ZAKAT GAJI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh : Dr. Sobhan Lubis
Oleh : Dr. Sobhan Lubis
(Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Periode 2015-2020)
A. Peristilahan Zakat dalam al-Qur’an.
Ungkapan-ungkapan yang biasa diartikan atau sinonim dengan zakat dalam al-Qur’an sangat beragam, yaitu :
1. Diungkapkan dengan kata Zakat dan yang seakar dengannya, terdapat sebanyak 54 kali. Sebanyak 31 kali dengan kata zakat (az-zakat). Tidak satu pun di antaranya yang berbentuk fi’il amar (kalimat perintah), sekalipun ada yang dipahami sebagai amar (perintah) adalah pada kalimat-kalimat yang dijadikan kata zakat itu sebagai objek, terdapat sebanyak tujuh kali atau perintah yang berasal dari khabariyah (kalimat-kalimat berita).
2. Diungkapkan dengan kata shadaqah dan yang seakar dengannya, terdapat sebanyak 145 kali. Sebanyak 14 kali shadaqah atau shadaqat (dalam bentuk jama’ – banyak). Dengan kata ini tidak ada ditemui yang berbentuk fi’il amar (kalimat perintah). sekalipun ada yang dipahami sebagai amar (perintah) hanyalah berasal dari khabariyah (kalimat-kalimat berita).
3. Diungkapkan dengan kata infaq dan yang seakar dengannya, terdapat sebanyak 93 kali. Hanya satu kali dalam al-Qur’an kata al-Infaq, yaitu dalam surat al-Isra’ : 100. Terdapat 10 kali kalimat perintah yang terbangun dari kata infaq tersebut, sembilan kali dengan fi’il amar (kalimat perintah) dan terdapat satu kali fi’il mudhari’ (kalimat berita) yang memakai lam amr (yang menunjukkan arti perintah).
B. Mengusut Makna Kata Zakat, Shadaqah dan Infaq.
Kata zakat sebelum disebutkan sebagai pemberian yang wajib dikeluarkan dari harta benda atau kekayaan adalah isim masdar dari kata زكى (zakka) يزكى (yuzakki) تزكية (tazkiyah). Artinya ialah :”membersihkan”. Sehubungan dengan ini Allah swt berfirman dalan surat asy-Syams : 9 :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (٩)
(Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu),
Muhammad Syauqy al-Fanjariy menyebutkan bahwa zakat ialah : Menurut etimologi adalah berkembang, suci, membentengi harta benda, bukti bersyukur kepada Allah dan dalam pelaksanaannya akan menimbulkan berkah”. (Muhammad Syauqy al-Fanjariy, Al-Islam wa adh-Dhaman al-Ijtima’iy, (Riyadh, Dar ats-Tsaqif, 1980), h.39)..
Kata shadaqah berasal dari kata صدق (shadaqa). Al-Khalil an-Nahwiy, menjelaskan maknanya dengan :” Menyampaikan sesuatu sesuai dengan yang terjadi, apa adanya. Lawannya adalah bohong).(al-Khalil : 285). Dalam redaksi lain disebutkan pula, bahwa shidq ialah :”Kesesuaian antara bisikan hati dengan yang disampaikan, bila satu syarat darinya hilang maka tidak lagi disebut dengan shidq”. (Al-Ashfahaniy : 478). Ibn Taimiyah menyebutkan, :”Di antara yang penting untuk diketahui adalah mengetahui bahwa shidq adalah keseragaman antara (hati), perkataan dan perbuatan”. (Majmu’ al-Fatawa : 311).
Berarti bila dilihat kedekatan hubungan antara kata shidq dengan kata shadaqah maka dapat dikatakan, bahwa shadaqah bukanlah benda tetapi sikap hati yang jujur dan peduli, sehingga perlu dibuktikan dengan benda atau non benda yang pada akhirnya disebut dengan shadaqah.
Kata infaq berasal dari kata نفق (nafaq) dan نفوق (nufuq) yang berarti lobang/ rongga dan lenyap (al-Khalil : 503). Setelah dibangun darinya kata إنفاق (infaq) maka dapat dikatakan maksudnya dengan mengambil keikhlasan dari rongga (hati) sewaktu melenyapkan (harta). Ibrahim Unais dkk. “mengatakan: :memberikan sejumlah harta pada suatu sasaran kebaikan”. (al-Mu’jam al-Wasith : 342). Sedangkan al-Jurjaniy mengatakan dengan :”memberikan sejumlah harta untuk suatu keperluan”. (at-Ta’rifat : 311).
C. Problematika Zakat dalam al-Qur’an
Ada beberapa pertanyaan yang pantas diajukan sewaktu membicarakan zakat dalam perspektif al-Qur’an, yaitu : Apa dasar hukum zakat, apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya, berapa kadarnya, siapa yang mengelolanya, kapan dibayar dan kepada siapa diberikan. Berikut ini akan diberi sekilas penjelasan.
1. Dasar hukum zakat adalah kalimat-kalimat perintah untuk berzakat yang terdapat dalam al-Qur’an, baik yang berbentuyk fi’il amar maupun kalimat berita yang dianggap sebagai kalimat perintah, di antaranya adalah : QS. Al-Baqarah : 43, 83 dan 110, QS. An-Nisa’ :77, QS. Al-Hajj : 78, QS an-Nur : 56, al-Mujadalah : 13 dan QS. Al-Muzzammil : 20, dengan ungkapan : وآتوا الزكاة (dan bayarlah zakat – dengan kalimat perintah). Ada pula dengan perintah ber-infaq, di antaranya ialah : QS. Al-Baqarah : 195, 254 dan 267, QS. At.Taubah : 53, QS. Yasin : 47, QS. Al-Hadid : 7, at-Taghabun : 16 dan ath-Thalaq : 6, dengan ungkapan : أنفقوا (nafkahkanlah – dengan kalimat perintah).
2. Mengenai benda apa saja yang diperintah mengeluarkan zakatnya disebutkan Allah swt dalam QS. Al-Baqarah : 254, dengan kalimat :
مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ
(Apa saja yang Kami berikan kepada kamu).
Ungkapan kata ganti Kami di sini menunjukkan adanya keterlibatan pihak lain, yaitu kamu berusaha lalu Kami yang memberikan rezki. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya benda-benda yang akan dikeluarkan zakatnya adalah hasil usaha apa saja. Pada surat al-Baqarah : 267 al-Qur’an mengelompokkan benda-benda yang diperintahkan mengeluarkan zakatnya tersebut, yaitu :
Pertama : مَا كَسَبْتُمْ (hasil usahamu, baik di darat maupun di laut). Allah swt memberi sample bagian ini dalam surat at-Taubah : 34 dengan mengatakan :
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (٣٤)
(Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih),
Dalam ayat ini Allah swt menyebut kata emas dan perak (mata uang), merupakan gambaran dari hasil usaha yang dilaksanakan di bumi.
Demikian juga halnya penyebutan nama-nama binatang ternak pada ayat 143-144, adalah gambaran dari usaha-usaha di bidang peternakan yang diperintah memberikan hak orang lain (zakatnya), Allah swt berfirman :
ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ اثْنَيْنِ . . . . (١٤٣) وَمِنَ الإبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ . . . . (١٤٤)
(Yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing . . . . (143). Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu . . . . (144).
Ayat ini terkait erat dengan ayat 141 yang menjelaskan adanya hak orang lain pada hasil tanaman yang dimiliki.
Kedua : وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ (hasil apa saja yang Kami keluarkan dari bumi, berupa hasil usaha pertanian dan pertambangan). Bagian ini diberi Allah sample dalam surat al-An’am : 141, sebagai berikut :
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (١٤١)
(Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan).
Kemudian surat al-Baqarah : 219 menjelaskan tentang apa yang akan dinafkahkan, yaitu :
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ . . . . (٢١٩)
(Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan)
Berarti, kadar (ukuran nisab dan jumlah yang akan dikeluarkan) dari kekayaan itu tidak disebutkan secara jelas. Al-Qur’an hanya menyebutkan “bila belebih dari keperluan”. Keperluan yang dapat mengamankan diri dari bahaya. Allah swt berfirman :
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٩٥)
(Dan berinfaqlah di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik).
Perlu lagi dicermati secara mendalam empat kalimat yang ada dalam ayat, masing-masing berhubungan dengan erat dan sama-sama terpaut pada pembicaraan tentang harta benda.
Ketiga : Dalam ayat terdapat kata : مِنْ طَيِّبَاتِ (yang baik); ini menjadi petunjuk bahwa hasil usaha yang dilaksanakan itu adalah usaha thayyibat, yakni usaha yang halal dan bermanfa’at untuk kehidupan manusia. Berarti adalah batasan, bahwa usaha selain itu tidak ada kewajiban membayar zakatnya.
3. Tentang kadar yang akan dikeluarkan pun tidak disebutkan al-Qur’an secara prosentase atau jumlah. Ia hanya menyebutkan sebagian. Allah swt berfirman dalam surat al-Baqarah : 267, sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ
(Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan ِAllah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu).
Kata min yang terdapat dalam ayat bersambung dengan kata yang berbentuk jama’ (menunjukkan banyak) maka makna kata min menjadi ba’dhiyyah (untuk mengatakan sebagian).
4. Adapun yang akan mengelola zakat itu diperlukan suatu lembaga formal (resmi), sehingga berkekuatan dan berwibawa. Allah swt berfirman dalam surat at-Taubah : 103 :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١٠٣)
(Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).
Pada mulanya kalimat yang terdapat dalam ayat itu sangat tegas, diungkapkan dengan fi’il amar (kalimat perintah) namun lanjutannya sangat simpatik, sehingga terasa betul nikmat perpaduan antara lembaga pemungut zakat (‘amil) dengan orang berzakat (muzakki).
Di lain pihak, pencantuman kata ‘amil dalam jajaran orang-orang yang berhak menerima zakat (at-Taubah : 60) menunjukkan legalnya lembaga pengelola zakat tersebut.
5. Persoalan waktu pembayaran zakat dengan tegas ditunjukkan Allah dalam surat al-An’am : 141, sebagai berikut :
. . . وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ . . . . (١٤١)
(Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin)
Bila diperhatikan penegasan ayat ini tampaknya memungkinkan bagi kita untuk mengatakan, bahwa pada dasarnya hak-hak orang lain yang terdapat pada suatu harta akan langsung dikeluarkan tanpa menunda-nunda sampai pada waktu tertentu. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah : 254 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لا بَيْعٌ فِيهِ وَلا خُلَّةٌ وَلا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٢٥٤)
(Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim).
Peringatan Allah dengan mengatakan :” Sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at”, menunjukkan bahwa perintah yang terdapat dalam ayat ini perlu disegerakan.
6. Adapun orang-orang yang berhak menerima zakat itu disebutkan Allah dalam surat at-Taubah : 60, sebagai berikut :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٦٠)
(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana)
Tentang pembicaraan mengenai kepastian asnaf dan kelasifikasinya tentu perlu memperhatikan situasi dan kondidi.
D. Zakat Gaji Pegawai
Berlandaskan kepada penjelasan di atas mulai penjelasan ayat sampai kepada kata-kata yang dipergunakan sewaktu membicarakan harta benda tersebut maka tampaknya tidak ada lagi alasan syar’i (yang dibenarkan syara’) bagi seorang pegawai untuk tidak mengeluarkan sebagian dari penghasilannya bagi keperluan orang yang berhak menerimanya.
Namun al-Qur’an tidak membatasi nama khusus bagi pemberian itu seperti zakat, maka tentu sewajarnyalah diberi nama yang simpatik yang mengundang keikhlasan dan kepedulian dan penyadaran bahwa pemberian itu (seperti memakai istlah ZIS (zakat, infaq dan shadaqah), sehingga disadari bahwa pemberian itu bukanlah keperluan orang yang menerima tetapi justru adalah hajat orang yang memberi. Allahumma Yassir !
Disampaikan dalam acara Mudzakarah MTT PWM Sumatera Barat, hari Selasa 7 Juni 2006.
Sumber: http://sobhanlubis.blogspot.co.id/2011/01/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar