KEDUDUKAN ADAT
DALAM PENGAMALAN SYARA`
Oleh: Dr. Zulkarnaini, M. Ag
I
PENDAHULUAN
Masalah yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah:
Bagaimana kedudukan adat dalam pengamalan syara’. Secara lebih terinci, untuk
menjawab pertanyaan atau masalah tersebut, dalam uraian berikut dibahas: Pertama,
lapangan pelaksanaan adat dalam syara’, Kedua, syara’ dalam pandangan
adat dan Ketiga, adat dalam pandangan
syara’.
Bila ditelusuri seluruh kegiatan ummat Islam dalam hal
pengamalan syara’ (syari’at),[1] dapat
dipahami bahwa kegiatan atau praktik yang dipandang sebagai pengamalan syara’
tersebut dapat dikelompokkan kepada dua kelompok besar: Kelompok pertama,
kegiatan yang diatur oleh syara’ secara terinci, seperti tata cara
pelaksanaannya, kondisi pelakunya, jumlahnya, waktu dan tempatnya. Kelompok
kedua, kegiatan yang diatur oleh syara’ secara garis besar atau
prinsip-prinsipnya saja, sedangkan teknis pelaksanaanya diserahkan kepada ummat
dengan mempertimbangkan kemaslahatan, sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat.
Kegiatan-kegiatan yang termasuk kelompok pertama biasa
disebut dengan bidang ibadah atau lapangan ibadah. Yang dimaksud dengan badah
dalam konteks ini adalah ibadah dalam arti khusus yang biasa disebut dengan
ibadah mahdhah atau semata-mata ibadah. Lapangan ibadah itu ada yang
khusus menyangkut hubungan seseorang dengan Khaliqnya, seperti shalat, zikir,
do’a, puasa, i’tikaf dan rangkaian manasik haji. Di samping itu ada pula yang berkaitan dengan hubungan
seseorang atau sekelompok orang dengan sesama makhluk. Termasuk dalam hal ini,
misalnya akad nikah,[2]
pembayaran fidyah, ‘aqiqah, qurban, hukum pidana (jinayah) dan ketentuan
faraidh.
Pelaksanaan ibadah tersebut bersifat apa adanya, sesuai
dengan yang tertera dalam teks Al-Qur`an dan Sunnah. Yang penting dalam hal ini
adalah ketundukan dan kepatuhan. Misalnya pelaksanaan ibadah shalat, jumlah
raka’atnya, bacaan dan waktunya sudah diatur oleh syara’. Tidak ada peluang
untuk menemukan shalat model baru yang lebih baik dari yang sudah diatur dan
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Begitu juga rangkaian manasik haji, ummat
harus patuh menerima ketentuan bahwa Haji itu dilakukan di Mekkah al-Mukarramah
dan di- laksanakan pada musim haji. Dalam rangkaian manasik haji mesti ada yang
namanya wuquf di ‘Arafah, thawaf sekeliling ka’bah, sa’i antara Shafa dan
Marwah. Orang yang melakukan haji dan ‘umrah mesti melakukan ihram dengan
meninggalkan sejum,lah larangan. Meskipun akal fikiran tidak mampu mencerna
kenapa harus keliling ka’bah dan kenapa pula mencium batu hitam (hajar aswad),
kalau ibadah haji tersebut ingin dilakukan dan diterima, ummat harus mematuhi
apa adanya. Akal fikiran hanya digunakan
untuk meneliti kebenaran atau keotentikan informasi ketentuan ibadah tersebut
dari Nabi dan untuk mengetahui maksud yang terdapat dalam informasi ibadah
tersebut.
Kegiatan ummat yang tidak diatur secara terinci, tetapi
pokok-pokok atau prinsip-prinsipnya saja adalah kegiatan yang berhubungan
dengan sesama makhluk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan ini umumnya
termasuk dalam lapangan mu’amalah. Dalam bidang ini terbuka peluang untuk
mencari cara-cara yang lebih tinggi tingkat kemasalahatannya, baik dari segi
waktu, tenaga atau dana. Yang penting dalam hal ini adalah kepatuhan terhadap
“rambu-rambu” yang sudah ditetapkan oleh syara’. Biasanya “rambu-rambu” tersebut berisi ketentuan umum dan
larangan-larangan. Sepanjang ketentuan umum tersebut sudah terlaksana dan
larangan-larangan yang ditetapkan syara’ tidak dilanggar, meskipun model dan
teknis pelaksanaan kegiatannya tidak persis sama dengan yang pernah dilakukan
pada masa Rasulullah SAW, maka hal itu dibenarkan dan tetap dianggap mengikuti
ketentuan syara’.
Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam lapangan mu’amalah
misalnya, jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, pinjam meminjam, gadai
menggadai, urusan makanan, pakaian, perhiasan, rumah tempat tinggal,
transportasi, cara berkelompok dalam bermasyarakat, cara bermusyawarah,
penggunaan bahasa dan alat komunikasi dan lain-lain. Dalam urusan jual beli dan
transaksi-transaksi yang dilakukakan ummat mesti ada sikap saling suka sama
suka, saling menguntungkan, terhindar dari praktik riba, terjauh dari unsur
judi, tidak ada pihak yang merasa dirugikan, tidak ada yang ditutup-tutupi.
Bahasa yang diucapkan, istilah yang dipakai, alat tukar yang digunakan dan cara-cara yang dilakukan untuk terlaksananya
transaksi, selama hal itu sejalan dengan prinsip umum dan tidak ada larangan
yang dilanggar berarti boleh dilakukan.
II
LAPANGAN
ADAT
Yang dimaksud dengan adat (‘adah) dalam tulisan ini
adalah kebiasaan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat secara turun
temurun dan sudah berlangsung lama. Ukuran lama itu bila dilihat dari sudut
pandang syara’ adalah bahwa ketentuan adat tersebut sudah ada sebelum datangnya
ketentuan syara’. Dalam ungkapan syara’ (Al-Qur`an dan Hadis) adat itu disebut
‘urf.[3] Hal ini
terkait dengan asal makna kata atau istilah ‘urf tersebut dengan
asal-usul munculnya adat tersebut.
Secara bahasa, kata ‘urf tersebut
berasal dari kata ‘arafa yang berarti baik atau yang dipandang
baik. Arti kata ‘urf itu sama dengan ma’ruf. [4] Dalam
bahasa Indonesia, kata amar makruf dan nahi munkar tidak asing lagi oleh
masyarakat. Hubungannya dengan asal usul adat yang dibicarakan dalam syara’ itu
adalah bahwa pada awalnya praktik adat itu muncul karena itulah yang dipandang
baik oleh kelompok masyarakat atau mayoritas mereka yang melakukannya.
Lapangan berlakunya adat dalam praktik pengamalan syara’
secara umum adalah dalam bidang mu’amalah. Hal ini
karena praktik pelaksanaan bidang ini tidak diatur secara terinci. Teknis
pelaksana- annya berpeluang untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi
ataupun lingkungan masyarakat yang menerapkannya. Misalnya, prinsip umum dalam
transaksaksi jual beli adalah adanya sikap suka sama suka (taradhin) dan
barang yang diperjual belikan itu bukan sesuatu yang haram. Sikap suka sama
suka itu bisa diungkapkan lewat kata-kata sebagaimana terlihat dalam shighat
ijab dan qabul yang dulu dipraktikkan sebelum munculnya super market atau pasar
modern. Untuk saat ini tutur kata ijab qabul tersebut umumnya sudah
ditinggalkan ummat, karena dirasakan sangat merepotkan. Umumnya ummat Islam
sekarang merasakan bahwa prinsip suka sama suka sudah terpenuhi dengan tindakan
pembeli dan penjual ketika jual beli itu berlangsung. Hal itu ditandai dengan
kebebasan pembeli memilih barang yang disukainya dan menyerahkan alat tukar
kepada kasir sebanyak yang tertera pada barang tersebut. Suasana wajah pembeli
dan kasir ketika berlangsungnya serah terima barang dengan alat tukar yang
berlaku, dimaklumi bersama sebagai indikasi sudah terwujudnya sikap suka sama
suka.
Praktik jual beli yang masih berpeluang melanggar
prinsip dasar syara’ di Sumatera Barat, khususnya di Kabupaten Solok adalah
jual beli di rumah makan. Masalahnya adalah tidak tercantumnya harga menu yang
disuguhkan kepada para konsumen, khususnya konsumen yang tidak biasa makan di
rumah makan tersebut. Suka-sama suka menjadi hilang ketika konsumen membayar
harga yang dimakan, karena tidak sesuai atau setidaknya berpeluang tidak sesuai
dengan yang diperkirakan.
Dalam urusan makanan dan minuman, terutama dalam
kegiatan berbagai jamuan, tidak ada keharusan ummat mengikuti apa yang biasa
dimakan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat beliau. Prinsip umum yang
perlu diperhatikan ummat adalah halal dan thayyibnya. Thayyib artinya
menyenangkan atau sesuai selera. Apapun menu yang disuguhkan dalam
upacara-upacara adat yang berlaku di berbagai wilayah atau daerah, dengan
berbagai variasi bentuk, aroma, warna dan rasa sesuai dengan ciri khasnya
masing-masing, asalkan halal dan thayyib, tidak ada masalah.
Dalam urusan pakaian dan perhiasan terbuka peluang
untuk menciptakan bahan yang halus dan menyenangkan serta berkreasi mencari
model yang indah atau menarik, meskipun tidak sama dengan yang dipakai oleh
generasi awal ummat Islam. Prinsip yang dipelihara adalah; menutup aurat, tidak
menyerupai lawan jenis, menunjukkan identitas pemakainya, melindungi tubuh dari
gangguan udara, cuaca, debu dan unsur lainnya. Kombinasi warna, desain model,
pilihan dasar serta penyesuai waktu dan tempat diserahkan kepada yang
bersangkutan. Begitu pula halnya seragam adat, peguyuban dan suku atau bangsa
tertentu, asalkan tidak melanggar prinsip, pada dasarnya dibolehkan.
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, ketika
ummat Islam dari berbagai suku bangsa dan negara berkumpul di suatu tempat,
misalnya musim haji di tanah suci, kelihatan dengan jelas bahwa busana Muslim
dan Muslimah di dunia ini memiliki corak atau model yang berbeda-beda menurut
ciri khas suku bangsa masing, malah antar sesama bangsa Arabpun terdapat
perbedaan model. Realitas menunjukkan bahwa ada busana Muslim Cina, busana
Muslim Pakistan, busana Muslim Sudan, busana Muslim Mesir, busana Muslim Melayu
dan busana Muslim Indonesia. Antara satu sama lainm sama dalam prinsip,
bervariasi dalam corak atau model.
Dalam hal bahasa atau istilah yang digunakan untuk
kepentingan komunikasi antar sesama ummat, termasuk dengan ummat lain, tidak
ada keharusan untuk mengikuti bahasa Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur`an ada
isyarat agar seseorang, terutama juru dakwah, agar menyampaikan pesan kepada
seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan bahasa mereka yang menerima
pesan tersebut.[5]
III
SYARA’
DALAM PANDANGAN ADAT DAN ADAT DALAM PANDANGAN SYARA’
Ada dua ungkapan yang sekilas seperti berlawanan.
Pertama, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Kedua, adat adalah
salah satu dalil atau dasar dalam menetapkan hukum. Kedua
ungkapan ini digunakan atau berlaku, di tengah-tengah masyarakat Muslim.
Ungkapan pertama menjadi acuan dalam penerapan adat, yaitu adat yang mana yang
tetap dipakai dan dipertahankan, sebaliknya mana pula adat yang semestinya
ditinggalkan. Dalam hal ini sudah menjadi kesepakatan bagi masyarakat
Minangkabau, sesuai dengan ungkapan: Adat basandi syara’, syara’ basandi
Kitabullah, syara’ mangato adat mamakai. Ungkapan ini mengandung arti bahwa
untuk mengukur dan menentukan mana adat yang akan diterapkan dan mana pula yang
akan ditinggalkan perlu diuji dengan pandangan syara’. Selanjutnya apa yang
diterapkan adat itu adalah implementasi dari apa yang telah ditetapkan
syara’.
Ungkapan kedua
menjadi bahan pertimbangan bagi para fuqaha` (pakar hukum syara’) dalam
menetapkan hukum, misalnya untuk menetapkan yang sah dan tidak sahnya suatu
akad. Untuk menilai dan menetapkan mana adat yang basandi syara’ dan mana yang
bukan, diperlukan pemikiran dan penelusuran yang mendalam. Suatu
bentuk praktik adat bila dihubungkan dengan syara’ mengandung lebih dari satu
kemungkinan:
Pertama, sesuai dengan syara’, karena apa yang
dipraktikkan dalam adat itu termaktub dalam Al-Qur`an dan/atau Hadis. Norma
adat tentang menghormati yang lebih tua, menyayangi yang kecil dan
bermusyawarah dengan yang sebaya,[6] persis
sama dengan apa yang termaktub dalam Al-Qur`an dan Hadis.[7] Begitu
pula norma adat tentang anak dipangku (digendong), kamanakan dibimbing dan
orang kampung dipatenggangkan (dipertimbangkan dengan menggunakan
tenggang rasa) serta alam takambang (terhampar) jadikan guru. Dalam
Al-Qur`an dan Hadis banyak terdapat tuntutan kepada setiap Muslim/Muslimah agar
menjalan tanggung jawab mengurus anak dan keluarga khususnya dan masyarakat
sekitar pada umumnya.[8] Begitu juga tuntutan untuk
belajar dari fenomena alam.[9]
Kedua, sesuai dengan syara’ karena tidak
ada syara’ yang mengatur ketentuan tersebut dan tidak ada pula “rambu-rambu”
syara’ yang terlanggar. Termasuk dalam hal ini kebiasaan ibu-ibu bekerja,
khususnya dalam urusan dapur (masak-memasak), sumur (cuci mencuci) dan
pekerjaan-pekerjaan lain yang dipandang cocok dengan urusan ibu-ibu, seperti
berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga, malah mencari nafkah dalam
lapangan yang sesuai dengan kodrat wanita. Dalam persoalan ini tidak ada
ketentuan yang melarang, apalagi kalau hal itu atas kemauan sendiri.
Ketiga, berbeda dari apa yang dikehendaki
syara’ secara umum, namun karena kebiasaan tersebut sudah begitu menyatunya
dengan kehidupan masyarakat, syara’ mebiarkan dalam arti praktik tersebut tidak
dianggap melanggar. Dalam tradisi masyarakat Arab misalnya, menyerahkan urusan
penyusuan bayi sendiri kepada wanita lain sudah begitu menyatunya dengan
kehidupan masyarakat, pada hal dalam sejumlah ayat dinyatakan bahwa ibu yang punya
bayi menyusukan bayinya sendiri selama dua tahun.[10] Bukti bahwa tradisi yang tidak sejalan dengan
syara’ itu dibiarkan adalah dengan adanya ketentuan yang mengatur sesuatu
sebagai akibat hubungan persusuan dengan wanita lain tersebut, yaitu hubungan kemahraman.
Artinya orang yang ada hubungan dengan lawan jenis melalui persusuan haram
melangsungkan akad nikah, baik itu antara ibu susu dengan anak laki-laki yang
disusuinya, maupun antara laki-laki dengan wanita sepersusuan.[11]
Termasuk juga dalam hal ini penetapan jumlah atau nilai
mahar. Pada prinsipnya syara’ menganjurkan untuk mempermudah urusan atau proses
pernikahan, termasuk dalam urusan mahar. Dalam berbagai riwayat disebutkan
bahwa Rasulullah SAW pernah mengizinkan materi mahar itu sebentuk cincin besi,
malah ketika ternyata yang akan kawin itu ternyata tidak mampu mendapatkannya,
Rasulullah SAW pun menikahkannya dengan mengajarkan Al-Qur`an yang dia hafal
kepada isterinya sebagai maharnya.[12] Dalam kehidupan
masyarakat Arab, khususnya Arab Saudi, urusan mahar biasanya ditentukan oleh
keluarga pihak wanita (calon isteri) dan biasanya jumlahnya besar. Praktik itu
telah berlangsung turun temurun jauh sebelum kedatangan agama Islam. Salah satu
contoh mahar yang sudah diterapkan semenjak sebelum Islam adalah sebidang
kebun. Hal ini dapat diketahui misalnya dalam kasus cerai gugat yang pernah
terjadi di masa Rasulullah SAW. Seorang wanita bernama Jamilah atau Habibah
mengajukan permohonan kepada Rasulullah SAW agar diceraikan oleh suaminya yang
bernama Tsabit ibn Qais. Setelah mempertimbangkan alasan permohonan tersebut,[13] Rasulullah SAW menyuruh
isteri si Tsabit itu menyerahkan kembali maharnya yaitu sebidang kebun (hadiqah)
dan Tsabit disuruh menjatuhkan talak kepada isterinya.[14]
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab,
Khalifah kedua ini pernah berusaha melakukan perubahan agar mahar itu
disederhanakan. Hal itu disampaikannya dalam pidatonya dengan alasan bahwa
Rasulullah SAW saja sebagai orang yang paling mulia tidak pernah menetapkan mahar
untuk perkawinan anak-anak peempuannya melebih 12 Uqiyah. Mendengar pernyataan
Khalifah tersebut, tampillah seorang perempuan dengan menyatakan: “Allah
memberi kami sesuatu sedangkan engkau mengharamkannya. Bukankah Allah telah
menyatakan: ...وأتيتم احداهن
قنطارا.... sedang
kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka harta yang banyak.[15] Maka ‘Umarpun berkata:
Perempuan itu benar dan ‘Umar salah.[16]
Keempat, praktik yang berlawanan dengan prinsip
yang ditetapkan syara’ dalam arti praktik tersebut dipandang salah, akan tetapi
syara’ menetapkan sanksi hukum bagi yang melakukannya serta memberikan jalan
keluar bagi yang ingin keluar atau kembali dari kesalahannya itu. Kebiasaan
masyarakat Arab pra Islam, apabila seorang suami telah menyatakan kepada
isterinya bahwa isterinya itu bagaikan punggung ibunya,[17] berarti si suami tidak
boleh lagi menggauli isterinya itu, tetapi si isteri tetap berstatus sebagai
isterinya.
Syara’ menetapkan keharaman menggauli isteri bagi yang
telah mengucapkan kata-kata tersebut, namun bagi yang ingin menarik kembali
ucapannya itu diwajibkan membayar denda (kaffarah) yaitu memerdekakan
seorang budak. Bagi yang tidak sanggup, sebagai gantinya ia wajib berpuasa dua
bulan berturut-turut. Kalau itupun tidak sanggup, yang bersangkutan wajib
memberi makan enam puluh orang miskin.[18]
Kelima, praktik yang berlawanan dengan
ketentuan syara’ dan tidak ada isyarat untuk membenarkannya. Dalam kehidupan
masyarakat Arab terdapat sejumlah tradisi yang sudah berlangsung turun temurun
yang kemudian dilarang dan dihapuskan oleh syara’, karena memang berlawanan
atau bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’. Termasuk dalam hal ini
kebiasaan berjudi dan meminum minuman keras pada cara-acara tertentu. Tentang
tradisi ini syara’ menyebutnya sebagai perbuatan syetan.[19] Begitu juga tradisi
mewarisi perempuan, yaitu bila seorang suami meninggal, maka isteri-isterinya
menjadi warisan untuk dimiliki oleh ahli warisnya. Terhadap kebiasaan ini
syara’ menyatakan larangan keras dan
menyebutya sebagai perbuatan keji, dibanci Allah dan seburuk-buruk jalan.[20] Contoh lain adalah tradisi menganggap sial
atas kelahiran anak perempuan. Syara’ menetapkan bahwa tradisi tersebut amatlah
buruk.[21]
[1]
Untuk kepentingan keseragaman dan kedekatan dengan bahasa adat di
Minangkabau, istilah yang dipakai untuk
uraian selanjutnya adalah “syara’”. Hal ini karena dalam berbagai ungkapan literatur
adat, ketika agama (Islam) dihubungkan dengan adat, biasanya agama diistilahkan
dengan “syara’”. Sebagai contoh dapat dilihat dalam ungkapan berikut: Adat
basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Syara’ mangato, adat mamakai. Syara’
mndaki, adat manurun. Adat nan kawi, syara’ nan lazim.
[2]
Yang termasuk lapangan ibadah adalah akadnya yaitu prosesi ijab dan qabul
antara pihak-pihak yang terlibat dalam akad tersebut, sedangkan upacara-upacara
sebelum dan sesudahnya, termasuk alat-alat atau fasilitas yang dipakai, terbuka
peluang untuk masuk kebidang mu’amalah yang berarti bisa berubah dan
menyesuaikan dengan keadaan, tempat dan lingkungan masyarakatnya.
[3]Lihat
misalnya, ‘Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut:
Muassasat al-Risalah, 1996), cet. V, hlm. 253/254. Lihat juga Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,(T.
Tp: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1958, hlm. 273
[4] Dalam kitab-kitab ushul fiqh disebutkan
contoh penggunaan kata ‘urf ini
dalam Al-Qur`an yaitu surat al-A’raf ayat 199. Tim penerjemah Al-Qur`an dan
Terjemahnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI tahun 1971 menerjemahkan
ayat tersebut sebagai berikut: Jadilah engkau pemaaf, suruhlah orang berbuat
yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
[5] Al-Qur`an surat Ibrahim penggal pertama
ayat 4. Arti ayat tersebut adalah sebagai berikut: Kami tidak mengutus seorang
rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat member penjelasan
dengan terang kepada mereka.
[6] Dalam ungkapan adatnya: Nan tuo
dihormati, nan ketek disayangi, samo gadang lawan baiyo.
[7]
Dalam hadis yang antara lain diriwayatkan olehImam Ahmad dan al-Tirmidzi dari
Ibnu ‘Abbas Rasulullah menyatakan: ليس منا من لم يرحم صغيرنا ويوقر كبيرنا
ويأمر بالمعروف وينه عن المنكر. Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak
menyayangi yang kecil, tidak memuliakan yang tua, tidak menyuruh berbuat yang
makruf dan tidak melarang orang dari perbuatan mungkar. Lihat, al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), cet. VIII, hlm. 471.
[8] Lihat misalnya Al-Qur`an surat
al-Baqarah, ayat 228.dan 233
[9] Lihat antara lain, Al-Qur`an surat
Ali ‘Imran ayat 190.
[10] Lihat antara lain, Al-Qur`an, surat
al-Baqarah, ayat 233: والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد
أن يتم الرضاعة. Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dalam surat Luqman ayat 14 juga dinyatakan bahwa ibu yang punya bayi
menyusukan (menyapih) bayinya itu selama dua tahun.
[11] Ketentuan ini diatur dalam
Al-Qur`an surat al-Nisa` ayat 23. Sedangkan dalam hadis riwayat Ahmad,
al-Baihaqi, Abu Daud, al-Nasa`i dan Ibnu Majah dari ‘Aisyah dinyatakan oleh
Rasulullah SAW: يحرم من الرضاعة ما يحرم من النسب.
Diharamkan (kawin)
lantaran hubungan persusuan sebagaimana halnya hubungan nasab.
[12] Dalam hadis yang antara lain
diriwayatkan oleh Muslim dari Sahl ibn Sa’d al-Sa’idi disebutkan tentang
seseorang yang ingin menikah tapi tidak punya sedikitpun harta untuk dijadikan
mahar, maka Rasulullah SAW pun mengizinkan untuk mahar perkawinannya dengan
mengajarkan ayat-ayat Al-Qur`an yang dia hafal.
[13]Alas an minta cerai isteri Tsabit ibn Qais
tersebut adalah bahwa ia tidak tertarik sama sekali kepada suaminya, sehingga
ia tidak melaksanakan tugas atau kewajibannya sebagaimana layaknya seorang
isteri. Sikap tidak melaksanakan tugas sebagai seorang isteri terhadap suami
ini disebut oleh perempuan itu dengan kafir dalam Islam. Dalam teks Hadis
disebutkan: ولكني أكره الكفر في الاسلام. . Salah satu sumber peristiwa ini adalah
al-Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008) cet.
I, hlm. 654, hadis nomor 5273/5274/5275/5276
[15]
Al-Qur`an surat al-Nisa` ayat 20
[16] Muhammad al-Qurthubi, al-Jami’
li Ahkam al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), juz 5, jilid
3, hlm. 66
[17] Dalam kajian fikih tindakan
tersebut dinamai zhihar.
[18] Lihat surat al-Mujadilah ayat 3 dan
4..
[19] Al-Qur`an surat al-Maidah ayat 90
[20]Al-Qur`an surat al-Nisa` ayat 19 dan 22
[21]
Al-Qur`an surat al-Nahl ayat 58 dan
59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar