Rabu, 25 April 2018

PLURALISME DAN TOLERANSI PERSPEKTIF MUHAMMADIYAH ; SUATU KONTRIBUSI



PLURALISME  DAN  TOLERANSI 
PERSPEKTIF MUHAMMADIYAH ; SUATU KONTRIBUSI[1]

Oleh: Dr. Samsul Nizar [2]



URGENSI MEMPERBINCANGKAN DISKURSUS PLURALISME

Secara umum, pluralisme berarti paham keberagaman (majemuk). Keberagaman di sini meliputi keberagaman suku, agama, ras, dan adat istiadat.[3] Di Indonesia, diskursus pluralisme –khususnya Islam dan pluralisme-- merupakan tema yang banyak menjadi sorotan dari para cendekiawan pada dekade 1980-an, bahkan sampai hari ini. Urgensi memperbincangkan diskursus pluralisme berangkat dari kondisi obyektif bangsa Indonesia yang memiliki tingkat kemajemukan yang cukup tinggi, baik secara pisik (negara kepulauan) maupun sosial-budaya ; bukan saja suku, bahasa, adat istiadat, bahkan agama yang menunjukkan tingkat heterogenitas yang cukup signifikan.[4]

ISLAM  DAN  PLURALISME
   Islam (aslama = keselamatan) merupakan agama kemanusiaan dan kedamaian (Q.S. al-Maidah : 16). Konsepsi ini terlihat dari pesan al-Qurân : “dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang” (Q.S. al-Balad : 17). Dalam hal ini, eksistensi Islam merupakan rahmatan li al-‘âlamîn, bukan hanya bagi umatnya (internal), akan tetapi bagi umat agama lain (eksternal) bahkan seluruh alam semesta. Konsep pluralitas ini merupakan misi Islam sebagai agama yang aslama (pembawa keselamatan). Ajaran ini menempatkan Islam sebagai agama yang sangat menghargai pluralitas. Diskursus ini dapat dilihat pada bukti historis dari perjalanan kehidupan Rasulullah, baik tatkala berada di Mekah maupun di Madinah. Bahkan dalam sejarah agama-agama, baik zaman pertengahan maupun modern terlihat demikian jelas bahwa tatkala Islam menjadi penganut mayoritas, maka eksistensi agama-agama lain tidak mendapatkan kesulitan berarti dalam melaksanakan ajaran agamanya. Akan tetapi, tatkala mayoritas adalah pemeluk non Islam dan kaum muslim berada pada posisi minoritas, umat Islam selalu mendapatkan intimidasi dan berbagai kesulitas yang demikian menyakitkan.[5] Padahal, dalam batasan ideal, setiap agama memiliki ajaran aslama (pembawa keselamatan) yang teraplikasi dalam sikap ketundukan dan kepasrahan terhadap ajaran Tuhan. Dalam hal ini terlihat jelas bagaimana umat beragama telah melupakan esensi universalitas ajaran agamanya. Adapun yang lebih dimunculkan hanyalah fanatisme yang berlebihan. Sikap dan pemahaman yang demikian menyebabkan munculnya peluang konflik antar umat beragama yang cukup tinggi dan beresiko multi dimensi.
Bila pluralisme ditarik dalam wacana internal Islam, maka makna pluralisme dapat dipahami sebagai universalitas dan inklusivitas Islam. Fenomena ini teraplikasi dan teruji secara legal dalam pemerintahan Islam dengan lahirnya Piagam Madinah[6], sebagai simbol pluralitas Islam. Dalam konteks ini, secara eksternal Islam memberikan penghargaan yang demikian tinggi dan perlindungan hukum yang sama terhadap pemeluk agama di luar Islam. Sementara secara internal Islam juga memberikan peluang kepada umatnya untuk memahami Islam dalam arti yang luas, bukan fanatisme yang sempit. Dinamika perbedaan pendapat dalam persoalan furu’iyah (persoalan yang tidak substantif) merupakan bentuk konkrit adanya pluralitas pemahaman umat terhadap ajaran Islam. Dalam konteks ini, perbedaan pendapat merupakan bentuk dinamika berpikir dan pemahaman umat terhadap ajaran agamanya. Dalam hal ini Islam bahkan melihat, bahwa kemajemukan pendapat tersebut justeru merupakan rahmat. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, akibat pemahaman umat yang sempit dan fanatisme yang berlebihan, melihat perbedaan kemajemukan pendapat sebagai “musuh” dan tidak benar. Fenomena yang demikian juga terjadi pada agama Kristen, Hindu, dan Budha dengan adanya beberapa ordo (aliran) agama.
Kerawanan internal juga dapat terjadi bila intern umat beragama melakukan pemetaan atau penilaiannya yang keliru terhadap sesamanya dengan melihat suku, ras, dan adat istiadat. Seolah-olah yang perlu didekati adalah kelompok yang sama dengannya. Bila suatu kelompok (meskipun seagama) berbeda suku, ras, dan adat istiadat dengannya, maka dipandang sebagai kelompok yang perlu diwaspadai.  Padahal, secara historis persoalan ini sudah dicairkan tatkala peristiwa hijrah Rasul. Bahkan, Allah secara tegas menyebutkan dalam firman-Nya (Q.S. al-Hujurat : 13). Fenomena ini merupakan wacana pluralisme internal yang seringkali terlupakan dan terabaikan untuk dicermati kemungkinan dampak negatifnya. Padahal, sikap yang demikian merupakan pemicu terjadinya berbagai konflik internal yang cukup potensial. Sementara wacana pluralisme eksternal dapat dilihat bagaimana Islam memerintahkan agar umatnya senantiasa memegang teguh perjanjian bilateral maupun multilateral, akan tetapi seringkali tidak ditepati oleh kelompok di luar Islam. Fenomena ini dapat dilihat dari firman Allah :
Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka. (Q.S. an-Nisa’ : 90)
(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). (Q.S. al-Anfal : 56)
Berpijak pada wacana di atas, maka wacana membangun pemahaman pluralisme menjadi semakin urgen, bukan saja terhadap umat antar agama, tetapi juga terhadap sesama intern umat dalam suatu agama. Dalam hal ini, ada baiknya dipikirkan alternatif yang dapat ditawarkan dan perlu dikembangkan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dalam upaya membangun kerangka pluralisme, yaitu : (1) menjamin keselamatan pisik dari tindakan di luar hukum. (2) memberikan keselamatan umat melaksanakan ajaran agama yang diyakininya, tanpa melakukan intimidasi dan pemaksaan umat agama lain berpindah. (3) menjamin keselamatan keluarga dan keturunan pemeluk agama. (4) menjamin keselamatan harta benda pemeluk agama dari tindakan di luar hukum. (5) menjamin keselatan profesi pemeluk agama.[7]
Dari wacana di atas, terlihat jelas demikian urgennya pluralime bagi umat manusia. Dalam hal ini, pemahaman positif terhadap wacana pluralisme merupakan suatu keharusan, bukan saja karena tuntutan objektif dari realitas kehidupan modern, karena wacana pluralisme merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari ajaran agama-agama. Hanya saja, dalam konteks ini pluralisme dibatasi hanya menyangkut persoalan peradaban umat manusia dan kehidupan sosial (human relation) antar umat beragama,[8] bukan menyangkut pada persoalan keyakinan terhadap agama (aqidah). Batasan ini dapat dilihat dari firman-Nya dalam Q.S. al-Kâfirûn : 1-6.


PLURALISME ; MEWASPADAI PEMAKNAAN YANG KELIRU
Pasca kehancuran komunisme di dunia dengan ditandai runtuhnya kekuatan Uni Soviet, maka Barat kehilangan “kambing hitam” yang selalu dijadikan alasan berbagai tindakan negatif yang dilakukan. Upaya mencari “kambing hitam” kemudian mereka tujukan kepada kelompok Islam fundamentalis sebagai sosok “kambing hitam” yang cukup strategis dalam upaya membersihakan tangan mereka dari perbuatan yang sesungguhnya mereka lakukan. Upaya ini dapat dilihat dari pemberitaan media elektronik Barat yang dengan gencar memandang sinis dan negatif terhadap kelompok Islam fundamentalis dibeberapa negara Islam; seperti dibeberapa negara timur tengah, Palestina, Syiria, Libya, Afganistan, dan lainnya, sebagai sumber dan biangnya teroris.[9] Bahkan pada dekade terakhir, muncul isu-isu negatif terhadap Indonesia dari pers Barat, baik yang menyangkut HAM, perang antar etnis dan agama, dan teror-teror bom yang terjadi sebagai negara yang melindungi teroris. Upaya-upaya pers Barat yang menyudutkan posisi Indonesia dengan berbagai tuduhan miring tersebut perlu diwaspadai. Jika tidak, bukan tidak mungkin kemudian rakyat kemudian terpengaruh sehingga berbuat tindakan anarkhis. Padahal Indonesia dari dulu terkenal sebagai bangsa yang sangat memperhatikan pluralitas, baik agama, suku, ras, dan adat istiadat. Dalam konteks ini, tuntutan pluralisme hanya ditujukan pada Islam, tidak untuk agama lain (terutama Nasrani dan Yahudi), atau hanya untuk kelompok marginal secara politis. Dalam persoalan ini, penekanan konsep pluralisme di dunia terkesan pluralisme subjektif.
            Berkembangnya masyarakat baru dan mobilitas horizontal, termasuk mobilitas demografis, dalam lintas sejarah dunia Islam –terutama Arab-- telah membentuk masyarakat-masyarakat perbatasan di pinggiran imperium. Di kawasan ini terjadi pertemuan berbagai kelompok etnis dan bentuk-bentuk kebudayaan lokal. Masyarakat di wilayah pinggiran imperium lebih pluralistis dari masyarakat dalam imperium (Arab). Sementara di kawasan yang menjadi pusat-pusat kekuasaan terjadi kecenderungan konsolidasi dan pencarian identitas. Untuk itu, pada daerah frontier dibutuhkan aturan-aturan pergaulan yang lebih fleksibel.
Di Indonesia pendekatan dan kritikan pemikiran yang demikian sudah muncul sebelum abad 20 atau jelasnya pada pertengangan abad 19. Di antara yang terkenal adalah “Ajaran Turjumah” yang diperkenalkan oleh KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak di daerah pantai utara Jawa Tengah. Sekalipun Rifa’i lebih menonjol sebagai ahli fiqih, namun banyak pandangan teologis yang dilontarkannya sebagai dasar argumen terhadap pandangan fiqihnya. Pandangannya tentang pengkafiran kaum penjajah dan pengikut-pengikutnya yang dikaitkannya dengan kebobrokan moral kaum birokrat pribumi dalam adminitrasi kolonial. Pandangannya tersebut dapat dianggap mewakili rakyat kecil --kelompok faqir-- yang terjajah, mengalami marginalisasi administratif-politis dalam kebijakan kolonial saat itu.
Sesungguhnya pandangan di atas, secara filosofis merupakan fenomena yang terus ada sampai saat ini. Pluralitas kebangsaan seringkali dicampakkan atau bahkan dijadikan alat bagi kepentingan golongan tertentu. Akibatnya, pluralitas kebangsaan seringkali menjadi pemicu terjadinya kerawanan integritas bangsa. Padahal makna pluralitas yang dipesankan al-Quran tidak demikian halnya. Pluralitas dalam al-Quran (Islam) sesungguhnya merupakan piranti strategis bagi mempererat rasa kebangsaan, tanpa merusak dinamika kebudayaan yang ada.
Gerakan Muhammadiyah yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, adalah suatu gerakan modern yang dimulai dengan suatu pandangan teologis yang bersifat positif dan konstruktif, serta berbeda dengan teologi lainnya yang acapkali mengambil sikap perlawanan terhadap nilai-nilai pluralitas. Dengan paham teologi baru ini telah merubah pola pikir dan sikap umat menjadi lebih rasional dan pragmatis dalam melihat makna pluralitas. 
            Pada masa kemerdekaan ada dua persoalan yang dihadapi oleh umat Islam yang menimbulkan persoalan-persoalan teologis. Pertama, persoalan hubungan antara agama dan negara kebangsaan (nation-state). Persoalan ini sangat menonjol terutama pada dasawarsa ‘50-an dan ‘60-an. Kedua, sikap dan konsep Islam tentang modernisasi dan pembangunan yang mulai  timbul sejak dasawarsa ‘70-an. Sebagai catatan, pada waktu yang bersamaan, bangsa Indonesia secara keseluruhan juga menghadapi persoalan dikotomi tradisi-modernitas yang menimbulkan pandangan --meminjam istilah Rendra-- “menimbang kembali tradisi”. Persoalan di lingkungan gerakan Islam juga menghasilkan modus yang sama, yaitu menimbang kembali tradisi.
            Masalah-masalah di atas sebenarnya merupakan kelanjutan dari isu teologis yang timbul sebelumnya. Hakekat persoalan yang dihadapi oleh umat Islam pada dasarnya adalah bagaimana menanggapi gejala modernitas dan pluralitas di satu pihak dan tradisi yang dicerminkan oleh nilai-nilai budaya lokal di lain pihak. Tapi ini bukan hanya persoalan umat Islam, melainkan persoalan Dunia ketiga umumnya yang berada dalam dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi budaya “Barat”.
            Persoalan teologi kebangsan timbul karena dirasakannya posisi jiwa dan pemikiran dalam ambiguitas. Di satu pihak umat Islam tidak bisa menghindari diri dari arus modernisasi berskala global yang bermula dari peradaban sekuler. Di lain pihak mereka merasa memiliki pandangan dunia (world view) tersendiri yang berbeda dengan nilai-nilai yang mendasari arus modernisasi. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam (Muhammadiyah) untuk melihat pluralitas sebagai suatu rahmat, pemicu tumbuhnya dinamika, dan perekat rasa kebangsaan. Setiap komponen bangsa harus memandang bahwa nilai-nilai yang paling hakiki dari modernitas adalah “suatu hikmah yang hilang” yang harus dipungut kembali, ketika telah ditemukan. Dengan demikian teologi kebangsaan membawa misi tertentu, yaitu menemukan identitas Islam dan umat Islam di tengah arus modernisasi yang berskala global.
PLURALISME DAN TOLERANSI ; PERSPEKTIF MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah adalah organisasi gerakan Islam, gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan gerakan pembaharuan. Muhammadiyah bukan organisasi politik, meskipun demikian bukan berarti buta politik atau meninggalkan politik, tetapi harus dapat mengambil peran politik yang berdimensi etis dan moral. Hal ini merupakan tanggungjawab terhadap masa depan bangsa. Sebagai organisasi yang umurnya lebih tua dari negara Indonesia sendiri, Muhammadiyah memiliki sejarah perjuangan yang cukup panjang. Selama ini, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi keagamaan dan sosial. Kegiatannya lebih banyak di bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan. Meskipun kegiatan-kegiatan ini semuanya non politik, dampaknya – dalam jangka panjang – dapat membawa implikasi politik. Untuk itu, dalam konteks sejarah, Muhammadiyah hanya melakukan politik tinggi (high politics), bukan politik praktis.
Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik dilaksanakan berdasar landasan dan peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah. Dalam hubungan ini Mukhtamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa :
1.    Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.
2.    Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam persyarikatan Muhammadiyah.[10]
Dalam perspektif Muhammadiyah, pluralisme dan toleransi bukan tanpa filter. Pluralisme dan toleransi yang dianut (disetujui) selama tidak bertentangan dengan nash al-Quran maupu Hadis. Akan tetapi, tatkala pluralisme dan toleransi dilakukan dengan sengaja bertentangan dengan nilai kontrol Ilahiah, maka Muhammadiyah dengan tegas akan menolaknya, baik dalam dataran teoretis maupun praktis. Secara tegas, sikap Muhammadiyah yang demikian terlihat jelas dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah, yaitu :
1.    Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Da’wah amar ma’ruf nahi mungkar, berakiqidah Islam dan bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata’ala, untuk melaksanakan fungsi dan missi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
2.    Muhammaduyah berkeyakinan bahwa Islam agama Allah yang diwahyukan kepada   Rasulnya, sejak Nabi Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya  sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan sepirituil, duniawi dan ukhrawi.
3.    Muhammadiyah dalam mengamalkan ajaran Islam berdasarkan: (a) Al-Qur’an (b) Sunnah Rasul (c) Ijtihad.
4.    Muhammadiyah bekerja untuk melaksankan ajaran-ajaran Islam meliputi bidang-bidang: (a). Aqidah, (B). Akhlaq, (c). Ibadah, (d). Mu’amalah duniawiyat.
4.1.  Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya Aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurofat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam
4.2.  Muhammadiyahbekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.
4.3.  Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh rasulullah SAW, tanpa tanbahan dari manusia.
4.4.   Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah duniawiyat (pengelolaan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
5.    Muhammadiyah mengajak semua lapisan bangsa Indosesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Rep[ublik  Indonesia yang berdassarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar l945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT ; baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.[11]

 Jika dianalisa secara seksama, 5 pokok pikiran dalam matan MKCH tersebut di atas mengandung beberapa muatan, yaitu: Pertama, rumusan angka l dan 2 mengandung pokok-ppokok persoalan yang bersifat ideologis. Kedua, rumusan angka 3 dan 4 mengandung persoalan mengenai paham keagamaan Muhammadiyah. Ketiga, rumusan angka 5 memuat persoalan mengenai fungsi dan misi Muhammadiyah dalam masyarakat (bangsa) Negara Republik Indonesia.
MKCH berfungsi sebagai petunjuk arah yang menuju cita-cita yang diperjuangkan. Kedudukannya sebagai penegasan sikap Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan gerakan tajdid, sesuai dengan paham Muhammadiyah tentang Agama Islam. Kedua fungsi tersebut adalah transformasi dari keyakinan hidup Muhammadiyah yang meliputi; Paham hidupnya, pandangan hoidupnya, sikap hidupnya. Ketiga butir hidup tersebut tealh dirumuskan untuk mencapai cita-cita hidup Muhammadiyah yakni terwujud masyarakat utama yang adil dan makmur yang diridhai Alllah. Dari sisi keorganisasian, MKCH berkedudukan sebagai suatu cara melancarkan gerakan, atau dalam teori organisasi  dinamakan siasat atau taktik perjuangan.
Matan kepribadian Muhammadiyah menyangkut “sifat Muhammadiyah”, yaitu :
l.  Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan
2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah
3. Lapang dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam
4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan
5. Mengindahkan segala hukum, UU, peraturan serta dasar dan filsafat negara yang sah.
6.    Amar ma’ruf nahi mungkar dalam segala lapangan dan menjadi contoh teladan yang baik.
7.    Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam
8.    Kerja sama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama Islam serta membela kepentingannnya
9.    Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat yang adil-makmur yang diridhai Allah.
10.    Bersifat adil serta korektif kedalam dan keluar dengan bijaksana.[12]

Hal ini dapat dilihat dari penentangan dan sikap tegas Buya Hamka –sebagai tokoh Muhammadiyah— ketika itu, baik dalam mengedepankan pandangannya tentang rencana pemerintah mendirikan MUI maupun tatkala ia menjadi ketua MUI. Mengenai pembentukan MUI,[13] pada awalnya --sekitar tahun 1970-- secara tegas ia menolak inisiatif pemerintah untuk membentuk badan fatwa tersebut. Penolakannya ini muncul karena khawatir badan keagamaan tersebut akan menjadi “alat” pemerintah dalam menjustifikasi kebijakan pemerintahan. Akan tetapi, karena berbagai alasan strategis-politis, maka dalam deklarasi Muktamar MUI I (21-27 Juli 1975) di Jakarta, ia akhirnya menerima kehadiran lembaga ini dan kemudian terpilih menjadi ketua umum pertamanya.[14] Penerimaannya terhadap gagasan berdirinya MUI dan kemudian bersedia dipilih sebagai ketua umum badan keagamaan tersebut dilatarbelakangi oleh dua alasan, yaitu : Pertama, dalam rangka menghadapi ideologi komunis (PKI) di Indonesia, maka umat Islam perlu menggunakan ideologi yang lebih kuat, yaitu ideologi Islam. Untuk memperkuat tumbuhnya ideologi tersebut, maka umat Islam dituntut bekerja sama dengan pemerintah (Soeharto) yang anti komunis. Kedua, pada waktu itu, suasana antara pemerintah dengan kaum muslimin kurang begitu “mesra”, bahkan terkesan bersikap kurang percaya. Dengan terbentuknya MUI, ia berharap akan tumbuhnya hubungan yang harmonis antara Islam dan pemerintah.[15] Keluasan wawasan dan keteguhan pribadinya dalam menjunjung nilai-nilai ajaran Islam terlihat pada sikapnya yang merdeka dan tidak ingin terkekang oleh politik pemerintah karena adanya indikasi serta kekhawatiran intervensi pemerintah yang ingin menjadikan institusi ini untuk menjustifikasi beberapa kebijakan pemerintah. Padahal, persoalan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.[16]
Di bawah kepimpinannya, MUI lebih giat mengeluarkan fatwa terhadap berbagai persoalan keumatan.[17] Keberadaan institusi ini telah banyak memberikan manfaat, baik bagi pemerintah –untuk meredam berbagai aksi yang dipicu oleh SARA-- maupun bagi umat Islam Indonesia pada umumnya. Melalui kemampuan dan kepribadiannya, menjadi salah satu faktor tertanamnya institusi ini di hati umat Islam. Dengan perkembangan yang menggembirakan ini, tak heran jika pada Munas MUI  II, ia kembali terpilih dan dipercaya menduduki posisi sebagai ketua MUI masa bakti 1980-1985. Hanya saja, belum genap setahun jabatan tersebut dipegangnya, dengan penuh keikhlasan ia meletakkan jabatannya sebagai ketua umum MUI pada bulan Mei 1981.[18]
Keteguhan sikapnya ini membuatnya untuk merelakan diri hidup dibalik terali besi (1964-1966). Cobaan yang demikian merupakan bagian hidup yang mesti dijalaninya. Persoalan ini terjadi karena ia banyak menentang kebijakan politik pemerintahan Soekarno waktu itu yang menurutnya keliru.[19] Pengalaman pahit yang demikian tidak menggoyahkan kredo hidupnya dan mengorbankan kebenaran yang diyakini bagi kepentingan penguasa. Bahkan seluruh rintangan dihadapinya dengan penuh kerelaan sebagai sebuah perjuangan yang mulia. Di antara ketegasannya dalam memposisikan makna toleransi adalah ketika ia menolak kebijakan pemerintah memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973.[20] Bahkan ketika  menteri Agama dipegang Alamsyah Ratu Prawiranegara yang berupaya melakukan fatwa dengan diperbolehkannya menyertai peringatan Natal bersama umat Nasrani, ia secara tegas mengharamkannya dan mengecam keputusan tersebut. Karena itu, pada tanggal 19 Mei 1981, ia memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai Ketua MUI.[21] Tindakan ini dilakukannya tidak terlepas karena komitmennya yang demikian teguh terhadap nilai-nilai Islam yang sekaligus menjadi kepribadiannya yang patut dicontoh dan dikenang.[22] Sikap tokoh Muhammadiyah yang demikian harus dicermati sebagai sikap Muhammadiyah dalam menyikapi makna pluralisme dan toleransi, tanpa harus “memperjualbelikan” ajaran agama yang diyakini.

PLURALISME DAN TOLERANSI MUHAMMADIYAH ; SEBUAH RENUNGAN
Tatkala sdr Hilman Latief melakukan survey tentang Post Puritanism Kaum Muda Muhammadiyah tentang Pluralisme, ada beberapa hal yang perlu dipikirkan ke depan, yaitu :
1.    Dalam dimensi makro, Muhammadiyah telah memasuki wilayah puritanism dan memaknai pluralisme secara proporsional (inklusif), selama tidak melanggar nilai-nilai esensi ajaran Islam. Akan tetapi, dalam dimensi mikro, Muhammdiyah belum “berhasil” menanamkan semangat ini pada akar rumputnya, terutama dalam menyikapi persoalan khilafiyah-fur’iyah (eksklusif). Dalam konteks ini, Muhammadiyah terkesan belum bersikap pluralisme dalam memandang kemajemukan penafsiran yang ada, baik secara –terutama— eksternal maupun internal.
2.    Pemaknaan pluralitas hendaknya memiliki bingkai (norma) yang kokoh. Bila tidak, pluralitas akan terkesan “kebablasan”, pendangkalan akidah, dan bahkan akhirnya membingungkan umat (pandangan Abdul Munir Mulkhan, lihat h 19-20). Pemaknaan yang tanpa bingkai justeru akan menyebabkan visi puritanisme Muhamamdiyah akan menjadi semakin –untuk tidak menyatakan hilang--  kendur. Pluralisme hendaknya hanya memasuki wilayah furu’iyah-syari’ah, bukan pada wilayah esensial.
3.    Ketika  “Kaum Muda” Muhammadiyah menafsirkan makna pluralisme dan toleransi dengan berpijak pada rambu-rambu Islam secara utuh –acuan ini dapat dilihat pada Piagam Madinah--  bukan pada makna modern yang --oleh sebagian pemikir— “kebablasan”, tidak berarti “Kaum Muda” Muhammadiyah dikatakan tradisional. Sikap yang demikian justeru berarti ke’arifan dan kekokohan “Kaum Muda” Muhammadiyah dalam memahami ajaran agamanya. Batasan yang dikembangkan Hilman Latief di akhir paparannya (h. 39) yang mengajak memaknai toleransi terhadap pemeluk agama lain bukan dalam makna “kerukunan”, akan tetapi dalam makna “kerjasama” perlu mendapat apresiasi dan pemikiran yang jernih, terutama dalam aspek esensi agama. Sebab, jangan sampai sikap yang demikian justeru –secara politis-historis-- memberikan peluang yang lebih besar kepada agama lain untuk semakin menjadi raja.

REKOMENDASI
Perlu mendapat catatan khusus, bahwa harus diakui, Muhammadiyah belum berhasil merumuskan ajaran-ajaran Islam secara artikulatif. Format pemikiran yang besar melalui doktrin kembali kepada al-Quran dan Sunnah, terkesan masih berkutat pada paradigma fikih dan teologi. Sementara aspek kemanusiaan dan intelektualitas seringkali terabaikan dan bahkan kurang berkembang. Untuk itu, sudah saatnya Muhammadiyah –secara intensif-- membina dan mengembangkan pemikiran keislaman yang sementara ini terbaikan. Untuk itu, sudah saatnya –untuk tidak samasekali dilupakan— gerakan Islam Muhammadiyah seharusnya merupakan gerakan yang simultan dan komprehensif. Muhammadiyah seyogyanya ikut menangani hal-hal yang strategis dan “meninggalkan” pada hal-hal yang bersifat tehnis operasional. Untuk merumuskan format ajaran Islam secara artikulatif perlu penguasaan ilmu-ilmu alat yang diperlukan. Kerja sama antar organisasi agama dan kemasyarakatan –dalam makna pluralitas dan toleransi— perlu didekati secara bijaksana, terutama pada porsi politis-strategis, tanpa harus melepaskan acuan esensial ajaran agamanya. Dalam konteks ini, “Kaum Muda” Muhammdiyah perlu membuat suatu paradigma baru yang ‘arif, profesional, dan proporsional terhadap wacana pluralitas dan toleransi, sesuai dengan tuntutan, tantangan zaman, dan pesan religius agamanya.

Padang, Madio Juni 2003



[1] Makalah “kontribusi pemikiran” Disampaikan pada Seminar Nasional “Pluralisme dan Toleransi dalam perspektif Muhammadiyah” yang dilaksanakan atas kerjasama Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Jakarta dan Angkatan Muda Muhammadiyah Sumatera Barat  pada 21 Juni 2003 di Aula Gedung Pascasarjana (S-2) IAIN Imam Bonjol Padang.
[2]Penulis adalah Doktor lulusan Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis adalah Dosen Tetap pada Fakultas Tarbiyah, Dosen Program Pascasarjana (S-2) IAIN Imam Bonjol Padang, dan Dosen Program Pascasarjana (S-2) UMSB Padang.
[3] Anton M. Moeliono, et-al., Kamus Besar Bahasa  Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990),  h. 691 ; Hartini G. Kartasapoetra, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992),   h. 310 ; Ariyono Suyono, Kamus Antropologi, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1985), h. 326
[4] Nurcholish Madjid,  Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 1992), h. iv

[5] Ibid., h. xiii
[6] Adapun isi naskah Piagam Madinah sebagai simbol pluralitas Islam secara rinci selanjutnya lihat J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qurân, (Jakarta : Rajawali Press, 1994), khususnya pada h. 285-299
                                                                                                                         
[7] Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dalam Budhy Munawar Rahman, (peny.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta :  Paramadina, 1994), h. 545-52
[8] Dalam hal ini dapat dilihat dari tinjauan sejarah, di mana Islam cukup menekankan pluralisme terhadap perkembangan ilmu dan pengetahuan dari luar Islam sebagai bagian kebudayaan umat manusia. Sikap ini dapat dilihat dengan pengakuan Islam terhadap sumbangan kebudayaan lain, terutama Yunani, Romawi, dan Persia. Sikap ini akhirnya membuat peradaban islam menjadi subur dan maju di tengah-tengah pluralitas peradaban dunia. Hanya saja, sikap inklusivitas tersebut bukan menyebabkan umat Islam kemudian menerima kebudayaan dari luar Islam tanpa  filter (penyaringan yang cukup selektif sesuai dengan ruh ajaran Islam). Di sinilah kemudian Islam muncul dengan orisinalitas kebudayaannya yang otentik dan memiliki kepribadian tersendiri tauhid. Lihat Koentowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta : Shalahuddin Press, 1985), h. 39

[9]Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian ; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), Bandung : Mizan, 1995), h. 222

[10] Abdul Munir Mulkan, (Peny.), Pak AR Menjawab dari 245 Permasalahan dalam Islam, (Yogyakarta : Sipress, 1990), h. 185

[11] Djamaluddin Ahmad Al-Buny, Pendidikan Kemuhammadiyahan, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990), h. 77

[12] Sukrianto, et.al., (eds), Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah Dari Masa ke Masa, (Yogyakarta : Dua Mas, 1985), h. 71
[13]MUI berdiri berdasarkan SK Menteri Agama No. 28 tanggal 1 Juli 1975. Pelantikan pengurus MUI dilakukan oleh Menteri Agama RI kala itu, Mukti Ali, pada tanggal 27 Juli 1975.
[14]Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1984), h. 73. Pada Muktamar ini ditetapkan AD-ART MUI yang salah satunya berisi tentang fungsi MUI, yaitu : (1) memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi munkar dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional. (2) mempererat ukhuwah Islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar umat bergama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. (3) mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama. (4) penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna menyukseskan  pembangunan nasional. Lihat Departemen Penerangan RI., 10 Tahun Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : Dep. Penerangan RI., 1985), h. 39-40
[15] Lebih lanjut lihat, Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 222

[16]Persoalan ini diseputar keinginan menteri agama waktu itu yang meminta agar MUI mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan untuk menghadiri perayaan Natal. Intervensi ini dijawab dengan tegas olehnya dengan fatwanya yang mengharamkan agenda tersebut. Ketegarannya dalam mengeluarkan fatwanya ini sempat “merisaukan” pemerintah waktu itu. Karena adanya intervensi di institusi ini, maka ia memutuskan untuk berhenti dan meletakkan jabatannya sebagai ketua MUI.  Lihat H.A. Mukti Ali, “Persepsi Buya HAMKA : Ulama Sudah Lama Terjual”, dalam Nasir Tamara, (eds.), HAMKA di Mata Hati Umat, (Jakarta : Sinar Harapan, 1983),  h. 55-6 dan K.H.E.Z. Muttaqien, “Biarlah Saya Berhenti”, dalam  Ibid., h. 208-9
[17]Tatkala MUI dipimpinnya, institusi ini lebih banyak mengeluarkan berbagai fatwa, di banding ketika institusi ini dipimpin Syukri Ghozali, apatahlagi tatkala MUI dipimpin Hasan Basri yang semakin lamban dan “enggan” untuk mengeluarkan berbagai fatwa yang sesungguhnya sangat duperlukan oleh umat. Muhammad Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), h. 259
[18]Ismael Hassan, “HAMKA titik Sentral Bahagia”, dalam Nasir Tamara, (eds.), HAMKA di Mata, h. 247. Setelah pengundurannya, posisi ketua umum MUI kemudian digantikan K.H. Syukri  Ghozali. Namun sebelum masa jabatannya berakhir, pada tanggal 20 September 1984, ia meninggal dunia. Sisa masa jabatan ini kemudian dipegang oleh K.H. E.Z.Muttaqien. Pada pelaksanaan Muktamar MUI ke-3 atas kesemapakatan bersama terpilih K.H. Hasan Basri sebagai ketua umum MUI masa bakti 1985-1990 dan 1990-1995.  
[19]HAMKA, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 13 ; Ahmad Syafii Ma’arif, Islam dan Politik ; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 103-6 ;  B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern  Indonesia, (New York : Martinus Nijhoff, 1971), h. 104      

[20]Menurut hasil penelitian Tempo, setidaknya ada 7 (tujuh) pasal RUU tersebut yang bertentangan dengan ajaran Islam, di antaranya : (1) perkawinan sah bila dilakukan dihadapan seorang pencatat perkawinan (Pasal 2 : 1) ; (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan (Pasal 3 : 2) ; (3) Perkawinan hanya diizinkan jika pria telah berumur 21 tahun dan perempuan 18 tahun (Pasal 7 : 1) ; (4) Perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan antara satu sama lain sebagai anak angkat atau orang tua angkat atau anak orang tua angkat (Pasal 8 :c) ; (5) apabila suami dan istri yang telah cerai dan kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi (Pasal 10 : 2) ; (6) Perbedaan dikarenakan kebangsaan, kesukuan, tanah asal, agama, kepercayaan, dan keturunan bukan merupakan penghalang untuk melakukan perkawinan (Pasal 11 : 2), (7) Masa ‘iddah wanita yang dicerai selama 360 hari, tetapi bila dia hamil maka ‘iddahnya selama 40 hari (Pasal 12). Umaidi Radi, Strategi PPP 1973-1982 : Suatu Studi Tentang Kekuatan Politik Islam di Tingkat Nasional, (Jakarta : Integrita Press, 1984), h. 126 ; Mohammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia Respon Cendekiawan Muslim, Terj. Ahmadie Thaha, (Jakarta : Lingkaran Studi Islam, 1987), h. 192
[21] Fatwa yang dikeluarkan MUI 1981 berbunyi : “MUI memutuskan bahwa : (1)Perayaan Natal di Indonesia, meskipun dimaksudkan untuk merayakan dan menghormati Nabi Isa a.s., tidak bisa dilepaskan dari isu-isu yang dibahas di atas (dalam sub ‘mempertimbangkan’); (2) Menghadiri perayaan Natal diharamkan bagi kaum muslim; dan (3) Agar kaum muslim terhindar dari praktik syubhat dan dilarang Allah, disarankan kepada mereka untuk tidak ikut serta dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan perayaan Natal”. Fatwa ini merupakan fatwa paling lengkap yang pernah dikeluarkan MUI. Untuk melihat naskah asli fatwa MUI 1981 ini, lihat  Majelis Ulama Indonesia, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984), h. 81-9
[22]Farchad  Poeradisastra, “Memang, kebenaran Harus Tetap Disampaikan”, dalam Nasir Tamara, (eds.), HAMKA di Mata,  h. 159 

[ Ditulis Ulang Oleh Aya S Miza]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar