بسم الله الرحمن الرحيم
TEORI QATH’I DAN ZHANNI DALAM
PENALARAN FIQH
Oleh: Dr. H. Zulkarnaini, M. Ag
(Ketua
Majelis Tarjih dan Tajdid PWM SUMBAR Periode 2015-2020)
Di antara teori pokok yang dikembangkan ulama untuk memahami nash (teks)
Al-Qur’an dan hadits dalam rangka penalaran fiqh adalah teori qath’i dan
zhanni. Dimaksudkan dengan qath’i adalah nash yang telah pasti yang
tidak mungkin lagi diragukan. Qath’i ada dua macam; Qath’i wurud
(berhubungan dengan keberadaan nash) dan Qath’i dilalah (berhubungan
dengan makna nash). Qath’i wurud adalah nash yang pilihan kata dan susunan
kalimatnya betul-betul seperti apa adanya itu, tidak pernah berubah dan tidak
mungkin untuk diubah. Sedang qath’i dilalah adalah nash yang mempunyai arti
begitu gamblang dan pasti sehingga tidak mungkin diartikan lain. Adapun zhanni
adalah nash yang telah memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai dalil,
tetapi kepastiannya tidak sampai ketingkat qath’i. Zhanni juga dibedakan kepada
zhanni wurud dan zhanni dilalah. Zhanni wurud adalah nash yang pilihan
kata dan susunan kalimatnya tidak musti seperti apa adanya itu. Dengan kata
lain, pengubahan pilihan kata dan susunan kalimatnya mungkin terjadi dan memang
telah ada terjadi. Sedang zhanni dilalah adalah nash yang mungkin ditakwilkan
(sesuai dengan kaidah-kaidah yang lazim), sehingga tidak lagi mengikuti arti
literalnya. Maksudnya, masih terbuka kemungkinan bahwa nash tersebut akan
diperbarui dengan kandungannya, diberikan syarat-syarat baru yang berbeda dari
apa yang sebelumnya dipahami, dan seterusnya. Untuk pengeseran makna ini, tentu
tidak begitu saja bisa dilakukan, tetapi dipenuhi kaidah-kaidah dan persyaratan
yang telah ditetapkan oleh ulama-ulama, mereka yang mempunyai otoritas di
bidang ini.
Sesudah Imam
Mazhab
Kelihatannya tidak ada catatan pasti sejak kapan teori ini diformulasikan
secara tegas. Imam al-syafi’I di dalam buku al-Risalah-nya belum
menggunakan kedua istilah ini. Beliau menggunakan istilah al-bayan, sharih,
zhahir, mafhum dan beberapa yang lainnya. Dari penalaran dan diskusi para
sahabat pun belum ada petunjuk bahwa mereka telah menggunakan makna dari kedua
teori di dalam penalaran fiqh mereka. Atas dasar ini dapatlah dinyatakan bahwa
teori ini berkembang sesudah masa empat mazhab.
Dalam bentuk seperti yang ada sekarang yang termasuk qath’i wurud adalah
semua ayat Al-Qur’an dan hadits mutawatir. Al-Qur’an dianggap qath’i wurud
karena merupakan wahyu Allah dalam makna dan lafaz. Sedang hadits mutawatir
adalah karena jumlah rawi pada tiap tingkaran demikian banyak, sehingga tidak
ada (atau sangat tipis) kemungkinan bahwa hadits yang mereka riwayatkan
tersebut berbeda dengan apa yang disampaikan Rasul saw. Adapun nash yang zhanni
wurud adalah semua hadits ahad. Sedangkan kedalam qath’i dilalah dimasukkan
kata-kata yang menunjukkan jumlah (angka-angka), karena hanya kata-kata inilah
yang mempunyai arti demikian pasti dan gamblang, serta kata-kata lain yang
telah ditafsirkan sendiri oleh Al-Qur’an secara jelas dan terperinci. Ke dalam
zhanni dilalah dimasukkan semua kata lain yang bisa dinalar, diluar qath’i
dilalah tadi. Rasanya tidak perlu dijelaskan bahwa qath’i dilalah hanya
terdapat di dalam nash yang qath’i wurud dan itu berarti hanya ditemukan di
dalam Al-Qur’an dan hadits mutawatir. Hadits ahad tidak ada yang qath’i
dilalah.
Jadi, kalau kita perhatikan surat an-Nur ayat 2 umpamanya, yang
terjemahannya: “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing
dengan dera seratus kali…”, akan diketahui bahwa yang qath’i dilalah
hanyalah jumlah dera seratus kali. Kata ini tidak mungkin diartikan dengan
tujuh puluh atau seratus lima puluh kali dera. Sedang kata-kata yang lainnya,
seperti siapakah yang dinamakan pezina (al-zhanni) dan bagaimana bentuk dera
(fajlidu) yang diharuskan itu, bukanlah kata-kata yang qath’i dilalah;
penafsiran dan pembatasan mungkin dimasukkan ke dalamnya. Karena sifat tidak
qath’i inilah maka terjadi perbedaan di antara para ulama tentang apa defenisi
zina yang menyebabkan pelakunya dijatuhi hukuman dera seratus kali. Begitu pula
terjadi perbedaan pendapat tentang bentuk cambuk, cara melecut dan seterusnya.
(Harus diingat, yang dipersoalkan adalah perbuatan pidananya yang dijatuhi
hukuman dera seratus kali. Adapun soal dosa atau penjatuhan hukuman ta’zir
terhadap perbuatan yang mengarah kepada zina, tidak menjadi perhatian
pembahasan ini).
Dalam hal menuduh orang lain berbuat zina, Al-Qur’an menyatakan
hukumannya delapan puluh kali dera dan orang tersebut menjadi tidak wenang
sebagai saksi. Dalam surat an-Nur ayat 4 dan 5 dinyatakan:”Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka
Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu
dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Syarat
menampilkan empat orang saksi adalah qath’i. Buku-buku fiqh tidak dapat
menerima tuduhan zina dengan bukti lain yang diajukan seorang penuduh, yang
dapat membebaskan dia dari ancaman hukuman dera delapan puluh kali tersebut.
Hukuman tambahan tidak wenang menjadi saksi harusnya juga qath’i, karena
Al-Qur’an menyatakan wa laqatbalu lahum syahadatan abadan. Tambahan kata
abadan (selama-lamanya) itulah yang meyebabkan menjadi qath’i. Tetapi berhubung
dalam ayat berikutnya diberikan pengecualian untuk mereka yang berbuat dan
memperbaiki tingkah laku, maka ketentuan tersebut menjadi zhanni kembali. Para
ulama masih mempunyai ruang untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan bertaubat
dan memperbaiki diri itu.
Kalau kita
perhatikan perintah Rasul tentang kewajiban zakat, akan kita temukan kadar
zakat 2.5 % dan nisab 20 dinar untuk kekayaan yang berbentuk emas, kadar zakat
5 atau 10 % dan nisab untuk kekayaan hasil pertanian dan kadar zakat satu ekor
dengan nisab 40 ekor untuk kekayaan berbentuk kambing (domba). Walaupun
perintah ini berbentuk angka-angka, tetap tidak dianggap qath’i karena hanya
didasarkan kepada hadits ahad. Sekiranya ditemukan alasan kuat, maka para ulama
boleh saja memberikan penalaran lain, yang berbeda dengan apa yang ada
sekarang.
Didukung Penalaran Logis
Selanjutnya, dari uraian
buku-buku usul fiqh dapat disimpulkan bahwa nash-nash qath’i dilalah ini hanya
ditemukan di dalam aturan-aturan terperinci tentang sesuatu masalah, seperti
jumlah hukuman dalam dua contoh di atas, bagian-bagian seseorang dalam
kewarisan, masa ‘iddah dan beberapa masalah lainnya. Para ulama usul, pada
umumnya tidak menganggap qath’i ayat-ayat yang mengandung dalil atau prinsip
umum syari’at karena biasanya ayat-ayat tersebut masih dijelaskan dengan
ayat-ayat lain. Ayat yang menjelaskan inilah yang dianggap qath’i.
Apabila kita
beralih kepada masalah-masalah kewarisan, yang sebelum ini hangat didiskusikan,
maka ketentuan bahwa bagi anak laki-laki adalah dua kali bagaian anak
perempuan, bagian suami adalah seperdua dan bagian isteri seperempat dari
warisan sekiranya tidak ada anak, untuk ibu sepertiga atau seperenam, dan
seterusnya, adalah ketentuan yang qath’i yang tidak mungkin lagi dinalar.
Penalaran hanya mungkin dilakukan terhadap kata-kata yang masih zhanni dilalah
seperti maksud kata-kata yang masih zhanni seperti maksud kata al-dzakaru (laki-laki)
dan al-untsa (perempuan) dalam surat an-Nisa’ ayat 11 tersebut. Apakah
kedua kata ini akan tetap diartikan secara hakiki seperti selama ini dipahami,
jadi anak laki-laki (biologis) akan mendapat dua kali bagian anak perempuan
(biologis), atau kedua kata tersebut
akan diartikan secara majas, misalnya secara fungsional. Jadi anak yang
berfungsi sebagai laki-laki (yang menjadi kepala keluarga atau yang memegang
tanggung jawab) akan memperoleh bagian dua kali dari anak-anak lain yang tidak
mengemban fungsi tersebut. Memberikan penafsiran baru kepada kedua kata ini
adalah mungkin secara teoritis. Begitu juga pengertian al-walad (anak)
dalam ayat kewarisan ini bukanlah kata yang qath’i dilalah. Kata al-walad
mungkin diartikan hanya kepada anak yang masih hidup sebagaimana mungkin
diartikan mencakup yang masih hidup dan telah mati. Mungkin diartikan terbatas
pada anak kandung tetapi juga mencakup anak kandung dan keturunannya, baik
melalui garis laki-laki dan perempuan atau hanya melalui garis laki-laki saja.
Penafsiran sekarang yang diterima secara luas di kalangan ulama fiqh untuk kata
al-walad tersebut, hanyalah mencakup anak kandung dan keturunan seterusnya
melalui garis laki-laki. Atas dasar teori qath’i dan zhanni di atas, penafsiran
baru kepada kata ini masih mungkin diberikan, sekiranya didukung dengan alasan
dan penalaran yang logis.
Kalau kita
kembali kepada kasus-kasus ijtihad Umar R.A. dan didekati melalui teori qath’i
dan zhanni ini, akan terlihat bahwa nash yang ditinggalkan Umar tersebut adalah
nash yang zhanni dilalah. Pengertian pencuri (al-sariq), orang yang baru
masuk Islam (mu’allafatu qulubuhum), tanah rampasan perang (al-qhanimat)
dan seterusnya, adalah lafaz-lafaz yang masih mungkin ditafsirkan dan memang
telah ditafsirkan oleh ulama-ulama. Hal mana bisa dilihat di dalam buku-buku
fiqh melalui defenisi dan persyaratan yang mereka tentukan untuk masing-masing
istilah tersebut.
Andainya
sekarang muncul keinginan untuk menafsirkan (atau barang kali istilah teknis
yang tepat adalah mentakwilkan) nash-nash yang qath’i dilalah, maka menurut
penulis, yang pertama-tama harus dikerjakan adalah mengajukan teori baru sebagi
landasan berpijaknya. Selama hal tersebut tidak dikemukakan, maka upaya
mentakwilkan nash qath’i akan tetap terasa sebagai sesuatu yang mengada-ada.
Atas dasar ini,
pendapat Yahya Harahap dalam majalah ini beberapa nomor yang lalu, yang
menyatakan bahwa para ulama telah bisa menerima penggantian tempat dalam
kewarisan, pencatatan nikah dan talaq, pembatasan dan izin khusus untuk
poligami dan seterusnya dengan alasan kemaslahatan umum, adalah sesuatu yang
mudah dipahami, karena masalah-masalah tersebut tidak diatur oleh nash qath’i.
Dan begitu pula, adalah tepat pernyataan “seolah-olah ada hambatan psikologis”
sehingga para ulama tidak dapat menerima perbandingan 1:1 untuk hak kewarisan
anak laki-laki dan perempuan. Dikatakan tepat, karena ulama tidak menolak usul
tersebut, menggunkan penalaran logis yang mempunyai pijakan yang cukup jelas,
yaitu teori qath’i dan zhanni ini.
Istilah lain
yang sering dikaburkan dengan teori di atas adalah teori muhkamat dan
mutasyabihat. Di dalam buku-buku usul fiqh dinyatakan bahwa kedua teori yang
terakhir ini tidak digunakan di dalam penalaran fiqh, tetapi digunakan di dalam
penalaran kalam. Para ulama merasa bersyukur bahwa tidak ada satu ayat ahkam
(dalil fiqh) pun yang merupakan ayat mutasyabihat.
Teori “Illat”
Akhirnya, sebuah
pernyataan mungkin muncul kepermukaan. Kenapa para ulama mengajukan teori
qath’i dan zhanni dalam penalaran fiqh mereka?
Sekurang-kurangnya ada dua alasan yang bisa dikemukakan. Pertama, keyakinan
bahwa semua perintah dan larangan Allah mengandung tujuan-tujuan demi
kemaslahatan manusia. Tidak ada suatu beban pun yang diberikan secara sia-sia.
Kedua, kenyataan bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan dalam makna dan lafaz,
(sedang hadits hanya merupakan wahyu pada makna, bukan pada lafaz. Para sahabat
boleh meriwayatkan ucapan-ucapan Rasul dengan susunan dan kata-katanya sendiri,
walaupun ada anjuran untuk menyampaikannya persis seperti apa yang diucapkan
atau dilakukan Rasul saw).
Dalam hal ditemukan pernyataan Allah yang demikian jelas dan gamblang,
bukankah itu merupakan petunjuk bahwa makna literal tersebutlah yang menjadi
keinginan dan tujuan Allah? Sekiranya terjadi pertentangan antara “keingingan
Tuhan” melalui nash qath’i tersebut dengan “kesadaran hukum” masyarakat, yang
manakah yang harus dimenangkan? Ayat tersebutkah yang akan ditakwil atau
kesadaran hukum masyarakat tersebutlah yang harus diluruskan? Para ulama
mengangap keinginan Tuhan itulah yang harus dituruti. Jalan pikiran ini akan lebih
mudah dipahami sekiranya kita kembali kepada keyakinan bahwa Allah mempunyai
maksud tertentu dalam menurunkan aturan-aturan tersebut, seperti telah
disebutkan di atas. Disebalik pernyataan lugas yang kelihatan “tidak logis” dan
“tidak adil” tersebut, mungkin masih tersimpan rahasia yang tidak terjangkau
oleh akal manusia. Kita tidak layak mencari formulasi dan rumusan lain untuk
menguraikan (baca mengubah) pernyataan yang gamblang dan terperinci tersebut.
Pantaskah kita meninggalkan rumusan Allah yang jelas dan terperinci dan
mengikuti hasil pemikiran kita yang mungkin benar dan mungkin salah?
Mungkin sikap seperti ini akan di tuduh apologi. Tetapi menyiasati
kenyataan bahwa hukum tidak selamanya sekedar mencerminkan kesadaran hukum
rakyat, tetapi juga merupakan alat untuk mengubah keadaan masyarakat, mencapai
negara atau dengan istilah lain merupakan unsur dari upaya rekayasa sosial,
maka adanya keyakinan seperti di atas bukanlah sesuatu yang buruk dan bukan
pula sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kesempatan mencari dan merumuskan hikmah atau tujuan dari sesuatu
perintah dan larangan dibebrikan kepada manusia dalam ayat-ayat zhanni dilalah.
Untuk ini para ulama telah mengembangkan sebuah teori lain, yaitu teori ‘illat.
Mudah-mudahan teori ini pun akan kita bicarakan dalam kesempatan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar