KADER MUHAMMADIYAH “SEJATI”
Oleh: SADRI CHANIAGO
Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas /
Alumni Angkatan Muda Muhammadiyah Cabang IV Angkek Padusunan, Kota Pariaman
Persyarikatan Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi
“Islam berkemajuan” terbesar di Indonesia, yang memiliki organisasi otonom
(ORTOM), kader, anggota, simpatisan, serta amal usaha (AUM). Salah satu isu
internal yang bersifat krusial, yang dari dulu sampai sekarang menjadi ‘batu
panaruang” dan menciderai soliditas para kader Angkatan Muda Muhammadiyah (dan
juga Muhammadiyah) adalah diskursus “tak berkeruncingan” yang mempersoalkan
“kesejatian” kader dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Perdebatan klasik ini
biasanya mencuat ke permukaan, sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan sebagian
kader yang merasa tidak diakomodir dalam pengisian struktur dalam kepemimpinan
Muhammadiyah dan ortom, atau dalam rekruitmen tenaga personil di berbagai Amal
Usaha Muhammadiyah (AUM). Haedar Nashir (2000), mendefinisikan kader
Muhammadiyah sebagai: tenaga inti penggerak persyarikatan yang memiliki
totalitas jiwa, sikap, pemikiran, wawasan, kepribadian dan keahlian sebagai
pelaku atau subyek dakwah Muhammadiyah di segala lapangan kehidupan. Mereka
memiliki kualitas Iman, Islam dan Ihsan yang terpadu, dan memiliki integritas
serta kompetensi dalam: keberagamaan, akademis dan intelektual,
sosial-kemanusiaan, serta keorganisasian dan kepemimpinan. Kader ini dilahirkan
melalui proses panjang “perkaderan” di berbagai Organisasi Otonom Muhammadiyah
/ Ortom (Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Tapak Suci Putra Muhammadiyah,
Hizbul Wathan). Kader Muhammadiyah merupakan pelopor, penggerak, dan
penyempurna perjuangan dan cita cita Muhammadiyah, dan ‘Aisyiyah sebagai ortom
khusus, serta Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).
Berdasarkan bentuk dan wadah perkaderan yang dijalani, Prof.
Dr. M. Amien Rais, MA (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) menyebutkan bahwa
kader Muhammadiyah itu terdiri dari tiga jenis, yaitu: Pertama, kader genetikal
(keturunan), kader keturunan biologis dari ayah atau ibu yang beraktifitas di
Muhammadiyah. Terkadang kader genetikal ini merasa lebih berhak untuk
“memiliki” Muhammadiyah, karena orang tuanya merupakan seorang tokoh di
Muhammadiyah. Ini pandangan yang keliru, karena di Muhammadiyah tidak ada
tradisi “darah biru”, yang mengagungkan trah dan keturunan. Apakah kader
genetikal ini lebih “sejati” ketimbang yang lainnya ? Tentu tidak, karena tidak
sedikit kader tipe ini yang tidak berpaham dan beraktifitas dalam Muhammadiyah.
Kedua, kader formal,
yang lahir karena mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Ini
adalah tipikal yang “otomatis” menjadi kader Muhammadiyah. Apakah mereka lebih
“sejati” kekaderannya ? Belum tentu, karena banyak lulusan lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang tidak berideologi Muhammadiyah.
Ketiga, kader informal, yang pernah mengikuti perkaderan
Darul Arqam dan Baitul Arqam, up grading, refreshing, Job training, Pendidikan
Ulama Tarjih Muhammadiyah, Pengajian Muballigh, Pengajian Ramadhan, serta
perkaderan lain yang dikemas secara terpadu di lingkungan persyarikatan
Muhammadiyah, termasuk juga habitat Amal Usaha Muhammadiyah (Panti Asuhan,
Sekolah, Mesjid, Rumah Sakit, Poliklinik, BKIA, Baitul Mal Wattamwil, dst.).
Termasuk juga dalam kategori ini adalah simpatisan yang rutin menghadiri kajian
Muhammadiyah di tingkat cabang dan ranting. Lalu, apakah kader tipe ini juga
lebih “sejati” dibandingkan dengan yang lain ? Belum tentu juga. Terkadang,
walaupun “kenyang” mengikuti berbagai perkaderan dan pelatihan, namun
ke-Islam-an dan ideologi ke-Muhammadiyahan-nya kurang terlihat. Ada juga yang
beramal tak sesuai tarjih, menjadi pengamal tahyul, bid’ah dan khurafat, dan
sebagainya.
Siapa Kader Muhammadiyah “Sejati” Itu ?
Siapa sebetulnya yang layak disebut sebagai kader
Muhammadiyah “sejati” itu ? Tentu saja adalah warga Muhammadiyah yang memiliki
tujuan yang selaras dengan Muhammadiyah. Dalam konteks ini Agus Sukaca (2017),
menyatakan bahwa mereka adalah individu yang menjadikan Muhammadiyah sebagai
sarana untuk mewujudkan pribadinya menjadi Muslim yang sebenar benarnya, serta
menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana perjuangan dalam menegakan dan
menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar
benarnya. Mereka Ikhlas ber-Muhammadiyah karena mengharapkan pahala dari Allah
S.W.T. Pemahaman keagamaan, ketaatan, dan
amal shalehnya selalu meningkat. Mereka memegang teguh dan mengamalkan
nilai nilai dasar gerakan Muhammadiyah: Paham Agama, Manhaj Tarjih, Muqaddimah
Anggaran Dasar, MKCH, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah, Pedoman Hidup Islami
Warga Muhammadiyah, dan lain lain.
Mereka bukan individu yang ber-Muhammadiyah karena agenda
pribadi seperti: menjadikan Muhammadiyah
sebagai “batu loncatan” untuk meniti karir di bidang politik, untuk memperoleh
keuntungan finansial, untuk memperoleh kedudukan, dan lain lain. Dalam
pengamatan penulis, tidak sedikit di antara mereka yang berdiri dalam “shaf”
ini, apabila keinginan dan cita cita pribadinya tidak ‘diakomodir”
Muhammadiyah, kemudian menjadi pendurhaka, “Malin Kundang” Muhammadiyah, yang
sudah “terbalik kaji” dan kemudian menjelek jelekan Muhammadiyah. Muhammadiyah
seumpama “manggadangan anak harimau” terhadap kader seperti ini. Mereka lupa,
bahwa ber-Muhammadiyah itu tidak sama seperti beraktifitas di interest group
sejenis, bukan seperti di perusahaan, apalagi seperti di partai politik.
Ber-Muhammadiyah itu, untuk ladang Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, bukan untuk
kepentingan pribadi, kepentingan politik jangka pendek, dan sebagainya. Jika
kemudian Allah S.W.T mentakdirkan ada konsekuensi keduniawian sebagai “buah”
dari pengabdian di Muhammadiyah, itu
bonus dari Allah S.W.T. Bukan sesuatu hal yang sudah dirancang dan diniatkan
dari awal untuk tujuan seperti itu.
Sungguhpun demikian, penulis sepakat sepenuhnya bahwa harus
ada prioritas utama terhadap kader dalam pengisian struktur penggerak
persyarikatan dan Amal Usaha Muhammadiyah, yang tentu saja harus sesuai dengan
kapasitas dan kapabilitas, kualifikasi, patut dan mungkinnya. Para kader memang
digodok untuk keperluan itu, menjadi pelopor, pelaksana, dan penyempurna
gerakan Muhammadiyah. Jangan sampai kader persyarikatan merasa seperti “urang batandang” di rumah
“Gadangnya”. Ini juga bukan berarti kader Muhammadiyah boleh “mendabik dada,”
merasa memiliki “priveledge”, hak istimewa, dan paling berhak “memiliki”
Muhammadiyah, sehingga ngotot menuntut harus diakomodir dalam berbagai Amal
Usaha Muhamadiyah. Walau apapun, harus diakui bahwa kader juga memiliki
keterbatasan dalam kualifikasi, sebagaimana yang dibutuhkan oleh berbagai amal
usaha. Oleh karena itu, dapat dipahami jika kemudian persyarikatan dan amal
usahanya memberi ruang kepada kalangan “profesional” untuk bergabung ke dalam
Muhammadiyah dan amal usahanya. Sungguhpun demikian, pihak luar tersebut harus
direkrut dengan selektif, berdasarkan kualifikasi dan profesionalitasnya.
Pertimbangan lain yang juga harus dipakai adalah: mereka harus memiliki
pemahaman dan bersetuju dengan ideologi Muhammadiyah. Kalau tidak, Muhammadiyah
dan amal usahanya akan “terpesong” dari “ruh” dan tujuan sebenar ia didirikan.
Sehingga pada akhirnya, individu yang beraktifitas dalam persyarikatan dan amal
usaha itu tidak “menghidupkan” Muhammadiyah, akan tetapi hanya semata mata job
seeker, yang “menumpang” dan mencari hidup di Muhammadiyah.
Wallahu a’lam. Fastabiqul Khairat !
🙏
Tidak ada komentar:
Posting Komentar