Senin, 23 April 2018

KEDUDUKAN ADAT DALAM PENGAMALAN SYARA`



KEDUDUKAN ADAT
DALAM PENGAMALAN SYARA`


Oleh: Dr. Zulkarnaini, M. Ag

I
PENDAHULUAN

Masalah yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah: Bagaimana kedudukan adat dalam pengamalan syara’. Secara lebih terinci, untuk menjawab pertanyaan atau masalah tersebut, dalam uraian berikut dibahas: Pertama, lapangan pelaksanaan adat dalam syara’, Kedua, syara’ dalam pandangan adat dan  Ketiga, adat dalam pandangan syara’.
Bila ditelusuri seluruh kegiatan ummat Islam dalam hal pengamalan syara’ (syari’at),[1] dapat dipahami bahwa kegiatan atau praktik yang dipandang sebagai pengamalan syara’ tersebut dapat dikelompokkan kepada dua kelompok besar: Kelompok pertama, kegiatan yang diatur oleh syara’ secara terinci, seperti tata cara pelaksanaannya, kondisi pelakunya, jumlahnya, waktu dan tempatnya. Kelompok kedua, kegiatan yang diatur oleh syara’ secara garis besar atau prinsip-prinsipnya saja, sedangkan teknis pelaksanaanya diserahkan kepada ummat dengan mempertimbangkan kemaslahatan, sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat.
Kegiatan-kegiatan yang termasuk kelompok pertama biasa disebut dengan bidang ibadah atau lapangan ibadah. Yang dimaksud dengan badah dalam konteks ini adalah ibadah dalam arti khusus yang biasa disebut dengan ibadah mahdhah atau semata-mata ibadah. Lapangan ibadah itu ada yang khusus menyangkut hubungan seseorang dengan Khaliqnya, seperti shalat, zikir, do’a, puasa, i’tikaf dan rangkaian manasik haji. Di samping itu  ada pula yang berkaitan dengan hubungan seseorang atau sekelompok orang dengan sesama makhluk. Termasuk dalam hal ini, misalnya akad nikah,[2] pembayaran fidyah, ‘aqiqah, qurban, hukum pidana (jinayah) dan ketentuan faraidh.
Pelaksanaan ibadah tersebut bersifat apa adanya, sesuai dengan yang tertera dalam teks Al-Qur`an dan Sunnah. Yang penting dalam hal ini adalah ketundukan dan kepatuhan. Misalnya pelaksanaan ibadah shalat, jumlah raka’atnya, bacaan dan waktunya sudah diatur oleh syara’. Tidak ada peluang untuk menemukan shalat model baru yang lebih baik dari yang sudah diatur dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Begitu juga rangkaian manasik haji, ummat harus patuh menerima ketentuan bahwa Haji itu dilakukan di Mekkah al-Mukarramah dan di- laksanakan pada musim haji. Dalam rangkaian manasik haji mesti ada yang namanya wuquf di ‘Arafah, thawaf sekeliling ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah. Orang yang melakukan haji dan ‘umrah mesti melakukan ihram dengan meninggalkan sejum,lah larangan. Meskipun akal fikiran tidak mampu mencerna kenapa harus keliling ka’bah dan kenapa pula mencium batu hitam (hajar aswad), kalau ibadah haji tersebut ingin dilakukan dan diterima, ummat harus mematuhi apa adanya.  Akal fikiran hanya digunakan untuk meneliti kebenaran atau keotentikan informasi ketentuan ibadah tersebut dari Nabi dan untuk mengetahui maksud yang terdapat dalam informasi ibadah tersebut.  
Kegiatan ummat yang tidak diatur secara terinci, tetapi pokok-pokok atau prinsip-prinsipnya saja adalah kegiatan yang berhubungan dengan sesama makhluk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan ini umumnya termasuk dalam lapangan mu’amalah. Dalam bidang ini terbuka peluang untuk mencari cara-cara yang lebih tinggi tingkat kemasalahatannya, baik dari segi waktu, tenaga atau dana. Yang penting dalam hal ini adalah kepatuhan terhadap “rambu-rambu” yang sudah ditetapkan oleh syara’. Biasanya “rambu-rambu”  tersebut berisi ketentuan umum dan larangan-larangan. Sepanjang ketentuan umum tersebut sudah terlaksana dan larangan-larangan yang ditetapkan syara’ tidak dilanggar, meskipun model dan teknis pelaksanaan kegiatannya tidak persis sama dengan yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW, maka hal itu dibenarkan dan tetap dianggap mengikuti ketentuan syara’.
Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam lapangan mu’amalah misalnya, jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, pinjam meminjam, gadai menggadai, urusan makanan, pakaian, perhiasan, rumah tempat tinggal, transportasi, cara berkelompok dalam bermasyarakat, cara bermusyawarah, penggunaan bahasa dan alat komunikasi dan lain-lain. Dalam urusan jual beli dan transaksi-transaksi yang dilakukakan ummat mesti ada sikap saling suka sama suka, saling menguntungkan, terhindar dari praktik riba, terjauh dari unsur judi, tidak ada pihak yang merasa dirugikan, tidak ada yang ditutup-tutupi. Bahasa yang diucapkan, istilah yang dipakai, alat tukar yang digunakan dan  cara-cara yang dilakukan untuk terlaksananya transaksi, selama hal itu sejalan dengan prinsip umum dan tidak ada larangan yang dilanggar berarti boleh dilakukan. 

II
LAPANGAN ADAT

Yang dimaksud dengan adat (‘adah) dalam tulisan ini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat secara turun temurun dan sudah berlangsung lama. Ukuran lama itu bila dilihat dari sudut pandang syara’ adalah bahwa ketentuan adat tersebut sudah ada sebelum datangnya ketentuan syara’. Dalam ungkapan syara’ (Al-Qur`an dan Hadis) adat itu disebut ‘urf.[3] Hal ini terkait dengan asal makna kata atau istilah ‘urf tersebut dengan asal-usul  munculnya adat tersebut. Secara bahasa, kata ‘urf tersebut  berasal dari kata ‘arafa yang berarti baik atau yang dipandang baik. Arti kata ‘urf itu sama dengan ma’ruf. [4] Dalam bahasa Indonesia, kata amar makruf dan nahi munkar tidak asing lagi oleh masyarakat. Hubungannya dengan asal usul adat yang dibicarakan dalam syara’ itu adalah bahwa pada awalnya praktik adat itu muncul karena itulah yang dipandang baik oleh kelompok masyarakat atau mayoritas mereka yang melakukannya.
Lapangan berlakunya adat dalam praktik pengamalan syara’ secara umum adalah dalam bidang mu’amalah. Hal ini karena praktik pelaksanaan bidang ini tidak diatur secara terinci. Teknis pelaksana- annya berpeluang untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi ataupun lingkungan masyarakat yang menerapkannya. Misalnya, prinsip umum dalam transaksaksi jual beli adalah adanya sikap suka sama suka (taradhin) dan barang yang diperjual belikan itu bukan sesuatu yang haram. Sikap suka sama suka itu bisa diungkapkan lewat kata-kata sebagaimana terlihat dalam shighat ijab dan qabul yang dulu dipraktikkan sebelum munculnya super market atau pasar modern. Untuk saat ini tutur kata ijab qabul tersebut umumnya sudah ditinggalkan ummat, karena dirasakan sangat merepotkan. Umumnya ummat Islam sekarang merasakan bahwa prinsip suka sama suka sudah terpenuhi dengan tindakan pembeli dan penjual ketika jual beli itu berlangsung. Hal itu ditandai dengan kebebasan pembeli memilih barang yang disukainya dan menyerahkan alat tukar kepada kasir sebanyak yang tertera pada barang tersebut. Suasana wajah pembeli dan kasir ketika berlangsungnya serah terima barang dengan alat tukar yang berlaku, dimaklumi bersama sebagai indikasi sudah terwujudnya sikap suka sama suka.
Praktik jual beli yang masih berpeluang melanggar prinsip dasar syara’ di Sumatera Barat, khususnya di Kabupaten Solok adalah jual beli di rumah makan. Masalahnya adalah tidak tercantumnya harga menu yang disuguhkan kepada para konsumen, khususnya konsumen yang tidak biasa makan di rumah makan tersebut. Suka-sama suka menjadi hilang ketika konsumen membayar harga yang dimakan, karena tidak sesuai atau setidaknya berpeluang tidak sesuai dengan yang diperkirakan.
Dalam urusan makanan dan minuman, terutama dalam kegiatan berbagai jamuan, tidak ada keharusan ummat mengikuti apa yang biasa dimakan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat beliau. Prinsip umum yang perlu diperhatikan ummat adalah halal dan thayyibnya. Thayyib artinya menyenangkan atau sesuai selera. Apapun menu yang disuguhkan dalam upacara-upacara adat yang berlaku di berbagai wilayah atau daerah, dengan berbagai variasi bentuk, aroma, warna dan rasa sesuai dengan ciri khasnya masing-masing, asalkan halal dan thayyib, tidak ada masalah.
Dalam urusan pakaian dan perhiasan terbuka peluang untuk menciptakan bahan yang halus dan menyenangkan serta berkreasi mencari model yang indah atau menarik, meskipun tidak sama dengan yang dipakai oleh generasi awal ummat Islam. Prinsip yang dipelihara adalah; menutup aurat, tidak menyerupai lawan jenis, menunjukkan identitas pemakainya, melindungi tubuh dari gangguan udara, cuaca, debu dan unsur lainnya. Kombinasi warna, desain model, pilihan dasar serta penyesuai waktu dan tempat diserahkan kepada yang bersangkutan. Begitu pula halnya seragam adat, peguyuban dan suku atau bangsa tertentu, asalkan tidak melanggar prinsip, pada dasarnya dibolehkan.
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, ketika ummat Islam dari berbagai suku bangsa dan negara berkumpul di suatu tempat, misalnya musim haji di tanah suci, kelihatan dengan jelas bahwa busana Muslim dan Muslimah di dunia ini memiliki corak atau model yang berbeda-beda menurut ciri khas suku bangsa masing, malah antar sesama bangsa Arabpun terdapat perbedaan model. Realitas menunjukkan bahwa ada busana Muslim Cina, busana Muslim Pakistan, busana Muslim Sudan, busana Muslim Mesir, busana Muslim Melayu dan busana Muslim Indonesia. Antara satu sama lainm sama dalam prinsip, bervariasi dalam corak atau model.
Dalam hal bahasa atau istilah yang digunakan untuk kepentingan komunikasi antar sesama ummat, termasuk dengan ummat lain, tidak ada keharusan untuk mengikuti bahasa Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur`an ada isyarat agar seseorang, terutama juru dakwah, agar menyampaikan pesan kepada seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan bahasa mereka yang menerima pesan tersebut.[5]  
 
III
SYARA’ DALAM PANDANGAN ADAT DAN ADAT DALAM PANDANGAN SYARA’
Ada dua ungkapan yang sekilas seperti berlawanan. Pertama, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Kedua, adat adalah salah satu dalil atau dasar dalam menetapkan hukum. Kedua ungkapan ini digunakan atau berlaku, di tengah-tengah masyarakat Muslim. Ungkapan pertama menjadi acuan dalam penerapan adat, yaitu adat yang mana yang tetap dipakai dan dipertahankan, sebaliknya mana pula adat yang semestinya ditinggalkan. Dalam hal ini sudah menjadi kesepakatan bagi masyarakat Minangkabau, sesuai dengan ungkapan: Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah, syara’ mangato adat mamakai. Ungkapan ini mengandung arti bahwa untuk mengukur dan menentukan mana adat yang akan diterapkan dan mana pula yang akan ditinggalkan perlu diuji dengan pandangan syara’. Selanjutnya apa yang diterapkan adat itu adalah implementasi dari apa yang telah ditetapkan syara’.  
 Ungkapan kedua menjadi bahan pertimbangan bagi para fuqaha` (pakar hukum syara’) dalam menetapkan hukum, misalnya untuk menetapkan yang sah dan tidak sahnya suatu akad. Untuk menilai dan menetapkan mana adat yang basandi syara’ dan mana yang bukan, diperlukan pemikiran dan penelusuran yang mendalam. Suatu bentuk praktik adat bila dihubungkan dengan syara’ mengandung lebih dari satu kemungkinan:
Pertama, sesuai dengan syara’, karena apa yang dipraktikkan dalam adat itu termaktub dalam Al-Qur`an dan/atau Hadis. Norma adat tentang menghormati yang lebih tua, menyayangi yang kecil dan bermusyawarah dengan yang sebaya,[6] persis sama dengan apa yang termaktub dalam Al-Qur`an dan Hadis.[7] Begitu pula norma adat tentang anak dipangku (digendong), kamanakan dibimbing dan orang kampung dipatenggangkan (dipertimbangkan dengan menggunakan tenggang rasa) serta alam takambang (terhampar) jadikan guru. Dalam Al-Qur`an dan Hadis banyak terdapat tuntutan kepada setiap Muslim/Muslimah agar menjalan tanggung jawab mengurus anak dan keluarga khususnya dan masyarakat sekitar pada umumnya.[8] Begitu juga tuntutan untuk belajar dari fenomena alam.[9]   
Kedua, sesuai dengan syara’ karena tidak ada syara’ yang mengatur ketentuan tersebut dan tidak ada pula “rambu-rambu” syara’ yang terlanggar. Termasuk dalam hal ini kebiasaan ibu-ibu bekerja, khususnya dalam urusan dapur (masak-memasak), sumur (cuci mencuci) dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dipandang cocok dengan urusan ibu-ibu, seperti berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga, malah mencari nafkah dalam lapangan yang sesuai dengan kodrat wanita. Dalam persoalan ini tidak ada ketentuan yang melarang, apalagi kalau hal itu atas kemauan sendiri.
Ketiga, berbeda dari apa yang dikehendaki syara’ secara umum, namun karena kebiasaan tersebut sudah begitu menyatunya dengan kehidupan masyarakat, syara’ mebiarkan dalam arti praktik tersebut tidak dianggap melanggar. Dalam tradisi masyarakat Arab misalnya, menyerahkan urusan penyusuan bayi sendiri kepada wanita lain sudah begitu menyatunya dengan kehidupan masyarakat, pada hal dalam sejumlah ayat dinyatakan bahwa ibu yang punya bayi menyusukan bayinya sendiri selama dua tahun.[10]  Bukti bahwa tradisi yang tidak sejalan dengan syara’ itu dibiarkan adalah dengan adanya ketentuan yang mengatur sesuatu sebagai akibat hubungan persusuan dengan wanita lain tersebut, yaitu hubungan kemahraman. Artinya orang yang ada hubungan dengan lawan jenis melalui persusuan haram melangsungkan akad nikah, baik itu antara ibu susu dengan anak laki-laki yang disusuinya, maupun antara laki-laki dengan wanita sepersusuan.[11] 
Termasuk juga dalam hal ini penetapan jumlah atau nilai mahar. Pada prinsipnya syara’ menganjurkan untuk mempermudah urusan atau proses pernikahan, termasuk dalam urusan mahar. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah mengizinkan materi mahar itu sebentuk cincin besi, malah ketika ternyata yang akan kawin itu ternyata tidak mampu mendapatkannya, Rasulullah SAW pun menikahkannya dengan mengajarkan Al-Qur`an yang dia hafal kepada isterinya sebagai maharnya.[12] Dalam kehidupan masyarakat Arab, khususnya Arab Saudi, urusan mahar biasanya ditentukan oleh keluarga pihak wanita (calon isteri) dan biasanya jumlahnya besar. Praktik itu telah berlangsung turun temurun jauh sebelum kedatangan agama Islam. Salah satu contoh mahar yang sudah diterapkan semenjak sebelum Islam adalah sebidang kebun. Hal ini dapat diketahui misalnya dalam kasus cerai gugat yang pernah terjadi di masa Rasulullah SAW. Seorang wanita bernama Jamilah atau Habibah mengajukan permohonan kepada Rasulullah SAW agar diceraikan oleh suaminya yang bernama Tsabit ibn Qais. Setelah mempertimbangkan alasan permohonan tersebut,[13] Rasulullah SAW menyuruh isteri si Tsabit itu menyerahkan kembali maharnya yaitu sebidang kebun (hadiqah) dan Tsabit disuruh menjatuhkan talak kepada isterinya.[14]
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab, Khalifah kedua ini pernah berusaha melakukan perubahan agar mahar itu disederhanakan. Hal itu disampaikannya dalam pidatonya dengan alasan bahwa Rasulullah SAW saja sebagai orang yang paling mulia tidak pernah menetapkan mahar untuk perkawinan anak-anak peempuannya melebih 12 Uqiyah. Mendengar pernyataan Khalifah tersebut, tampillah seorang perempuan dengan menyatakan: “Allah memberi kami sesuatu sedangkan engkau mengharamkannya. Bukankah Allah telah menyatakan: ...وأتيتم احداهن قنطارا.... sedang kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka harta yang banyak.[15] Maka ‘Umarpun berkata: Perempuan itu benar dan ‘Umar salah.[16]
Keempat, praktik yang berlawanan dengan prinsip yang ditetapkan syara’ dalam arti praktik tersebut dipandang salah, akan tetapi syara’ menetapkan sanksi hukum bagi yang melakukannya serta memberikan jalan keluar bagi yang ingin keluar atau kembali dari kesalahannya itu. Kebiasaan masyarakat Arab pra Islam, apabila seorang suami telah menyatakan kepada isterinya bahwa isterinya itu bagaikan punggung ibunya,[17] berarti si suami tidak boleh lagi menggauli isterinya itu, tetapi si isteri tetap berstatus sebagai isterinya.
Syara’ menetapkan keharaman menggauli isteri bagi yang telah mengucapkan kata-kata tersebut, namun bagi yang ingin menarik kembali ucapannya itu diwajibkan membayar denda (kaffarah) yaitu memerdekakan seorang budak. Bagi yang tidak sanggup, sebagai gantinya ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut. Kalau itupun tidak sanggup, yang bersangkutan wajib memberi makan enam puluh orang miskin.[18]
Kelima, praktik yang berlawanan dengan ketentuan syara’ dan tidak ada isyarat untuk membenarkannya. Dalam kehidupan masyarakat Arab terdapat sejumlah tradisi yang sudah berlangsung turun temurun yang kemudian dilarang dan dihapuskan oleh syara’, karena memang berlawanan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’. Termasuk dalam hal ini kebiasaan berjudi dan meminum minuman keras pada cara-acara tertentu. Tentang tradisi ini syara’ menyebutnya sebagai perbuatan syetan.[19] Begitu juga tradisi mewarisi perempuan, yaitu bila seorang suami meninggal, maka isteri-isterinya menjadi warisan untuk dimiliki oleh ahli warisnya. Terhadap kebiasaan ini syara’ menyatakan larangan  keras dan menyebutya sebagai perbuatan keji, dibanci Allah dan seburuk-buruk jalan.[20]  Contoh lain adalah tradisi menganggap sial atas kelahiran anak perempuan. Syara’ menetapkan bahwa tradisi tersebut amatlah buruk.[21]    



[1] Untuk kepentingan keseragaman dan kedekatan dengan bahasa adat di Minangkabau,  istilah yang dipakai untuk uraian selanjutnya adalah “syara’”. Hal ini karena dalam berbagai ungkapan literatur adat, ketika agama (Islam) dihubungkan dengan adat, biasanya agama diistilahkan dengan “syara’”. Sebagai contoh dapat dilihat dalam ungkapan berikut: Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Syara’ mangato, adat mamakai. Syara’ mndaki, adat manurun. Adat nan kawi, syara’ nan lazim.   
[2] Yang termasuk lapangan ibadah adalah akadnya yaitu prosesi ijab dan qabul antara pihak-pihak yang terlibat dalam akad tersebut, sedangkan upacara-upacara sebelum dan sesudahnya, termasuk alat-alat atau fasilitas yang dipakai, terbuka peluang untuk masuk kebidang mu’amalah yang berarti bisa berubah dan menyesuaikan dengan keadaan, tempat dan lingkungan masyarakatnya. 
[3]Lihat misalnya, ‘Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasat al-Risalah, 1996), cet. V, hlm. 253/254. Lihat juga Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,(T. Tp: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1958, hlm. 273

[4] Dalam kitab-kitab ushul fiqh disebutkan contoh penggunaan kata ‘urf  ini dalam Al-Qur`an yaitu surat al-A’raf ayat 199. Tim penerjemah Al-Qur`an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI tahun 1971 menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut: Jadilah engkau pemaaf, suruhlah orang berbuat yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

[5] Al-Qur`an surat Ibrahim penggal pertama ayat 4. Arti ayat tersebut adalah sebagai berikut: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat member penjelasan dengan terang kepada mereka.
[6] Dalam ungkapan adatnya: Nan tuo dihormati, nan ketek disayangi, samo gadang lawan baiyo.
[7] Dalam hadis yang antara lain diriwayatkan olehImam Ahmad dan al-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas Rasulullah menyatakan: ليس منا من لم يرحم صغيرنا ويوقر كبيرنا ويأمر بالمعروف وينه عن المنكر. Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil, tidak memuliakan yang tua, tidak menyuruh berbuat yang makruf dan tidak melarang orang dari perbuatan mungkar. Lihat, al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), cet. VIII, hlm. 471.
[8] Lihat misalnya Al-Qur`an surat al-Baqarah, ayat 228.dan 233
[9] Lihat antara lain, Al-Qur`an surat Ali ‘Imran ayat 190.
[10] Lihat antara lain, Al-Qur`an, surat al-Baqarah, ayat 233: والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة. Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dalam surat Luqman ayat 14 juga dinyatakan bahwa ibu yang punya bayi menyusukan (menyapih) bayinya itu selama dua tahun.
[11] Ketentuan ini diatur dalam Al-Qur`an surat al-Nisa` ayat 23. Sedangkan dalam hadis riwayat Ahmad, al-Baihaqi, Abu Daud, al-Nasa`i dan Ibnu Majah dari ‘Aisyah dinyatakan oleh Rasulullah SAW: يحرم من الرضاعة ما يحرم من النسب. Diharamkan (kawin) lantaran hubungan persusuan sebagaimana halnya hubungan nasab.
[12] Dalam hadis yang antara lain diriwayatkan oleh Muslim dari Sahl ibn Sa’d al-Sa’idi disebutkan tentang seseorang yang ingin menikah tapi tidak punya sedikitpun harta untuk dijadikan mahar, maka Rasulullah SAW pun mengizinkan untuk mahar perkawinannya dengan mengajarkan ayat-ayat Al-Qur`an yang dia hafal.
[13]Alas an minta cerai isteri Tsabit ibn Qais tersebut adalah bahwa ia tidak tertarik sama sekali kepada suaminya, sehingga ia tidak melaksanakan tugas atau kewajibannya sebagaimana layaknya seorang isteri. Sikap tidak melaksanakan tugas sebagai seorang isteri terhadap suami ini disebut oleh perempuan itu dengan kafir dalam Islam. Dalam teks Hadis disebutkan: ولكني أكره الكفر في الاسلام. . Salah satu sumber peristiwa ini adalah al-Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008) cet. I, hlm. 654, hadis nomor 5273/5274/5275/5276
[14]Ibid
[15] Al-Qur`an surat al-Nisa` ayat 20
[16] Muhammad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), juz 5, jilid 3, hlm. 66
[17] Dalam kajian fikih tindakan tersebut dinamai zhihar.
[18] Lihat surat al-Mujadilah ayat 3 dan 4..
[19] Al-Qur`an surat al-Maidah ayat 90
[20]Al-Qur`an surat al-Nisa` ayat 19 dan 22
[21] Al-Qur`an surat al-Nahl ayat 58 dan 59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar