Senin, 27 Januari 2020

Ulama Membawa Misi Tajdid

Ulama Membawa Misi Tajdid 





Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah membutuhkan ulama yang mampu memahami, mengamalkan dan menyebarkan ruh tajdid dalam seluruh aktifitas keilmuan dan amaliahnya. Tajdid yang dimaksud di sini, merupakan keniscayaan ajaran Islam, sehingga akan mengkondisikan Islam sebagai agama yang sejalan dengan setiap waktu, situasi dan tempat (Islam shalili kulli zamān wa makān wal awāl).

Semangat/wawasan tajdid ditegaskan sebagai identitas umum gerakan Muhammadiyah termasuk  pemikirannya di bidang keagamaan. Ini ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) Anggaran Dasar Muhammadiyah, “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber kepada alQuran dan as-Sunnah”. Tajdid menggambarkan orientasi dari kegiatan Tarjih dan corak produk ketarjihan. Tajdid mempunyai dua aspek: 1) dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi saw. dan 2) dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif sesuai tuntutan zaman.

Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa dari Sunnah Nabi saw untuk menemukan bentuk yang paling sesuai atau paling mendekati Sunnah beliau. Mencari bentuk paling sesuai dengan Sunnah Nabi saw tidak mengurangi arti adanya tanawwu‘ dalam kaifiyah ibadah itu sendiri, sepanjang memang mempunyai landasannya dalam as-Sunnah. Misalnya adanya variasi dalam bacaan doa iftitah dalam salat, yang menunjukkan bahwa Nabi saw sendiri melakukannya bervariasi. Varian ibadah yang tidak didukung oleh as-Sunnah menurut Tarjih tidak dapat dipandang praktik ibadah yang bisa diamalkan. Berkaitan dengan akidah, pemurnian berarti melakukan Tajdid di bidang muamalat duniawiyah (bukan akidah dan ibadah khusus), berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat sesuai dengan capaian kebudayaan yang dicapai manusia di bawah semangat dan ruh al-Quran dan as-Sunnah.

Bahkan dalam aspek ini beberapa norma di masa lalu dapat berubah bila ada keperluaan dan tuntutan untuk berubah. Misalnya di zaman lampau untuk menentukan masuknya bulan kamariah baru, khususnya Ramadan, Syawal dan Zulhijah, digunakan rukyat sesuai dengan hadis-hadis rukyat dalam mana Nabi saw memerintah melakukan rukyat. Namun pada zaman sekarang tidak lagi digunakan rukyat melainkan hisab, sebagaimana dipraktikkan dalam Muhammadiyah. Contoh lain, di masa lalu perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya, maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih tentang Adabul Mar’ah fil Islam.

Kader ulama yang akan dilahirkan oleh Muhammadiyah harus memahami visi tajdid di atas, kemudian mengaplikasikannya dalam berbagai pemikiran, keilmuan, keputusan, perilaku dan dakwah di tengah masyarakat agar membawa umat kepada umat terdepan yang mampu membawa peradaban Islam yang unggul. 

Sumber:  Pedoman Perkaderan Ulama Tarjih Muhammadiyah, hal 9-10
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar