DAKWAH
PENCERAHAN BERBASIS KAMPUS
Oleh:
Dr. Zulkarnaini, M. Ag
I
PENDAHULUAN
Secara muthlaq, artinya tanpa mengaitkannya dengan kata
“pencerahan”, kata dakwah (da’wah) itu sendiri menurut ilmu dakwah sudah mengandung makna
pencerahan. Lihat misalnya pengertian dakwah yang dikemukakan oleh ‘Ali Mahfuzh
dalam bukunya: Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zh wa al-Khithabah.
Menurutnya dakwah itu berarti mendorong manusia kapada kebaikan dan
petunjuk serta melakukan amar ma’ruf dan
nahi mungkar, agar mereka beruntung memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat. (Mahfuzh, 1952: 17). Dalam pengertian tersebut ada istilah “petunjuk”
(al-huda). Petunjuk yag dimaksudkan di sini tentu saja petunjuk yang
datang dari Allh SWT. yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam Al-Qur`an berkali-kali disebutkan bahwa kitab suci ini
adalah petunjuk buat manusia pada umumnya (al-Baqarah: 185), khususnya bagi
kalangan yang bertaqwa (al-Baqarah: 2). Disebutkan untuk manusia pada umumnya,
karena setiap orang berpeluang untuk mendapatkan petunjuk Al-Qur`an. Disebutkan
khusus untuk kalangan yang bertaqwa, karena kelompok inilah yang bersedia memanfaatkannya
sebagai petunjuk . Dalam hadis riwayat Muslim dari Jabir ibn ‘Abdillah dalam
pesan khutbahnya, antara lain Nabi SAW. menyatakan bahwa petunjuk terbaik
adalah petunjuk (yang disampaikan oleh) Muhammad.
Al-Qur’an, di samping
sebagai petunjuk, juga disebut sebagai nur atau cahaya ( al-A’raf:157),
sedangkan Rasulullah sebagai penyampai
dan penjelas Al-Qur`an disebut juga
sebagai sirajan munira yang berarti cahaya yang menerangi (al-Ahzab: 46). Lebih tegas lagi tugas
Rasulullah disebutkan sebagai litukhrijan nasa minazh zhulumat ilan nur yang
berarti untuk mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang (Ibrahim: 1).
Dari keterangan ini
dapat dipahami bahwa orang yang menyampaikan pesan-pesan Al-Qur`an serta
menjelaskannya kepada masyarakat berarti ia telah menjalankan tugas mulia yang
telah dirintis Rasulullah SAW. yang disebut sebagai cahaya yang menerangi, agar umat keluar dari
kegelapan kepada cahaya yang terang benderang. Kegelapan berarti kebodohan,
kekufuran, kebejatan akhlak dan berbagai bentuk maksiat. Cahaya berarti ilmu pengetahuan, iman dan akhlak yang mulia
(as-Sa’di: 487).
Dalam bahasa Arab, kata yang biasa digunakan untuk pencerahan
itu adalah tanwir yang berasal
dari kata nur yang berarti cahaya atau sinar. Orang yang melakukan
pencerahan disebut munawwir dari
kita: nawwara-yunawwiru-tanwir-fa huwa munawwir wa dzaka munawwar. Dalam
bentuk lain disebut juga munir dari
kata: anara-yuniru-inaratan-fa huwa munirun-wa dzaka munarun.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
berdakwah itu berarti melakukan pencerahan.
Munculnya istilah “dakwah pencerahan” seakan menimbulkan
kesan bahwa ada pula dakwah yang sifatnya tidak mencerahkan. Hal ini jelas
tidak mungkin, karena tidak sesuai dengan sifat dan hakekat dakwah itu sendiri.
Selanjutnya istilah kampus akrab dengan lingkungan akademis yang ditandai
dengan dunia keilmuan yang bersifat obyektif , kritis dan universal. Bila
dihubungkan dengan dakwah, maka kesan yang muncul adalah bahwa dalam dakwah yang
diutamakan adalah kebenaran dan kebenaran itu didukung oleh dalil atau hujjah yang
kuat dan terbuka untuk semua kelompok.
Barangkali faktor yang mendorong panitia untuk membicarakan
tema ini adalah ditemukannya fenomena tentang berbagai kegiatan yang “berlabel”
atau mengatasnamakan dakwah, akan tetapi
sifatnya tidak sejalan dengan dakwah. Contoh-contoh sederhana dalam hal ini
adalah; ceramah atau khotbah yang sifatnya menyerang, cara penyampaian pesan
yang tidak cocok dengan tingkat pengetahuan audien, penggunaan bahasa yang
tidak mudah dipahami, pemilihan waktu yang tidak tepat dan fasilitas yang tidak
memadai.
Masalah yang hendak dijawab dalam makalah yang sederhana ini
adalah: apa saja kriteria dakwah pencerahan itu? Sesuai dengan keterbatasan
ruang dan waktu, berikut ini akan dikemukakan beberapa unsur yang mutlak mesti
dalam penyampaian pesan dakwah:
II
TEPAT
MATERI
Salah satu unsur pokok dalam kegiatan dakwah adalah adanya
materi yang akan didakwahkan. Tanpa persiapan materi tidak mungkin kegiatan
dakwah akan terlaksana. Bila kegiatan dakwah itu diibaratkan dengan pemberian
sesuatu kepada orang lain, maka yang akan diberikan itu adalah materi dakwah.
Kata pepatah Arab: Faqid al-syai` la yu’thi. Artinya: Yang tak punya
tidak bisa memberi. Materi dakwah adalah ajaran Islam yang diturunkan Allah
kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian pesan dakwah berarti pesan agama,
sekaligus pesan Allah. Oleh karena itu dakwah itu harus tepat materi. Artinya
materi yang disampaikan itu benar-benar pesan agama. Kalau mengatasnamakan
pesan agama (Islam) tentu saja bisa
dipertanggung jawabkan sesuai dengan sumbernya. Sumber (mashdar) ajaran
Islam itu adalah wahyu. Wahyu yang dimaksudkan secara teks dan makna adalah
Al-Qur`an, sedangkan secara makna adalah hadis atau sunnah Nabi. Kedua sumber
ajaran Islam itu berbahasa Arab. Masalah yang mesti terjawab dalam hal ini
adalah:
Pertama, apakah pesan yang disampaikan dalam dakwah
itu bisa ditunjukkan sumbernya. Kalau dalam Al-Qur`an, surat apa dan ayat
berapa? Kalau sumbernya hadis Nabi, apa isi teksnya, siapa perawi dan sanadnya
serta apakah riwayatnya maqbul atau
tidak? Mengatasnamakan ajaran agama, tanpa adanya pengetahuan tentang sumbernya
adalah tindakan terlarang. Mengatasnamakan ajaran agama tanpa kejelasan sumber
berarti “mencatut” nama Allah. Dalam Al-Qur`an hal itu disebut sebagai
mengatakan atas Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui dan yang
melakukannya dianggap sebagai penyambung lidah syetan (al-Baqarah: 169).
Menurut al-Shabuni, mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui itu
berarti menghalalkan dan mengharamkan sesuatu menurut persepsi pribadi saja
(al-Shabuni, 1981: jilid 1, hlm. 114). Termasuk dalam hal ini seperti; agama
menyuruh begini , agama melarang begitu, menurut agama caranya begini, menurut
agama ini sebaiknya dilakukan, amal ini bila dilakukan pahalanya sekian atau
menurut agama perbuatan itu berdosa.
Demikian juga halnya bila pesan-pesan dakwah itu disampaikan
dengan susunan kalimat; menurut sunnah begini, ibadah tertentu tidak menurut
sunnah, padahal pengetahuannya tentang sunnah tersebut sangat minim.
Kadan-kadang ditemukan informasi sunnah yang bervariasi tentang hukum dan cara
ibadah tertentu. Mengutip dan menggunakan sebagian yang sejalan dengan
kecenderungan juru dakwah dengan meninggalkan sunnah yang tidak dengan
pandangan juru dakwah, berarti mengkhianati sunnah itu sendiri. Dalam suatu
hadis yang dipandang mutawatir oeh para ahli hadis dinyatakan bahwa siapa yang
sengaja berbohong dengan mengatasnamakan Nabi, maka hendaklah yang bersangkutan
besiap-siap mengambil tempatnya dalam neraka (al-Bukhari, 2008: 23, hadis nomor
107, 108 dan 109).
Kedua, apakah kesimpulan pesan yang disampaikan dalam
dakwah itu sesuai dengan maksud atau dilalah ayat Al-Qur`an dan hadis
Nabi tersebut? Masalah ini perlu dijawab, karena bahasa teks Al-Qur`an dan Sunnah adalah
bahasa Arab. Untuk mengetahui maksud teks tersebut tidak bisa dihindari
kitab-kitab tafsir dan syarah hadis. Lebih jauh lagi, di samping menggunakan
bahasa Arab, dalam Al-Qur`an dan Hadis tidak sedikit terdapat istilah-istilah
yang maknanya sudah ditentukan secara khusus menurut makna syar’I, tidak
menurut menurut bahasa secara literal. Termasuk dalam hal ini beberapa suruhan
agama, misalnya; shalat, zakat, shiyam,
haji, ‘umrah, udhhiyah, taqwa, khusyu’, shabr, tawakkal, ikhlash .
Sebaliknya hal-hal yang dilarang agama juga punya makna tertentu, seperti; kafir,
syirik, munafiq, takabbur, ghibah,
namimah, fitnah dan lain-lain. Untuk menjelaskan semua istilah tersebut,
juru dakwah tidak cukup hanya bermodalkan kamus, tapi mesti merujuk kitab-kitab
tafsir dan syarah hadis yang mu’tabar (standar).
II
TEPAT
METODE
Materi yang tepat, bila tidak dibarengi dengan metode yang
tepat, belum tentu bisa memberikan pencerahan. Hal ini karena obyek dakwah itu
adalah manusia. Dalam diri manusia itu memang ada potensi untuk mengetahui atau
memahami sesuatu, yaitu akal (‘aql), akan tetapi dalam diri manusia juga
ada potensi untuk suka atau tidak suka, percaya atau tidak, senang dan tidak
senang, malah marah dan benci terhadap
sesuatu.
Masalah pertama dalam metode dakwah adalah bagaimana supaya
orang tertarik untuk memperhatikan apa
yang akan didakwahkan. Salah satu hikmah penempatan potongan huruf-huruf
tertentu di awal beberap surat Al-Qur`an, yang tidak dipahami maksudnya oleh
penduduk Arab, khususnya masyarakat Mekah, menurut sejumlah mufassir, terkait
dengan kepentingan ini, yaitu menarik perhatian, agar mereka mau mendengarkan
pesan-pesan yang terdapat pada ayat berikutnya (al-Qurthubi, 1993: jilid 1, juz
1: 109). Dalam berbagai riwayat ditemukan bahwa di antara cara yang dilakukan
Nabi untuk menarik perhatian masyarakat agar bersedia meluangkan waktu unntuk
mendengarkan pesan-pesannya adalah dengan memperlihatkan wajah serius, mata
merah, nada suara tinggi, seakan hendak mengatakan bahaya besar yang bisa
terjadi secara tiba-tiba, seperti serangan mendadak dari musuh di pagi atau pun
sore hari kaannahu mundziru jaisy yaqul: shabbahakum wa massakum (Muslim,
2008: 227).
Masalah kedua adalah bagaimana membuat orang percaya
terhadap itikad baik atau kejujuran juru dakwah dan yang disampaikannya itu
benar-benar penting dan datang dari Allah. Untuk kepentingan ini segala sesuatu
yang akan mengganggu atau mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat mesti
dihindari. Termasuk dalam hal ini menjaga muru`ah dan pandangan masyarakat
terhadap simbol-simbol khusus untuk pemuka-pemuka agama, seperti; tutup kepala,
model pakaian tertentu dan menghindari canda yang berlebihan. Rasulullah SAW.
telah melaksanakan prinsip ini, sehingga beliau digalari dengan al-amiin.
Secara umum disebutkan bahwa Rasulullah SAW. benar-benar memiliki akhlak yang
agung (al-Qalam: 4), sangat penyantun dan penyayang (al-Tubah: 128), menjadi
teladan bagi umat beriman (al-Ahzab: 21). Untuk kondisi saat ini, di samping
kepercayaan terhadap itikad baik dan pentingnya isi pesan yang akan
disampaikan, masyarakat perlu diyakinkan tentang kredibilitas juru dakwah.
Misalnya, bila mendengarkan juru dakwah tidak fasih mengucapkan kata-kata muqaddimah
dalam bentuk tahmid, tasyahud dan shalawat Nabi serta tidak lancar membaca
teks-teks ayat Al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi, maka cukup beralasan kalau
masyarakat meragukan tingkat keilmuan juru dakwah.
Masalah ketiga adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan
Islam yang mudah ditangkap dan dipahami semua pihak dan bagaimana menimbulkan
kesan dan menciptakan opini bahwa ajaran Islam itu mudah dimengerti dan mudah
diamalkan. Dalam banyak ayat dan hadis Nabi, prinsip ini disebutkan berulang
kali, antara lain; Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu (al-Baqarah: 185). Allahsekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan (al-Hajj: 78). Mudahkanlah, jangan mempersulit,
gembirakanlah, jangan membuat orang lari! Hadis riwayat al-Bukhari dari Abu
Burdah dari bapaknya, dari Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’adz ibn Jabal
(al-Bukhari, 2008: 521)
Masalah keempat adalah bagaimana mengungkapkan keistimewaan
ajaran Islam dan keuntungan yang diperoleh oleh mereka yang menerapkannya.
Untuk itu diperlukan ilmu bantu, seperti pengetahuan sejarah tentang bagaimana
malapetaka yang dialami mereka yang mendurhakai agama Allah dan bagaimana pula
kemajuan yang diperoleh generasi yang menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan
mereka. Demikian pula tidak kalah pentingnya temuan-temuan ilmiah yang bisa
dijadikan bukti kebenaran Al-Qur`an. Secara
umum Al-Qur`an menyuruh umat umat manusia melakukan pengembaraan di muka bumi
untuk memperhatikan bagaimana nasib umat terdahulu yang membangkan terhadap
agama yang diturunkan Allah. Tidak kurang dari tiga belas kali tuntutan ini
diulang-ulang dalam Al-Qur`an (Ali ‘Imran: 137, al-An’am: 11, Yusuf, 109,
al-Nahl: 36, al-Naml: 69, al-Rum: 9/42, Fathir: 44, Ghafir: 21/82, Muhammad:
10) .
Metode yang tidak tepat bisa membuat obyek dakwah
tersinggung, sedangkan dengan metode yang tepat, pesan-pesan yang disampaikan
juru dakwah mampu membuat orang tersentuh. Dalam kosa kata Indonesia,
tersinggung dan tersintuh kadang-kadang punya makna yang sama, yaitu bila
berhubungan dengan benda mati. Akan tetapi bila konteksnya hati seseorang, maka
maknanya bertolak belakang. Hati yang
tersinggung mengundang rasa benci da marah, sebaliknya hati yang tersentuh
membuat orang tertarik dan suka.
III
TEPAT
METODE TANPA MERUBAH ISI
Antara ketepatan materi dengan ketepatan metode kelihatannya
sama –sama penting. Paling tidak hal ini dapat dilihat pada kasus penugasan
sahabat Nabi, Mu’dz ibn Jabal sebagai juru dakwah ke Yaman. Setidaknya ada tiga
kelompok hadis yang membicarakan tugas Mu’adz ini: Pertama, terdapat dalam
bagian hadis yang membicarakan tugas Mu’adz mengajak penduduk Yaman masuk Islam
dan mengamalkan pokok-pokok ibadah dalam Islam, Kedua, terdapat dalam kelompok
hadis-hadis yang membicarakan cara-cara berdakwah. Ketiga, terdapat dalam
hadis-hadis qadha`. Hadis -hadis yang berbicara tentang diutusnya Mu’adz ke
Yaman kelihatannya menunjukkan bahwa sahabat Nabi ini diberi tugas, di samping
sebagai juru dakwah juga sebagai qadhi (hakim). Tugas sebagai juru dakwah
terlihat dari judul hadis tersebut dalam kitab Shahih Muslim hadis nomor
19 yaitu: al-Du’a` ila Syahadatain wa Syarai’ al-Islam yang artinya: Dakwah
mengajak orang kepada Dua kalimah Syahadat dan Syari’at Islam. Bahwa ia
juga ditugaskan sebagai qadhi, juga terlihat dari judul dan isi hadisnya. Dua
kitab hadis yang membicarakan peristiwa tersebut menempatkan hadis tersebut di
bawah judul : Ijtihad al-Ra`y fi al-Qadha` dan Ma Ja`a fi al-Qadhi
Kaifa Yaqdhi. Selanjutnya tiga redaksi tersebut berisi pertanyaan Nabi: Kaifa
Taqdhi.
Dalam ketiga hadis tersebut diceritakan bahwa sebelum
berangkat, terlebih dahulu dilakukan semacam uji kompetensi dan pembekalan.
Untuk masalah ketepatan materi Rasulullah SAW. mengemukakan
sejumlah pertanyaan kepada Mu’adz yang isinya, dengan apa diselesaikan
persoalan-persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Mu’adz menjawab dengan mengatakan bahwa ia
akan putuskan dengan Kitab Allah atau Al-Qur`an. Seandainya ketentuan masalah
tersebut tidak ia temukan dalam Kitab Allah, ia akan merujuk dan mengamalkan
Sunnah Nabi. Sekiranya dalam Sunnah Nabipun tidak ditemukan, ia akan menggunakan
nalarnya, namun tetap berpegang kepada prinsip yang terkndung dalam Al-Qur`an
dan Sunnah Nabi. Informasi ini ditemukan dalam Hadis Riwayat Abu Daud,
al-Tirmidzi, Ahmad ibn Hanbal dan al-Darimi dari sahabat-sahabat Mu’adz (Abu
Daud, 2000: 608, al-Tirmidzi, 2002: 409/410, al-Darimi, 1994: juz 1).
Untuk kepentingan metode, Rasulullah SAW. berpesan, agar
dakwah yang dilakukan mu’adz menggam- barkan
kemudahan dan menarik. Dalam hadis riwayat al-Bukhari ditemukan pesan
Rasulullah SAW. tersebut ditujukan kepada Mu’adz ibn Jabal dan Abu Musa
al-Asy’ari: “ Mudahkanlah, jangan mempersulit dan gembirakanlah (buatlah orang
tertarik), jangan membuat orang lari dan bekerja samalah, jangan berselisih! Agar penyampaian dakwah itu tidak memberatkan
dan tidak menakutkan, antara lain Rasulullah SAW. mengingatkan agar
ketentuan-ketentuan syari’at disampaikan secara berangsur-angsur, tidak secara
drastis. Mula-mula orang diajak untuk meyakini dan mengikrarkan dua kalimah
syahadat. Seandainya berhasil, Mu’adz disuruh menyampaikan kewajiban shalat
yang lima waktu. Kalau kewajiban ini telah dipatuhi, pesan dakwah berikutnya
adalah kewajiban untuk para hartawan untuk menyerahkan zakatnya buat fakir
miskin. Lebih jauh Rasulullah mengingatkan Mu’adz, kalau yang punya harta menyerahkan
sepenuhnya untuk mengambil harta yang patut dizakatkan, jangan diambil harta
kesayangan mereka, agar tidak menimbulkan efek jera di hati mereka. Malah Nabi
memperingatkan agar penerapan ketentuan syari’at ini tidak sampai membuat orang
teraniaya (al-Bukhari, 2008: 182, hadis nomor 1496). Termasuk dalam hal ini,
misalnya pemungutan zakat bagi orang yang belum wajib berzakat atau mengambil
harta zakat melebihi batas ketentuan yang sudah ditetapkan.
Contoh lain dalam hal mengkombinasikan antara ketepatan
materi dengan metode yang menarik adalah ketika dua orang sahabat Nabi
dihadapkan kepada masalah antara mengulangi shalat yang sudah dilakukan dalam
keadaan suci dengan cara bertayammum lantaran tidak menemukan air, setelah
mereka menemukan air sedangkan waktu shalat masih ada. Kedua sahabat ini
ternyata tidak sependapat dalam masalah ini. Salah seorang mengulangi
shalatnya, sedangkan yang lain menganggap tidak ada ketentuan mengulanginya.
Setelah persoalan itu diajukan kepada Rasulullah SAW. , kedua sahabat ini
mendapat jawaban yang berbeda, tetapi tidak ada yang merasa dikecewakan. Kepada
yang tidak mengulangi, Rasulullah SAW. menyatakan bahwa pendapatnya benar
sesuai menurut Sunnah, sedangkan kepada yang mengulangi Rasulullah SAW.
menyatakan bahwa ia mendapat dua pahala (Abu Daud, 2000, 75/76. Hadis nomor
336).
Ada yang unik dari jawaban Rasulullah SAW. ini. Bila salah
satu pendapat yang berlawanan dinyatakan benar dan sesuai menurut sunnah, tentu
logika kebalikannya yang satu lagi salah dan tidak menurut Sunnah. Akan tetapi Rasullullah SAW. tidak
menggunakan istilah salah atau keliru untuk pendapat sahabat yang mengulangi
shalatnya. Kelihatannya ada sisi tertentu yang perlu diperhatikan dalam kasus
ini. Pertimbangan tidak hanya kepada keputusan pendapat saja, tetapi juga pada
sikap kesungguhan untuk mencari kebenaran. Kesalahan yang dilakukan oleh orang
yang mencari kebenaran berbeda hukumnya dengan kesalahan orang yang tidak
berusaha menghindarinya. Kalau kesalahan itu terjadi dalam keputusan hasil
ijtihad, maka menurut Rasulullah SAW. yang bersangkutan tetap mendapat pahala,
walaupun tidak sebanyak pahala yang ijtihadnya betul. Dalam hal ini Rasulullah
SAW. menyatakan bahwa apabila seorang hakim menetapkan hukum, lalu ia
berijtihad dan ternyata ijtihadnya betul, maka ia mendapat dua pahala.
Sebaliknya bila ia menetapkan hukum, lalu ia berijtihad dan ternyata ijtihadnya
keliru, maka ia mendapat satu pahala (al-Bukhari, 874. Hadis nomor 7352).
Dengan demikian sebenarnya sahabat yang pendapatnya benar
dan sesuai menurut Sunnah lebih beruntung dari yang mengulangi shalatnya. Hal
ini karena dari segi ketepatan hasil ijtihad dia sudah beruntung mendapat dua
pahala, sedangkan yang mengulangi shalatnya ternyataijtihadnya keliru, tapi
karena itu hasil ijtihad, ia mendapat pahala satu. Pahala ijtihad yang mengulangi ditambah dengan pahala pelaksanaan
shalatnya ia dapat dua, sedangkan yang tidak mengulangi tentu saja mendapat
tiga setelah ditambah dengan pahala shalat. Untuk kepentingan dakwah sengaja
tidak menyebutkan keuntungan pihak yang pertama. Pernyataan Rasulullah SAW.
bahwa pendapatnya benar dan sesuai menurut Sunnah sudah cukup membuatnya lega
dan puas.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa: Pertama,
materi yang disampaikan dalam kegiatan dakwah haruslah tepat dalam arti jelas
sumbernya dalam Al-Qur`an atau Sunnah Rasul dan sesuai maksudnya dengan
kandungan kedua teks wahyu tersebut. Kedua, penyampaian pesan dakwah harus
menggunakan metode yang tepat, namun untuk kepentingan metode, tidak perlu
mengorbankan materi.
REFERENSI
Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ihya`
al-Turats al-‘Arabi, 2000), cet. I
Bukhari, Abu ‘Abdillah Isma’il al-, Shahih al-Bukhari, (Kairo:
Dar Ibn Hazm, 2008), cet. I
Darimi, Abu Muhammad ‘Abdullah ibn Bahram al-, Sunan
al-Darimi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)
Mahfuzh, ‘Ali , Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zh
wa al-Khithabah, (T. Tp.: Dar al-I’tisham, 1952
Muslim, Abu al-Husain ibn al-Hajjaj al- Qusyairi
al-Nisaburi, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008), cet. I
Qurthubi, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-, al-Jami’
li Ahkam al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993)
Sa’di, ‘Abd al-Rahman ibn Nashir al- Taisir al-Karim
al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Riyadh: Dar Ihda` al-Mujtama’, t.t.)
Shabuni, Muhammad ‘Ali al-, Shafwat al-Tafasir, (Beirut:
Dar al-Qur`an al-Karim, 1981), cet.IV
Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa al-, Sunan
al-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), cet.I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar