Melipatgandakan Militansi Gerakan, Memerangi Kemalasan
Prof. Dr. H. Thohir Luth, M.A.
(Ketua
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur)
Sudah tidak terbantahkan baik de
jure maupun de facto bahwa kehadiran dan keberadaan
Muhammadiyah adalah untuk umat, bangsa, dan negara. Peran Muhammadiyah juga
diakui oleh negara, dibuktikan dengan penetapan pendiri Muhammadiyah dan
Aisyiyah, yaitu K.H. Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah sebagai pahlawan
nasional. Karenanya bagi kita, pengakuan ini, selain “penghargaan”, juga
sebagai “tantangan”. Penghargaan, karenapemerintah dan negara melihat betapa
besar kontribusi Muhammadiyah melalui amal usaha di bidang pendidikan,
kesehatan, pelayanan sosial, dakwah, SDM-nya menjadi bagian penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi juga tantangan, apakah Muhammadiyah
terus maju pantang mundur dengan visi dan
misi dakwahnya dalam pembangunan bangsa dan Negara. Pertanyaan tersebut yang mampu menjawab adalah
kader Muhammadiyah itu sendiri. Karena, menggerakkan Muhammadi- yah
berarti melibatkan seluruh potensi, terutama SDM yang ada untuk mewujudkan
tujuan Muhammadiyah. Upaya ini memerlukan personalia yang dapat menyisihkan
waktu, tenaga, pikiran, bahkan harta benda untuk Muhammadiyah. Mereka itulah
para pimpinan yang sedang mengemban amanah persyarikatan.
Saya maksudkan adalah mereka yang dapat dipercaya membawa
Muhammadiyah dalam merealisasikan
program-programnya untuk mencapai tujuan-nya. Menurut saya, ada tiga
pertimbangan yang filosofis untuk menjadi pimpinan.
Pertama:
Muhammadiyah ingin sejak dini
menyiapkan anggota yang komitmen dan memperjuangkan Muhammadiyah.
Kedua:
Muhammadiyah tidak ingin kader
yang ada di dalam hanya sekedarnya, tetapi betul-betul kader yang mumpuni dan
memiliki kemauan membesarkan Muhammadiyah.
Ketiga:
Muhammadiyah ingin menyatakan kepada
publik, bahwa yang bisa berjuang untuk membesarkan dan mengambangkan Muhammadiyah
hanyalah kader yang benar-benar, bukan sepuhan, apalagi karbitan. Karena hanya
mereka inilah yang dapat merasakan pahit-getir, asam-garamnya berjuang di
Muhammadiyah. Jadi, bagi mereka Muhammadiyah adalah habitat paling sesuai
dengan aura perjuangan mereka, yaitu kader. Karena itu, militansi gerakan harus
dilipatgandakan bagi seluruh kader dan warga Muhammadiyah. Mengapa?
Pertama:
kita ingin menjadi pribadi
yang shaleh secara utuh, yaitu shaleh individual, dan shaleh sosial. Di sinilah
mengapa Kiyai Dahlan
berpesan: “
Dadiyo kiai
sing kemajon, lan ojo kesel anggomu nyambut gawe
kanggo Muhammadiyah”.
Kedua:
Menjaga dan melanjutkan risalah
Islam. Ini merupakan misi yang paling substansial bagi Muhammadiyah. Karena,
“Islam tidak akan lenyap di mata dunia, tetapi boleh jadi Islam bisa lenyap di
Indonesia”. Muhammadiyah berperan sebagai gerakan purutanisme dan modernisasi
Islam, dan pelanjut risalah Islam melalui gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar
dan tajdid bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ketiga:
Meneguhkan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Perjuangan di atas sungguh tidaklah ringan, sehingga memerlukan
militansi perjuangan yang kokoh. Mengenai militansi kita perlu meneladani pendiri
Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan termasuk figur pemimpin yang tidak pernah diam.
Terus bergerak menyebarkan gagasan pembaharuan dan memberi pencerahan. Bahkan,
ketika sakit tidak berhenti. Akhirnya, dokter memutuskan harus hijrah keluar
kota agar tidak terganggu urusan organisasi dan dapat istirahat penuh.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 29 November 1922 dengan tetirah ke daerah
Pasuruan, Jawa Timur. Dua bulan kemudian PB Muhammadiyah menjenguknya. Betapa
mereka terkejut, karena Kiyai Dahlan nampak semakin kurus, kakinya bengkak,
tetapi wajahnya berseri-seri. Dalam sakit, ternyata beliau tidak diam, malah
berhasil mendirikan mushalla untuk kegiatan jama’ah dan dakwah.
Subhanallah, Maha Suci Allah
SWT yang telah menganu-gerahkan kesungguhan berjihad pada diri pendiri
Muhammadiyah. Kita yang membaca cerita singkat beliau ini, rasanya menangis
haru tentang sosok pendiri Muhammadiyah ini. Jangankan sehat beliau terus
mengurus Muhammadiyah, sampai sakit pun beliau tetap mengurusnya. Ternyata
hijrah beliau ke Pasuruan untuk istirahat karena sakit tidak bisa memadamkan
semangatnya untuk terus berjuang. Saya rasanya tidak pantas memohon kepada
Allah SWT untuk memasuki surga-Nya dan malu pada pendiri Muhammadiyah akan
perjuangan dan pengabdiannya. Alhasil, kisah singkat beliau itu tersirat
makna, bahwa beliau sungguh berjuang memerangi kemalasan untuk kemudian
menggan-tinya dengan jihad untuk kepentingan umat. Bagi saya, jawaban mengapa
kita harus melipatgandakan militansi dan menjadi sumber inspirasi dan motivasi
bahwa ber-Muhammadiyah itu memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh. Jangan
bermalas-malasan apalagi bermain-main dengan Muhammadiyah. Karena, ketika kita
bersungguh-sungguh, maka sesungguhnya kita telah melakukan investasi spiritual
dan sosial yang amat berharga. Tidak hanya untuk Muhammadiyah secara kolektif,
tetapi juga untuk diri kita sendiri
secara individual. Kalau hanya
sekedar simbol atau label itu merupakan suatu kerugian, karena tidak menjadikan
gerakan sebagai ladangberamal shaleh. Saya berpendapat, salah satu faktor yang
menyebabkan Muhammadiyah tetap eksis sampai melintasi satu abad dengan selamat
karena ketulusan warga dan para pimpinan atau kadernya. Dan nilai transenden
yang ada di balik perjuangan mereka dalan ber-Muhammadiyah adalah hanya mencari
ridha Allah. Selagi kita memiliki jiwa yang tulus dan ihlas berjuang hanya
mencari ridha Allah, Muhammadiyah akan tetap eksis ila yaum al qiyamah. Oleh sebab itu, para kader
Muhammadiyah sejak dini harus memiliki militansi yang tinggi dan menghilangkan
kemalasan dalam berjuang, bekerja keras, dan jangan manja demi mewujudkan
tujuan Muhammadiyah, yaitu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.