Ulama Membawa Misi Tajdid
Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah membutuhkan ulama yang mampu
memahami, mengamalkan dan menyebarkan ruh tajdid dalam seluruh aktifitas
keilmuan dan amaliahnya. Tajdid yang dimaksud di sini, merupakan keniscayaan
ajaran Islam, sehingga akan mengkondisikan Islam sebagai agama yang sejalan
dengan setiap waktu, situasi dan tempat (Islam shaliḥ li kulli
zamān wa makān wal aḥwāl).
Semangat/wawasan tajdid ditegaskan sebagai identitas umum gerakan
Muhammadiyah termasuk pemikirannya di bidang
keagamaan. Ini ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) Anggaran Dasar Muhammadiyah,
“Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid,
bersumber kepada alQuran dan as-Sunnah”. Tajdid menggambarkan
orientasi dari kegiatan Tarjih dan corak produk ketarjihan. Tajdid mempunyai
dua aspek: 1) dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam
arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah
Nabi saw. dan 2) dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti
mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif sesuai tuntutan
zaman.
Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa dari
Sunnah Nabi saw untuk menemukan bentuk yang paling sesuai atau paling mendekati
Sunnah beliau. Mencari bentuk paling sesuai dengan Sunnah Nabi saw tidak
mengurangi arti adanya tanawwu‘ dalam kaifiyah ibadah itu
sendiri, sepanjang memang mempunyai landasannya dalam as-Sunnah. Misalnya
adanya variasi dalam bacaan doa iftitah dalam salat, yang menunjukkan bahwa Nabi
saw sendiri melakukannya bervariasi. Varian ibadah yang tidak didukung oleh
as-Sunnah menurut Tarjih tidak dapat dipandang praktik ibadah yang bisa
diamalkan. Berkaitan dengan akidah, pemurnian berarti melakukan Tajdid di
bidang muamalat duniawiyah (bukan akidah dan ibadah khusus), berarti
mendinamisasikan kehidupan masyarakat sesuai dengan capaian kebudayaan yang
dicapai manusia di bawah semangat dan ruh al-Quran dan as-Sunnah.
Bahkan dalam aspek ini beberapa norma di masa lalu dapat berubah
bila ada keperluaan dan tuntutan untuk berubah. Misalnya di zaman lampau untuk menentukan masuknya
bulan kamariah baru, khususnya Ramadan, Syawal dan Zulhijah, digunakan rukyat sesuai dengan
hadis-hadis rukyat dalam mana Nabi saw memerintah melakukan rukyat. Namun pada
zaman sekarang tidak lagi digunakan rukyat melainkan hisab, sebagaimana
dipraktikkan dalam Muhammadiyah. Contoh lain, di masa lalu perempuan tidak
dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya, maka di
zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana perempuan boleh menjadi
pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih tentang Adabul Mar’ah
fil Islam.
Kader ulama yang akan dilahirkan oleh Muhammadiyah harus memahami
visi tajdid di atas, kemudian mengaplikasikannya dalam berbagai pemikiran,
keilmuan, keputusan, perilaku dan dakwah di tengah masyarakat agar membawa umat
kepada umat terdepan yang mampu membawa peradaban Islam yang unggul.
Sumber: Pedoman Perkaderan Ulama Tarjih Muhammadiyah, hal 9-10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar