PLURALISME DAN TOLERANSI
PERSPEKTIF MUHAMMADIYAH ; SUATU KONTRIBUSI[1]
Oleh: Dr. Samsul Nizar [2]
URGENSI MEMPERBINCANGKAN DISKURSUS PLURALISME
Secara umum,
pluralisme berarti paham keberagaman (majemuk). Keberagaman di sini meliputi
keberagaman suku, agama, ras, dan adat istiadat.[3] Di Indonesia,
diskursus pluralisme –khususnya Islam dan pluralisme-- merupakan tema yang
banyak menjadi sorotan dari para cendekiawan pada dekade 1980-an, bahkan sampai
hari ini. Urgensi memperbincangkan diskursus pluralisme berangkat dari kondisi
obyektif bangsa Indonesia yang memiliki tingkat kemajemukan yang cukup tinggi,
baik secara pisik (negara kepulauan) maupun sosial-budaya ; bukan saja
suku, bahasa, adat istiadat, bahkan agama yang menunjukkan tingkat
heterogenitas yang cukup signifikan.[4]
ISLAM DAN
PLURALISME
Islam (aslama = keselamatan) merupakan agama
kemanusiaan dan kedamaian (Q.S. al-Maidah : 16). Konsepsi ini
terlihat dari pesan al-Qurân : “dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling
berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang” (Q.S. al-Balad :
17). Dalam hal ini,
eksistensi Islam merupakan rahmatan li al-‘âlamîn, bukan hanya bagi umatnya (internal), akan tetapi bagi
umat agama lain (eksternal) bahkan seluruh alam semesta. Konsep pluralitas ini
merupakan misi Islam sebagai agama yang aslama (pembawa keselamatan). Ajaran
ini menempatkan Islam sebagai agama yang sangat menghargai pluralitas.
Diskursus ini dapat dilihat pada bukti historis dari perjalanan kehidupan
Rasulullah, baik tatkala berada di Mekah maupun di Madinah. Bahkan dalam
sejarah agama-agama, baik zaman pertengahan maupun modern terlihat demikian
jelas bahwa tatkala Islam menjadi penganut mayoritas, maka eksistensi
agama-agama lain tidak mendapatkan kesulitan berarti dalam melaksanakan ajaran
agamanya. Akan tetapi, tatkala mayoritas adalah pemeluk non Islam dan kaum
muslim berada pada posisi minoritas, umat Islam selalu mendapatkan intimidasi
dan berbagai kesulitas yang demikian menyakitkan.[5] Padahal, dalam
batasan ideal, setiap agama memiliki ajaran aslama (pembawa
keselamatan) yang teraplikasi dalam sikap ketundukan dan kepasrahan terhadap
ajaran Tuhan. Dalam hal ini terlihat jelas bagaimana umat beragama telah
melupakan esensi universalitas ajaran agamanya. Adapun yang lebih dimunculkan
hanyalah fanatisme yang berlebihan. Sikap dan pemahaman yang demikian
menyebabkan munculnya peluang konflik antar umat beragama yang cukup tinggi dan
beresiko multi dimensi.
Bila pluralisme
ditarik dalam wacana internal Islam, maka makna pluralisme dapat dipahami
sebagai universalitas dan inklusivitas Islam. Fenomena ini teraplikasi dan
teruji secara legal dalam pemerintahan Islam dengan lahirnya Piagam Madinah[6], sebagai simbol
pluralitas Islam. Dalam konteks ini, secara eksternal Islam memberikan penghargaan
yang demikian tinggi dan perlindungan hukum yang sama terhadap pemeluk agama di
luar Islam. Sementara secara internal Islam juga memberikan peluang kepada
umatnya untuk memahami Islam dalam arti yang luas, bukan fanatisme yang sempit.
Dinamika perbedaan pendapat dalam persoalan furu’iyah (persoalan yang tidak
substantif) merupakan bentuk konkrit adanya pluralitas pemahaman umat terhadap
ajaran Islam. Dalam konteks ini, perbedaan pendapat merupakan bentuk dinamika
berpikir dan pemahaman umat terhadap ajaran agamanya. Dalam hal ini Islam bahkan melihat, bahwa
kemajemukan pendapat tersebut justeru merupakan rahmat. Namun demikian, dalam
kehidupan sehari-hari, akibat pemahaman umat yang sempit dan fanatisme yang
berlebihan, melihat perbedaan kemajemukan pendapat sebagai “musuh” dan tidak
benar. Fenomena yang demikian juga terjadi pada agama Kristen, Hindu, dan Budha
dengan adanya beberapa ordo (aliran) agama.
Kerawanan internal juga dapat terjadi bila
intern umat beragama melakukan pemetaan atau penilaiannya yang keliru terhadap
sesamanya dengan melihat suku, ras, dan adat istiadat. Seolah-olah yang perlu
didekati adalah kelompok yang sama dengannya. Bila suatu kelompok (meskipun
seagama) berbeda suku, ras, dan adat istiadat dengannya, maka dipandang sebagai
kelompok yang perlu diwaspadai. Padahal,
secara historis persoalan ini sudah dicairkan tatkala peristiwa hijrah Rasul.
Bahkan, Allah secara tegas menyebutkan dalam firman-Nya (Q.S. al-Hujurat : 13).
Fenomena ini merupakan wacana pluralisme internal yang seringkali terlupakan
dan terabaikan untuk dicermati kemungkinan dampak negatifnya.
Padahal, sikap yang demikian merupakan pemicu terjadinya berbagai konflik
internal yang cukup potensial. Sementara wacana pluralisme eksternal dapat
dilihat bagaimana Islam memerintahkan agar umatnya senantiasa memegang teguh
perjanjian bilateral maupun multilateral, akan tetapi seringkali tidak ditepati
oleh kelompok di luar Islam. Fenomena ini dapat dilihat dari firman
Allah :
Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada
sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau
orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk
memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia
memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka
memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta
mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk
menawan dan membunuh) mereka. (Q.S. an-Nisa’ : 90)
(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian
dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan
mereka tidak takut (akibat-akibatnya). (Q.S. al-Anfal : 56)
Berpijak
pada wacana di atas, maka wacana membangun pemahaman pluralisme menjadi semakin
urgen, bukan saja terhadap umat antar agama, tetapi juga terhadap sesama intern
umat dalam suatu agama. Dalam hal ini, ada baiknya dipikirkan
alternatif yang dapat ditawarkan dan perlu dikembangkan di tengah-tengah masyarakat
yang majemuk dalam upaya membangun kerangka pluralisme, yaitu : (1) menjamin
keselamatan pisik dari tindakan di luar hukum. (2) memberikan keselamatan umat
melaksanakan ajaran agama yang diyakininya, tanpa melakukan intimidasi dan
pemaksaan umat agama lain berpindah. (3) menjamin
keselamatan keluarga dan keturunan pemeluk agama. (4) menjamin keselamatan
harta benda pemeluk agama dari tindakan di luar hukum. (5)
menjamin keselatan profesi pemeluk agama.[7]
Dari
wacana di atas, terlihat jelas demikian urgennya pluralime bagi umat manusia.
Dalam hal ini, pemahaman positif terhadap wacana pluralisme merupakan suatu
keharusan, bukan saja karena tuntutan objektif dari realitas kehidupan modern,
karena wacana pluralisme merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari ajaran
agama-agama. Hanya saja, dalam konteks ini pluralisme dibatasi hanya menyangkut
persoalan peradaban umat manusia dan kehidupan sosial (human relation)
antar umat beragama,[8]
bukan menyangkut pada persoalan keyakinan terhadap agama (aqidah). Batasan ini
dapat dilihat dari firman-Nya dalam Q.S. al-Kâfirûn : 1-6.
PLURALISME ;
MEWASPADAI PEMAKNAAN YANG KELIRU
Pasca kehancuran komunisme di dunia
dengan ditandai runtuhnya kekuatan Uni Soviet, maka Barat kehilangan “kambing
hitam” yang selalu dijadikan alasan berbagai tindakan negatif yang dilakukan. Upaya mencari “kambing hitam”
kemudian mereka tujukan kepada kelompok Islam fundamentalis sebagai sosok
“kambing hitam” yang cukup strategis dalam upaya membersihakan tangan mereka
dari perbuatan yang sesungguhnya mereka lakukan. Upaya ini dapat dilihat dari
pemberitaan media elektronik Barat yang dengan gencar memandang sinis dan
negatif terhadap kelompok Islam fundamentalis dibeberapa negara Islam; seperti
dibeberapa negara timur tengah, Palestina, Syiria, Libya, Afganistan, dan
lainnya, sebagai sumber dan biangnya teroris.[9]
Bahkan pada dekade terakhir, muncul isu-isu negatif terhadap Indonesia dari
pers Barat, baik yang menyangkut HAM, perang antar etnis dan agama, dan
teror-teror bom yang terjadi sebagai negara yang melindungi teroris.
Upaya-upaya pers Barat yang menyudutkan posisi Indonesia dengan berbagai
tuduhan miring tersebut perlu diwaspadai. Jika tidak, bukan tidak mungkin
kemudian rakyat kemudian terpengaruh sehingga berbuat tindakan anarkhis. Padahal
Indonesia dari dulu terkenal sebagai bangsa yang sangat memperhatikan
pluralitas, baik agama, suku, ras, dan adat istiadat. Dalam konteks ini,
tuntutan pluralisme hanya ditujukan pada Islam, tidak untuk agama lain
(terutama Nasrani dan Yahudi), atau hanya untuk kelompok marginal secara
politis. Dalam persoalan
ini, penekanan konsep pluralisme di dunia terkesan pluralisme subjektif.
Berkembangnya
masyarakat baru dan mobilitas horizontal, termasuk mobilitas demografis, dalam lintas sejarah dunia Islam –terutama
Arab-- telah membentuk masyarakat-masyarakat perbatasan di pinggiran imperium.
Di kawasan ini terjadi pertemuan berbagai kelompok etnis dan bentuk-bentuk
kebudayaan lokal. Masyarakat di wilayah pinggiran imperium lebih pluralistis
dari masyarakat dalam imperium (Arab). Sementara di kawasan yang menjadi
pusat-pusat kekuasaan terjadi kecenderungan konsolidasi dan pencarian
identitas. Untuk itu, pada daerah frontier dibutuhkan aturan-aturan pergaulan
yang lebih fleksibel.
Di Indonesia pendekatan
dan kritikan pemikiran yang demikian sudah muncul sebelum abad 20 atau jelasnya
pada pertengangan abad 19. Di antara yang terkenal adalah “Ajaran Turjumah” yang diperkenalkan oleh KH. Ahmad Rifa’i
Kalisalak di daerah pantai utara Jawa Tengah. Sekalipun Rifa’i lebih menonjol
sebagai ahli fiqih, namun banyak pandangan teologis yang dilontarkannya sebagai
dasar argumen terhadap pandangan fiqihnya. Pandangannya tentang pengkafiran
kaum penjajah dan pengikut-pengikutnya yang dikaitkannya dengan kebobrokan
moral kaum birokrat pribumi dalam adminitrasi kolonial. Pandangannya tersebut dapat
dianggap mewakili rakyat kecil --kelompok faqir-- yang terjajah,
mengalami marginalisasi administratif-politis dalam kebijakan kolonial saat
itu.
Sesungguhnya pandangan
di atas, secara filosofis merupakan fenomena yang terus ada sampai saat ini.
Pluralitas kebangsaan seringkali dicampakkan atau bahkan dijadikan alat bagi
kepentingan golongan tertentu. Akibatnya, pluralitas kebangsaan seringkali
menjadi pemicu terjadinya kerawanan integritas bangsa. Padahal makna pluralitas
yang dipesankan al-Quran tidak demikian halnya. Pluralitas dalam al-Quran
(Islam) sesungguhnya merupakan piranti strategis bagi mempererat rasa
kebangsaan, tanpa merusak dinamika kebudayaan yang ada.
Gerakan
Muhammadiyah yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, adalah suatu
gerakan modern yang dimulai dengan suatu pandangan teologis yang bersifat
positif dan konstruktif, serta berbeda dengan teologi lainnya yang acapkali
mengambil sikap perlawanan terhadap nilai-nilai pluralitas. Dengan paham
teologi baru ini telah merubah pola pikir dan sikap umat menjadi lebih rasional
dan pragmatis dalam melihat makna pluralitas.
Pada masa kemerdekaan ada dua persoalan yang dihadapi
oleh umat Islam yang menimbulkan persoalan-persoalan teologis. Pertama,
persoalan hubungan antara agama dan negara kebangsaan (nation-state).
Persoalan ini sangat menonjol terutama pada dasawarsa ‘50-an dan ‘60-an. Kedua,
sikap dan konsep Islam tentang modernisasi dan pembangunan yang mulai timbul sejak dasawarsa ‘70-an. Sebagai
catatan, pada waktu yang bersamaan, bangsa Indonesia secara keseluruhan juga
menghadapi persoalan dikotomi tradisi-modernitas yang menimbulkan pandangan
--meminjam istilah Rendra-- “menimbang kembali tradisi”. Persoalan di
lingkungan gerakan Islam juga menghasilkan modus yang sama, yaitu menimbang
kembali tradisi.
Masalah-masalah di
atas sebenarnya merupakan kelanjutan dari isu teologis yang timbul sebelumnya.
Hakekat persoalan yang dihadapi oleh umat Islam pada dasarnya adalah bagaimana
menanggapi gejala modernitas dan pluralitas di satu pihak dan tradisi yang
dicerminkan oleh nilai-nilai budaya lokal di lain pihak. Tapi ini bukan hanya
persoalan umat Islam, melainkan persoalan Dunia ketiga umumnya yang berada
dalam dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi budaya “Barat”.
Persoalan teologi kebangsan timbul
karena dirasakannya posisi jiwa dan pemikiran dalam ambiguitas. Di satu pihak
umat Islam tidak bisa menghindari diri dari arus modernisasi berskala global
yang bermula dari peradaban sekuler. Di lain pihak mereka merasa memiliki
pandangan dunia (world view) tersendiri yang berbeda dengan nilai-nilai
yang mendasari arus modernisasi. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam
(Muhammadiyah) untuk melihat pluralitas sebagai suatu rahmat, pemicu
tumbuhnya dinamika, dan perekat rasa kebangsaan. Setiap komponen bangsa harus
memandang bahwa nilai-nilai yang paling hakiki dari modernitas adalah “suatu
hikmah yang hilang” yang harus dipungut kembali, ketika telah ditemukan. Dengan demikian teologi kebangsaan membawa misi
tertentu, yaitu menemukan identitas Islam dan umat Islam di tengah arus
modernisasi yang berskala global.
PLURALISME DAN
TOLERANSI ; PERSPEKTIF MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah adalah organisasi gerakan Islam, gerakan dakwah amar ma’ruf
nahi munkar dan gerakan pembaharuan. Muhammadiyah bukan organisasi politik,
meskipun demikian bukan berarti buta politik atau meninggalkan politik, tetapi
harus dapat mengambil peran politik yang berdimensi etis dan moral. Hal ini
merupakan tanggungjawab terhadap masa depan bangsa. Sebagai organisasi yang
umurnya lebih tua dari negara Indonesia sendiri, Muhammadiyah memiliki sejarah
perjuangan yang cukup panjang. Selama ini, Muhammadiyah dikenal sebagai
organisasi keagamaan dan sosial. Kegiatannya lebih banyak di bidang sosial,
pendidikan, dan keagamaan. Meskipun kegiatan-kegiatan ini semuanya non politik,
dampaknya – dalam jangka panjang – dapat membawa implikasi politik. Untuk itu,
dalam konteks sejarah, Muhammadiyah hanya melakukan politik tinggi (high
politics), bukan politik praktis.
Usaha
Muhammadiyah dalam bidang politik dilaksanakan berdasar landasan dan peraturan
yang berlaku dalam Muhammadiyah. Dalam hubungan ini Mukhtamar Muhammadiyah
ke-38 telah menegaskan bahwa :
1. Muhammadiyah
adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang kehidupan manusia dan
masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi
dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.
2.
Setiap anggota
Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki
organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku
dalam persyarikatan Muhammadiyah.[10]
Dalam perspektif Muhammadiyah, pluralisme dan toleransi bukan tanpa filter.
Pluralisme dan toleransi yang dianut (disetujui) selama tidak bertentangan
dengan nash al-Quran maupu Hadis. Akan tetapi, tatkala pluralisme dan toleransi
dilakukan dengan sengaja bertentangan dengan nilai kontrol Ilahiah, maka
Muhammadiyah dengan tegas akan menolaknya, baik dalam dataran teoretis maupun
praktis. Secara tegas, sikap Muhammadiyah yang demikian terlihat jelas dalam
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah, yaitu :
1. Muhammadiyah
adalah Gerakan Islam dan Da’wah amar ma’ruf nahi mungkar, berakiqidah Islam dan
bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk
mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah Subhanahu
Wata’ala, untuk melaksanakan fungsi dan missi manusia sebagai hamba dan
khalifah Allah di muka bumi.
2. Muhammaduyah
berkeyakinan bahwa Islam agama Allah yang diwahyukan kepada Rasulnya, sejak Nabi Nabi Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai
kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat
manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan
sepirituil, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah
dalam mengamalkan ajaran Islam berdasarkan: (a) Al-Qur’an (b) Sunnah Rasul (c)
Ijtihad.
4. Muhammadiyah
bekerja untuk melaksankan ajaran-ajaran Islam meliputi bidang-bidang: (a).
Aqidah, (B). Akhlaq, (c). Ibadah, (d). Mu’amalah duniawiyat.
4.1. Muhammadiyah
bekerja untuk tegaknya Aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala
kemusyrikan, bid’ah dan khurofat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut
ajaran Islam
4.2. Muhammadiyahbekerja
untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran
Al-Qur’an dan sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.
4.3. Muhammadiyah
bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh rasulullah SAW, tanpa
tanbahan dari manusia.
4.4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah
duniawiyat (pengelolaan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan
ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah
kepada Allah SWT.
5. Muhammadiyah
mengajak semua lapisan bangsa Indosesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai
sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Rep[ublik Indonesia yang berdassarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar l945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara
yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT ; baldatun tayyibatun wa rabbun
ghafur.[11]
Jika dianalisa secara seksama, 5 pokok pikiran
dalam matan MKCH tersebut di atas mengandung beberapa muatan, yaitu: Pertama,
rumusan angka l dan 2 mengandung pokok-ppokok persoalan yang bersifat
ideologis. Kedua, rumusan angka 3 dan 4 mengandung persoalan
mengenai paham keagamaan Muhammadiyah. Ketiga, rumusan angka 5
memuat persoalan mengenai fungsi dan misi Muhammadiyah dalam masyarakat
(bangsa) Negara Republik Indonesia.
MKCH
berfungsi sebagai petunjuk arah yang menuju cita-cita yang diperjuangkan.
Kedudukannya sebagai penegasan sikap Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan gerakan
tajdid, sesuai dengan paham Muhammadiyah tentang Agama Islam. Kedua fungsi
tersebut adalah transformasi dari keyakinan hidup Muhammadiyah yang meliputi;
Paham hidupnya, pandangan hoidupnya, sikap hidupnya. Ketiga butir hidup
tersebut tealh dirumuskan untuk mencapai cita-cita hidup Muhammadiyah yakni
terwujud masyarakat utama yang adil dan makmur yang diridhai Alllah. Dari sisi
keorganisasian, MKCH berkedudukan sebagai suatu cara melancarkan gerakan, atau
dalam teori organisasi dinamakan siasat
atau taktik perjuangan.
Matan
kepribadian Muhammadiyah menyangkut “sifat Muhammadiyah”, yaitu :
l. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan
kesejahteraan
2.
Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah
3. Lapang
dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam
4. Bersifat
keagamaan dan kemasyarakatan
5.
Mengindahkan segala hukum, UU, peraturan serta dasar dan filsafat negara yang
sah.
6.
Amar
ma’ruf nahi mungkar dalam segala lapangan dan menjadi contoh teladan yang baik.
7. Aktif
dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pembangunan sesuai
dengan ajaran Islam
8. Kerja
sama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan
Agama Islam serta membela kepentingannnya
9.
Membantu
pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan
membangun Negara untuk mencapai masyarakat yang adil-makmur yang diridhai
Allah.
10. Bersifat
adil serta korektif kedalam dan keluar dengan bijaksana.[12]
Hal ini dapat dilihat
dari penentangan dan sikap tegas Buya Hamka –sebagai tokoh Muhammadiyah— ketika
itu, baik dalam mengedepankan pandangannya tentang rencana pemerintah
mendirikan MUI maupun tatkala ia menjadi ketua MUI. Mengenai
pembentukan MUI,[13] pada awalnya --sekitar tahun 1970-- secara tegas ia menolak inisiatif
pemerintah untuk membentuk badan fatwa tersebut. Penolakannya ini muncul karena
khawatir badan keagamaan tersebut akan menjadi “alat” pemerintah dalam menjustifikasi
kebijakan pemerintahan. Akan tetapi, karena berbagai alasan
strategis-politis, maka dalam deklarasi Muktamar MUI I (21-27 Juli 1975) di
Jakarta, ia akhirnya menerima kehadiran lembaga ini dan kemudian terpilih
menjadi ketua umum pertamanya.[14] Penerimaannya terhadap gagasan berdirinya MUI dan kemudian bersedia
dipilih sebagai ketua umum badan keagamaan tersebut dilatarbelakangi oleh dua
alasan, yaitu : Pertama, dalam rangka menghadapi ideologi komunis
(PKI) di Indonesia, maka umat Islam perlu menggunakan ideologi yang lebih kuat,
yaitu ideologi Islam. Untuk memperkuat tumbuhnya ideologi tersebut, maka
umat Islam dituntut bekerja sama dengan pemerintah (Soeharto) yang anti
komunis. Kedua, pada waktu itu, suasana antara pemerintah dengan
kaum muslimin kurang begitu “mesra”, bahkan terkesan bersikap kurang percaya.
Dengan terbentuknya MUI, ia berharap akan tumbuhnya hubungan yang harmonis
antara Islam dan pemerintah.[15]
Keluasan wawasan dan keteguhan pribadinya dalam menjunjung nilai-nilai ajaran
Islam terlihat pada sikapnya yang merdeka dan tidak ingin terkekang oleh
politik pemerintah karena adanya indikasi serta kekhawatiran intervensi
pemerintah yang ingin menjadikan institusi ini untuk menjustifikasi beberapa
kebijakan pemerintah. Padahal, persoalan tersebut bertentangan dengan ajaran
Islam.[16]
Di bawah kepimpinannya, MUI lebih
giat mengeluarkan fatwa terhadap berbagai persoalan keumatan.[17]
Keberadaan institusi ini telah banyak memberikan manfaat, baik bagi pemerintah
–untuk meredam berbagai aksi yang dipicu oleh SARA-- maupun bagi umat Islam
Indonesia pada umumnya. Melalui kemampuan dan kepribadiannya, menjadi salah
satu faktor tertanamnya institusi ini di hati umat Islam. Dengan perkembangan
yang menggembirakan ini, tak heran jika pada Munas MUI II, ia kembali terpilih dan dipercaya
menduduki posisi sebagai ketua MUI masa bakti 1980-1985. Hanya saja, belum
genap setahun jabatan tersebut dipegangnya, dengan penuh keikhlasan ia
meletakkan jabatannya sebagai ketua umum MUI pada bulan Mei 1981.[18]
Keteguhan
sikapnya ini membuatnya untuk merelakan diri hidup dibalik terali besi
(1964-1966). Cobaan yang demikian merupakan bagian hidup yang mesti
dijalaninya. Persoalan ini terjadi karena ia banyak menentang kebijakan politik
pemerintahan Soekarno waktu itu yang menurutnya keliru.[19] Pengalaman
pahit yang demikian tidak menggoyahkan kredo hidupnya dan mengorbankan
kebenaran yang diyakini bagi kepentingan penguasa. Bahkan seluruh rintangan
dihadapinya dengan penuh kerelaan sebagai sebuah perjuangan yang mulia. Di
antara ketegasannya dalam memposisikan makna toleransi adalah
ketika ia menolak kebijakan pemerintah memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973.[20]
Bahkan ketika menteri Agama dipegang
Alamsyah Ratu Prawiranegara yang berupaya melakukan fatwa dengan
diperbolehkannya menyertai peringatan Natal bersama umat Nasrani, ia secara
tegas mengharamkannya dan mengecam keputusan tersebut. Karena itu, pada tanggal
19 Mei 1981, ia memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai Ketua MUI.[21] Tindakan
ini dilakukannya tidak terlepas karena komitmennya yang demikian teguh terhadap
nilai-nilai Islam yang sekaligus menjadi kepribadiannya yang patut dicontoh dan
dikenang.[22]
Sikap tokoh Muhammadiyah yang demikian harus dicermati sebagai sikap
Muhammadiyah dalam menyikapi makna pluralisme dan toleransi, tanpa harus
“memperjualbelikan” ajaran agama yang diyakini.
PLURALISME
DAN TOLERANSI MUHAMMADIYAH ; SEBUAH RENUNGAN
Tatkala sdr Hilman Latief melakukan survey tentang Post
Puritanism Kaum Muda Muhammadiyah tentang Pluralisme, ada beberapa hal yang
perlu dipikirkan ke depan, yaitu :
1. Dalam dimensi makro, Muhammadiyah telah memasuki
wilayah puritanism dan memaknai pluralisme secara proporsional (inklusif),
selama tidak melanggar nilai-nilai esensi ajaran Islam. Akan tetapi, dalam
dimensi mikro, Muhammdiyah belum “berhasil” menanamkan semangat ini pada akar
rumputnya, terutama dalam menyikapi persoalan khilafiyah-fur’iyah (eksklusif).
Dalam konteks ini, Muhammadiyah terkesan belum bersikap pluralisme dalam
memandang kemajemukan penafsiran yang ada, baik secara –terutama— eksternal
maupun internal.
2. Pemaknaan pluralitas hendaknya memiliki bingkai (norma)
yang kokoh. Bila tidak, pluralitas akan terkesan “kebablasan”, pendangkalan
akidah, dan bahkan akhirnya membingungkan umat (pandangan Abdul Munir Mulkhan,
lihat h 19-20). Pemaknaan yang tanpa bingkai justeru akan menyebabkan visi
puritanisme Muhamamdiyah akan menjadi semakin –untuk tidak menyatakan
hilang-- kendur. Pluralisme hendaknya
hanya memasuki wilayah furu’iyah-syari’ah, bukan pada wilayah esensial.
3. Ketika “Kaum Muda”
Muhammadiyah menafsirkan makna pluralisme dan toleransi dengan berpijak pada
rambu-rambu Islam secara utuh –acuan ini dapat dilihat pada Piagam
Madinah-- bukan pada makna modern yang
--oleh sebagian pemikir— “kebablasan”, tidak berarti “Kaum Muda” Muhammadiyah
dikatakan tradisional. Sikap yang demikian justeru berarti ke’arifan dan
kekokohan “Kaum Muda” Muhammadiyah dalam memahami ajaran agamanya. Batasan yang
dikembangkan Hilman Latief di akhir paparannya (h. 39) yang mengajak memaknai
toleransi terhadap pemeluk agama lain bukan dalam makna “kerukunan”, akan
tetapi dalam makna “kerjasama” perlu mendapat apresiasi dan pemikiran yang
jernih, terutama dalam aspek esensi agama. Sebab, jangan sampai sikap yang
demikian justeru –secara politis-historis-- memberikan peluang yang lebih besar
kepada agama lain untuk semakin menjadi raja.
REKOMENDASI
Perlu
mendapat catatan khusus, bahwa harus diakui, Muhammadiyah belum berhasil
merumuskan ajaran-ajaran Islam secara artikulatif. Format pemikiran yang besar
melalui doktrin kembali kepada al-Quran dan Sunnah, terkesan masih berkutat
pada paradigma fikih dan teologi. Sementara aspek kemanusiaan dan
intelektualitas seringkali terabaikan dan bahkan kurang berkembang. Untuk itu,
sudah saatnya Muhammadiyah –secara intensif-- membina dan mengembangkan
pemikiran keislaman yang sementara ini terbaikan. Untuk itu, sudah saatnya
–untuk tidak samasekali dilupakan— gerakan Islam
Muhammadiyah seharusnya merupakan gerakan yang simultan dan komprehensif.
Muhammadiyah seyogyanya ikut menangani hal-hal yang strategis dan
“meninggalkan” pada hal-hal yang bersifat tehnis operasional. Untuk merumuskan
format ajaran Islam secara artikulatif perlu penguasaan ilmu-ilmu alat yang
diperlukan. Kerja sama antar organisasi agama dan kemasyarakatan –dalam makna
pluralitas dan toleransi— perlu didekati secara bijaksana, terutama pada porsi politis-strategis,
tanpa harus melepaskan acuan esensial ajaran agamanya. Dalam konteks ini, “Kaum
Muda” Muhammdiyah perlu membuat suatu paradigma baru yang ‘arif, profesional,
dan proporsional terhadap wacana pluralitas dan toleransi, sesuai dengan tuntutan,
tantangan zaman, dan pesan religius agamanya.
Padang, Madio Juni 2003
[1] Makalah “kontribusi pemikiran” Disampaikan pada Seminar Nasional
“Pluralisme dan Toleransi dalam perspektif Muhammadiyah”
yang dilaksanakan atas kerjasama Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Jakarta
dan Angkatan Muda Muhammadiyah Sumatera Barat pada 21 Juni 2003 di Aula Gedung Pascasarjana
(S-2) IAIN Imam Bonjol Padang.
[2]Penulis adalah Doktor lulusan Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis adalah Dosen Tetap pada
Fakultas Tarbiyah, Dosen Program Pascasarjana (S-2) IAIN Imam Bonjol Padang,
dan Dosen Program Pascasarjana (S-2) UMSB Padang.
[3] Anton M. Moeliono, et-al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1990), h. 691 ; Hartini G.
Kartasapoetra, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Jakarta : Bumi
Aksara, 1992), h. 310 ; Ariyono
Suyono, Kamus Antropologi, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1985),
h. 326
[4]
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan
Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 1992), h. iv
[5]
Ibid., h. xiii
[6] Adapun isi naskah Piagam Madinah sebagai
simbol pluralitas Islam secara rinci selanjutnya lihat J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qurân, (Jakarta
: Rajawali Press, 1994), khususnya pada h. 285-299
[7]
Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”,
dalam Budhy Munawar Rahman, (peny.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah, (Jakarta : Paramadina,
1994), h. 545-52
[8] Dalam hal ini dapat dilihat dari tinjauan sejarah,
di mana Islam cukup menekankan pluralisme terhadap perkembangan ilmu dan
pengetahuan dari luar Islam sebagai bagian kebudayaan umat manusia. Sikap ini
dapat dilihat dengan pengakuan Islam terhadap sumbangan kebudayaan lain,
terutama Yunani, Romawi, dan Persia. Sikap ini akhirnya membuat peradaban islam menjadi
subur dan maju di tengah-tengah pluralitas peradaban dunia. Hanya saja, sikap
inklusivitas tersebut bukan menyebabkan umat Islam kemudian menerima kebudayaan
dari luar Islam tanpa filter (penyaringan
yang cukup selektif sesuai dengan ruh ajaran Islam). Di sinilah kemudian Islam
muncul dengan orisinalitas kebudayaannya yang otentik dan memiliki kepribadian
tersendiri tauhid. Lihat Koentowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta
: Shalahuddin Press, 1985), h. 39
[9]Karel
Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian ; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di
Indonesia (1596-1942), Bandung : Mizan, 1995), h. 222
[10] Abdul Munir Mulkan, (Peny.), Pak AR
Menjawab dari 245 Permasalahan dalam Islam, (Yogyakarta : Sipress, 1990), h. 185
[11] Djamaluddin Ahmad Al-Buny, Pendidikan
Kemuhammadiyahan, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990), h. 77
[12] Sukrianto, et.al.,
(eds), Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah Dari Masa ke Masa,
(Yogyakarta : Dua Mas, 1985), h. 71
[13]MUI berdiri berdasarkan SK
Menteri Agama No. 28 tanggal 1 Juli 1975. Pelantikan pengurus MUI dilakukan
oleh Menteri Agama RI kala itu, Mukti Ali, pada tanggal 27 Juli 1975.
[14]Deliar
Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1984),
h. 73. Pada Muktamar ini ditetapkan AD-ART MUI yang salah satunya berisi
tentang fungsi MUI, yaitu : (1) memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah
keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar
ma’ruf nahi munkar dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional. (2)
mempererat ukhuwah Islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana
kerukunan antar umat bergama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
(3) mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama. (4) penghubung
antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik
antara pemerintah dan umat guna menyukseskan
pembangunan nasional. Lihat Departemen Penerangan RI., 10 Tahun
Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : Dep. Penerangan RI., 1985), h. 39-40
[15] Lebih lanjut lihat, Abdul
Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta : Gema
Insani Press, 1996), h. 222
[16]Persoalan
ini diseputar keinginan menteri agama waktu itu yang meminta agar MUI
mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan untuk menghadiri perayaan Natal. Intervensi ini dijawab
dengan tegas olehnya dengan fatwanya yang mengharamkan agenda tersebut.
Ketegarannya dalam mengeluarkan fatwanya ini sempat “merisaukan” pemerintah
waktu itu. Karena adanya intervensi di institusi ini, maka ia memutuskan untuk
berhenti dan meletakkan jabatannya sebagai ketua MUI. Lihat H.A. Mukti Ali, “Persepsi Buya HAMKA :
Ulama Sudah Lama Terjual”, dalam Nasir Tamara, (eds.), HAMKA di Mata Hati
Umat, (Jakarta : Sinar Harapan, 1983), h. 55-6 dan K.H.E.Z. Muttaqien, “Biarlah Saya
Berhenti”, dalam Ibid., h. 208-9
[17]Tatkala MUI dipimpinnya, institusi ini
lebih banyak mengeluarkan berbagai fatwa, di banding ketika institusi ini
dipimpin Syukri Ghozali, apatahlagi tatkala MUI dipimpin Hasan Basri yang
semakin lamban dan “enggan” untuk mengeluarkan berbagai fatwa yang sesungguhnya
sangat duperlukan oleh umat. Muhammad Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi Islam
dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), h. 259
[18]Ismael Hassan, “HAMKA titik Sentral
Bahagia”, dalam Nasir Tamara, (eds.), HAMKA di Mata, h. 247. Setelah
pengundurannya, posisi ketua umum MUI kemudian digantikan K.H. Syukri Ghozali. Namun sebelum masa jabatannya
berakhir, pada tanggal 20 September 1984, ia meninggal dunia. Sisa masa jabatan
ini kemudian dipegang oleh K.H. E.Z.Muttaqien. Pada pelaksanaan Muktamar MUI
ke-3 atas kesemapakatan bersama terpilih K.H. Hasan Basri sebagai ketua umum
MUI masa bakti 1985-1990 dan 1990-1995.
[19]HAMKA, Antara Fakta dan Khayal Tuanku
Rao, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 13 ; Ahmad Syafii Ma’arif,
Islam dan Politik ; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965),
(Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 103-6 ;
B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (New York : Martinus Nijhoff,
1971), h. 104
[20]Menurut hasil penelitian Tempo,
setidaknya ada 7 (tujuh) pasal RUU tersebut yang bertentangan dengan ajaran
Islam, di antaranya : (1) perkawinan sah bila dilakukan dihadapan seorang
pencatat perkawinan (Pasal 2 : 1) ; (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada
suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan
(Pasal 3 : 2) ; (3) Perkawinan hanya diizinkan jika pria telah berumur 21 tahun
dan perempuan 18 tahun (Pasal 7 : 1) ; (4) Perkawinan dilarang antara dua orang
yang berhubungan antara satu sama lain sebagai anak angkat atau orang tua
angkat atau anak orang tua angkat (Pasal 8 :c) ; (5) apabila suami dan istri
yang telah cerai dan kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk
kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi
(Pasal 10 : 2) ; (6) Perbedaan dikarenakan kebangsaan, kesukuan, tanah asal,
agama, kepercayaan, dan keturunan bukan merupakan penghalang untuk melakukan perkawinan
(Pasal 11 : 2), (7) Masa ‘iddah wanita yang dicerai selama 360 hari,
tetapi bila dia hamil maka ‘iddahnya selama 40 hari (Pasal 12). Umaidi
Radi, Strategi PPP 1973-1982 : Suatu Studi Tentang Kekuatan Politik Islam di
Tingkat Nasional, (Jakarta : Integrita Press, 1984), h. 126 ;
Mohammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia Respon Cendekiawan Muslim,
Terj. Ahmadie Thaha, (Jakarta : Lingkaran Studi Islam, 1987), h. 192
[21] Fatwa yang dikeluarkan MUI 1981 berbunyi :
“MUI memutuskan bahwa : (1)Perayaan Natal di Indonesia, meskipun dimaksudkan
untuk merayakan dan menghormati Nabi Isa a.s., tidak bisa dilepaskan dari
isu-isu yang dibahas di atas (dalam sub ‘mempertimbangkan’); (2) Menghadiri
perayaan Natal diharamkan bagi kaum muslim; dan (3) Agar kaum muslim terhindar
dari praktik syubhat dan dilarang Allah, disarankan kepada mereka untuk
tidak ikut serta dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan perayaan
Natal”. Fatwa ini merupakan fatwa paling lengkap yang pernah dikeluarkan MUI.
Untuk melihat naskah asli fatwa MUI 1981 ini, lihat Majelis Ulama Indonesia, Kumpulan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984), h. 81-9
[22]Farchad
Poeradisastra, “Memang, kebenaran Harus Tetap Disampaikan”, dalam
Nasir Tamara, (eds.), HAMKA di Mata, h. 159
[ Ditulis Ulang Oleh Aya S Miza]
[ Ditulis Ulang Oleh Aya S Miza]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar