Selasa, 28 Januari 2020

Melipatgandakan Militansi Gerakan, Memerangi Kemalasan


Melipatgandakan Militansi Gerakan, Memerangi Kemalasan



Prof. Dr. H. Thohir Luth, M.A.
(Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur)

Sudah tidak terbantahkan baik de jure maupun de facto bahwa kehadiran dan keberadaan Muhammadiyah adalah untuk umat, bangsa, dan negara. Peran Muhammadiyah juga diakui oleh negara, dibuktikan dengan penetapan pendiri Muhammadiyah dan  Aisyiyah, yaitu K.H. Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah sebagai pahlawan nasional. Karenanya bagi kita, pengakuan ini, selain “penghargaan”, juga sebagai “tantangan”. Penghargaan, karenapemerintah dan negara melihat betapa besar kontribusi Muhammadiyah melalui amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dakwah, SDM-nya menjadi bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi juga tantangan, apakah Muhammadiyah terus maju pantang mundur dengan visi dan misi dakwahnya dalam pembangunan bangsa dan Negara. Pertanyaan tersebut yang mampu menjawab adalah kader Muhammadiyah itu sendiri. Karena, menggerakkan Muhammadi- yah berarti melibatkan seluruh potensi, terutama SDM yang ada untuk mewujudkan tujuan Muhammadiyah. Upaya ini memerlukan personalia yang dapat menyisihkan waktu, tenaga, pikiran, bahkan harta benda untuk Muhammadiyah. Mereka itulah para pimpinan  yang sedang mengemban amanah persyarikatan.

Saya maksudkan adalah mereka yang dapat dipercaya membawa Muhammadiyah  dalam merealisasikan program-programnya untuk mencapai tujuan-nya. Menurut saya, ada tiga pertimbangan yang filosofis untuk menjadi pimpinan.

Pertama:
 Muhammadiyah ingin sejak dini menyiapkan anggota yang komitmen dan memperjuangkan Muhammadiyah.

Kedua:
 Muhammadiyah tidak ingin kader yang ada di dalam hanya sekedarnya, tetapi betul-betul kader yang mumpuni dan memiliki kemauan membesarkan Muhammadiyah.

Ketiga:
Muhammadiyah ingin menyatakan kepada publik, bahwa  yang bisa berjuang untuk membesarkan dan mengambangkan Muhammadiyah hanyalah kader yang benar-benar, bukan sepuhan, apalagi karbitan. Karena hanya mereka inilah yang dapat merasakan pahit-getir, asam-garamnya berjuang di Muhammadiyah. Jadi, bagi mereka Muhammadiyah adalah habitat paling sesuai dengan aura perjuangan mereka, yaitu kader. Karena itu, militansi gerakan harus dilipatgandakan bagi seluruh kader dan warga Muhammadiyah. Mengapa?


Pertama:
 kita ingin menjadi pribadi yang shaleh secara utuh, yaitu shaleh individual, dan shaleh sosial. Di sinilah mengapa Kiyai Dahlan
berpesan: “
Dadiyo kiai sing kemajon, lan ojo kesel anggomu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah”
 
Kedua:
Menjaga dan melanjutkan risalah Islam. Ini merupakan misi yang paling substansial bagi Muhammadiyah. Karena, “Islam tidak akan lenyap di mata dunia, tetapi boleh jadi Islam bisa lenyap di Indonesia”. Muhammadiyah berperan sebagai gerakan purutanisme dan modernisasi Islam, dan pelanjut risalah Islam melalui gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah.

Ketiga:
 Meneguhkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perjuangan di atas sungguh tidaklah ringan, sehingga memerlukan militansi perjuangan yang kokoh. Mengenai militansi kita perlu meneladani pendiri Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan termasuk figur pemimpin yang tidak pernah diam. Terus bergerak menyebarkan gagasan pembaharuan dan memberi pencerahan. Bahkan, ketika sakit tidak berhenti. Akhirnya, dokter memutuskan harus hijrah keluar kota agar tidak terganggu urusan organisasi dan dapat istirahat penuh. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 29 November 1922 dengan tetirah ke daerah Pasuruan, Jawa Timur. Dua bulan kemudian PB Muhammadiyah menjenguknya. Betapa mereka terkejut, karena Kiyai Dahlan nampak semakin kurus, kakinya bengkak, tetapi wajahnya berseri-seri. Dalam sakit, ternyata beliau tidak diam, malah berhasil mendirikan mushalla untuk kegiatan jama’ah dan dakwah.

Subhanallah, Maha Suci Allah SWT yang telah menganu-gerahkan kesungguhan berjihad pada diri pendiri Muhammadiyah. Kita yang membaca cerita singkat beliau ini, rasanya menangis haru tentang sosok pendiri Muhammadiyah ini. Jangankan sehat beliau terus mengurus Muhammadiyah, sampai sakit pun beliau tetap mengurusnya. Ternyata hijrah beliau ke Pasuruan untuk istirahat karena sakit tidak bisa memadamkan semangatnya untuk terus berjuang. Saya rasanya tidak pantas memohon kepada Allah SWT untuk memasuki surga-Nya dan malu pada pendiri Muhammadiyah akan perjuangan dan pengabdiannya.  Alhasil, kisah singkat beliau itu tersirat makna, bahwa beliau sungguh berjuang memerangi kemalasan untuk kemudian menggan-tinya dengan jihad untuk kepentingan umat. Bagi saya, jawaban mengapa kita harus melipatgandakan militansi dan menjadi sumber inspirasi dan motivasi bahwa ber-Muhammadiyah itu memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh. Jangan bermalas-malasan apalagi bermain-main dengan Muhammadiyah. Karena, ketika kita bersungguh-sungguh, maka sesungguhnya kita telah melakukan investasi spiritual dan sosial yang amat berharga. Tidak hanya untuk Muhammadiyah secara kolektif, tetapi juga untuk diri kita sendiri
 
secara individual. Kalau hanya sekedar simbol atau label itu merupakan suatu kerugian, karena tidak menjadikan gerakan sebagai ladangberamal shaleh. Saya berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan Muhammadiyah tetap eksis sampai melintasi satu abad dengan selamat karena ketulusan warga dan para pimpinan atau kadernya. Dan nilai transenden yang ada di balik perjuangan mereka dalan ber-Muhammadiyah adalah hanya mencari ridha Allah. Selagi kita memiliki jiwa yang tulus dan ihlas berjuang hanya mencari ridha  Allah, Muhammadiyah akan tetap eksis ila yaum al qiyamah. Oleh sebab itu, para kader Muhammadiyah sejak dini harus memiliki militansi yang tinggi dan menghilangkan kemalasan dalam berjuang, bekerja keras, dan jangan manja demi mewujudkan tujuan Muhammadiyah, yaitu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

HAKIKAT HIDUP DAN MATI YANG SEBENARNYA

HAKIKAT HIDUP DAN MATI YANG SEBENARNYA



Berkata Ibn Sayyid al-Bathliyusy Al-Andalusy (1052-1127 M):

أخو العلم حي خالد بعد موته # وأوصاله تحت التراب رميم
وذو الجهل ميت وهو ماش على الثرى # يظن من الأحياء وهو عديم


“Orang-orang berilmu akan tetap hidup dan abadi setelah wafatnya, meski tubuhnya telah berkalang debu menjadi serpihan tak berarti; Sementara orang yang bodoh tak ubahnya bangkai yang berjalan di atas tanah, ia dianggap hidup padahal ia telah mati”.

Begitu dahsyatnya ilmu sehingga pemiliknya akan tetap “abadi”, karena ilmunya akan terus bermanfaat dan dimanfaatkan oleh umat setelahnya. Namanya akan terus dikenang, kiprah perjuangannya akan terus dilanjutkan, dan semangatnya dalam al-hats ‘ala al-khair (mendorong pada perbuatan baik) akan menular dari generasi ke generasi, dari masa ke masa.

Tidak demikian halnya dengan orang yang tak berilmu, ia ada namun tiada, ia bersama namun tak berguna, ia menjadi ‘sampah’ di tengah-tengah masyarakat, tak ada kebaikan yang bisa diambil darinya. Keberadaannya justru menjadi kegusaran masyarakat, sepak terjangnya seringkali membawa bencana baik itu bencana jasmaniah maupun ruhaniyah.

Orang tak berilmu bukan hanya orang-orang yang tidak pernah belajar, ‘ngaji’, sekolah dan ‘nyantren’. Tapi orang yang tak berilmu juga termasuk orang yang tak mau mendengar nasehat, tak menghargai ulama, tak punya sopan-santun kepada yang lebih tua, merasa dirinya paling pandai, merasa pendapatnya paling benar, merasa ilmunya paling hebat, dan suka berbuat onar di tengah masyarakat. Orang-orang seperti ini bukan hanya rusak secara individu, tapi juga berpotensi kuat merusak masyarakat. Pantaslah jika mereka dilabeli orang yang ‘mati’ sebelum kematiannya yang hakiki. Mati jasmani tidak lebih berbahaya ketimbang mati nurani, karena mati jasmani sudah menjadi ketentuan Allah Rabbul ‘Izzah sedangkan mati nurani berakibat tak mendapat cahaya hidayah dari Allah. Saat hidup ia akan menjadi fitnah dan saat mati ia akan menjadi orang yang hina di mata manusia maupun di sisi Allah swt. Na’udzu billahi min dzalik..

Senin, 27 Januari 2020

Ulama Membawa Misi Tajdid

Ulama Membawa Misi Tajdid 





Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah membutuhkan ulama yang mampu memahami, mengamalkan dan menyebarkan ruh tajdid dalam seluruh aktifitas keilmuan dan amaliahnya. Tajdid yang dimaksud di sini, merupakan keniscayaan ajaran Islam, sehingga akan mengkondisikan Islam sebagai agama yang sejalan dengan setiap waktu, situasi dan tempat (Islam shalili kulli zamān wa makān wal awāl).

Semangat/wawasan tajdid ditegaskan sebagai identitas umum gerakan Muhammadiyah termasuk  pemikirannya di bidang keagamaan. Ini ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) Anggaran Dasar Muhammadiyah, “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber kepada alQuran dan as-Sunnah”. Tajdid menggambarkan orientasi dari kegiatan Tarjih dan corak produk ketarjihan. Tajdid mempunyai dua aspek: 1) dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi saw. dan 2) dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif sesuai tuntutan zaman.

Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa dari Sunnah Nabi saw untuk menemukan bentuk yang paling sesuai atau paling mendekati Sunnah beliau. Mencari bentuk paling sesuai dengan Sunnah Nabi saw tidak mengurangi arti adanya tanawwu‘ dalam kaifiyah ibadah itu sendiri, sepanjang memang mempunyai landasannya dalam as-Sunnah. Misalnya adanya variasi dalam bacaan doa iftitah dalam salat, yang menunjukkan bahwa Nabi saw sendiri melakukannya bervariasi. Varian ibadah yang tidak didukung oleh as-Sunnah menurut Tarjih tidak dapat dipandang praktik ibadah yang bisa diamalkan. Berkaitan dengan akidah, pemurnian berarti melakukan Tajdid di bidang muamalat duniawiyah (bukan akidah dan ibadah khusus), berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat sesuai dengan capaian kebudayaan yang dicapai manusia di bawah semangat dan ruh al-Quran dan as-Sunnah.

Bahkan dalam aspek ini beberapa norma di masa lalu dapat berubah bila ada keperluaan dan tuntutan untuk berubah. Misalnya di zaman lampau untuk menentukan masuknya bulan kamariah baru, khususnya Ramadan, Syawal dan Zulhijah, digunakan rukyat sesuai dengan hadis-hadis rukyat dalam mana Nabi saw memerintah melakukan rukyat. Namun pada zaman sekarang tidak lagi digunakan rukyat melainkan hisab, sebagaimana dipraktikkan dalam Muhammadiyah. Contoh lain, di masa lalu perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya, maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih tentang Adabul Mar’ah fil Islam.

Kader ulama yang akan dilahirkan oleh Muhammadiyah harus memahami visi tajdid di atas, kemudian mengaplikasikannya dalam berbagai pemikiran, keilmuan, keputusan, perilaku dan dakwah di tengah masyarakat agar membawa umat kepada umat terdepan yang mampu membawa peradaban Islam yang unggul. 

Sumber:  Pedoman Perkaderan Ulama Tarjih Muhammadiyah, hal 9-10