Senin, 23 April 2018

PENGARUH PERBEDAAN PENETAPAN 1 SYAWAL TERHADAP IBADAH



PENGARUH PERBEDAAN PENETAPAN 1 SYAWAL
TERHADAP IBADAH
Oleh : Dr. H. Zulkarnaini, M. Ag
(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Periode 2015-2020) 


I.       PENDAHULUAN
Idealnya dalam satu tahun Hijriyah hanya ada satu tanggal satu Syawal dan satu ‘Idul Fitri, paling tidak untuk satu wilayah tertentu. Hal ini karena penetapan tanggal hari raya umat Islam berpedoman kepada posisi bulan dan hanya ada satu bulan yang mengitari planet bumi ini. Bila dibandingkan dengan umat Nasrani, hanya satu hari natal dalam setahun yaitu tanggal 25 Desember, karena hari raya mereka ditetapkan berdasarkan  kepada kalender Masehi yang berpedoman kepada posisi matahari dan memang hanya satu matahari yang dikelilingi bumi ini.
Kenyataan yang dialami umat Islam dari tahun ke tahun, meskipun bulan yang dijadikan pedoman hanya satu, dalam satu tahun tidak jarang terdapat dua hari raya Fitri, malah ada yang lebih dari dua.
Perbedaan ini tentu saja akan berdampak kepada beberapa ibadah, misalnya perbedaan jumlah hari puasa di bulan Ramadhan tersebut,[1] perbedaan hari pelaksanaan shalat dan khutbah hari raya,[2] berpuasa di hari raya dan berhari raya di hari puasa.[3] 
Sesuai dengan judul, masalah yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah: Apakah perbedaan penetapan satu Syawal berpengaruh terhadap keabsahan ibadah tertentu? Untuk lebih terarahnya pembahasan dalam tulisan ini, masalah tersebut dirinci lagi kepada beberapa pertanyaan berikut:
1.      Apakah perbedaan penetapan satu Syawal berpengaruh terhadap kesempurnaan jumlah puasa Ramadhan?
2.      Apakah perbedaan penetapan satu Syawal berpengaruh terhadap keabsahan shalat dan khutbah hari raya?
3.      Apakah perbedaan penetapan satu Syawal berpengaruh terhadap keabsahan puasa enam hari di bulan Syawal?

II.    PERBEDAAN PENDAPAT DAN ALASAN MASING-MASING
Umat Islam sepakat bahwa bulan Ramadhan berakhir dengan masuknya satu Syawal sebagaimana mereka sepakat bahwa ‘Idul Fitri jatuh pada tanggal satu Syawal. Yang mengundang terjadinya perbedaan pendapat adalah penetapan kapan jatuhnya tanggal satu Syawal itu. Di antara faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah berbedanya cara yang digunakan untuk menetapkan awal bulan. Ada yang menggunakan cara ru`yah, ada pula yang menggunakan hisab.
Kelompok yang menggunakan ru`yah berdalil dengan sejumlah hadis yang menyuruh umat Islam agar berpedoman kepada ru`yah hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal. Hadis itu antara lain diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:[4]
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يِقُوْلُ: قَالَ رَسُولُ الله صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: ((صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَأِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلاَثِيْنَ))
Artinya: Dari Muhammad ibn Ziyad berkata: saya telah mendengar Abu Hurairah r.a berkata: bersabda Rasulullah s.a.w : berpuasalah karena melihatnya (hilal), dan berbukalah karena melihatnya (hilal), apabila samar-samar terlihat olehmu maka cukupkanlah hitungannya sebanyak 30 hari.

Hadis tersebut dipertegas oleh hadis yang antara lain diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai berikut:[5]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلُ الله صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ, وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ.
Artinya: Dari ‘Abdillah ibn ‘Umar r.a: sesungguhnya Rasulullah s.a.w menyebutkan tentang Ramadhan maka beliau bersabda: janganlah engkau berpuasa hingga engkau benar-benar melihat hilal, dan janganlah engkau berbuka hingga engkau benar-benar melihatnya, dan jika samar-samar olehmu maka cukupkanlah hitungannya (30 hari).

Kedua hadis tersebut sejalan dengan Al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 189:
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji…(Q.S. Al-Baqarah : 189)

Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah menjadikan hilal itu sebagai penentuan waktu-waktu ibadah dan tanda-tanda untuk mengetahui waktu puasa, hari raya, haji dan zakat, demikian juga jangka waktu dalam urusan mu’amalah seperti upah, gaji dan sewa menyewa.[6]
Kelompok yang menggunakan ilmu hisab juga menggunakan dalil, antara lain Al-Qur`an surat Yunus ayat 5 dan surat al-Isra` sebagai berikut: 
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)…(Q.S. Yunus: 5)


Artinya: Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.(Q.S. Al-Isra’: 12)

Pada kedua ayat di atas ada tuntutan agar umat Islam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Dengan perpindahan posisi matahari diketahui jumlah hari dan dengan perubahan posisi (manzilah) planet bulan diketahui pergantian hitungan bulan (Hijriyah).[7] Bedanya pada ayat 5 surat Yunus yang dijadikan  pedoman adalah matahari dan bulan, sedangkan dalam surat al-Isra` ayat 12 pedomannya adalah tanda-tanda malam dan siang.
Penyebutan bulan sebagai pedoman penentuan atau perhitungan waktu, khususnya menyangkut ibadah dalam Al-Qur`an diungkapkan dengan dua istilah, yaitu hilal (الأهلة  ) sebagaimana yang terdapat dalam ayat 189 surat al-Baqarah dan al-qamar (القمر  ) sebagaimana yang terdapat dalam surat Yunus.
III. ANALISIS TERHADAP MASING-MASING ALASAN
Bila kelompok ru`yat menetapkan awal bulan Hijriyah dengan menunggu terlihatnya hilal pertama di ufuk Barat setelah terbenam matahari, tidak demikian halnya golongan (segolongan) ahli hisab. Mereka tidak menunggu terlihatnya hilal, tetapi memperhitungkan adanya hilal atau masuknya awal bulan dengan ilmu hisab yang berpedoman kepada peredaran dan perpindahan posisi matahari dan bulan diukur dengan posisi bumi. Belajar dari kenyataan bahwa peredaran dan perpindahan posisi planet-planet tersebut terjadi berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, maka penetapan awal bulan menurut ahli hisab tidak perlu menunggu terlihatanya hilal, tetapi sudah bisa ditetapkan jauh sebelumnya. Logikanya adalah bahwa jika awal bulan baru bisa ditetapkan setelah terlihatnya hilal, maka kalender Hijriah tidak bisa ditetapkan, malah kehadiran kalender Hijriyah hanya akan mengacaukan suasana saja, sebagaimana yang baru saja terjadi pada hari raya Fitri 1432 Hijriyah yang lalu. Cara lain penampilan kalender Hijriyah yang mungkin bisa mengakomodasi ru`yat adalah dengan mengosongkan tanggal-tanggal tertentu seperti satu Ramadhan dan satu Syawal. Akan tetapi bagaimanapun hal ini akan mempengaruhi penanggalan pada bulan-bulan lain, kecuali kalau akhir bulan Syawal yang sudah ditetapkan tidak lagi diutak atik.
Kalau boleh melakukakan perbandingan kekuatan antara nash yang menuntut penggunaan ru`yat dengan ilmu hisab, bisa diperhatikan dan dipertimbangkan hal-hal berikut:
1.      Perintah ru`yat terdapat dalam hadis sedangkan suruhan hisab terdapat dal Al-Qur`an.
2.      Perintah ru`yat bersifat khusus (penetapan awal puasa dan hari raya) sedangkan nash yang menuntut penggunaan hisab bersifat umum.
3.      Penetapan awal Syawal dengan cara ru`yat diperintahkan dan diterapkan di zaman Nabi, sedangkan penggunaan ilmu hisab belum lagi dikenal ketika itu.
4.      Dari segi wurud, Al-Qur`an lebih kuat, karena seluruh ayatnya mutawatir, sedangkan hadis-hadis tentang ru`yat tidak sampai ke tingkat mutawatir.
5.      Dari segi konteks, tuntutan menggunakan ru`yat untuk menetapkan awal bulan adalah karena sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat pada waktu turunnya perintah puasa Ramadhan. Hal ini terungkap dari hadis yang antara lain diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai berikut:[8]
سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَنَّهُ قَالَ: (( إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لانَكْتُبُ وَلانَحْسُبُ, الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا. يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ ))  
Artinya: Telah mendengarkan Ibn ‘Umar r.a dari Rasulullah s.a.w sesungguhnya beliau telah bersabda: sesungguhnya umat yang buta huruf itu tidak akan dicatat dan dihisab (perbuatannya), bulan itu seperti ini dan sepert ini, yakni terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.

6.      Penggunaan produk ahli hisab untuk kepentingan penetapan waktu atau hari selain awal Ramadhan dan awal Syawal bagaikan tidak asing lagi bagi seluruh umat Islam. Hal ini terlihat dalam penentuan tahun baru Hijriyah, puasa hari ‘Asyura, tanggal kelahiran Nabi Muhammad saw, tanggal Isra` dan mikraj, awal Sya’ban, jadwal waktu shalat, berbuka puasa dan imsak puasa, malah penetapan kapan terjadinya gerhana. Ini berarti keakuratan produk ahli hisab sudah semakin diakui.

IV. PENETAPAN SATU SYAWAL SEBAGAI BAGIAN MASALAH KHILAFIYAH
Perbedaan pendapat tentang penetapan satu Syawal adalah bagian dari masalah khilafiyah yang terdapat di kalangan kaum Muslimin. Bila dihubungkan dengan jumlah hari puasa, maka perbedaan hanya berkisar antara 29 dan 30 hari. Perbedaan pendapat tersebut terdapat dalam lapangan ijtihadiyah. Pendapat yang muncul sebagai hasil ijtihad tentu saja bersifat relativ atau nisbi. Karena itu pendapat tertentu dalam menetapkan tanggal satu Syawal tidak bisa membatalkan pendapat lain selagi masih ada peluang untuk berbeda. Dalam hal ini kaidah yang biasa dijadikan pegangan adalah الاجتهاد لاينقض بالاجتهاد  Ijtihad itu tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad(yang lain).[9]  Dalam hal pengaruhnya terhadap keabsahan ibadah yang terkait dengan perbedaan pendapat tersebut ada baiknya penulis kemukakan nash-nash berikut:

Artinya: …dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Ahzab: 5)

Ayat ini menyatakan bahwa kesalahan yang terjadi tanpa adanya kesengajaan, tidak dipandang sebagai dosa  dalam urusan ibadah berarti tidak ada denda atau sanksi lain secara syar’i. Dengan demikian seandainya hasil ijtihad tentang penetapan satu Syawal ternyata salah, maka hal itu tidak dianggap sebagai pelanggaran atau dosa.
Perbedaan pendapat para sahabat juga pernah terjadi pada masa Nabi, sebagaimana tersebut dalam hadis riwayat al-Bukhari sebagai berikut:[10]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم لَنَالَمَّا رَجَعَ مِنَ الأَحْزَابِ: ((لايُصَلُيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلافىِ بَنِى قُرَيْظَةَ)). فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمُ الْعَصْرُ فِى الطَّرِيْقِ, فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَنُصَلِّى حَتَّى نَأْتِيَهَا, وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّى, لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ, فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ. (رواه البخاري)
Artinya: Dari Ibn ‘Umar r.a berkata: Rasulullah s.a.w bersabda kepada kami tidak lama setelah pulang dari peperangan: janganlah shalat salah seorang diantara kamu kecuali telah sampai di Bani Qurhaizhah. Maka sebagian mereka mendapati shalat Ashar diperjalanan. Sebagian mereka berkata: kami tidak akan shalat kecuali telah sampai, dan berkata sebagian yang lain: tetapi kami shalat. Tidak ada diantara kami yang membantah amalan tersebut. Maka diceritakanlah kejadian tersebut kepada Rasulullah s.a.w, Maka Rasul tidak menyalahkan salah satupun diantara mereka. (H.R. Bukhari)

Pada hadis di atas disebutkan dua kelompok sahabat yang kelihatannya sama-sama melakukan kesalahan. Kelompok pertama melakukan shalat ‘Ashar setelah lewat waktunya, karena mengikuti tuntutan Nabi, sedangkan kelompok kedua melanggar ketentuan Nabi, karena tidak mau shalat ‘Ashar di luar waktu. Ternyata kesalahan seperti itu ditolerir oleh Nabi. Buktinya Nabi tidak menegur atau menyalahkan mereka dan tidak pula membebani mereka dengan denda ataupun sanksi tertentu.
Perbedaan pendapat dalam bentuk lain adalah sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Abu Daud dari Abu Sa’id al-Khudri sebagai berikut:[11]
عن أبى سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: ((خَرَجَ رَجُلاَنِ فِى سَفَرٍ, فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيْدًا طِيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَعَا فِى الْوَقْتِ فأعَادَ أَحَدُهَُمَا الصَّلاَةَ وَالْوُضُوْءَ وَلَمْ يُعِدِ الاَخَرُ, ثُمَّ أَتَيَا رسولَ الله صَلى الله عليه وسلم فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ, فقاَلَ لِلَّذِي لَمْ يَعُدْ: أصَبْتَ السُّنَّةَ وَأجْزَأتْكَ صَلاَتُكَ, وقال لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأعَادَ: لَكَ الأَجْرُ مَرَّتَيْنِ)). (رواه ابوداود)
Artinya: Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata: dua orang laki-laki mengadakan perjalanan, kemudian datanglah waktu shalat, kemudian mereka bertayammum dengan tanah yang suci lalu mereka menunaikanb shalat, kemudian mereka menemukan air setelah mereka manunaikan shalat, salah seorang dari mereka mengambil wudu’ dan melaksanakan shalat, dan yang seorang lagi tidak. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah s.a.w dan menceritakan apa yang telah terjadi, maka Rasulullah berkata kepada yang tidak mengulangi shalatnya: engkau telah melakukan yang sunnat dan engkau mendapatkan pahala atas shalatmu, dan Rasul berkata kepada lelaki yang berwudu’: bagi engkau dua pahala. (H.R. Abu Daud)
Perbedaan pendapat yang disebutkan dalam hadis di atas adalah tentang keabsahan shalat yang telah dilakukan oleh orang yang bertayammum ketika ditemukan air sebelum berakhir waktu shalat tersebut. Salah seorang menganggap sah, karena itu ia  tidak mengulanginya,  sedangkan yang lain menganggapnya batal dan konsekwensinya ia mengulangi shalatnya dengan berwudhu` terlebih dahulu. Setelah kasus itu dilaporkan kepada Nabi, ternyata kedua sahabat Nabi itu sama mendapat penghargaan dari beliau. Berbeda dengan kasus yang tersebut dalam hadis sebelumnya, dalam hadis ini Nabi menyebutkan salah satu pendapat itu betul, namun kepada yang salah[12] Nabi menyatakan bahwa ia mendapat pahala dua kali.
Bila yang salah mendapat pahala dua kali, tentu saja yang pendapatnya betul lebih dari itu. Hanya saja Nabi tidak menyebutkannya pada waktu itu. Hal ini bisa dipahami dari hadis lain yang menyatakan untuk orang yang ijtihadnya melahirkan pendapat yang benar dia sudah mengantongi dua pahala, ditambah lagi dengan ibadah yang dia lakukan mengikuti pendapat yang benar itu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dari Abu Hurairah disebutkan sebagai berikut:[13]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ((إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ, فَلَهُ أَجْرَانِ. وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ, فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ)). (رواه الترمذى)
Artinya: Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: jika memutuskan seorang hakim dengan berijtihad dan ternyata ijtihat itu benar, maka baginya dua pahala, dan jika dia memutuskan dan ternyata ijtihad itu salah, maka dia mendapatkan satu pahala. (H.R. Tarmidzi)

Dengan demikian, bila sebuah keputusan tentang kapan jatuhnya tanggal 1 Syawal telah ditetapkan murni sebagai hasil “ijtihad” dalam arti tidak dicampuri oleh berbagai kepentingan duniawi yang hanya bersifat sesa’at, maka pengamalan atau penerapan keputusan tersebut bila terkait dengan ibadah tertentu, tidak akan menghalangi keabsahan ibadahnya itu.
Meskipun perbedaan pendapat dalam menetapkan satu Syawal termasuk masalah khilafiyah, namun bobotnya tidak sama dengan masalah khilafiyah yang lain seperti masalah basmalah dalam al-Fatihah, jumlah rakaat tarawih dan pelaksanaan zakat fitrah. Penetapan satu Syawal terkait dengan ibadah yang dipandang sebagai syi’ar Islam dan lambang persaudaraan dan persatuan ummat Islam. Karena itu diperlukan upaya mencari titik temu di antara pendapat-pendapat yang berbeda tersebut dengan melakukan terobosan-terobosan berikut:
1.      Dengan mengembangkan makna hilal sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Misalnya munculnya nama hilal untuk planet bulan ( القمر ) di awal   bulan (الشهر ) karena masyarakat yang sempat pertama kali melihat berteriak memberitahukan kepada orang banyak bahwa awal bulan telah masuk. Untuk zaman sekarang misalnya hilal itu diartikan pengumuman atau publikasi tentang awal bulan telah masuk, meskipun informasi itu bukan hasil pandangan mata.
2.      Mengikuti pendapat pendapat terbanyak di kalangan tokoh-tokoh ummat Islam yang berkompeten di bidang ru`yat dan Hisab dan mewakili kelompok-kelompok ummat Islam. Hal ini sejalan dengan pesan yang terdapat dalam hadis berikut:[14]  
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ, أَنَّ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: ((الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ))
Artinya: Dari Abi Hurairah r.a sesungguhnya Rasulullah s.a.w telah bersabda:  berpuasalah dihari engkau berpuasa, dan berbukalah dihari engkau berbuka, dan berkurbanlah dihari engkau berkurban.

Menurut al-Tirmidzi sebahagian ulama menafsirkan maksud hadis ini bahwa puasa dan hari raya dilaksanakan bersama kelompok dan jumlah besar masyarakat.[15]

V.    KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
          Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang telah dirumuskan di awal tulisan sebagai berikut:

1.      Perbedaan penetapan satu Syawal tidak mempengaruhi kesempurnaan jumlah hari puasa Ramadhan.
2.      Perbedaan penetapan satu Syawal tidak jadi penghalang keabsahan shalat dan khutbah hari raya.
3.      Bagi orang Muslim yang ingin melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal, tidak rusak gara-gara orang lain berhari raya pada saat berlangsungnya puasa.

B.     Saran
Untuk memelihara syi’ar Islam dan persatuan ummat Islam diperlukan pengembangan pemikiran untuk mempertemukan metode ru`yat dan hisab, sedangkan untuk penetapan kapan jatuhnya satu Syawal, diperlukan ijtihad kolektif lembaga independen yang mewakili semua golongan. Ummat dianjurkan mengikuti keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.  

Daftar Kepustakaan

Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Bairut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiy, 2000 M / 1421 H), cet. I, Kitab al-Thaharah, Bab al-Mutayammim Yajid al-Ma` Ba’d Ma Yushalli, Hadis no. 336, hlm. 75-76
Abu ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidziy, (Bairut: Dar Ibn Hazm, 2002 M / 1422 H), Kitab al-Ahkam ‘an Rasulillah saw, Bab Ma Ja`a fi al-Qadhi Yushib wa Yukhthi`, Hadis no. 1330, hlm.409
Abu ‘Isa al-Tirmidzi, op. cit., Kitab al-Shaum ‘an Rasulillah saw, Bab Ma Ja`a al-Shaum Yaum Tashumun wa al-Fithr yaum Tufthirun wa al-Adhha Yawm Tudhahhun
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhariy, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008 M/1429 H), cet. I, Kitab al-Shaum, Bab Qaul al-Nabiy saw. Idza Raaitum al-Hilal fa Shumu…, Hadis no. 1906. Lihat juga Muslim ibn Hajaj, op. cit., Kitab al-Shiyam,  Bab Wujub Shaum Ramadhan li Ru`yat al-Hilal…, hadis nomor 1080 dengan sedikit perbedaan redaksi
Al-Bukhari, op. cit., Kitab al-Shaum, Bab Qaul al-Nabiy saw. La Naktub wa La Nahsub, Hadis no. 1913, hlm. 228
Al-Bukhari, op. cit., Kitab al-Shalat al-Khauf, Bab Shalat al-Thalib wa al-Mathlub … Hadis no. 946, hlm. 115
Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha`ir ditahqiq dan dita’liq oleh Muhammad al-Mu’tashim billah al-Baghdadi, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), cet. I, hlm. 201
Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir, (Bairut: Dar al-Qur`an al-Karim, 1981 M/1402 H), cet. IV, juz 1, hlm. 125. Lihat juga al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubiy, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1993 M/1413 H), juz 2, hlm. 228
Muslim ibn Hajaj, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008) cet. I, Kitab al-Shiyam, Bab Wujub Shaum Ramadhan li Ru`yat al-Hilal…, hadis nomor 1081


[1] Perbedaan itu ada yang puasanya 29 hari, ada pula yang 30 hari.
[2] Perbedaan dalam hal ini kadang-kadang sampai empat hari.
[3] Maksudnya, sebahagian umat Islam masih berpuasa, karena masih menganggap hari itu masih terhitung bulan Ramadhan, sedangkan yang lain menganggapnya hari raya.
[4] Muslim ibn Hajaj, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008) cet. I, Kitab al-Shiyam, Bab Wujub Shaum Ramadhan li Ru`yat al-Hilal…, hadis nomor 1081
[5] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhariy, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008 M/1429 H), cet. I, Kitab al-Shaum, Bab Qaul al-Nabiy saw. Idza Raaitum al-Hilal fa Shumu…, Hadis no. 1906. Lihat juga Muslim ibn Hajaj, op. cit., Kitab al-Shiyam,  Bab Wujub Shaum Ramadhan li Ru`yat al-Hilal…, hadis nomor 1080 dengan sedikit perbedaan redaksi
[6] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir, (Bairut: Dar al-Qur`an al-Karim, 1981 M/1402 H), cet. IV, juz 1, hlm. 125. Lihat juga al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubiy, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1993 M/1413 H), juz 2, hlm. 228
[7] Muhammad ‘Ali al-Shabuniy, op. cit., juz 1, hlm. 574.
[8] Al-Bukhari, op. cit., Kitab al-Shaum, Bab Qaul al-Nabiy saw. La Naktub wa La Nahsub, Hadis no. 1913, hlm. 228
[9] Kaidah ini bisa ditemukan antara lain dalam al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha`ir ditahqiq dan dita’liq oleh Muhammad al-Mu’tashim billah al-Baghdadi, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), cet. I, hlm. 201
[10] Al-Bukhari, op. cit., Kitab al-Shalat al-Khauf, Bab Shalat al-Thalib wa al-Mathlub … Hadis no. 946, hlm. 115
[11] Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Bairut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiy, 2000 M / 1421 H), cet. I, Kitab al-Thaharah, Bab al-Mutayammim Yajid al-Ma` Ba’d Ma Yushalli, Hadis no. 336, hlm. 75-76
[12] Ketentuan salah dalam hal ini dipahami lewat mafhum mukhalafah yaitu dari pernyataan Nabi kepada yang tidak mengulangi: “Pendapat benar, sesuai menurut sunnah”.
[13] Abu ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidziy, (Bairut: Dar Ibn Hazm, 2002 M / 1422 H), Kitab al-Ahkam ‘an Rasulillah saw, Bab Ma Ja`a fi al-Qadhi Yushib wa Yukhthi`, Hadis no. 1330, hlm.409
[14] Abu ‘Isa al-Tirmidzi, op. cit., Kitab al-Shaum ‘an Rasulillah saw, Bab Ma Ja`a al-Shaum Yaum Tashumun wa al-Fithr yaum Tufthirun wa al-Adhha Yawm Tudhahhun
[15] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar