Senin, 16 Juli 2018

KADER MUHAMMADIYAH “SEJATI”


KADER MUHAMMADIYAH “SEJATI” 

Oleh: SADRI CHANIAGO           

Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas /

Alumni Angkatan Muda Muhammadiyah Cabang IV Angkek Padusunan, Kota Pariaman


Persyarikatan Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi “Islam berkemajuan” terbesar di Indonesia, yang memiliki organisasi otonom (ORTOM), kader, anggota, simpatisan, serta amal usaha (AUM). Salah satu isu internal yang bersifat krusial, yang dari dulu sampai sekarang menjadi ‘batu panaruang” dan menciderai soliditas para kader Angkatan Muda Muhammadiyah (dan juga Muhammadiyah) adalah diskursus “tak berkeruncingan” yang mempersoalkan “kesejatian” kader dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Perdebatan klasik ini biasanya mencuat ke permukaan, sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan sebagian kader yang merasa tidak diakomodir dalam pengisian struktur dalam kepemimpinan Muhammadiyah dan ortom, atau dalam rekruitmen tenaga personil di berbagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Haedar Nashir (2000), mendefinisikan kader Muhammadiyah sebagai: tenaga inti penggerak persyarikatan yang memiliki totalitas jiwa, sikap, pemikiran, wawasan, kepribadian dan keahlian sebagai pelaku atau subyek dakwah Muhammadiyah di segala lapangan kehidupan. Mereka memiliki kualitas Iman, Islam dan Ihsan yang terpadu, dan memiliki integritas serta kompetensi dalam: keberagamaan, akademis dan intelektual, sosial-kemanusiaan, serta keorganisasian dan kepemimpinan. Kader ini dilahirkan melalui proses panjang “perkaderan” di berbagai Organisasi Otonom Muhammadiyah / Ortom (Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Tapak Suci Putra Muhammadiyah, Hizbul Wathan). Kader Muhammadiyah merupakan pelopor, penggerak, dan penyempurna perjuangan dan cita cita Muhammadiyah, dan ‘Aisyiyah sebagai ortom khusus, serta Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).

Berdasarkan bentuk dan wadah perkaderan yang dijalani, Prof. Dr. M. Amien Rais, MA (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) menyebutkan bahwa kader Muhammadiyah itu terdiri dari tiga jenis, yaitu: Pertama, kader genetikal (keturunan), kader keturunan biologis dari ayah atau ibu yang beraktifitas di Muhammadiyah. Terkadang kader genetikal ini merasa lebih berhak untuk “memiliki” Muhammadiyah, karena orang tuanya merupakan seorang tokoh di Muhammadiyah. Ini pandangan yang keliru, karena di Muhammadiyah tidak ada tradisi “darah biru”, yang mengagungkan trah dan keturunan. Apakah kader genetikal ini lebih “sejati” ketimbang yang lainnya ? Tentu tidak, karena tidak sedikit kader tipe ini yang tidak berpaham dan beraktifitas dalam Muhammadiyah.

 Kedua, kader formal, yang lahir karena mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Ini adalah tipikal yang “otomatis” menjadi kader Muhammadiyah. Apakah mereka lebih “sejati” kekaderannya ? Belum tentu, karena banyak lulusan lembaga pendidikan Muhammadiyah yang tidak berideologi Muhammadiyah.

Ketiga, kader informal, yang pernah mengikuti perkaderan Darul Arqam dan Baitul Arqam, up grading, refreshing, Job training, Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah, Pengajian Muballigh, Pengajian Ramadhan, serta perkaderan lain yang dikemas secara terpadu di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah, termasuk juga habitat Amal Usaha Muhammadiyah (Panti Asuhan, Sekolah, Mesjid, Rumah Sakit, Poliklinik, BKIA, Baitul Mal Wattamwil, dst.). Termasuk juga dalam kategori ini adalah simpatisan yang rutin menghadiri kajian Muhammadiyah di tingkat cabang dan ranting. Lalu, apakah kader tipe ini juga lebih “sejati” dibandingkan dengan yang lain ? Belum tentu juga. Terkadang, walaupun “kenyang” mengikuti berbagai perkaderan dan pelatihan, namun ke-Islam-an dan ideologi ke-Muhammadiyahan-nya kurang terlihat. Ada juga yang beramal tak sesuai tarjih, menjadi pengamal tahyul, bid’ah dan khurafat, dan sebagainya.

Siapa Kader Muhammadiyah “Sejati” Itu ?

Siapa sebetulnya yang layak disebut sebagai kader Muhammadiyah “sejati” itu ? Tentu saja adalah warga Muhammadiyah yang memiliki tujuan yang selaras dengan Muhammadiyah. Dalam konteks ini Agus Sukaca (2017), menyatakan bahwa mereka adalah individu yang menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana untuk mewujudkan pribadinya menjadi Muslim yang sebenar benarnya, serta menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana perjuangan dalam menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar benarnya. Mereka Ikhlas ber-Muhammadiyah karena mengharapkan pahala dari Allah S.W.T. Pemahaman keagamaan, ketaatan, dan  amal shalehnya selalu meningkat. Mereka memegang teguh dan mengamalkan nilai nilai dasar gerakan Muhammadiyah: Paham Agama, Manhaj Tarjih, Muqaddimah Anggaran Dasar, MKCH, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan lain lain.

Mereka bukan individu yang ber-Muhammadiyah karena agenda pribadi seperti:  menjadikan Muhammadiyah sebagai “batu loncatan” untuk meniti karir di bidang politik, untuk memperoleh keuntungan finansial, untuk memperoleh kedudukan, dan lain lain. Dalam pengamatan penulis, tidak sedikit di antara mereka yang berdiri dalam “shaf” ini, apabila keinginan dan cita cita pribadinya tidak ‘diakomodir” Muhammadiyah, kemudian menjadi pendurhaka, “Malin Kundang” Muhammadiyah, yang sudah “terbalik kaji” dan kemudian menjelek jelekan Muhammadiyah. Muhammadiyah seumpama “manggadangan anak harimau” terhadap kader seperti ini. Mereka lupa, bahwa ber-Muhammadiyah itu tidak sama seperti beraktifitas di interest group sejenis, bukan seperti di perusahaan, apalagi seperti di partai politik. Ber-Muhammadiyah itu, untuk ladang Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, bukan untuk kepentingan pribadi, kepentingan politik jangka pendek, dan sebagainya. Jika kemudian Allah S.W.T mentakdirkan ada konsekuensi keduniawian sebagai “buah” dari pengabdian di  Muhammadiyah, itu bonus dari Allah S.W.T. Bukan sesuatu hal yang sudah dirancang dan diniatkan dari awal untuk tujuan seperti itu.

Sungguhpun demikian, penulis sepakat sepenuhnya bahwa harus ada prioritas utama terhadap kader dalam pengisian struktur penggerak persyarikatan dan Amal Usaha Muhammadiyah, yang tentu saja harus sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas, kualifikasi, patut dan mungkinnya. Para kader memang digodok untuk keperluan itu, menjadi pelopor, pelaksana, dan penyempurna gerakan Muhammadiyah. Jangan sampai kader persyarikatan merasa  seperti “urang batandang” di rumah “Gadangnya”. Ini juga bukan berarti kader Muhammadiyah boleh “mendabik dada,” merasa memiliki “priveledge”, hak istimewa, dan paling berhak “memiliki” Muhammadiyah, sehingga ngotot menuntut harus diakomodir dalam berbagai Amal Usaha Muhamadiyah. Walau apapun, harus diakui bahwa kader juga memiliki keterbatasan dalam kualifikasi, sebagaimana yang dibutuhkan oleh berbagai amal usaha. Oleh karena itu, dapat dipahami jika kemudian persyarikatan dan amal usahanya memberi ruang kepada kalangan “profesional” untuk bergabung ke dalam Muhammadiyah dan amal usahanya. Sungguhpun demikian, pihak luar tersebut harus direkrut dengan selektif, berdasarkan kualifikasi dan profesionalitasnya. Pertimbangan lain yang juga harus dipakai adalah: mereka harus memiliki pemahaman dan bersetuju dengan ideologi Muhammadiyah. Kalau tidak, Muhammadiyah dan amal usahanya akan “terpesong” dari “ruh” dan tujuan sebenar ia didirikan. Sehingga pada akhirnya, individu yang beraktifitas dalam persyarikatan dan amal usaha itu tidak “menghidupkan” Muhammadiyah, akan tetapi hanya semata mata job seeker, yang “menumpang” dan mencari hidup di Muhammadiyah.

Wallahu a’lam. Fastabiqul Khairat !
🙏

Tidak ada komentar:

Posting Komentar