Minggu, 29 Juli 2018

ULAMA DALAM PANDANGAN AWAM

 ULAMA DALAM PANDANGAN AWAM

Oleh: Adrian Muis Khatib

 


Orang awam seperti saya dan lainnya, katakanlah kami yang tidak ulama ini, memandang ulama itu sangat mulia dan tinggi sekali. Ketika ada yang berdo’a atau memimpin do’a dan zikir dalam bakaua, acara kenduri atau hajatan apapun, kami melihatnya tidak sebagai ulama, tetapi sebagai “pakiah” atau “labai”, ada juga yang mengatakan “tukang do’a. Ketika ada yang memberikan tabligh akbar atau ceramah agama, kami memandangnya sebagai “ustazd”. Kendati dalam Ramadhan ada tiga puluh orang ustaz yang memberikan pengajian di Surau kami, jarang sekali yang disebut sebagai Ulama. Semua disebut sebagai penceramah atau ustaz. Ketika ada yang mengajarkan pelajaran agama di kelas, kami menganggapnya sebagai “guru agama”, bukan “Ulama”.

Ulama itu bagi kami adalah orang yang ber”ilmu” tinggi dalam hal-ihwal agama Islam, mampu memberikan fatwa agama yang ditopang oleh ilmunya itu, berpandangan luas, berpikiran tajam, berhati lapang, ia meberikan solusi ketika ada persoalan umat. Kalau ia berceramah kami sebut beliau “mengaji”. Kalimatnya sejuk didengar, lembut dan meyakinkan. Materi kajinya mendamaikan sanubari, memotifasi amal sholeh, dan memberikan pengetahuan, mencerdaskan dan berpikiran maju.

Ulama, biasanya kami panggil dengan Buya. Dalam pengalaman hidup yang tak seberapa, kami menyaksikan ulama itu kharismatik, berpengikut, banyak orang merasa, beliau adalah guru mereka. Beliau dirindui oleh para murid yang tak semuanya beliau kenal, tapi ketika ketemu beliau bersikap bagaikan kenal buanget. Puluhan tahun lalu, kami bersama Nasril Zainun (teman saya) memacu honda ke Payakumbuh dari Padang hanya untuk mendengarkan kaji BUYA HAMKA di sebuah masjid disudut kota Payakumbuh. Pernah juga serombongan anak muda Masjid Taqwa Padang bersama kami dan ajo Nasrun Haroen mengunjungi Buya Malik Ahmad di Kandang Ampek untuk meminta diberi kaji. Pernah pula ketika kami memimpin IMM memakai modus tour sepeda motor, dibawah pimpinan Azwarlis Zakaria (komandan kami) sekitar 63 “honda” meluncur dari Padang menuju Sungai Batang Maninjau untuk mengaji dengan Buya AR Sutan Mansur. Pernah pula dengan sepeda (keretangin) berputar ke Pariaman terus Lubuk Basung, Maninjau, Bukittinggi terus ke Padang Panjang bersama Apris (adik saya) untuk dapat bertemu langsung dg beberapa ulama diantaranya Buya Haroun el Ma’aniy di Kauman Padang Panjang. Itulah sejemput kenangan dengan Ulama yang kami panggil dengan Buya itu.

Ulama tidak membutuhkan jabatan karena ia berurat kebawah. Berurat kebawah, lawannya berurat keatas. Dalam istilah Minangkabau diucapkan ba-urek kabawah ; bagai tanaman yang tumbuh di tanah, ia tumbuh dan berkembang dengan akarnya yang menyelam kedalam tanah, bersama tanah ia hidup saling kuat menguatkan, ia memberikan yang dibutuhkan oleh tanah dan sebaliknya tanah juga memberikan yang ia butuhkan. Ulama yang berurat kebawah bermakna tokoh agama yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, ia memberikan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan masyarakat pun memberikan dukungan terhadapnya.

Berbeda dengan tokoh agama yang berurat ke atas, istilah Minang menyebut seperti jenggot karena jenggot uratnya keatas, ia menggantung terbalik, maka akan berpikiran terbalik, berperilaku terbalik dan kalau berkeputusan juga terbalik. Ulama berurat keatas, juga dipahami sebagai ulama yang diangkat oleh pemerintah, sementara tempat hinggapnya ditengah masyarakat tidak ada. Biasanya tokoh seperti ini juga disebut dengan ulama tanpa jamaah atau ulama tanpa surau. Begitulah kami memandang Ulama, betul salahnya terserahlah kepada para Ulama, namun kami di didik oleh alam nan takambang.... begitulah. Wallahu a’lam.

Sumber:  http://adrianmuiskhatib.blogspot.com/2016/01/ulama-dalam-pandangan-awam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar