PENGARUH
PERBEDAAN PENETAPAN 1 SYAWAL
TERHADAP
IBADAH
Oleh : Dr. H. Zulkarnaini, M. Ag
(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Periode 2015-2020)
I.
PENDAHULUAN
Idealnya dalam satu tahun Hijriyah hanya ada satu tanggal satu Syawal dan
satu ‘Idul Fitri, paling tidak untuk satu wilayah tertentu. Hal ini karena
penetapan tanggal hari raya umat Islam berpedoman kepada posisi bulan dan hanya
ada satu bulan yang mengitari planet bumi ini. Bila dibandingkan dengan umat
Nasrani, hanya satu hari natal dalam setahun yaitu tanggal 25 Desember, karena
hari raya mereka ditetapkan berdasarkan
kepada kalender Masehi yang berpedoman kepada posisi matahari dan memang
hanya satu matahari yang dikelilingi bumi ini.
Kenyataan yang dialami umat Islam dari tahun ke tahun, meskipun bulan
yang dijadikan pedoman hanya satu, dalam satu tahun tidak jarang terdapat dua
hari raya Fitri, malah ada yang lebih dari dua.
Perbedaan ini tentu saja akan berdampak kepada beberapa ibadah, misalnya
perbedaan jumlah hari puasa di bulan Ramadhan tersebut,[1]
perbedaan hari pelaksanaan shalat dan khutbah hari raya,[2]
berpuasa di hari raya dan berhari raya di hari puasa.[3]
Sesuai dengan judul, masalah yang hendak dijawab dalam tulisan ini
adalah: Apakah perbedaan penetapan satu Syawal berpengaruh terhadap keabsahan
ibadah tertentu? Untuk lebih terarahnya pembahasan dalam tulisan ini, masalah
tersebut dirinci lagi kepada beberapa pertanyaan berikut:
1.
Apakah perbedaan penetapan
satu Syawal berpengaruh terhadap kesempurnaan jumlah puasa Ramadhan?
2.
Apakah perbedaan penetapan
satu Syawal berpengaruh terhadap keabsahan shalat dan khutbah hari raya?
3.
Apakah perbedaan penetapan
satu Syawal berpengaruh terhadap keabsahan puasa enam hari di bulan Syawal?
II.
PERBEDAAN PENDAPAT
DAN ALASAN MASING-MASING
Umat Islam sepakat bahwa bulan Ramadhan berakhir dengan masuknya satu
Syawal sebagaimana mereka sepakat bahwa ‘Idul Fitri jatuh pada tanggal satu
Syawal. Yang mengundang terjadinya perbedaan pendapat adalah penetapan kapan
jatuhnya tanggal satu Syawal itu. Di antara faktor penyebab terjadinya
perbedaan pendapat tersebut adalah berbedanya cara yang digunakan untuk
menetapkan awal bulan. Ada yang menggunakan cara ru`yah, ada pula yang
menggunakan hisab.
Kelompok yang menggunakan ru`yah berdalil dengan sejumlah hadis
yang menyuruh umat Islam agar berpedoman kepada ru`yah hilal dalam menentukan
awal Ramadhan dan Syawal. Hadis itu antara lain diriwayatkan oleh Muslim
sebagai berikut:[4]
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يِقُوْلُ: قَالَ رَسُولُ الله صَلَى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم: ((صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَأِنْ غُمِّىَ
عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلاَثِيْنَ))
Artinya: Dari Muhammad ibn Ziyad berkata: saya telah mendengar Abu
Hurairah r.a berkata: bersabda Rasulullah s.a.w : berpuasalah karena melihatnya
(hilal), dan berbukalah karena melihatnya (hilal), apabila samar-samar terlihat
olehmu maka cukupkanlah hitungannya sebanyak 30 hari.
Hadis tersebut dipertegas oleh hadis yang antara lain diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai berikut:[5]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلُ الله صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَكَرَ رَمَضَانَ
فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ, وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى
تَرَوْهُ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ.
Artinya: Dari ‘Abdillah ibn ‘Umar r.a: sesungguhnya Rasulullah s.a.w menyebutkan
tentang Ramadhan maka beliau bersabda: janganlah engkau berpuasa hingga engkau
benar-benar melihat hilal, dan janganlah engkau berbuka hingga engkau
benar-benar melihatnya, dan jika samar-samar olehmu maka cukupkanlah
hitungannya (30 hari).
Kedua hadis
tersebut sejalan dengan Al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 189:
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang
bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji…(Q.S. Al-Baqarah : 189)
Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah menjadikan hilal itu sebagai
penentuan waktu-waktu ibadah dan tanda-tanda untuk mengetahui waktu puasa, hari
raya, haji dan zakat, demikian juga jangka waktu dalam urusan mu’amalah seperti
upah, gaji dan sewa menyewa.[6]
Kelompok yang menggunakan ilmu hisab juga menggunakan dalil, antara lain
Al-Qur`an surat Yunus ayat 5 dan surat al-Isra` sebagai berikut:
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu)…(Q.S. Yunus: 5)
Artinya: Dan Kami jadikan malam dan siang
sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang
itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui
bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan
dengan jelas.(Q.S. Al-Isra’: 12)
Pada kedua ayat di atas ada tuntutan agar umat Islam mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan waktu. Dengan perpindahan posisi matahari diketahui
jumlah hari dan dengan perubahan posisi (manzilah) planet bulan
diketahui pergantian hitungan bulan (Hijriyah).[7]
Bedanya pada ayat 5 surat Yunus yang dijadikan
pedoman adalah matahari dan bulan, sedangkan dalam surat al-Isra` ayat
12 pedomannya adalah tanda-tanda malam dan siang.
Penyebutan bulan sebagai pedoman penentuan atau perhitungan waktu,
khususnya menyangkut ibadah dalam Al-Qur`an diungkapkan dengan dua istilah,
yaitu hilal (الأهلة )
sebagaimana yang terdapat dalam ayat 189 surat al-Baqarah dan al-qamar (القمر ) sebagaimana yang
terdapat dalam surat Yunus.
III. ANALISIS TERHADAP MASING-MASING ALASAN
Bila kelompok ru`yat menetapkan awal bulan Hijriyah dengan menunggu
terlihatnya hilal pertama di ufuk Barat setelah terbenam matahari, tidak
demikian halnya golongan (segolongan) ahli hisab. Mereka tidak menunggu
terlihatnya hilal, tetapi memperhitungkan adanya hilal atau masuknya awal bulan
dengan ilmu hisab yang berpedoman kepada peredaran dan perpindahan posisi
matahari dan bulan diukur dengan posisi bumi. Belajar dari kenyataan bahwa
peredaran dan perpindahan posisi planet-planet tersebut terjadi berulang-ulang
pada waktu-waktu tertentu, maka penetapan awal bulan menurut ahli hisab tidak
perlu menunggu terlihatanya hilal, tetapi sudah bisa ditetapkan jauh sebelumnya.
Logikanya adalah bahwa jika awal bulan baru bisa ditetapkan setelah terlihatnya
hilal, maka kalender Hijriah tidak bisa ditetapkan, malah kehadiran kalender
Hijriyah hanya akan mengacaukan suasana saja, sebagaimana yang baru saja
terjadi pada hari raya Fitri 1432 Hijriyah yang lalu. Cara lain penampilan
kalender Hijriyah yang mungkin bisa mengakomodasi ru`yat adalah dengan
mengosongkan tanggal-tanggal tertentu seperti satu Ramadhan dan satu Syawal.
Akan tetapi bagaimanapun hal ini akan mempengaruhi penanggalan pada bulan-bulan
lain, kecuali kalau akhir bulan Syawal yang sudah ditetapkan tidak lagi diutak
atik.
Kalau boleh melakukakan perbandingan kekuatan antara nash yang menuntut
penggunaan ru`yat dengan ilmu hisab, bisa diperhatikan dan dipertimbangkan
hal-hal berikut:
1.
Perintah ru`yat
terdapat dalam hadis sedangkan suruhan hisab terdapat dal Al-Qur`an.
2.
Perintah ru`yat
bersifat khusus (penetapan awal puasa dan hari raya) sedangkan nash yang
menuntut penggunaan hisab bersifat umum.
3.
Penetapan awal Syawal
dengan cara ru`yat diperintahkan dan diterapkan di zaman Nabi, sedangkan
penggunaan ilmu hisab belum lagi dikenal ketika itu.
4.
Dari segi wurud,
Al-Qur`an lebih kuat, karena seluruh ayatnya mutawatir, sedangkan hadis-hadis
tentang ru`yat tidak sampai ke tingkat mutawatir.
5.
Dari segi konteks, tuntutan
menggunakan ru`yat untuk menetapkan awal bulan adalah karena sesuai
dengan tingkat pengetahuan masyarakat pada waktu turunnya perintah puasa
Ramadhan. Hal ini terungkap dari hadis yang antara lain diriwayatkan oleh
al-Bukhari dari ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai berikut:[8]
سَمِعَ
ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم أَنَّهُ قَالَ: (( إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لانَكْتُبُ وَلانَحْسُبُ,
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا. يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً
ثَلاَثِيْنَ ))
Artinya: Telah mendengarkan Ibn ‘Umar
r.a dari Rasulullah s.a.w sesungguhnya beliau telah bersabda: sesungguhnya umat
yang buta huruf itu tidak akan dicatat dan dihisab (perbuatannya), bulan itu
seperti ini dan sepert ini, yakni terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.
6.
Penggunaan produk ahli
hisab untuk kepentingan penetapan waktu atau hari selain awal Ramadhan dan awal
Syawal bagaikan tidak asing lagi bagi seluruh umat Islam. Hal ini terlihat
dalam penentuan tahun baru Hijriyah, puasa hari ‘Asyura, tanggal kelahiran Nabi
Muhammad saw, tanggal Isra` dan mikraj, awal Sya’ban, jadwal waktu shalat,
berbuka puasa dan imsak puasa, malah penetapan kapan terjadinya gerhana. Ini
berarti keakuratan produk ahli hisab sudah semakin diakui.
IV. PENETAPAN SATU SYAWAL SEBAGAI BAGIAN MASALAH KHILAFIYAH
Perbedaan pendapat tentang penetapan satu Syawal adalah bagian dari
masalah khilafiyah yang terdapat di kalangan kaum Muslimin. Bila dihubungkan
dengan jumlah hari puasa, maka perbedaan hanya berkisar antara 29 dan 30 hari.
Perbedaan pendapat tersebut terdapat dalam lapangan ijtihadiyah. Pendapat yang
muncul sebagai hasil ijtihad tentu saja bersifat relativ atau nisbi. Karena itu
pendapat tertentu dalam menetapkan tanggal satu Syawal tidak bisa membatalkan
pendapat lain selagi masih ada peluang untuk berbeda. Dalam hal ini kaidah yang
biasa dijadikan pegangan adalah الاجتهاد
لاينقض بالاجتهاد Ijtihad itu tidak bisa dibatalkan dengan
ijtihad(yang lain).[9] Dalam hal pengaruhnya terhadap keabsahan
ibadah yang terkait dengan perbedaan pendapat tersebut ada baiknya penulis
kemukakan nash-nash berikut:
Artinya: …dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Ahzab: 5)
Ayat
ini menyatakan bahwa kesalahan yang terjadi tanpa adanya kesengajaan, tidak
dipandang sebagai dosa dalam urusan ibadah berarti tidak ada denda
atau sanksi lain secara syar’i. Dengan demikian seandainya hasil ijtihad
tentang penetapan satu Syawal ternyata salah, maka hal itu tidak dianggap
sebagai pelanggaran atau dosa.
Perbedaan
pendapat para sahabat juga pernah terjadi pada masa Nabi, sebagaimana tersebut
dalam hadis riwayat al-Bukhari sebagai berikut:[10]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ
صَلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم لَنَالَمَّا رَجَعَ
مِنَ الأَحْزَابِ: ((لايُصَلُيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلافىِ بَنِى قُرَيْظَةَ)).
فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمُ الْعَصْرُ فِى الطَّرِيْقِ, فَقَالَ بَعْضُهُمْ:
لاَنُصَلِّى حَتَّى نَأْتِيَهَا, وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّى, لَمْ يُرَدْ
مِنَّا ذَلِكَ, فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فَلَمْ
يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ. (رواه البخاري)
Artinya: Dari Ibn ‘Umar r.a berkata: Rasulullah s.a.w
bersabda kepada kami tidak lama setelah pulang dari peperangan: janganlah
shalat salah seorang diantara kamu kecuali telah sampai di Bani Qurhaizhah.
Maka sebagian mereka mendapati shalat Ashar diperjalanan. Sebagian mereka
berkata: kami tidak akan shalat kecuali telah sampai, dan berkata sebagian yang
lain: tetapi kami shalat. Tidak ada diantara kami yang membantah amalan
tersebut. Maka diceritakanlah kejadian tersebut kepada Rasulullah s.a.w, Maka
Rasul tidak menyalahkan salah satupun diantara mereka. (H.R. Bukhari)
Pada
hadis di atas disebutkan dua kelompok sahabat yang kelihatannya sama-sama
melakukan kesalahan. Kelompok pertama melakukan shalat ‘Ashar setelah lewat
waktunya, karena mengikuti tuntutan Nabi, sedangkan kelompok kedua melanggar
ketentuan Nabi, karena tidak mau shalat ‘Ashar di luar waktu. Ternyata
kesalahan seperti itu ditolerir oleh Nabi. Buktinya Nabi tidak menegur atau
menyalahkan mereka dan tidak pula membebani mereka dengan denda ataupun sanksi
tertentu.
Perbedaan pendapat dalam bentuk lain adalah sebagaimana disebutkan dalam
hadis riwayat Abu Daud dari Abu Sa’id al-Khudri sebagai berikut:[11]
عن أبى سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: ((خَرَجَ
رَجُلاَنِ فِى سَفَرٍ, فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ
فَتَيَمَّمَا صَعِيْدًا طِيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَعَا فِى الْوَقْتِ
فأعَادَ أَحَدُهَُمَا الصَّلاَةَ وَالْوُضُوْءَ وَلَمْ يُعِدِ الاَخَرُ, ثُمَّ
أَتَيَا رسولَ الله صَلى الله عليه وسلم فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ, فقاَلَ لِلَّذِي
لَمْ يَعُدْ: أصَبْتَ السُّنَّةَ وَأجْزَأتْكَ صَلاَتُكَ, وقال لِلَّذِي تَوَضَّأَ
وَأعَادَ: لَكَ الأَجْرُ مَرَّتَيْنِ)). (رواه ابوداود)
Artinya: Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata: dua orang laki-laki
mengadakan perjalanan, kemudian datanglah waktu shalat, kemudian mereka
bertayammum dengan tanah yang suci lalu mereka menunaikanb shalat, kemudian
mereka menemukan air setelah mereka manunaikan shalat, salah seorang dari
mereka mengambil wudu’ dan melaksanakan shalat, dan yang seorang lagi tidak.
Kemudian mereka mendatangi Rasulullah s.a.w dan menceritakan apa yang telah
terjadi, maka Rasulullah berkata kepada yang tidak mengulangi shalatnya: engkau
telah melakukan yang sunnat dan engkau mendapatkan pahala atas shalatmu, dan
Rasul berkata kepada lelaki yang berwudu’: bagi engkau dua pahala. (H.R. Abu
Daud)
Perbedaan
pendapat yang disebutkan dalam hadis di atas adalah tentang keabsahan shalat
yang telah dilakukan oleh orang yang bertayammum ketika ditemukan air sebelum
berakhir waktu shalat tersebut. Salah seorang menganggap sah, karena itu
ia tidak mengulanginya, sedangkan yang lain menganggapnya batal dan
konsekwensinya ia mengulangi shalatnya dengan berwudhu` terlebih dahulu.
Setelah kasus itu dilaporkan kepada Nabi, ternyata kedua sahabat Nabi itu sama
mendapat penghargaan dari beliau. Berbeda dengan kasus yang tersebut dalam hadis
sebelumnya, dalam hadis ini Nabi menyebutkan salah satu pendapat itu betul,
namun kepada yang salah[12] Nabi
menyatakan bahwa ia mendapat pahala dua kali.
Bila yang salah
mendapat pahala dua kali, tentu saja yang pendapatnya betul lebih dari itu.
Hanya saja Nabi tidak menyebutkannya pada waktu itu. Hal ini bisa dipahami dari
hadis lain yang menyatakan untuk orang yang ijtihadnya melahirkan pendapat yang
benar dia sudah mengantongi dua pahala, ditambah lagi dengan ibadah yang dia
lakukan mengikuti pendapat yang benar itu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh
al-Tirmidzi dari Abu Hurairah disebutkan sebagai berikut:[13]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم: ((إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ, فَلَهُ
أَجْرَانِ. وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ, فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ)). (رواه الترمذى)
Artinya: Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: jika
memutuskan seorang hakim dengan berijtihad dan ternyata ijtihat itu benar, maka
baginya dua pahala, dan jika dia memutuskan dan ternyata ijtihad itu salah,
maka dia mendapatkan satu pahala. (H.R. Tarmidzi)
Dengan
demikian, bila sebuah keputusan tentang kapan jatuhnya tanggal 1 Syawal telah
ditetapkan murni sebagai hasil “ijtihad” dalam arti tidak dicampuri oleh
berbagai kepentingan duniawi yang hanya bersifat sesa’at, maka pengamalan atau
penerapan keputusan tersebut bila terkait dengan ibadah tertentu, tidak akan
menghalangi keabsahan ibadahnya itu.
Meskipun perbedaan pendapat dalam menetapkan satu Syawal termasuk masalah
khilafiyah, namun bobotnya tidak sama dengan masalah khilafiyah yang lain
seperti masalah basmalah dalam al-Fatihah, jumlah rakaat tarawih dan pelaksanaan
zakat fitrah. Penetapan satu Syawal terkait dengan ibadah yang dipandang
sebagai syi’ar Islam dan lambang persaudaraan dan persatuan ummat Islam. Karena
itu diperlukan upaya mencari titik temu di antara pendapat-pendapat yang
berbeda tersebut dengan melakukan terobosan-terobosan berikut:
1. Dengan mengembangkan
makna hilal sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Misalnya munculnya
nama hilal untuk planet bulan ( القمر ) di awal bulan
(الشهر
) karena masyarakat yang sempat pertama kali melihat berteriak memberitahukan
kepada orang banyak bahwa awal bulan telah masuk. Untuk zaman sekarang misalnya
hilal itu diartikan pengumuman atau publikasi tentang awal bulan telah masuk,
meskipun informasi itu bukan hasil pandangan mata.
2.
Mengikuti pendapat pendapat terbanyak di
kalangan tokoh-tokoh ummat Islam yang berkompeten di bidang ru`yat dan Hisab
dan mewakili kelompok-kelompok ummat Islam. Hal ini sejalan dengan pesan
yang terdapat dalam hadis berikut:[14]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ, أَنَّ النَّبِيِّ صَلَى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: ((الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ
يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ))
Artinya: Dari
Abi Hurairah r.a sesungguhnya Rasulullah s.a.w telah bersabda: berpuasalah dihari engkau berpuasa, dan
berbukalah dihari engkau berbuka, dan berkurbanlah dihari engkau berkurban.
Menurut al-Tirmidzi sebahagian ulama menafsirkan maksud hadis ini bahwa
puasa dan hari raya dilaksanakan bersama kelompok dan jumlah besar masyarakat.[15]
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang telah dirumuskan di
awal tulisan sebagai berikut:
1.
Perbedaan penetapan satu
Syawal tidak mempengaruhi kesempurnaan jumlah hari puasa Ramadhan.
2.
Perbedaan penetapan satu
Syawal tidak jadi penghalang keabsahan shalat dan khutbah hari raya.
3.
Bagi orang Muslim yang
ingin melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal, tidak rusak gara-gara orang
lain berhari raya pada saat berlangsungnya puasa.
B.
Saran
Untuk memelihara
syi’ar Islam dan persatuan ummat Islam diperlukan pengembangan pemikiran untuk
mempertemukan metode ru`yat dan hisab, sedangkan untuk penetapan kapan jatuhnya
satu Syawal, diperlukan ijtihad kolektif lembaga independen yang mewakili semua
golongan. Ummat dianjurkan mengikuti keputusan yang diambil berdasarkan suara
terbanyak.
Daftar
Kepustakaan
Abu Daud al-Sijistani, Sunan
Abi Daud, (Bairut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiy, 2000 M / 1421 H), cet.
I, Kitab al-Thaharah, Bab al-Mutayammim Yajid al-Ma` Ba’d Ma Yushalli,
Hadis no. 336, hlm. 75-76
Abu ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan
al-Tirmidziy, (Bairut: Dar Ibn Hazm, 2002 M / 1422 H), Kitab al-Ahkam
‘an Rasulillah saw, Bab Ma Ja`a fi al-Qadhi Yushib wa Yukhthi`,
Hadis no. 1330, hlm.409
Abu ‘Isa al-Tirmidzi, op.
cit., Kitab al-Shaum ‘an Rasulillah saw, Bab Ma Ja`a al-Shaum
Yaum Tashumun wa al-Fithr yaum Tufthirun wa al-Adhha Yawm Tudhahhun
Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhariy, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008 M/1429 H), cet. I, Kitab al-Shaum,
Bab Qaul al-Nabiy saw. Idza Raaitum al-Hilal fa Shumu…, Hadis no. 1906.
Lihat juga Muslim ibn Hajaj, op. cit., Kitab al-Shiyam, Bab Wujub Shaum Ramadhan li Ru`yat
al-Hilal…, hadis nomor 1080 dengan sedikit perbedaan redaksi
Al-Bukhari, op. cit.,
Kitab al-Shaum, Bab Qaul al-Nabiy saw. La Naktub wa La
Nahsub, Hadis no. 1913, hlm. 228
Al-Bukhari, op. cit.,
Kitab al-Shalat al-Khauf, Bab Shalat al-Thalib wa al-Mathlub … Hadis
no. 946, hlm. 115
Al-Suyuthi, al-Asybah
wa al-Nazha`ir ditahqiq dan dita’liq oleh Muhammad al-Mu’tashim billah
al-Baghdadi, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), cet. I, hlm. 201
Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwat
al-Tafasir, (Bairut: Dar al-Qur`an al-Karim, 1981 M/1402 H), cet. IV, juz
1, hlm. 125. Lihat juga al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubiy, (Bairut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1993 M/1413 H), juz 2, hlm. 228
Muslim ibn Hajaj, Shahih
Muslim, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008) cet. I, Kitab al-Shiyam, Bab Wujub
Shaum Ramadhan li Ru`yat al-Hilal…, hadis nomor 1081
[1]
Perbedaan itu ada yang puasanya 29 hari, ada pula yang 30 hari.
[2] Perbedaan dalam hal ini
kadang-kadang sampai empat hari.
[3] Maksudnya, sebahagian umat Islam
masih berpuasa, karena masih menganggap hari itu masih terhitung bulan
Ramadhan, sedangkan yang lain menganggapnya hari raya.
[4] Muslim ibn Hajaj, Shahih Muslim,
(Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008) cet. I, Kitab al-Shiyam, Bab Wujub
Shaum Ramadhan li Ru`yat al-Hilal…, hadis nomor 1081
[5] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhariy,
(Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008 M/1429 H), cet. I, Kitab al-Shaum, Bab
Qaul al-Nabiy saw. Idza Raaitum al-Hilal fa Shumu…, Hadis no. 1906.
Lihat juga Muslim ibn Hajaj, op. cit., Kitab al-Shiyam, Bab Wujub Shaum Ramadhan li Ru`yat
al-Hilal…, hadis nomor 1080 dengan sedikit perbedaan redaksi
[6] Muhammad
‘Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir, (Bairut: Dar al-Qur`an al-Karim,
1981 M/1402 H), cet. IV, juz 1, hlm. 125. Lihat juga al-Qurthubi, Tafsir
al-Qurthubiy, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1993 M/1413 H), juz 2,
hlm. 228
[7] Muhammad
‘Ali al-Shabuniy, op. cit., juz 1, hlm. 574.
[8]
Al-Bukhari, op. cit., Kitab al-Shaum, Bab Qaul al-Nabiy saw. La Naktub wa La Nahsub, Hadis no. 1913, hlm. 228
[9] Kaidah ini bisa ditemukan antara
lain dalam al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha`ir ditahqiq dan dita’liq
oleh Muhammad al-Mu’tashim billah al-Baghdadi, (Bairut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, 1987), cet. I, hlm. 201
[10]
Al-Bukhari, op. cit., Kitab al-Shalat al-Khauf, Bab Shalat
al-Thalib wa al-Mathlub … Hadis no. 946, hlm. 115
[11] Abu
Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Bairut: Dar Ihya` al-Turats
al-‘Arabiy, 2000 M / 1421 H), cet. I, Kitab al-Thaharah, Bab al-Mutayammim
Yajid al-Ma` Ba’d Ma Yushalli, Hadis no. 336, hlm. 75-76
[12]
Ketentuan salah dalam hal ini dipahami lewat mafhum mukhalafah yaitu dari
pernyataan Nabi kepada yang tidak mengulangi: “Pendapat benar, sesuai menurut
sunnah”.
[13] Abu
‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidziy, (Bairut: Dar Ibn Hazm, 2002 M /
1422 H), Kitab al-Ahkam ‘an Rasulillah saw, Bab Ma Ja`a fi al-Qadhi
Yushib wa Yukhthi`, Hadis no. 1330, hlm.409
[14] Abu
‘Isa al-Tirmidzi, op. cit., Kitab al-Shaum ‘an Rasulillah saw,
Bab Ma Ja`a al-Shaum Yaum Tashumun wa al-Fithr yaum Tufthirun wa al-Adhha
Yawm Tudhahhun
[15] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar