-majelis-tarjih-tajdid/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar