Rabu, 25 April 2018

DAKWAH PENCERAHAN BERBASIS KAMPUS



DAKWAH PENCERAHAN BERBASIS KAMPUS
Oleh: Dr. Zulkarnaini, M. Ag



I
PENDAHULUAN
Secara muthlaq, artinya tanpa mengaitkannya dengan kata “pencerahan”, kata dakwah (da’wah) itu sendiri  menurut ilmu dakwah sudah mengandung makna pencerahan. Lihat misalnya pengertian dakwah yang dikemukakan oleh ‘Ali Mahfuzh dalam bukunya: Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zh wa al-Khithabah. Menurutnya dakwah itu berarti mendorong manusia kapada kebaikan dan petunjuk  serta melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, agar mereka beruntung memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. (Mahfuzh, 1952: 17). Dalam pengertian tersebut ada istilah “petunjuk” (al-huda). Petunjuk yag dimaksudkan di sini tentu saja petunjuk yang datang dari Allh SWT. yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam Al-Qur`an berkali-kali disebutkan bahwa kitab suci ini adalah petunjuk buat manusia pada umumnya (al-Baqarah: 185), khususnya bagi kalangan yang bertaqwa (al-Baqarah: 2). Disebutkan untuk manusia pada umumnya, karena setiap orang berpeluang untuk mendapatkan petunjuk Al-Qur`an. Disebutkan khusus untuk kalangan yang bertaqwa, karena kelompok inilah yang bersedia memanfaatkannya sebagai petunjuk . Dalam hadis riwayat Muslim dari Jabir ibn ‘Abdillah dalam pesan khutbahnya, antara lain Nabi SAW. menyatakan bahwa petunjuk terbaik adalah petunjuk (yang disampaikan oleh) Muhammad.
Al-Qur’an, di samping  sebagai petunjuk, juga disebut sebagai nur atau cahaya ( al-A’raf:157), sedangkan  Rasulullah sebagai penyampai dan penjelas Al-Qur`an disebut  juga sebagai sirajan munira yang berarti cahaya yang menerangi  (al-Ahzab: 46). Lebih tegas lagi tugas Rasulullah disebutkan sebagai litukhrijan nasa minazh zhulumat ilan nur yang berarti untuk mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang (Ibrahim: 1).
 Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa orang yang menyampaikan pesan-pesan Al-Qur`an serta menjelaskannya kepada masyarakat berarti ia telah menjalankan tugas mulia yang telah dirintis Rasulullah SAW. yang disebut sebagai  cahaya yang menerangi, agar umat keluar dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang. Kegelapan berarti kebodohan, kekufuran, kebejatan akhlak dan berbagai bentuk maksiat. Cahaya berarti  ilmu pengetahuan, iman dan akhlak yang mulia (as-Sa’di: 487).
Dalam bahasa Arab, kata yang biasa digunakan untuk pencerahan itu adalah tanwir  yang berasal dari kata nur yang berarti cahaya atau sinar. Orang yang melakukan pencerahan disebut munawwir  dari kita: nawwara-yunawwiru-tanwir-fa huwa munawwir wa dzaka munawwar. Dalam bentuk lain disebut juga munir dari  kata: anara-yuniru-inaratan-fa huwa munirun-wa dzaka munarun. Dengan demikian dapat dipahami bahwa  berdakwah itu berarti melakukan pencerahan.
Munculnya istilah “dakwah pencerahan” seakan menimbulkan kesan bahwa ada pula dakwah yang sifatnya tidak mencerahkan. Hal ini jelas tidak mungkin, karena tidak sesuai dengan sifat dan hakekat dakwah itu sendiri. Selanjutnya istilah kampus akrab dengan lingkungan akademis yang ditandai dengan dunia keilmuan yang bersifat obyektif , kritis dan universal. Bila dihubungkan dengan dakwah, maka kesan yang muncul adalah bahwa dalam dakwah yang diutamakan adalah kebenaran dan kebenaran itu didukung oleh dalil atau hujjah yang kuat dan terbuka untuk semua kelompok.  
Barangkali faktor yang mendorong panitia untuk membicarakan tema ini adalah ditemukannya fenomena tentang berbagai kegiatan yang “berlabel” atau  mengatasnamakan dakwah, akan tetapi sifatnya tidak sejalan dengan dakwah. Contoh-contoh sederhana dalam hal ini adalah; ceramah atau khotbah yang sifatnya menyerang, cara penyampaian pesan yang tidak cocok dengan tingkat pengetahuan audien, penggunaan bahasa yang tidak mudah dipahami, pemilihan waktu yang tidak tepat dan fasilitas yang tidak memadai.
Masalah yang hendak dijawab dalam makalah yang sederhana ini adalah: apa saja kriteria dakwah pencerahan itu? Sesuai dengan keterbatasan ruang dan waktu, berikut ini akan dikemukakan beberapa unsur yang mutlak mesti dalam penyampaian pesan dakwah:
  
II
TEPAT MATERI
Salah satu unsur pokok dalam kegiatan dakwah adalah adanya materi yang akan didakwahkan. Tanpa persiapan materi tidak mungkin kegiatan dakwah akan terlaksana. Bila kegiatan dakwah itu diibaratkan dengan pemberian sesuatu kepada orang lain, maka yang akan diberikan itu adalah materi dakwah. Kata pepatah Arab: Faqid al-syai` la yu’thi. Artinya: Yang tak punya tidak bisa memberi. Materi dakwah adalah ajaran Islam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian pesan dakwah berarti pesan agama, sekaligus pesan Allah. Oleh karena itu dakwah itu harus tepat materi. Artinya materi yang disampaikan itu benar-benar pesan agama. Kalau mengatasnamakan pesan agama  (Islam) tentu saja bisa dipertanggung jawabkan sesuai dengan sumbernya. Sumber (mashdar) ajaran Islam itu adalah wahyu. Wahyu yang dimaksudkan secara teks dan makna adalah Al-Qur`an, sedangkan secara makna adalah hadis atau sunnah Nabi. Kedua sumber ajaran Islam itu berbahasa Arab. Masalah yang mesti terjawab dalam hal ini adalah:
Pertama, apakah pesan yang disampaikan dalam dakwah itu bisa ditunjukkan sumbernya. Kalau dalam Al-Qur`an, surat apa dan ayat berapa? Kalau sumbernya hadis Nabi, apa isi teksnya, siapa perawi dan sanadnya serta apakah riwayatnya maqbul  atau tidak? Mengatasnamakan ajaran agama, tanpa adanya pengetahuan tentang sumbernya adalah tindakan terlarang. Mengatasnamakan ajaran agama tanpa kejelasan sumber berarti “mencatut” nama Allah. Dalam Al-Qur`an hal itu disebut sebagai mengatakan atas Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui dan yang melakukannya dianggap sebagai penyambung lidah syetan (al-Baqarah: 169). Menurut al-Shabuni, mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui itu berarti menghalalkan dan mengharamkan sesuatu menurut persepsi pribadi saja (al-Shabuni, 1981: jilid 1, hlm. 114). Termasuk dalam hal ini seperti; agama menyuruh begini , agama melarang begitu, menurut agama caranya begini, menurut agama ini sebaiknya dilakukan, amal ini bila dilakukan pahalanya sekian atau menurut agama perbuatan itu berdosa.
Demikian juga halnya bila pesan-pesan dakwah itu disampaikan dengan susunan kalimat; menurut sunnah begini, ibadah tertentu tidak menurut sunnah, padahal pengetahuannya tentang sunnah tersebut sangat minim. Kadan-kadang ditemukan informasi sunnah yang bervariasi tentang hukum dan cara ibadah tertentu. Mengutip dan menggunakan sebagian yang sejalan dengan kecenderungan juru dakwah dengan meninggalkan sunnah yang tidak dengan pandangan juru dakwah, berarti mengkhianati sunnah itu sendiri. Dalam suatu hadis yang dipandang mutawatir oeh para ahli hadis dinyatakan bahwa siapa yang sengaja berbohong dengan mengatasnamakan Nabi, maka hendaklah yang bersangkutan besiap-siap mengambil tempatnya dalam neraka (al-Bukhari, 2008: 23, hadis nomor 107, 108 dan 109).
Kedua, apakah kesimpulan pesan yang disampaikan dalam dakwah itu sesuai dengan maksud atau dilalah ayat Al-Qur`an dan hadis Nabi tersebut? Masalah ini perlu dijawab, karena  bahasa teks Al-Qur`an dan Sunnah adalah bahasa Arab. Untuk mengetahui maksud teks tersebut tidak bisa dihindari kitab-kitab tafsir dan syarah hadis. Lebih jauh lagi, di samping menggunakan bahasa Arab, dalam Al-Qur`an dan Hadis tidak sedikit terdapat istilah-istilah yang maknanya sudah ditentukan secara khusus menurut makna syar’I, tidak menurut menurut bahasa secara literal. Termasuk dalam hal ini beberapa suruhan agama, misalnya; shalat, zakat, shiyam,  haji, ‘umrah, udhhiyah, taqwa, khusyu’, shabr, tawakkal, ikhlash . Sebaliknya hal-hal yang dilarang agama juga punya makna tertentu, seperti; kafir, syirik, munafiq,  takabbur, ghibah, namimah, fitnah dan lain-lain. Untuk menjelaskan semua istilah tersebut, juru dakwah tidak cukup hanya bermodalkan kamus, tapi mesti merujuk kitab-kitab tafsir dan syarah hadis yang mu’tabar (standar).

II
TEPAT METODE
Materi yang tepat, bila tidak dibarengi dengan metode yang tepat, belum tentu bisa memberikan pencerahan. Hal ini karena obyek dakwah itu adalah manusia. Dalam diri manusia itu memang ada potensi untuk mengetahui atau memahami sesuatu, yaitu akal (‘aql), akan tetapi dalam diri manusia juga ada potensi untuk suka atau tidak suka, percaya atau tidak, senang dan tidak senang,  malah marah dan benci terhadap sesuatu.
Masalah pertama dalam metode dakwah adalah bagaimana supaya orang tertarik untuk memperhatikan  apa yang akan didakwahkan. Salah satu hikmah penempatan potongan huruf-huruf tertentu di awal beberap surat Al-Qur`an, yang tidak dipahami maksudnya oleh penduduk Arab, khususnya masyarakat Mekah, menurut sejumlah mufassir, terkait dengan kepentingan ini, yaitu menarik perhatian, agar mereka mau mendengarkan pesan-pesan yang terdapat pada ayat berikutnya (al-Qurthubi, 1993: jilid 1, juz 1: 109). Dalam berbagai riwayat ditemukan bahwa di antara cara yang dilakukan Nabi untuk menarik perhatian masyarakat agar bersedia meluangkan waktu unntuk mendengarkan pesan-pesannya adalah dengan memperlihatkan wajah serius, mata merah, nada suara tinggi, seakan hendak mengatakan bahaya besar yang bisa terjadi secara tiba-tiba, seperti serangan mendadak dari musuh di pagi atau pun sore hari kaannahu mundziru jaisy yaqul: shabbahakum wa massakum (Muslim, 2008: 227).
Masalah kedua adalah bagaimana membuat orang percaya terhadap itikad baik atau kejujuran juru dakwah dan yang disampaikannya itu benar-benar penting dan datang dari Allah. Untuk kepentingan ini segala sesuatu yang akan mengganggu atau mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat mesti dihindari. Termasuk dalam hal ini menjaga muru`ah dan pandangan masyarakat terhadap simbol-simbol khusus untuk pemuka-pemuka agama, seperti; tutup kepala, model pakaian tertentu dan menghindari canda yang berlebihan. Rasulullah SAW. telah melaksanakan prinsip ini, sehingga beliau digalari dengan al-amiin. Secara umum disebutkan bahwa Rasulullah SAW. benar-benar memiliki akhlak yang agung (al-Qalam: 4), sangat penyantun dan penyayang (al-Tubah: 128), menjadi teladan bagi umat beriman (al-Ahzab: 21). Untuk kondisi saat ini, di samping kepercayaan terhadap itikad baik dan pentingnya isi pesan yang akan disampaikan, masyarakat perlu diyakinkan tentang kredibilitas juru dakwah. Misalnya, bila mendengarkan juru dakwah tidak fasih mengucapkan kata-kata muqaddimah dalam bentuk tahmid, tasyahud dan shalawat Nabi serta tidak lancar membaca teks-teks ayat Al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi, maka cukup beralasan kalau masyarakat meragukan tingkat keilmuan juru dakwah. 
Masalah ketiga adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan Islam yang mudah ditangkap dan dipahami semua pihak dan bagaimana menimbulkan kesan dan menciptakan opini bahwa ajaran Islam itu mudah dimengerti dan mudah diamalkan. Dalam banyak ayat dan hadis Nabi, prinsip ini disebutkan berulang kali, antara lain; Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (al-Baqarah: 185). Allahsekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (al-Hajj: 78). Mudahkanlah, jangan mempersulit, gembirakanlah, jangan membuat orang lari! Hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Burdah dari bapaknya, dari Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’adz ibn Jabal (al-Bukhari, 2008: 521)
Masalah keempat adalah bagaimana mengungkapkan keistimewaan ajaran Islam dan keuntungan yang diperoleh oleh mereka yang menerapkannya. Untuk itu diperlukan ilmu bantu, seperti pengetahuan sejarah tentang bagaimana malapetaka yang dialami mereka yang mendurhakai agama Allah dan bagaimana pula kemajuan yang diperoleh generasi yang menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan mereka. Demikian pula tidak kalah pentingnya temuan-temuan ilmiah yang bisa dijadikan bukti kebenaran Al-Qur`an.  Secara umum Al-Qur`an menyuruh umat umat manusia melakukan pengembaraan di muka bumi untuk memperhatikan bagaimana nasib umat terdahulu yang membangkan terhadap agama yang diturunkan Allah. Tidak kurang dari tiga belas kali tuntutan ini diulang-ulang dalam Al-Qur`an (Ali ‘Imran: 137, al-An’am: 11, Yusuf, 109, al-Nahl: 36, al-Naml: 69, al-Rum: 9/42, Fathir: 44, Ghafir: 21/82, Muhammad: 10) . 
Metode yang tidak tepat bisa membuat obyek dakwah tersinggung, sedangkan dengan metode yang tepat, pesan-pesan yang disampaikan juru dakwah mampu membuat orang tersentuh. Dalam kosa kata Indonesia, tersinggung dan tersintuh kadang-kadang punya makna yang sama, yaitu bila berhubungan dengan benda mati. Akan tetapi bila konteksnya hati seseorang, maka maknanya bertolak belakang.  Hati yang tersinggung mengundang rasa benci da marah, sebaliknya hati yang tersentuh membuat orang tertarik dan suka.


III
TEPAT METODE TANPA MERUBAH ISI

Antara ketepatan materi dengan ketepatan metode kelihatannya sama –sama penting. Paling tidak hal ini dapat dilihat pada kasus penugasan sahabat Nabi, Mu’dz ibn Jabal sebagai juru dakwah ke Yaman. Setidaknya ada tiga kelompok hadis yang membicarakan tugas Mu’adz ini: Pertama, terdapat dalam bagian hadis yang membicarakan tugas Mu’adz mengajak penduduk Yaman masuk Islam dan mengamalkan pokok-pokok ibadah dalam Islam, Kedua, terdapat dalam kelompok hadis-hadis yang membicarakan cara-cara berdakwah. Ketiga, terdapat dalam hadis-hadis qadha`. Hadis -hadis yang berbicara tentang diutusnya Mu’adz ke Yaman kelihatannya menunjukkan bahwa sahabat Nabi ini diberi tugas, di samping sebagai juru dakwah juga sebagai qadhi (hakim). Tugas sebagai juru dakwah terlihat dari judul hadis tersebut dalam kitab Shahih Muslim hadis nomor 19 yaitu: al-Du’a` ila Syahadatain wa Syarai’ al-Islam yang artinya: Dakwah mengajak orang kepada Dua kalimah Syahadat dan Syari’at Islam. Bahwa ia juga ditugaskan sebagai qadhi, juga terlihat dari judul dan isi hadisnya. Dua kitab hadis yang membicarakan peristiwa tersebut menempatkan hadis tersebut di bawah judul : Ijtihad al-Ra`y fi al-Qadha` dan Ma Ja`a fi al-Qadhi Kaifa Yaqdhi. Selanjutnya tiga redaksi tersebut berisi pertanyaan Nabi: Kaifa Taqdhi.
Dalam ketiga hadis tersebut diceritakan bahwa sebelum berangkat, terlebih dahulu dilakukan semacam uji kompetensi dan pembekalan.
Untuk masalah ketepatan materi Rasulullah SAW. mengemukakan sejumlah pertanyaan kepada Mu’adz yang isinya, dengan apa diselesaikan persoalan-persoalan yang muncul di tengah masyarakat.  Mu’adz menjawab dengan mengatakan bahwa ia akan putuskan dengan Kitab Allah atau Al-Qur`an. Seandainya ketentuan masalah tersebut tidak ia temukan dalam Kitab Allah, ia akan merujuk dan mengamalkan Sunnah Nabi. Sekiranya dalam Sunnah Nabipun tidak ditemukan, ia akan menggunakan nalarnya, namun tetap berpegang kepada prinsip yang terkndung dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi. Informasi ini ditemukan dalam Hadis Riwayat Abu Daud, al-Tirmidzi, Ahmad ibn Hanbal dan al-Darimi dari sahabat-sahabat Mu’adz (Abu Daud, 2000: 608, al-Tirmidzi, 2002: 409/410, al-Darimi, 1994: juz 1).  
Untuk kepentingan metode, Rasulullah SAW. berpesan, agar dakwah yang dilakukan mu’adz menggam- barkan  kemudahan dan menarik. Dalam hadis riwayat al-Bukhari ditemukan pesan Rasulullah SAW. tersebut ditujukan kepada Mu’adz ibn Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari: “ Mudahkanlah, jangan mempersulit dan gembirakanlah (buatlah orang tertarik), jangan membuat orang lari dan bekerja samalah, jangan berselisih!  Agar penyampaian dakwah itu tidak memberatkan dan tidak menakutkan, antara lain Rasulullah SAW. mengingatkan agar ketentuan-ketentuan syari’at disampaikan secara berangsur-angsur, tidak secara drastis. Mula-mula orang diajak untuk meyakini dan mengikrarkan dua kalimah syahadat. Seandainya berhasil, Mu’adz disuruh menyampaikan kewajiban shalat yang lima waktu. Kalau kewajiban ini telah dipatuhi, pesan dakwah berikutnya adalah kewajiban untuk para hartawan untuk menyerahkan zakatnya buat fakir miskin. Lebih jauh Rasulullah mengingatkan Mu’adz, kalau yang punya harta menyerahkan sepenuhnya untuk mengambil harta yang patut dizakatkan, jangan diambil harta kesayangan mereka, agar tidak menimbulkan efek jera di hati mereka. Malah Nabi memperingatkan agar penerapan ketentuan syari’at ini tidak sampai membuat orang teraniaya (al-Bukhari, 2008: 182, hadis nomor 1496). Termasuk dalam hal ini, misalnya pemungutan zakat bagi orang yang belum wajib berzakat atau mengambil harta zakat melebihi batas ketentuan yang sudah ditetapkan.  
Contoh lain dalam hal mengkombinasikan antara ketepatan materi dengan metode yang menarik adalah ketika dua orang sahabat Nabi dihadapkan kepada masalah antara mengulangi shalat yang sudah dilakukan dalam keadaan suci dengan cara bertayammum lantaran tidak menemukan air, setelah mereka menemukan air sedangkan waktu shalat masih ada. Kedua sahabat ini ternyata tidak sependapat dalam masalah ini. Salah seorang mengulangi shalatnya, sedangkan yang lain menganggap tidak ada ketentuan mengulanginya. Setelah persoalan itu diajukan kepada Rasulullah SAW. , kedua sahabat ini mendapat jawaban yang berbeda, tetapi tidak ada yang merasa dikecewakan. Kepada yang tidak mengulangi, Rasulullah SAW. menyatakan bahwa pendapatnya benar sesuai menurut Sunnah, sedangkan kepada yang mengulangi Rasulullah SAW. menyatakan bahwa ia mendapat dua pahala (Abu Daud, 2000, 75/76. Hadis nomor 336).
Ada yang unik dari jawaban Rasulullah SAW. ini. Bila salah satu pendapat yang berlawanan dinyatakan benar dan sesuai menurut sunnah, tentu logika kebalikannya yang satu lagi salah dan tidak menurut Sunnah.  Akan tetapi Rasullullah SAW. tidak menggunakan istilah salah atau keliru untuk pendapat sahabat yang mengulangi shalatnya. Kelihatannya ada sisi tertentu yang perlu diperhatikan dalam kasus ini. Pertimbangan tidak hanya kepada keputusan pendapat saja, tetapi juga pada sikap kesungguhan untuk mencari kebenaran. Kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mencari kebenaran berbeda hukumnya dengan kesalahan orang yang tidak berusaha menghindarinya. Kalau kesalahan itu terjadi dalam keputusan hasil ijtihad, maka menurut Rasulullah SAW. yang bersangkutan tetap mendapat pahala, walaupun tidak sebanyak pahala yang ijtihadnya betul. Dalam hal ini Rasulullah SAW. menyatakan bahwa apabila seorang hakim menetapkan hukum, lalu ia berijtihad dan ternyata ijtihadnya betul, maka ia mendapat dua pahala. Sebaliknya bila ia menetapkan hukum, lalu ia berijtihad dan ternyata ijtihadnya keliru, maka ia mendapat satu pahala (al-Bukhari, 874. Hadis nomor 7352).  
Dengan demikian sebenarnya sahabat yang pendapatnya benar dan sesuai menurut Sunnah lebih beruntung dari yang mengulangi shalatnya. Hal ini karena dari segi ketepatan hasil ijtihad dia sudah beruntung mendapat dua pahala, sedangkan yang mengulangi shalatnya ternyataijtihadnya keliru, tapi karena itu hasil ijtihad, ia mendapat pahala satu.  Pahala ijtihad yang  mengulangi ditambah dengan pahala pelaksanaan shalatnya ia dapat dua, sedangkan yang tidak mengulangi tentu saja mendapat tiga setelah ditambah dengan pahala shalat. Untuk kepentingan dakwah sengaja tidak menyebutkan keuntungan pihak yang pertama. Pernyataan Rasulullah SAW. bahwa pendapatnya benar dan sesuai menurut Sunnah sudah cukup membuatnya lega dan puas.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa: Pertama, materi yang disampaikan dalam kegiatan dakwah haruslah tepat dalam arti jelas sumbernya dalam Al-Qur`an atau Sunnah Rasul dan sesuai maksudnya dengan kandungan  kedua teks wahyu tersebut.   Kedua, penyampaian pesan dakwah harus menggunakan metode yang tepat, namun untuk kepentingan metode, tidak perlu mengorbankan materi.       




REFERENSI

Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 2000), cet. I
Bukhari, Abu ‘Abdillah Isma’il al-, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008), cet. I
Darimi, Abu Muhammad ‘Abdullah ibn Bahram al-, Sunan al-Darimi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)
Mahfuzh, ‘Ali , Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zh wa al-Khithabah, (T. Tp.: Dar al-I’tisham, 1952
Muslim, Abu al-Husain ibn al-Hajjaj al- Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008), cet. I
Qurthubi, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993)
Sa’di, ‘Abd al-Rahman ibn Nashir al- Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Riyadh: Dar Ihda` al-Mujtama’, t.t.)
Shabuni, Muhammad  ‘Ali al-, Shafwat al-Tafasir, (Beirut: Dar al-Qur`an al-Karim, 1981), cet.IV
Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa al-, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), cet.I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar