Senin, 30 April 2018

MEMILIH PEMIMPIN MENURUT AL-QUR`AN DAN SUNNAH


MEMILIH PEMIMPIN
MENURUT AL-QUR`AN DAN SUNNAH

Oleh: Dr. Zulkarnaini, M. Ag
(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah muhammadiyah 
Sumatera Barat Periode 2015-2020) 



I
PENDAHULUAN

Salah satu masalah yang banyak mengundang perbedaan pendapat di kalangan ummat Islam, khususnya para ulama, adalah tentang memilih pemimpin. Masalah yang berpeluang untuk munculnya perbedaan pendapat itu disebut masalah khilafiyah. Dibandingkan dengan berbagai masalah khilafiyah lainnya, masalah memilih pemimpin ini dapat dikatakan sebagai masalah khilafiyah yang paling tua dan paling rumit. Hal ini ditandai dengan kenyataan sejarah bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan, malahan persoalan politik. Ketika Rasulullah SAW, di saat jenazah beliau masih terbujur di rumah ‘Aisyah RA, para pemuka Sahabat berkumpul di balai pertemuan bani Sa’idah untuk membicarakan siapa yang akan menggantikan Rasulullah SAW dalam hal memimpin ummat. 

Meskipun pertemuan di balairung tersebut berhasil menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi dalam posisi pemimpin, namun sejarah mencatat bahwa pada masa-masa berikutnya, persoalan memilih pemimpin ini sering membawa pertentangan dan malah perpecahan di kalangan ummat Islam. Masalah yang hendak dibahas dan dikemukakan jawabannya dalam tulisan ini adalah, bagaimana memilih pemimpin polotik menurut Al-Qur`an dan Sunnah. Masalah ini dirinci dengan rumusan berikut: Pertama, apakah Al-Qur`an dan Sunnah mengatur ketentuan memilih pemimpin? Kedua, apa hukum memilih pemimpin? Ketiga, apakah kriteria agama ditetapkan dalam memilih pemimpin?  Untuk menjawab masalah tersebut, uraian dalam tulisan ini dikelompokkan kepada beberapa bab: Bab I: Pendahuluan. Bab II: Al-Qur`an dan Sunnah sebagai Sumber Ajaran Islam. Bab III: Pemimpin dalam Al-Qur`an, Sunnah dan Fikih. Bab IV: Memilih dan Mengangkat Pemimpin. V: Kesimpulan       
II
AL-QUR`AN DAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Paling tidak ada dua hal yang sudah menjadi pandangan hidup ummat Islam: Pertama, ajaran Islam itu tidak hanya membicarakan persoalan-persoalan yang terkait dengan kehidupan di akhirat kelak, tapi juga berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan di dunia. Tegasnya ajaran Islam itu berisi tuntunan hidup untuk meraih keberuntungan di dunia dan akhirat. Kedua, keselamatan, keberuntungan dan  kejayaan itu akan didapatkan apabila ummat Islam menyesuaikan setiap gerak langkah dan tindak tanduknya dengan ketentuan Al-Qur`an dan Sunnah Rasul.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما: كتاب الله وسنتي, ولن يتفرقا حتى يردا على الحوض. (رواه الحاكم)
               Dari Abu Hurairah RA. Ia berkata: “Rasulullah SAW. Bersabda: “Aku tinggalkan padamu dua perkara. Kamu tidak akan tersesat setelah itu, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah sampai nanti berjumpa dengan telaga.” (Hadis riwayat al-Hakim)  
Upaya menjadikan Al-Qur`an dan Sunnah Rasul  sebagai pedoman hidup adalah wujud kepatuhan kepada Allah dan Rasul sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur`an. Jaminan untuk tidak akan tersesat yang terdapat dalam hadis di atas dipertegas oleh Al-Qur`an dengan jaminan beroleh nikmat Allah bersama golongan orang-orang yang sudah dipastikan mendapat keberuntungan, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada` dan orang-orang saleh.
Al-Qur`an dan Sunnah sebagai pedoman hidup ummat Islam tidak hanya membicarakan ketentuan yang mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mencakup hubungan sesama manusia. Ketentuan yang mengatur hubungan antara seseorang atau sekelompok orang dengan orang lain itu mencakup berbagai bidang, seperti perkawinan, ekonomi dan politik. Yang tersebut terakhir ini dalam literatur fikih biasanya disebut fikih siyasah (fiqh al-siyasah). Ketentuan yang yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan biasanya disebut urusan ibadah mahdhah (ibadah murni/ibadah dalam arti khusus), sedangkan mematuhi ketentuan syari’at yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam lainnya dipandang sebagai ibadah dalam arti luas. Dengan demikian mematuhi ketentuan Al-Qur`an dan Sunnah dalam urusan politik berarti beribadah dan dalam ajaran Islam, mereka yang melaksanakan ibadah itu berhak mendapat pahala.  

III
PEMIMPIN DALAM AL-QUR`AN, SUNNAH DAN FIKIH

A. PEMIMPIN DALAM AL-QUR`AN
Dalam Al-Qur`an terdapat beberapa kata atau lafazh yang biasa diartikan dengan pemimpin atau penguasa. Termasuk dalam hal ini lafazh:
1.  أولى الأمر  (ulil amr) sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nisa` ayat 59. Dari segi bahasa  kata uli (أولى  ) adalah bentuk jamak dari wali ( ولى ) yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata al-amr (الأمر ) berarti perintah atau urusan. Dengan demikian uli al-amr (أولى الأمر ) berarti orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum Muslimin. 
2. Begitu juga lafazh أولياء  (auliya`) yaitu bentuk jamak dari kata ولي  (waliy), sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 51. Dewan Penterjemah Al-Qur`an Departemen Agama (sekarang kementerian agama) menerjemahkan kata أولياء dalam ayat tersebut dengan “pemimpin-pemimpin”. 
3. Di samping itu kata  خليفة   (khalifah) juga mengandung arti pemimpin yang berkuasa sebagaimana yang terdapat dalam surat Shad ayat 26.  يداود انا جعلناك خليفة في الأرض...  . Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi... Al-Qurthubi  menjelaskan maksud ayat itu: Hai Daud, sesunggunya Kami memberi kekuasaan kepadamu, agar kamu memerintahkan orang untuk berbuat baik dan melarang umat dari kemungkaran.
4. Kata  سادات   (sadat) yaitu bentuk jamak dari kata  سيد (sayyid). Dalam Al-Qur`an kata ini digunakan untuk menyebutkan pemimpin-pemimpin yang yang zalim atau tidak baik. Hal ini terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 67 sebagai berikut:

Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).
5. ملك  (malik) yang biasa diartikan raja atau penguasa, sedangkan kerajaan atau kekuasaan yang dipegang oleh orang yang diberi kewenangan untuk itu disebut ملك   (mulk). Dalam Al-Qur`an disebutkan beberapa orang yang pernah memegang kekuasaan (raja) seperti Thalut (surat al-Baqarah ayat 247), Daud (surat Saba` ayat 13 dan Shad ayat 31), Sulaiman (surat al-Baqarah ayat 102, surat al-Naml ayat  16 s/d 44 dan surat Saba` ayat 12, 13 dan 14) dan raja yang tidak disebutkan namanya, seperti raja yang menguasai Mesir di masa Nabi Yusuf (surat Yusuf, ayat 43 dan 50) dan raja yang punya kegemaran mengoleksi perahu indah, meskipun untuk mendapatkannya dengan cara merampas milik nelayan (surat al-Kahfi, ayat 79).  .   

B. PEMIMPIN DALAM LITERATUR SUNNAH
Dalam literatur sunnah atau kitab-kitab hadis, kata yang biasa digunakan untuk pemimpin, khususnya pemimpin adalah  امام  (imam), امير  (amir), dan سلطان  (sulthan).
1. Kata امام (imam) dalam litertur sunnah mengandung dua makna; pertama, imam shalat berjema’ah, kedua, pemimpin politik atau penguasa. Dalam artinya yang pertama bisa dilihat antara lain dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah:
اذا أمن الامام فأمنوا فانه من وافق تأمينه تأمين الملائكة, غفر له ما تقدم من ذنبه
Apabila imam telah mengucapkan amin, ucapkan pulalah amin! Karena siapa berbarengan aminnya denga amin para malaikat, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
 Selanjutnya penggunaan kata imam dalam arti pemimpin politik, antara lain dapat dilihat dalam teks hadis yang menjelaskan tentang tujuh kelompok manusia yang bakal mendapatkan naungan atau perlindungan Allah di hari akhirat, pada saat tidak ada lagi naungan selain naungan Allah. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa kelompok yang menempati urutan pertama adalah امام عادل  (pemimpin yang adil).  
2.  Penggunaan kata امير  (amir) atau أمراء  (umara`) dalam bentuk jamak dengan arti pemimpin dapat dilihat pada gelar yang diberikan perawi hadis terhadap Umar ibn al-Khaththab, yaitu امير المؤمنين  . Dalam hadis yang berbicara tentang niyat disebutkan:   عن امير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب   Secara lebih tegas kata amir dalam konteks penguasa ummat ditemukan dalam hadis  yang antara lain diriwayatkan oleh Abu Daud dari ‘Aisyah sebagai berikut: 
                                     اذا أراد الله بالأمير خيرا جعل له وزير صدق...
           Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada pemimpin Dia jadikan untuknya pembantu (menteri)yang jujur....   
 Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar al-Ghifari disebutkan bahwa suatu masa sesudah masa Nabi akan ada pemimpin (umara`/أمراء  ) yang menunda pelaksanaan shalat dari waktunya.
3. Selanjutnya kata sulthan yang ditujukan untuk penguasa dapat dilihat dalam hadis riwayat al-Tirmidzi dari Abu Bakrah RA sebagai berikut: من أهان السلطان أهانه الله... (Siapa yang menghina Sulthan Allah pun akan hinakan ia...)

C. PEMIMPIN POLITIK DALAM ISTILAH FIKIH
Dalam literatur fikih Sunni, persoalan kepemimpinan yang terkait dengan negara atau kekuasaan polotik biasanya disebut khilafah dan untuk orang yang memegang jabatan tersebut biasa disebut khalifah. Di samping itu di kalangan komunitas Syi’ah, kepemimpinan politik biasa disebut imamah, sedangkan yang memangku jabatannya disebut imam. Perbedaan antara dua kelompok ini tidak hanya menyangkut istilah, tetapi juga dalam hal hubungannya dengan ajaran agama. Kalangan Syi’ah memandang kepemimpinan politik itu sebagai bagian dari prinsip ajaran agama dalam arti unsur pokok atau rukun dari agama Islam.  Di pihak lain, kalangan Sunni memandang persoalan khilafah sebagai sesuatu yang dibutuhkan untuk terlaksananya ketentuan agama secara menyeluruh, tetapi tidak sebagai unsur pokok atau rukun agama Islam.  


IV
MEMILIH DAN MENGANGKAT PEMIMPIN

A. KEBUTUHAN KEPADA PEMIMPIN
Sebelum membicarakan ketentuan tentang memilih dan mengangkat pemimpin, perlu diungkapkan bahwa ummat Islam itu memerlukan pemimpin. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari dua sisi.
1. Ketentuan ini dipahami dari nash Al-Qur`an dan Sunnah yang berisi tuntutan agar ummat Islam mematuhi dan menasehati pemimpin mereka. Hal ini antara lain terdapat dalam surat al-Nisa` ayat 59:   يأيها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم... (Hai orang-orang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan  ulil amri di antara kamu). Jadi kalau ummat Islam disuruh menta’ati pemimpin berarti ummat Islam memerlukan adanya pemimpin yang akan mengatur urusan mereka.  Jangankan untuk pemimpin negara, sedangkan dalam kelompok yang terdiri dari tiga oang saja, Rasulullah menyuruh salah seorang di antara mereka untuk jadi pemimpin. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abu Hurairah sebagai berikut:  
اذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم.
(Apabila tiga orang melakukan perjalanan jauh / musafir maka hendaklah salah seorang tampil sebagai pemimpin mereka).

2. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam syari’at Islam banyak yang hanya bisa dilaksanakan apabila umat Islam memiliki pemerintahan yang sah dari kalangan ummat Islam sendiri. Termasuk dalam hal ini ketentuan yang menyangkut penyelesaian dan penerapan hukum pidana. Ummat Islam wajib mematuhi hukum pidana sebagaimana yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur`an dan dijelaskan oleh Nabi dalam Sunnahnya.  Di samping itu setiap muslim dituntut untuk bersikap tulus dan memberikan nasehat kepada para pemimpin mereka. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan al-Tirmidzi dari Abu Hurairah Rasulullah SAW menyatakan bahwa agama itu adalah sikap tulus dan ketulusan itu bisa berbentuk nasehat. Berikut teks hadis menurut versi al-Tirmidzi:
الدين النصيحة ثلاث مرارز قالوا يا رسول الله لمن؟ قال: لله ولكتابه ولأئمة المسلمين وعامتهم.
Agama itu adalah nashihah, tiga kali. Mereka berkata: Ya Rasulullah, terhadap siapa? Rasulullah bersabda: untuk Allah, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan kalangan awam mereka.  
Dalam hal ini berlakulah kaidah:  
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
Segala sesuatu yang tidak sempurna yang wajib tanpa keberadaannya,
maka sesuatu itupun hukumnya wajib




B. KRITERIA PEMIMPIN UMMAT ISLAM
Secara umum Al-Qur`an dan Sunnah menyebutkan pimpinan politik itu sebagai amanah dan menyuruh ummat Islam untuk menyerahkannya kepada yang berhak menerimanya (Al-Qur`an surat al-Nisa` ayat 58 dan 59) dan dalam hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda bahwa apabila suatu amanah tidak diserahkan kepada yang berhak menerimanya, maka kehancuran hanya tinggal soal waktu (اذا وسد الأمر الى غير أهله فانتظر الساعة  ).
Sebagaimana halnya dengan urusan pimpinan lainnya, secara umum Al-Qur`an dan Sunnah menyebutkan unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan mengangkat seorang pemimpin. Ketika Allah memilih Thalut sebagai raja Bani Israil disebutkan juga kelebihan Thalut yang dipilih itu, yaitu ilmu yang luas dan tubuh yang kekar. Artinya, seorang pemimpin itu memiliki keunggulan dalam hal pengetahuan dan fisik. Tidak dapat dipungkiri bahwa dua macam persyaratan sangat penting dalam membentuk sikap sikap hormat, segan malah kepatuhan rakyat kepada pemimpin tersebut.
Di samping persoalan penguasaan ilmu dan postur fisik, Al-Qur`an dan Sunnah juga menyebut  kriteria agama untuk seseorang yang akan dipilih sebagai pemimpin ummat Islam. Jangankan untuk jadi pemimpin negara, untuk pemimpin unit terkecil masyarakat saja ada pesan untuk memperhitungkan agama yang bersangkutan. Dalam Al-Qur`an ada larangan mengangkat orang kafir atau musyrik menjadi kepala rumah tangga. Demikian juga dalam hadis dinyatakan bahwa mendahulukan pertimbangan agama dalam memilih pasangan rumah tangga adalah syarat untuk memperoleh keberuntungan.  Dalam hadis lain dinyatakan bahwa yang akan dipilih menjadi pemimpin (amir) itu adalah seseorang yang layak diutamakan sebagai imam shalat.   
Berikut ini dikemukakan ayat-ayat Al-Qur`an yang menyebutkan pertimbangan agama dalam memilih pemimpin. Dalam surat Ali ‘Imran ayat Allah melarang orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai wali.  

              Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu). (Q.S. Ali Imran: 28)
Menurut “Dewan Penterjemah / Pentafsir Al-Qur`an” Departemen Agama RI, kata wali sebagai bentuk tunggal dari kata auliya` yang terdapat dalam ayat ini berarti teman yang akrab, pemimpin, pelindung atau penolong.

           Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
Ayat 118 surat Ali ‘Imran melarang orang-orang mukmin mengambil teman kepercayaan selain orang Islam. Ahmad Mushthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah: Hai orang-orang mukmin, jangan kamu ambil orang-orang kafir seperti Yahudi dan orang-orang munafik menjadi pemimpin dan teman kkusus selain orang-orang mukmin. 

           Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Dalam surat al-Nisa` ayat 59 terdapat perintah untuk patuh / taat kepada Allah dan Rasul serta para pemimpin di antara orang-orang mukmin. Ayat tersebut sebagai berikut.
 
             Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa pemimpin disuruh untuk ditaati itu adalah pemimpin dari kalangan orang-orang mukmin sendiri.

           Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.
Yang dimaksud dengan apa yang telah diperintahkan Allah itu dalam surat al-Anfal ayat 73 di atas adalah keharusan adanya persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin sebagaimana terdapat dalam ayat sebelumnya pada surat yang sama.
Dalam sejumlah hadis terdapat pesan (tuntutan) kepada ummat Islam untuk mematuhi pemimpin ummat Islam. Di antara hadis-hadis tersebut  adalah sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من أطاعني فقد أطاع الله, ومن يعصني فقد عصى الله, ومن يطع الأمير فقد أطاعني, ومن يعصى الأمير فقد عصاني. (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “Siapa yang mentaatiku berarti ia ta’at kepada Allah dan siapa yang durhaka kepadaku berarti ia durhaka kepada Allah dan siapa yang mentaati pemimpin berarti ia mentaatiku dan siapa yang durhaka kepada pemimpin berarti ia durhaka kepadaku.
Dalam hadis di atas terdapat tuntutan untuk patuh kepada pemimpin dan kepatuhan kepada pemimpin tersebut dinyatakan sebagai tanda kepatuhan kepada Rasul. Demikian pula sebaliknya, bahwa kedurhakaan kepada pemimpin itu sebagai bentuk kedurhakaan kepada Rasul. Tentu saja sangat keliru kalau pemimpin yang dimaksud berlaku juga bagi pemimpin kafir, karena kedurhakaan mereka kepada Allah dan Rasul. Senada dengan hadis di atas, dalam hadis berikut ini terdapat tuntutan untuk bersabar terhadap pemimpin yang tidak disenangi:  
عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من كره من أميره شيئا فليصبر, فانه من خرج من السلطان شبرا مات ميتة جاهلية. (متفق عليه)
           Dari Ibnu ‘Abbas RA .ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Siapa tidak suka terhadap sesuatu yang terkait dengan pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar, karena siapa yang keluar (memisahkan diri) dari pemimpinnya (walaupun) sejengkal matinya adalah mati jahiliyah.
Dalam hadis tersebut terdapat ancaman bagi orang yang memisahkan diri (separatis) dari pemimpinnya yaitu seandainya ia meninggal dalam posisinya tersebut, maka kematiannya dicap sebagai kematian jahiliyah. Dalam hadis berikut terdapat penegasan untuk mematuhi pemimpin, tanpa mempermasalahkan etnis dan warna kulit:   
عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اسمعوا وأطيعوا, وان استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة. (رواه البخاري) 
Dari Anas RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Dengarkanlah dan patuhilah (pemimpinmu), meskipun yang diangkat jadi pemimpinmu itu seorang budak dari etnis Etiopia yang kepalanya mirip kismis. (H. Riwayat al-Bukhari)   
Batasan kepatuhan kepada pemimpin tersebut dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadis berikut, yaitu selama yang bersangkutan tidak memerintahkan untuk melakukan maksiat. Maksiat artinya semua bentuk pendurhakaan kepada Allah. Bila yang diperintahkan itu adalah sesuatu yang mengandung kedurhakaan kepada Allah, maka pemimpin tersebut tidak boleh
dipatuhi. Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai berikut :
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره الا أن يؤمر بمعصية, فان أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة. (متفق عليه)  
              Dari Ibnu ‘Umar RA dari Nabi SAW ia bersabda: “Kewajiban setiap Muslim untuk mendengar dan mematuhi pemimpinnya, baik dalam hal yang ia sukai, maupun yang tidak disenangi, kecuali bila ia diperintah berbuat maksiat. Jika ia diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh didengar dan dipatuhi.    
         Dari keterangan yang bersumber dari ayat-ayat Al-Qur`an dan hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa larangan memilih pemimpin non muslim adalah larangan keras. Salah satu indikatornya adalah bila larangan ini dilanggar, maka ummat Islam akan mengalami fitnah dalam arti bencana. Sedangkan dalam hadis terdapat tuntutan untuk mematuhi pemimpin dan hal ini terkait dengan ayat 59 surat al-Nisa` yaitu pemimpin dari kalangan ummat Islam.

V
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, sekaligus sebagai jawaban dari batasan masalah yang telah dikemukakan pada bab pendahuluan. Pertama,  dalam Al-Qur`an dan Sunnah terdapat ketentuan tentang memilih pemimpin. Kedua, agar terlaksananya ketentuan syari’at Islam secara menyeluruh, wajib hukumnya bagi ummat Islam mengangkat pemimpin. Ketiga, ummat Islam wajib memilih pemimpin yang muslim dan haram memilih non muslim.    



DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1421 H/2000 M), cet. I
Dewan Penterjemah DEPAG Al-Qur`an dan Terjemahnya
Bukhari, Al- Sahih al-Bukhari, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 1429 H/2008 M), cet. I
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. I
Maraghi, Ahmad Mushthafa al-, Tafsir al-Maraghi, (T. Tp.: Dar al-Fikr, t.t.)
Muradi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1999), cet. II
Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ibn Hazm, 2008), cet. I
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979)
Nawawi, al-, Riyadh al-Shalihin, (Surabaya: Maktabah Ahmad ibn Sa’ad ibn Nabhan wa Auladuh, tt.),
Qurthubi, Al-, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993)
Shihab, M.Quraish Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
Suyuthi, Jalal al-Din al-, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), cet. IV
Tirmidzi, Al-, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1422 H / 2002 M)