Sabtu, 04 Agustus 2018

ISLAM NUSANTARA: DI ANTARA KESESATAN BERPIKIR DAN PERANG GENERASI KEEMPAT


ISLAM NUSANTARA: DI ANTARA KESESATAN BERPIKIR DAN  PERANG GENERASI KEEMPAT



Oleh Mahsun




Guru Besar Bidang Linguistik Forensik




Universitas Mataram




Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud (2012--2015)

Terdapat tiga persoalan mendasar yang patut dikuak dari topik di atas, pertama, ada apa dengan istilah Islam Nusantara, kedua mengapa Islam Nusantara disebut sebagai salah satu bentuk kesesatan berpikir, dan ketiga mengapa Islam Nusantara dikaitkan dengan perang generasi keempat?
Untuk lebih fokus pembicaraan ihwal persoalan-persoalan di atas, termasuk persoalan lain yang terkait dengan masing-masing persoalan tersebut dipaparkan secara berturut-turut berikut ini.

A. Ihwal Islam Nusantara

Istilah Islam Nusantara mungkin diikhtiarkan sebagai padanan dari Istilah Islam Jawa (Woodward, 1989, 1999) atau Islam Sasak (Budiwanti, 2000). Meskipun harus dicatat, bahwa pada konstruksi asli berbahasa Inggris untuk karya Woodward, merupakan konstruksi preposisional: Islam in Java (preposisi: in yang sepadan dengan preposisi: di, dalam bahasa Indonesia yang memiliki peran sintaktis sebagai pemarkah lokatif/tempat), sehingga konstruksi itu mestinya menjadi Islam di Jawa.
Itu sebabnya muncul usulan seperti diajukan, almarhum K.H. Hasjim Muzadi, sebagai Islam di Nusantara.

Terlepas dari itu, istilah Islam Nusantara menjadi kontroversial akhir-akhir ini karena kandungan muatan semantis yang disematkan padanya. Prof. Azyumardi memaknai Islam Nusantara sebagai Islam distingtif yang merupakan hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam Universal  dengan realitas sosial, budaya, dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy'ari, fiqih mazhab Syafi'i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Dalam konteks etnis Minang misalnya, Prof. Azyumardi menjelaskan bahwa Islam Nusantara itu diwujudkan dalam "Adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah".
Adat merupakan lokal genius dan Islam datang serta menyebar melalui proses vernakularisasi dan indigenisasi _(Dikutip dari WAG Guru Besar Kahmi, 31 Juli 2018, pkl. 14.03)._

Apabila dicermati argumentasi dan per contoh yang diajukan Prof. Azyumardi tentang konsep Islam Nusantara di atas, maka terlihat bahwa terdapat pencampuradukan antara Islam sebagai seperangkat sistem nilai (nilai yang berhubungan dengan aqidah, syariah yang di dalamnya menyangkut ibadah dan muamalah) dengan prilaku/tingkah laku (orang yang menyebut dirinya penganut Islam) yang merefleksikan sistem nilai itu.

Apa yang dicontohkan Prof. Azyumardi tentang Islam Nusantara untuk etnis Minang: "Adat yang bersandi sarak-kitabullah" sesungguhnya merupakan contoh yang menganggap Islam sebagai seperangkat sistem tingkahlaku, bukan Islam sebagai seperangkat sistem nilai.

Dengan mengadopsi dan mengadaptasikan konsep yang dianjukan Parson (1977) dalam bukunya Social System and the Evolution of Action Theory, bahwa sistem nilai (Parson menyebutnya sebagai sistem budaya) mengontrol sistem tingkah laku manusia melalui sistem sosial dan sistem kepribadian.
Sementara itu, suatu sistem nilai dapat merefleksikan diri dalam berbagai varian tergantung ranah kehidupan atau ruang dan waktu di mana nilai itu diejawantahkan. 

Sebagai contoh, nilai tentang anjuran untuk senantiasa menjaga silaturahim antarsesama manusia. Dalam masyarakat Sumbawa  direfleksikan dalam berbagai varian tergantung pada ranah kehidupan, misalnya, dalam ranah pertanian muncul perilaku "basiru", yaitu  silaturahim dalam wujud tolong menolong antarsesama saat menanam atau memanen padi; dalam pembangunan (perumahan) muncul perilaku "basanata", yaitu silaturahim dalam bentuk tolong menolong saat membangun rumah/tempat tinggal; yang belum tentu pada masyarakat lainnya memiliki wujud perilaku itu tetapi, mungkin pada ranah lain, perilaku yang menjadi refleksi sistem nilai itu dapat muncul. Contoh lain, sikap toleran pada masyarakat Muslim Sasak yang hidup berdampingan dengan masyarakat Hindu di desa Babakan atau di dusun Gumitri Lombok Barat. Pada masyarakat Muslim dan Hindu Sasak di Babakan, muncul perilaku "NGEJOT", yaitu toleransi dalam bentuk saling memberi bantuan dapat berupa saling mengirimkan bahan makanan saat acara keagamaan masing-masing, seperti acara Mauludan untuk umat muslim dan hari raya Galungan untuk umat Hindu, yang berbeda dalam merefleksikan nilai toleransi dengan komunitas Islam-Hindu di dusun Gumitri. Di dusun Gumitri, nilai toleransinya diwujudkan dalam bentuk perilaku upacara PITRAYADNYA, yaitu toleransi dalam bentuk upacara syukuran bersama di tempat berbeda tetapi berdekatan pada rangkaian acara ngaben antara dua komunitas berbeda keyakinan. Perilaku semacam itu tidak terdapat pada komunitas Islam-Hindu yang terdapat di Karang Taliwang (ingat ayam Taliwang, Cakranegara) meskipun unsur pembentuk masyarakatnya sama, yaitu Islam-Hindu. 

Di sini ada dimensi ruang dan waktu/sejarah yang berbeda dialami oleh kedua tipe komunitas Islam-Hindu di Lombok (komunitas Islam-Hindu di desa Babakan dan dusun Gumitri Lombok barat dengan  komunitas Islam-Hindu di Karang Taliwang, Cakranegara, kota Mataram).

Komunitas Hindu yang merefleksikan nilai toleran di desa Babakan atau di dusun Gumitri  berasal dari Nusa Penida, Bali, yang datang ke Lombok untuk mencari pekerjaan/sebagai transmigran), sedangkan komunitas Hindu di Cakranegara berasal dari Karang Asem-Bali yang datang ke Lombok untuk menjajah (lebih jauh lihat Mahsun, 2006).  

Kesemua contoh refleksi dari nilai-nilai di atas, menunjukkan bahwa nilai dasarnya tidak berubah, hanya wujud perilakunya yang bervariasi.

*Nah persoalannya, apakah Islam hanya dipandang sebagai seperangkat perilaku bukan seperangkat nilai yang mendasari munculnya perilaku tersebut?*

Adat istiadat merupakan salah satu bentuk perilaku, yang dapat berupa perilaku non verbal dan dapat pula berupa perilaku verbal. 

Sebagai bentuk perilaku maka adat dikontrol oleh satu sistem yang paling dasar dan bersifat abstrak, yaitu sistem nilai melalui sistem sosial dan sistem kepribadian. Persoalannya, apakah Islam mau dipandang sebagai seperangkat sistem nilai (aqidah dan syariah yang di dalamnya menyangkut nilai-nilai yang terkait dengan ibadah dan muamalah) atau hanya merupakan seperangkat sistem tingkah laku.

Konstruksi "Adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah", sebenarnya menggambarkan etnis Minang sadar sesadar-sadarnya bahwa adat istiadat yang mereka miliki dikontrol oleh satu sistem nilai dasar, yaitu sistem nilai yang terdapat dalam Islam (kitabullah) dan karena itu Islam dipandang sebagai seperangkat sistem nilai bukan seperangkat sistem tingkah laku. Itu artinya, bahwa tidak semua adat yang diwarisi turun-temurun sebelum Islam diberlakukan pada era Minang-Islam tanpa penyaringan. Nilai-nilai Islamlah menjadi penapisnya, yang tidak sesuai tentu dimodifikasi agar sesuai/tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Bukan sebaliknya, nilai-nilai keislaman menyesuaikan diri dengan adat istiadat (termasuk sistem nilai yang mendasari munculnya adat istiadat tersebut).

Nilai-nilai dalam Islam, sangat jelas, seperti disebutkan dalam Al Quran, bahwa Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Quran agar menjadi petunjuk untuk seluruh alam (tidak mengenal ruang dan waktu). Dia merupakan seperangkat nilai yang menjadi rujukan dalam bertingkah laku setiap orang yang mempercayainya.

B. Islam Nusantara dan Kesesatan Berpikir

Berbeda dengan Prof. Azyumardi, Prof. Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU, dalam pembukaan acara istighasah menyambut Ramadhan dan pembukaan Munas Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal, Jakarta, 14 Juni 2018, mengintroduksi pemaknaan istilah Islam Nusantara, sebagai Islam yang menjunjung tinggi toleransi, saling menghormati, beradab, dan berbudaya. Pandangannya itu didasari pada realita historis yang menunjukkan pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara, yang disebutnya dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Bahkan Ulama ini mengontraskan antara Islam Nusantara dengan Islam Arab. Pandangan ini pun menggiring kita pada penyesatan berpikir, tatkala mengontraskan antara Islam Nusantara dengan Islam Arab, hanya dengan argumentasi bahwa Islam Arab (meminjam istilah Prof. Said Aqil Siradj) dikembangkan dengan cara-cara kekerasan, intoleran. Persoalannya, ialah apakah Islam yang diajarkan di Arab tidak mengajarkan toleransi, saling menghormati, beradab, dan berbudaya?
Bahwa ada orang atau kelompok orang di Arab sana, yang mengaku beragama Islam berperilaku intoleran, tidak beradab dan berbudaya, jangan lalu diklaim bahwa itu merupakan refleksi dari nilai-nilai Islam. 

Mestinya, harus tegas dinilai bahwa orang atau kelompok orang itu  berperilaku tidak dilandasi nilai-nilai Islam, jadi bukan orang atau kelompok orang yang beragama Islam.
Jangan melabeli mereka dengan memberi embel-embel yang berhubungan dengan dimensi ruang, seperti Islam Nusantara, Islam Jawa, Islam Sasak dll. 

Di sinilah letak kesesatan berpikir yang pertama.

Selain kesesatan berpikir yang terjadi akibat mereduksi Islam sebagai seperangkat nilai-nilai (aqidah dan syariah yang di dalamnya menyangkut nilai-nilai yang mangatur ihwal yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah) menjadi seperangkat sistem perilaku yang dipengaruhi dimensi ruang dan waktu termasuk ranah kehidupan seperti dipaparkan di atas,  juga terjadi penyesatan berpikir yang kedua tentang Islam, yaitu melalui cara mereduksi konsep Islam dengan mengambil bagian terkecil dari nilai-nilai keislaman untuk mewakili sistem nilai yang membangun konstruksi sistem nilai keislaman secara menyeluruh, seperti istilah Islam Berkemajuan yang diintroduksi lembaga keagamaan Muhammadiyah. 

Konsep/nilai "berkemajuan" merupakan salah satu nilai yang menjadi dasar ditinggikan derajad manusia oleh Allah. Dalam Al Quran, sangat jelas disebutkan bahwa, "Allah akan meninggikan beberapa derajad di antara kamu bagi orang yang beriman dan berilmu pengetahuan". Konstruksi kalimat yang dikutip dalam Al Quran tersebut adalah konstruksi kausalitas, sebab-akibat. Kamu beriman dan berilmu, maka derajadmu akan ditinggikan.

Sementara itu, sejarah membuktikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan merupakan persyaratan hakiki bagi kemajuan peradaban manusia, misalnya keunggulan peradaban Islam abad 8-12M, tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam saat itu, begitu pula kemajuan Yunani Kuno, Eropa Latin saat ini juga tidak dapat dilepaskan dari kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan di masyarakat tersebut. Jadi nilai "berkemajuan" melalui penguasaan ilmu pengetahuan merupakan salah satu nilai dari seperangkat nilai yang ada dalam Islam yang menjadi pedoman, tuntunan, ajaran dalam berperilaku penganutnya. Bagian nilai yang kecil ini janganlah dijadikan kategori untuk memilah-bedakan Islam atau menjadi representasi dari keseluruhan nilai keislaman.
Bahwa Islam Berkemajuan dijadikan sebagai salah satu tema diskusi, tentu boleh, tetapi jangan dijadikan kategori untuk membuat pertentangan konsepsi.

Dalam logika yang sederhana, jangan menyamakan, membandingkan "kaki meja" dengan keseluruhan "bangunan yang disebut meja", yang di dalamnya ada "kaki" meja itu sendiri. Mungkin secara serta merta, dengan menyederhanakan persoalan", dikatakan, ah... itu hanya persoalan nama dan metode saja, bukan menyangkut substansi; yang penting isinya. Untuk hal ini, akan dipaparkan secara panjang lebar dalam seksi B1, berikut ini.

B.1 Bahasa dan Persoalan dalam Keberislaman

Persoalan penamaan menyangkut persoalan pembahasaan, jadi terkait dengan masalah kebahasaan. Ada dua komponen dasar pembentuk bahasa, yaitu makna dan bentuk (yang dapat berupa bunyi jika bahasa lisan dan huruf jika berupa bahasa tulis). 

Kedua unsur pembentuk bahasa ini harus hadir, tidak boleh tidak ada salah satu di antaranya. Ada bentuk, misalnya berupa bunyi: /n, a, k, m,a/ > /nakma/ tetapi tidak mengandung makna/gagasan maka satuan itu tidak membentuk bahasa. 

Dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan satuan bahasa yang terbentuk dari penggabungan dan urutan huruf atau bunyi seperti di atas, yang ada adalah penggabungan huruf atau bunyi dalam urutan: /m a k a n/ > /makan/ yang bermakna mengunyah sesuatu berupa bahan makanan lalu ditelan. Jadi, satuan bahasa  nakma/ bukanlah bahasa, sedangkan yang merupakan satuan bahasa dalam sistem ketatabahasaan bahasa Indonesia adalah satuan: /makan/. Begitu pula, ada makna tetapi tidak ada bentuknya, juga bukan bahasa, karena bagaimana mungkin kita dapat mengetahui apa yang ada dalam pikiran orang jika tidak direalisasikan dalam bentuk bunyi-bunyi atau huruf-huruf. Dengan demikian, kedua unsur tersebut harus hadir, jika hendak membentuk bahasa. 

Di antara kedua unsur itu, unsur yang pertama hadir adalah unsur makna atau gagasan atau konsep. Itu sebabnya tuturan: "Eni menikahi Ali dua tahun lalu", tidak akan pernah berterima dalam masyarakat tutur bahasa Indonesia. Dari segi bentuk, tuturan itu merupakan satuan yang memiliki kegramatikalan, karena sudah memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai sebuah kalimat, yaitu memiliki S: Eni; P: menikahi; O: Ali; K: dua tahun lalu. Namun, dalam alam berpikir dan cara pandang atau sistem nilai masyarakat Indonesia tidak melazimkan seorang wanita menikahi lelaki, tetapi yang lazim adalah lelaki yang menikahi wanita. Itu sebabnya, konstruksi "Eni menikahi Ali dua tahun lalu" baru dapat membentuk satuan dalam perbendaharaan bahasa Indonesia apabila satuan itu disusun menjadi konstruksi: "Eni dinikahi Ali dua tahun lalu" atau: "Ali menikahi Eni dua tahun lalu". Artinya, unsur makna merupakan unsur fundamental dalam bahasa, karena makna menyangkut nilai, wujud referensial, aktivitas, tindakan, keadaan, atau konsep yang akan mendasari tindakan atau tingkah laku manusia yang dinyatakan melalui bentuk bahasa yang berupa bunyi atau huruf-huruf tersebut.. 

Sebegitu pentingnya persoalan makna dalam bahasa, maka upaya menjadikan seseorang atau komunitas penganut Islam secara kaffah maka langkah awal yang harus dilakukan adalah mengislamkan bahasa orang atau komunitas itu. Bukankah Allah melalui Rasulnya mengislamkan orang-orang kafir Quraisy, penyembah berhala, dengan cara Allah mengintroduksi satuan bahasa il-lallah yang dikontraskan dengan satuan bahasa Ila, seperti dalam konstruksi dua kalimah syahadat, rukun pertama pada lima rukun Islam. 

Begitu pula konsep mulia yang dianut bangsa Arab sebelum Islam yang menggunakan kategori: kaya, mampu, berkuasa dll. diislamkan dengan konsep bahwa yang mulia di sisi Allah itu adalah orang yang bertaqwa. 

Sebaliknya, untuk membuat orang atau komunitas muslim tidak lagi muslim (deislamisasi) juga dapat dilakukan melalui bahasa. Untuk hal ini ada kasus yang menarik dalam hubungannya dengan pengembangan dan pembinaan bahasa negara, bahasa Indonesia. Pada tahun 1970-an sampai 1990-an, terjadi perdebatan yang cukup seru di antara pakar bahasa, tentang keberadaan konsonan atau vokal panjang dalam bahasa Indonesia, yang secara ortografis/tata tulis direalisasikan dengan konsonan atau vokal rangkap-identik, seperti konsonan: /s/ pada kata: wassalam. Prof. Anton Moeljono, dengan tegas menolak adanya konsonan atau vokal panjang dalam sistem fonotaktik bahasa Indonesia. 

Apa implikasinya dari kegigihan dalam mempertahankan pandangan itu, adalah semua kata serapan dari bahasa asing, termasuk bahasa Arab harus tunduk pada sistem fonotaktik bahasa Indonesia tersebut. Itu sebabnya, kata wassalam, yang baku harus ditulis: wasalam, kata Allah mestinya kalau mengikuti kaidah itu ditulis: Alah, yang pelafalannya sama dengan pelafalan saudara kita yang kristiani. Padahal, ada banyak kosakata bahasa Arab yang karena perbedaan panjang-pendeknya vokal atau konsonan dapat berakibat pada pemaknaan yang berbeda. 

Contoh di atas merupakan salah satu gambaran dari upaya penjauhan umat Islam dari keyakinannya dari aspek bahasa yang menyangkut lafal (aspek bentuk bahasanya).

Contoh yang menyangkut penciptaan jarak umat Islam dengan nilai-nilai keyakinannya dari aspek unsur bahasa yang berupa makna dapat dilihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ada banyak kosakata serapan yang berasal dari bahasa Arab dan tentunya kata-kata itu diserap bersamaan dengan penyebaran dan dianutnya agama Islam oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Ambil contoh kata: halal. Kata ini dalam KBBI memiliki uraian  makna leksikal yang sangat umum dan terbatas, seperti: (1) diizinkan (tidak dilarang oleh syarak), (2) yang diperoleh atau diperbuat dengan sah; (3) izin, ampun. 

Apabila dilihat dari sudut konsepsi Islam, maka makna yang pertama: diizinkan (tidak dilarang oleh syarak) yang memiliki gayutan dengan penggunaan kata itu sebagai salah satu kata yang berhubungan hukum dalam agama Islam. Namun, makna ini terlalu umum, sementara konsep halal yang diatur dalam Islam sangat renik, mengacu pada  butir atau item tertentu secara satu per satu, misalnya babi merupakan jenis hewan yang dagingnya tidak halal untuk dikonsumsikan, dan jika dalam bentuk kolektivitas, maka kategorinya jelas, seperti binatang yang hidup di dua dunia (air dan darat) tidak halal untuk dikonsumsi dagingnya. Keumuman pemaknan kata : halal dalam KBBI mengakibatkan kata tersebut mengalami pereduksian makna secara semantis, misalnya pada penggunaan kata halal dalam konstruksi pariwisata halal. Kata pariwisata merupakan kata yang memiliki unsur-unsur bawahan (hiponimi) berupa: hotel, makanan, pantai, pemandangan, seni dll. yang terlibat dalam industri pariwisata. Ketika kata: halal disematkan untuk melabeli aktivitas: pariwisata, maka semestinya semua kata lain yang menjadi hiponimnya haruslah pula terjamin kehalalannya. Tidak lagi ditemukan pemandangan orang-orang yang berpakaian seronok bahkan tidak berbusana sama sekali yang sedang berjemuran di tepi pantai, karena itu dari sudut Islam haram hukumnya jika dilihat oleh orang yang bukan muhrimnya. 

Rupanya, konsep halal yang disematkan pada pariwisata, pemaknaannya sebatas tersedianya sarana untuk peribadatan, misal sajadah, mukena, arah kiblat di dalam kamar hotel. 

Dalam konteks ini terjadi pereduksian konsep halal sebagai salah satu kosakata yang berhubungan dengan masalah syariat dalam Islam. 

Dapat dibayangkan dalam perkembangan bahasa selanjutnya, konsep halal akan dikaitkan hanya pada ketersediaan sarana peribadatan, suatu pemaknaan yang jauh dari pengaturan yang terurai dalam Al Quran dan sunnah rasul. 

Contoh lain, dapat dicermati pemaknaan kata: taqwa dalam KBBI, yang jauh dari pemaknaan kata itu dalam tuntunan Al Quran, misalnya istilah taqwa mengacu pada: percaya pada hal yang gaib (keberadaan Allah dll.), mendirikan shalat, menafkahkan sebagai rezeki yang diperolehnya, percaya pada kitab Al Quran dan kitab-kitab lain yang diturunkan sebelumnya, serta percaya pada hari akhirat (Al Baqarah: 3-4). Ketidaksinkronan antara pemaknaan kata serapan itu dengan makna aslinya mengakibatkan gagasan-gagasan yang terpahami melalui kamus itulah yang akan membentuk cara pandang dan cara bertingkah laku seseorang. 

Jangan heran, jika terdapat orang yang menjadi panutan, tokoh nasional, dan mengaku dirinya beragama Islam, tetapi tidak percaya akan adanya hari pembalasan (akhirat), karena memang KBBI belum mengakomodasi pemaknaan kata itu sesuai dengan pemaknaan aslinya. 

Apa yang dipaparkan di atas menggambarkan bahwa betapa bahasa menjadi salah satu kendala dalam mengaktualisasi keberislaman masyarakat Indonesia yang menetapkan Islam sebagai agamanya.

Persoalannya, adalah mengapa bahasa berpengaruh secara signifikan bagi manusia pemilik bahasa tersebut? 

Hal itu disebabkan, bahasa selain sebagai sarana untuk berpikir juga bahasa membentuk cara berpikir seseorang. Dalam linguistik dikenal teori relativitas bahasa, yang menyatakan bahwa cara pandang manusia terhadap dunia akan membentuk bahasanya, sementara itu bahasa yang dimiliki oleh suatu komunitas akan membentuk cara pandang dan sekaligus menentukan cara bertingkah laku pemiliknya. Dengan kata lain, bahasa memiliki peran strategis dalam membentuk dan mengubah cara pandang dan sekaligus mengubah cara bertingkah laku manusia.

C. Islam Nusantara dan Perang Generasi Keempat

Uraian yang cukup panjang lebar di atas menuntun kita pada satu pertanyaan yang menjadi inti pembahasan dalam bagian ini, yaitu apakah hubungan antara istilah Islam Nusantara dengan perang generasi keempat. 

Untuk membahas hal ini ada baiknya dipaparkan terlebih dahulu tentang konsep perang generasi keempat serta ciri-cirinya.

Perang generasi keempat yaitu perang yang tidak lagi menuntut mobilisasi peralatan tempur secara besar-besaran tetapi dilakukan melalui perang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya serta agama (perang informasi: Ipoleksosbud-Agama). 

Peperangan semacam ini tidak lagi mengandalkan konfrontasi secara langsung, melainkan melalui pemanfaatan segala jaringan yang ada baik politik, ekonomi, sosial, dan militer untuk meyakinkan para pengambil keputusan politik musuh bahwa tujuan strategis mereka tidak bisa diraih atau terlalu mahal jika dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan. 

Oleh karena itu, pelibatan dua aktor atau lebih dengan kekuatan yang tidak seimbang dan mencakup spektrum perang yang luas merupakan karakter utama dari perang generasi keempat.
Karakter utama lainnya adalah bersifat transnasional, tidak mengenal medan perang yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, tidak mengenal masa perang dan damai, serta tidak mengenal garis depan. 

Fokusnya adalah mematahkan kehendak pembuat keputusan. Mereka menggunakan jalur yang berbeda untuk menyampaikan pesan yang berbeda kepada khalayak yang berbeda. Tujuan dari pesan itu adalah: 

(a) mematahkan semangat musuh (pembuat kebijakan),
(b) mempertahankan kehendak rakyat mereka sendiri, dan
(c) memastikan pihak yang netral tetap netral atau memberikan dukungan diam-diam terhadap alasan yang mereka gunakan.

Singkatnya, perang generasi keempat bersifat Ipoleksosbud, jaringan terbentuk secara sosial dan membutuhkan waktu yang panjang. Perang ini merupakan antitesis dari teknologi tinggi dan perang singkat yang selama ini diintroduksi Pentagon (Mustarom, 2014).

Ada beberapa hal yang menjadi penanda perang generasi keempat, yaitu :

(a) menurunnya harmoni dalam masyarakat,
(b) menurunnya loyalitas kenegaraan dan meningkatnya loyalitas alternatif, terutama budaya atau agama,
(c) hilangnya monopoli negara atas perang,
(d) munculnya entitas non negara yang mampu menguasai loyalitas utama masyarakat,
(e) peran dominan dari propaganda dan tekanan psikologis untuk mengubah pikiran para pembuat kebijakan politik.

Oleh karena satu-satunya yang dapat mengubah pikiran seseorang adalah informasi, maka informasi merupakan elemen utama dalam setiap perang generasi keempat.

Dalam bahasa militer, seperti dinyatakan Menteri Pertahanan RI, pada acara silaturahim Pimpinan tujuh instansi strategis negara, termasuk Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dengan Menhan di Aula Dharma Canti, Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia, Sentul, 7 April 2015, perang generasi keempat adalah perang murah meriah. 

Ada beberapa tahap yang dilalui dalam perang murah meriah tersebut, yaitu:

1. Infiltrasi paham: ideologi, politik, ekonomi, sosial,  dan budaya, serta agama (Ipoleksosbud-Agama);
2. Cuci Otak melalui introduksi paham-paham tertentu,
3. Adu domba;
4. Perang saudara;
5. Pecah belah
6. Kuasai, yang tidak hanya berupa fisik tetapi dapat berupa penguasaan non fisik yaitu hal-hal yang menyangkut ipoleksosbud.

Apabila ditinjau dari batasan dan ciri-ciri perang generasi keempat di atas, maka sesungguhnya perang generasi keempat merupakan bentuk perang konsepsi. Lalu apa hubungan perang konsepsi tersebut dengan kehadiran istilah Islam Nusantara?

Seperti dipaparkan di atas bahwa Istilah Islam Nusantara memiliki kecacatan bawaan secara terminologis dan konseptual, yang mengidentikkan Islam sebagai seperangkat sistem perilaku, bukan seperangkat dari sistem nilai yang mendasari munculnya perilaku beserta variannya itu sendiri.
Akibatnya, ketika hendak mengargumentasikan keberadaan istilah Islam Nusantara, termasuk konsep yang dikandung di dalamnya, terpaksa dipertentangkan dengan konsep Islam lainnya, seperti Islam Arab/Timur Tengah, yang sudut pandangnya ditekankan pada penampakan dalam sistem perilaku, misalnya dengan menyebutkan bahwa Islam Nusantara lebih toleran, beradab, berbudaya, saling menghormati sementara Islam Arab sebaliknya. 

Penganut pandangan Islam Nusantara lupa bahwa sesungguhnya nilai dasar yang harus diperjuangkan dalam hubungan sesama manusia dalam Islam di antaranya adalah nilai-nilai: toleran, beradab, berbudaya, saling menghormati.

Nilai ini bukanlah milik dari Islam Nusantara saja tetapi merupakan milik dari Islam itu sendiri.
Dengan demikian, tatkala ada pihak-pihak yang memperjuangkan Islam yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar itu mestinya harus berani dikatakan bahwa pihak tersebut bukanlah pihak pemeluk Islam yang sesungguhnya, sebagaimana keberadaan ISIS yang dilansir sebagai ciptaan pihak tertentu yang memiliki kepentingan tertentu, bukan lalu melabeli mereka dengan istilah Islam dengan embel-embel bernuansa geografis, seperti Islam Arab, Islam Timur Tengah dll. 

Munculnya klaim kepemilikan nilai semacam ini sangat berpotensi untuk memecah belah umat, tidak hanya dalam konteks kehidupan keumatan dalam sebuah negara bangsa tetapi akan memecah belah kesatuan umat Islam secara menyeluruh, sehingga keberadaan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin menjadi ternodai.

Dalam konteks ini, disadari atau tidak, keberadaan istilah Islam Nusantara termasuk muatan konsepsi di dalamnya, dapat menjadi amunisi bagi terciptanya perang generasi keempat yang akan memporakporandakan bangunan kebersamaan antarsesama pemeluk Islam baik dalam konteks keindonesiaan maupun sesama pemeluk Islam dalam konteks Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.

Sudah sepatutnya, istilah-istilah baru untuk melabeli Islam, termasuk Istilah Islam Berkemajuan, mulai sekarang dihindari, karena di samping akan mengkerdilkan Islam itu sendiri juga akan menjadi amunisi yang dapat dimanfaatkan oleh pihak lain untuk memperkeruh suasana silaturahim antarsesama penganut Islam.

Sumber Rujukan Pustaka

Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta: LKiS.
Geertz, C. 1960. The Religion of Java, III. The Free Press.
Mahsun. 2006. Bahasa dan Relasi Sosial: Kesepadanan Adaptasi Linguistik dengan Adaptasi                          Sosial. Yogyakarta: Gama Media.
Mahsun. 2015. Indonesia dalam Perspektif Politik Kebahasaan. Jakarta: Rajawali Perss.
Mustarom, K. 2014. Perang Generasi Keempat (4GW): Mengubah Paradigma Perang. www.syamina.org.
Parsons, Talcott. 1977. Social System and the Evolution of Action Theory. New York: The Free Press A Division of MacMillan Publishing Co.
Woodward, Mark R. 1989. Islam in Java: Normative Plety and Mysticism. Diterjemahkan ke dalam            Bahasa Indonesia oleh Hairus Salim HS, 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus                          Kebatinan. Yogyakarta: LKiS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar