Minggu, 29 Juli 2018

ULAMA DALAM PANDANGAN AWAM

 ULAMA DALAM PANDANGAN AWAM

Oleh: Adrian Muis Khatib

 


Orang awam seperti saya dan lainnya, katakanlah kami yang tidak ulama ini, memandang ulama itu sangat mulia dan tinggi sekali. Ketika ada yang berdo’a atau memimpin do’a dan zikir dalam bakaua, acara kenduri atau hajatan apapun, kami melihatnya tidak sebagai ulama, tetapi sebagai “pakiah” atau “labai”, ada juga yang mengatakan “tukang do’a. Ketika ada yang memberikan tabligh akbar atau ceramah agama, kami memandangnya sebagai “ustazd”. Kendati dalam Ramadhan ada tiga puluh orang ustaz yang memberikan pengajian di Surau kami, jarang sekali yang disebut sebagai Ulama. Semua disebut sebagai penceramah atau ustaz. Ketika ada yang mengajarkan pelajaran agama di kelas, kami menganggapnya sebagai “guru agama”, bukan “Ulama”.

Ulama itu bagi kami adalah orang yang ber”ilmu” tinggi dalam hal-ihwal agama Islam, mampu memberikan fatwa agama yang ditopang oleh ilmunya itu, berpandangan luas, berpikiran tajam, berhati lapang, ia meberikan solusi ketika ada persoalan umat. Kalau ia berceramah kami sebut beliau “mengaji”. Kalimatnya sejuk didengar, lembut dan meyakinkan. Materi kajinya mendamaikan sanubari, memotifasi amal sholeh, dan memberikan pengetahuan, mencerdaskan dan berpikiran maju.

Ulama, biasanya kami panggil dengan Buya. Dalam pengalaman hidup yang tak seberapa, kami menyaksikan ulama itu kharismatik, berpengikut, banyak orang merasa, beliau adalah guru mereka. Beliau dirindui oleh para murid yang tak semuanya beliau kenal, tapi ketika ketemu beliau bersikap bagaikan kenal buanget. Puluhan tahun lalu, kami bersama Nasril Zainun (teman saya) memacu honda ke Payakumbuh dari Padang hanya untuk mendengarkan kaji BUYA HAMKA di sebuah masjid disudut kota Payakumbuh. Pernah juga serombongan anak muda Masjid Taqwa Padang bersama kami dan ajo Nasrun Haroen mengunjungi Buya Malik Ahmad di Kandang Ampek untuk meminta diberi kaji. Pernah pula ketika kami memimpin IMM memakai modus tour sepeda motor, dibawah pimpinan Azwarlis Zakaria (komandan kami) sekitar 63 “honda” meluncur dari Padang menuju Sungai Batang Maninjau untuk mengaji dengan Buya AR Sutan Mansur. Pernah pula dengan sepeda (keretangin) berputar ke Pariaman terus Lubuk Basung, Maninjau, Bukittinggi terus ke Padang Panjang bersama Apris (adik saya) untuk dapat bertemu langsung dg beberapa ulama diantaranya Buya Haroun el Ma’aniy di Kauman Padang Panjang. Itulah sejemput kenangan dengan Ulama yang kami panggil dengan Buya itu.

Ulama tidak membutuhkan jabatan karena ia berurat kebawah. Berurat kebawah, lawannya berurat keatas. Dalam istilah Minangkabau diucapkan ba-urek kabawah ; bagai tanaman yang tumbuh di tanah, ia tumbuh dan berkembang dengan akarnya yang menyelam kedalam tanah, bersama tanah ia hidup saling kuat menguatkan, ia memberikan yang dibutuhkan oleh tanah dan sebaliknya tanah juga memberikan yang ia butuhkan. Ulama yang berurat kebawah bermakna tokoh agama yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, ia memberikan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan masyarakat pun memberikan dukungan terhadapnya.

Berbeda dengan tokoh agama yang berurat ke atas, istilah Minang menyebut seperti jenggot karena jenggot uratnya keatas, ia menggantung terbalik, maka akan berpikiran terbalik, berperilaku terbalik dan kalau berkeputusan juga terbalik. Ulama berurat keatas, juga dipahami sebagai ulama yang diangkat oleh pemerintah, sementara tempat hinggapnya ditengah masyarakat tidak ada. Biasanya tokoh seperti ini juga disebut dengan ulama tanpa jamaah atau ulama tanpa surau. Begitulah kami memandang Ulama, betul salahnya terserahlah kepada para Ulama, namun kami di didik oleh alam nan takambang.... begitulah. Wallahu a’lam.

Sumber:  http://adrianmuiskhatib.blogspot.com/2016/01/ulama-dalam-pandangan-awam.html

Rabu, 25 Juli 2018

Warisan Literasi dan Cinta Hamka (Ketika Buya Tiada)

Warisan Literasi dan Cinta Hamka

(Ketika Buya Tiada)

 Oleh Roni Tabroni 

(Majelis Pustaka Dan Informasi PP Muhammadiyah)


Tanggal ini (24 Juli) 31 tahun lalu (1981) Indonesia berduka. Ulama besar kebanggaan bangsa dan ummat telah tiada. Hamka wafat dengan tenang, meninggalkan sejuta kenangan dan jasanya yang tiada tara.

Lahir dan besar di Ranah Minang, Hamka tumbuh dalam keluarga religius. Di sana Hamka kecil begitu berminat dengan sastra. Karenanya Buya Syafi'i Maarif, menujuluki Ranah Minang dengan "pabrik kearifan kata yang kaya."

Sejak remaja Hamka melahap segudang ilmu yang jarang dibaca manusia seusianya. Hamka akrab dengan filsafat dan sejarah
. Hamka juga selalu membaca sastra dan informasi tentang narasi besar dunia. Hamka juga tidak ketinggalan dengan bacaan tentang politik. Namun disamping semua itu Hamka memiliki pundamen yang sangat kokoh yaitu pelajaran dan pemahaman agama yang kuat.

Sebagai putra dari ulama kesohor yaitu Dr. Abdul Karim Amrullah atau yang sering disebut Haji Rasul, Hamka memiliki pemahaman keislaman yang dalam dan maju. Haji Rasul yang dikenal sebagai ulama pembaharu, memberikan warna tersendiri bagi Hamka yang kemudian menjadi aktivis Muhammadiyah sejak di Sumatera Barat hingga Pimpinan Pusat.

Selain belajar ilmu agama secara langsung di Saudi Arabia, pemahaman keagamaan Hamka juga banyak terinspirasi oleh gerakan pembaharuan Islam di belahan dunia lain yang dilakukan oleh Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Kedua tokoh ini dikenal dengan perjuangan keislamannya yang lebih maju dan modern.

Tokoh pembaharuan itu tidak hanya menyebarkan pemahaman agamanya lewat mimbar dan forum terbatas, tetapi juga menerbitkan majalah yang terkenal yaitu al-Urwatul Wutsqo dan al-Manar. Majalah ini menyebar ke berbagai belahan negara lain dan mewarnai pemikiran keislaman hingga ke Indonesia (dulu Nusantara). Maka di Singapur terbitlah majalah al-Munir dan di Sumatera Barat terbit al-Imam.

Hamka sendiri dalam perjalanan dakwahnya selain menerbitkan puluhan buku dan ratusan tulisan yang tercecer di berbagai media massa lain di Indonesia, beliau sendiri pernah menerbitkan beberapa majalah yang langsung ditanganinya.

Tercatat di antara beberapa karya itu adalah majalah al-Mahdi. Majalah ini terbit hanya sembilan edisi saja. Tidak berhenti sampai disitu, Hamka kemudian kembali berdakwal lewat media dengan pergi ke Medan dan menjadi Pimred untuk majalah Pedoman Masyarakat. Sebagai sarana dakwah bagi Hamka majalah ini tidak hanya beredar di Medan tetapi juga beberapa daerah di Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Kalimantan.

Setelah berada di Jawa, Hamka tidak berhenti berkarya. Di Jakarta Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Majalah ini cukup menggemparkan dunia persurat kabaran pada zamannya. Isi majalah ini sangat mendalam dan berbobot, di dalamnya terdapat kajian-kajian tentang sejarah Islam, filsafat, peristiwa terkini dunia Islam di berbagai belahan dunia, sastera, budaya, politik dan forum konsultasi.

Bagi pembaca yang sezaman dengannya, akan merasakan lautan ilmu yang sangat berkualitas. Bagi kita yang hidup zaman ini, jika membuka lembar demi lembar majalah ini, akan larut pada arus keislaman dan ilmu yang sangat menyegarkan. Hampir tidak ada kata basi dalam majalah yang sudah tua ini.

Karena terbukanya majalah ini, Hamka tidak tabu dengan isu politik selama itu diyakini benar dan memberikan edukasi yang baik. Hingga akhirnya Hamka menurunkan tulisan M. Hatta yang berjudul "Demokrasi Kita," sepanjang enam halaman. Tulisan Hatta ini mengkritisi model Demokrasi Terpimpin ala Soekarno saat itu. Soekarno menurut Hatta telah jatuh pada titik nadir, menjadi pemimpin otoriter dan Indonesia tidak layak lagi disebut negara demokrasi.

Tulisan itu membuat Panji Masyarakat semakin populer dan oplahnya meningkat drastis. Begitu tingginya minat masyarakat terhadap tulisan Hatta, kemudian diterbitkan edisi khusus berupa brosur yang memuat tulisan Hatta itu.

Rupanya Soekarno tidak berkenan dengan tulisan Hatta. Selain membubarkan Masyumi, Soekarno pun akhirnya "membungkam" gagasan besar Hamka dengan cara menutup Panji Masyarakat, sebagai ladang dakwah dan pencerahan Hamka kepada ummatnya.

Kehilangan sarana penyambung pesannya kepada ummat, orang-orang di sekitar Hamka kemudian selain mendirikan Perpustakaan di Masjid al-Azhar, juga membuat Yayasan Islam. Nasution, Sudirman dan Rowi kemudian menyampaikan gagasannya untuk kembali menerbitkan majalah Islam untuk menyambung pesan dakwah. Di Majalah itu Hamka akan diposisikan hanya sebagai "pembantu" saja. Tetapi nanti majalah yang kemudian diberi nama "Sinar Islam" ini tiada lain adalah wahana baru bagi Hamka untuk berdakwah, seperti halnya Hamka di Panji Masyarakat. Strategi itu dilakukan untuk menghindari sulitnya perijinan (jika Hamka diposisikan sebagai Pemred).

Terbit tahunn1961, majalah "Sinar Islam" memiliki semboyan "pengetahuan dan kebudayaan Islam." Maka secara umum isi majalah Islam ini banyak kemiripan dengan Panji Masyarakat. Bahkan saking inklusifnya, dalam majalah ini juga ada rubrik "Kristologi" dengan menyediakan enam halaman. Majalah ini memang menjadi "mimbar" bagi Hamka untuk menyampaikan pesan-pesan Islam yang rahmatan lil alamin dengan corak inklusif.

Namun, terbukanya Hamka, berbanding terbalik dengan urusan aqidah. Bagi Hamka, tidak ada kompromi dengan aqidah. Maka mudah kita menilai mengapa Hamka begitu keras menentang Komunisme. Hamka juga tidak mau berdamai dengan Nasakom ciptaan Soekarno. Bahkan sikap kritisnya Hamka terhadap Komunisme, membuatnya sering dihujat, dikritik, bahkan difitnah.

Akibat dari keyakinannya itu membuat kaum Komunis, para budayawan dan sastrawan yang bergabung di Lekra seperti Pramoedya Ananta Toer seringkali menghasut tanpa dasar. Tidak tanggung-tanggung, lama kelamaan orang sekaliber Soekarno pun terkena pengaruh hasutan dan memenjarakan Hamka tanpa pengadilan.

Dua tahun lebih Hamka mendekam di balik jeruji besi. Tubuhnya terkrangkeng sel tahanan setelah diintrogasi secara kejam dan kasar oleh petugas. Namun tidak dengan keyakinan dan pemikirannya. Hamka selalu menemukan hikmah dibalik setiap peristiwa. Di dalam tahanan Hamka justru menciptakan buah karyanya yang paling monumental yaitu tafsir al-Azhar. Sebuah pencapaian yang dalam renungan Hamka, belum tentu ada waktu untuk membuatnya jika berada di alam bebas. Kedua, Allah menakdirkan Hamka masuk tahanan dengan maksud untuk menghindarkan Hamka dari polemik (fitnah) politik, sebab saat itu terjadi peristiwa G30/S-PKI. Hamka begitu yakin dengan hal ini.

Mungkin ini juga yang membuat Hamka begitu tulus memaafkan Soekarno, tanpa menyimpan dendam sedikitpun. Sehingga ketika Soekarno wafat, Hamka lah yang menjadi imam ummat Islam yang akan menshalatkan jenazahnya -- konon itu pun amanat Soekarno sebelum meninggal.

Pemberian maaf yang tidak kalah mengagumkannya ketika dilakukan Hamka kepada Pram yang bertahun-tahun menghujat dan memfitnahnya. Hamka memaafkan Pram dengan tulus ketika Hamka menerima dengan terbuka untuk mengajari anaknya Pram dan calon menantunya untuk belajar agama Islam. Ketika anaknya Pram datang menemuinya dan menyampaikan amanat ayahnya (Pram) untum menimba ilmu agama, bagi Hamka, itulah bentuk permohonan maaf Pram yang tidak terucap secara langsung. Hamka pun memaafkannya denga tulus, disimbolkan dengan memberikan pengajaran agama secara sunggung-sunghuh.

Tidak sampai disitu, ketika orang-orang menyampaikan ide untuk membakar karya-karya Pram (karena telah membuat Hamka menderita bertahun-tahun) Hamka melarangnya. Menurut Hamka, jika kita tidak setuju dengan pemikiran orang lain termasuk pemikiran Pram, maka kita jawab dengan karya hasil pemikiran kita, bukan malah membakarnya.

Hamka akhirnya menjadi simbol. Simbol keteladanan, simbol tradisi literasi, simbol keterbukaan, simbol kukuhnya aqidah, sekaligus simbol bagaimana membangun pertemanan abadi yang didasarkan atas nama cinta dan agama.

Antapani, Selasa (24 Juli 2018)

Selasa, 24 Juli 2018

MUI SUMBAR MENOLAK ISLAM NUSANTARA





Padang, sumbarsatu.com--Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar dan MUI kabupaten dan kota se-Sumbar menyatakan Islam Nusantara tidak dibutuhkan di Ranah Minang.

"Kami, MUI Sumbar dan MUI kabupaten-kota se-Sumbar menyatakan tanpa ada keraguan bahwa Islam Nusantara dalam konsep, pengertian, defenisi apapun tidak dibutuhkan di Ranah Minang (Sumatera Barat). Bagi kami, nama Islam telah sempurna dan tidak perlu ditambah lagi dengan embel-embel apapun," kata Buya Gusrizal Gazahar, Ketua MUI Sumbar, Senin (23/7/2018) di Padang.

Dalam surat tiga lembar yang berkop resmi MUI ini, memuat 7 butir latar belakang alasan MUI se-Sumbar menolak Islam Nusantara yang merupakan hasil rakorda itu.

Tujuh poin penting itu, ditandatangani Dr. Zulkarnaini, M. Ag dan Dr. Zainal Azwar, M. Ag masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Pimpinan Rapat. Sedangkan Buya Gusrizal Gazahar. Lc., MA dan Buya Zulfan, S.Hi, M.H yang masing-masing Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI Sumbar. Surat itu diteken di Padang, 21 Juli 2018. Berikut salinan hasil rakorda MUI se-Sumbar itu.

Menurut Buya Gusrizal, istilah "Islam Nusantara" melahirkan berbagai permasalahan yang akan mengundang perdebatan yang tidak bermanfaat dan melalaikan umat Islam dari berbagai persoalan penting yang sedang dihadapi. Bahkan istilah "islam Nusantara" bisa membawa kerancuan dan kebingungan di tengah umat dalam memahami Islam.

"Susunan bahasa Indonesia yang menganut konsep DM, menunjukkan pembatasan Islam dalam wilayah yang disebut "Nusantara". Ini berakibat terjadinya pengerdilan dan penyempitan ruang lingkup Islam yang smestinya menjadi rahmat untuk seluruh alam semesta (rahmatan lil'alamiin) dan untuk seluruh umat manusia (kaaffatan linnaas)," terang Buya.

Sementara, Zulkarnaini menjelaskan, jika yang dimaksudkan dengan istilah "Islam Nusantara" adalah keramahan washatiyah (proporsional dan pertengahan dalam keseimbangan dan keadilan), toleransi dan lainnya, itu bukanlah karakter khusus Islam yang sangat mendasar.

"Karena itu, menghadirkan label "Nusantara" untuk Islam, hanya berpotensi mengkotak-kotak umat Islam dan memunculkan pandangan negatif umat kepada saudara-saudara muslim di wilayah ini," tambah ketua rakorda ini.

Dikatakannya lebih jauh, wasathiyyah, samhah, 'adil, 'aqliy dan lainnya yang disebutkan sebagai karakter "Islam Nusantara", hanyalah sebagian dan keistimewaan Islam yang tidak bisa dipisahkan dengan keistimewaan lainnya seperti rabbaniyyah ilahiyyah, syumuliyyah, mumayyizat yang lain hanya akan menimbulkan kerancuan dalam memahami Islam dan mengeluarkan Islam dari kesempurnaannya.

Jika "Islam Nusantara" dipahami dengan dakwah yang mengacu kepada ajaran dan pendekatan Wali Songo di pulau Jawa, ini bisa berdampak serius kepada keutuhan bangsa, karena di berbagai daerah dalam wilayah NKRI, ada para ulama dengan pendekatan ajaran yang bisa saja berbeda dengan Wali Songo.

"Memaksakan pendekatan dan ajaran Wali Songo ke seluruh Indonesia, berarti mengecilkan peran ulama yang menyebarkan Islam di daerah lain yang memiliki karakteristik dakwah yang beragam," terangnya.

Ditambahkan Buya Gusrizal, jika pendekatan kultural yang menjadi ciri khas "Islam Nusantara" maka itu bukanlah monopoli "Islam Nusantara" tapi telah menjadi suatu karakter umum dakwah di berbagai wilayah dunia ini karena sikap Islam terhadap tradisi dan budaya tempatan, telah tertuang dalam kajian ilmu Ushul al-Fiqh secara terang.

Bahkan para ulama Sumatera Barat dengan perjalanan panjang sejarah dakwah Islam di Ranah Minang yang diwarnai dengan dinamika yang begitu hebat, telah menjalani langkah-langkah pendekatan kultural tersebut bahkan mereka sampai kepada komitmen bersama melahirkan "Sumpah Sati Marapalam" dengan falsafahnya yang dipegang oleh masyarakat Minangkabau sampai hari ini yaitu: Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah, Syara' Mangato, Adat Mamakai".

"Walaupun telah sampai pada titik kebersamaan tersebut namun tak seorang pun ulama Minangkabau menambah label Islam di Minang ini dengan "Islam Minang"," tegasnya.

Selain itu, tambahnya, jika dimaksudkan dengan "Islam Nusantara" adalah Islam yang toleran, tidak radikal kemudian memperhadapkan dengan kondisi Timur Tengah sekarang, maka sikap ini mengandung tuduhan terhadap ajaran Islam sebagai pemicu lahirnya sikap radikal dan tindakan kekerasan terhadap konflik Timur Tengah.

Ini juga pencideraan terhadap ukhuwwah Islamiyyah antara kaum muslimin di dunia, kjarena perjuangamn yang dilakukan oleh sebagian kamum muslimin seperti Palestina, sangat tidak pantas dilabeli dengan radikalisme dan kekerasan.

"Seharusnya mereka mendapatkan simpati kita kaum muslimin di negeri ini sebagaimana mereka memperlakukan kita di saat perjuangan kemerdekaan Indonesia dahulunya," tambahnya. (SSC/MN)

Repost: Aya S Miza

Aktivitas Badan Wakaf Uang Muhammadiyah Sumbar; Bersedekah dengan Menabung, Disalurkan untuk Sosial

Bersedekah dengan Menabung, Disalurkan untuk Sosial 

Aktivitas Badan Wakaf Uang Muhammadiyah Sumbar

 Oleh: Novitri Silvia




Wakaf  tidak melulu harus berupa tanah. Akan tetapi juga ada wakaf uang. Saat ini, wakaf uang di Kota Padang dikoordinasikan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar di Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang. Pemanfaatannya pun lebih kepada kegiatan sosial. Seperti apa wakaf uang tersebut?

Resmi berdiri sejak 2011, wakaf uang sudah memiliki wakif (pemberi wakaf, red) sekitar 500 orang. Wakaf uang memang dikhususkan pewakafan dalam bentuk nominal (uang, red). Jumlah dan wakif tidak ditentukan. Umumnya, wakif merupakan masyarakat sekitar Kota Padang, jamaah masjid ataupun partisan yang ingin berwakaf langsung.

Salah seorang wakif, Dasril Ilyas, 50, telah menjadi wakif sejak tahun 2011 lalu. Pria berdomisili di Bandarbuat Kota Padang itu memilih mewakafkan uangnya dalam bentuk pecahan. Setiap bulan, ia berwakaf sebanyak Rp 50 ribu selama 5 tahun.

Hal ini dilakukannya agar wakaf yang diberikan lebih besar manfaatnya bagi masjid serta tidak terlalu berat jika mewakaf dengan cara pecahan. Meski saat ini, waktu yang ditentukannya telah habis, ia masih mewakafkan uangnya tersebut dengan cara memperbaruinya kembali.

“Kita memberikan bantuan yang manfaatnya akan dirasakan umat. Sama bersedekah dengan cara menabung. Kalau diberikan tunai secara sekaligus tidak akan mampu dalam jumlah yang banyak. Tapi kalau pakai cara pecahan, lama-lama uang yang kita wakafkan itu bisa terkumpul banyak,” ucapnya.

Kepala Kantor Badan Wakaf Uang Sumbar, Aya S Miza menyebutkan, salah satu pemanfaatan wakaf dalam bentuk uang, kesehatan masyarakat. Seperti pemberdayaan klinik di masjid, dan kesehatan gratis bagi masyarakat serta jamaah masjid.

Selain itu, pemanfaatan wakaf uang juga dilakukan dalam bentuk produktif. Yakni pengadaan kolam lele organik yang sudah jalan satu tahun di daerah Tabing. Kemudian, kebun tebu di Lawang Kabupaten Agam seluas satu hektare. “Rencananya, pemanfaatan lain dengan membangun Rumah Tahfiz Quran juga akan didirikan di Kota Padang. Jadi kita manfaatkan uang wakaf untuk kebutuhan umat,” ujarnya usai shalat Zuhur Kamis (21/6).

Uang yang diwakafkan tidak ditentukan kepada wakif. Wakaf uang dibagi dalam 3 bentuk. Yaitu, segmen cash wakaf uang dalam jumlah tertentu pada satu kali pembayaran atau tunai. Segmen pecahan, wakaf uang secara rutin (misalkan per hari, minggu atau per bulan, red) dalam jumlah tertentu secara berkesinambungan.

Terakhir, segmen berjangka, wakaf uang dalam jumlah dan waktu tertentu. Khusus segmen berjangka uang akan dikembalikan apabila sudah mencapai target yang ditentukan (waktu, red). Jika wakif meninggal dunia akan dipulangkan kepada ahli waris. “Sama saja dengan menitipkan modal. Kemudian akan dikembalikan lagi jika sudah sampai waktunya,” katanya.

Aya S Mirza menjelaskan, untuk menjadi wakif tidak perlu syarat khusus. Hanya mengisi formulir identitas disediakan petugas. Setelah disetujui, wakaf uang bisa dilakukan dengan cara ditransfer via rekening bank, dijemput, atau langsung diantar ke kantor yang berada di Masjid Taqwa Padang.

“Tujuan utama wakaf uang untuk kegiatan sosial yang manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat. Kita berdayakan dan produktifkan uang umat untuk umat. Bagi wakif  yang sudah satu tahun akan diberikan sertifikat dan buku laporan perkembangan wakaf. Ini bentuk apresiasi dan wakif  tahu ke mana saja uang yang mereka manfaatkan,” tuturnya.

Sumber:  https://padek.co/koran/padangekspres.co.id/read/detail/106233/Bersedekah-dengan-Menabung--Disalurkan-untuk-Sosial

Senin, 16 Juli 2018

KADER MUHAMMADIYAH “SEJATI”


KADER MUHAMMADIYAH “SEJATI” 

Oleh: SADRI CHANIAGO           

Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas /

Alumni Angkatan Muda Muhammadiyah Cabang IV Angkek Padusunan, Kota Pariaman


Persyarikatan Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi “Islam berkemajuan” terbesar di Indonesia, yang memiliki organisasi otonom (ORTOM), kader, anggota, simpatisan, serta amal usaha (AUM). Salah satu isu internal yang bersifat krusial, yang dari dulu sampai sekarang menjadi ‘batu panaruang” dan menciderai soliditas para kader Angkatan Muda Muhammadiyah (dan juga Muhammadiyah) adalah diskursus “tak berkeruncingan” yang mempersoalkan “kesejatian” kader dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Perdebatan klasik ini biasanya mencuat ke permukaan, sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan sebagian kader yang merasa tidak diakomodir dalam pengisian struktur dalam kepemimpinan Muhammadiyah dan ortom, atau dalam rekruitmen tenaga personil di berbagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Haedar Nashir (2000), mendefinisikan kader Muhammadiyah sebagai: tenaga inti penggerak persyarikatan yang memiliki totalitas jiwa, sikap, pemikiran, wawasan, kepribadian dan keahlian sebagai pelaku atau subyek dakwah Muhammadiyah di segala lapangan kehidupan. Mereka memiliki kualitas Iman, Islam dan Ihsan yang terpadu, dan memiliki integritas serta kompetensi dalam: keberagamaan, akademis dan intelektual, sosial-kemanusiaan, serta keorganisasian dan kepemimpinan. Kader ini dilahirkan melalui proses panjang “perkaderan” di berbagai Organisasi Otonom Muhammadiyah / Ortom (Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Tapak Suci Putra Muhammadiyah, Hizbul Wathan). Kader Muhammadiyah merupakan pelopor, penggerak, dan penyempurna perjuangan dan cita cita Muhammadiyah, dan ‘Aisyiyah sebagai ortom khusus, serta Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).

Berdasarkan bentuk dan wadah perkaderan yang dijalani, Prof. Dr. M. Amien Rais, MA (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) menyebutkan bahwa kader Muhammadiyah itu terdiri dari tiga jenis, yaitu: Pertama, kader genetikal (keturunan), kader keturunan biologis dari ayah atau ibu yang beraktifitas di Muhammadiyah. Terkadang kader genetikal ini merasa lebih berhak untuk “memiliki” Muhammadiyah, karena orang tuanya merupakan seorang tokoh di Muhammadiyah. Ini pandangan yang keliru, karena di Muhammadiyah tidak ada tradisi “darah biru”, yang mengagungkan trah dan keturunan. Apakah kader genetikal ini lebih “sejati” ketimbang yang lainnya ? Tentu tidak, karena tidak sedikit kader tipe ini yang tidak berpaham dan beraktifitas dalam Muhammadiyah.

 Kedua, kader formal, yang lahir karena mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Ini adalah tipikal yang “otomatis” menjadi kader Muhammadiyah. Apakah mereka lebih “sejati” kekaderannya ? Belum tentu, karena banyak lulusan lembaga pendidikan Muhammadiyah yang tidak berideologi Muhammadiyah.

Ketiga, kader informal, yang pernah mengikuti perkaderan Darul Arqam dan Baitul Arqam, up grading, refreshing, Job training, Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah, Pengajian Muballigh, Pengajian Ramadhan, serta perkaderan lain yang dikemas secara terpadu di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah, termasuk juga habitat Amal Usaha Muhammadiyah (Panti Asuhan, Sekolah, Mesjid, Rumah Sakit, Poliklinik, BKIA, Baitul Mal Wattamwil, dst.). Termasuk juga dalam kategori ini adalah simpatisan yang rutin menghadiri kajian Muhammadiyah di tingkat cabang dan ranting. Lalu, apakah kader tipe ini juga lebih “sejati” dibandingkan dengan yang lain ? Belum tentu juga. Terkadang, walaupun “kenyang” mengikuti berbagai perkaderan dan pelatihan, namun ke-Islam-an dan ideologi ke-Muhammadiyahan-nya kurang terlihat. Ada juga yang beramal tak sesuai tarjih, menjadi pengamal tahyul, bid’ah dan khurafat, dan sebagainya.

Siapa Kader Muhammadiyah “Sejati” Itu ?

Siapa sebetulnya yang layak disebut sebagai kader Muhammadiyah “sejati” itu ? Tentu saja adalah warga Muhammadiyah yang memiliki tujuan yang selaras dengan Muhammadiyah. Dalam konteks ini Agus Sukaca (2017), menyatakan bahwa mereka adalah individu yang menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana untuk mewujudkan pribadinya menjadi Muslim yang sebenar benarnya, serta menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana perjuangan dalam menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar benarnya. Mereka Ikhlas ber-Muhammadiyah karena mengharapkan pahala dari Allah S.W.T. Pemahaman keagamaan, ketaatan, dan  amal shalehnya selalu meningkat. Mereka memegang teguh dan mengamalkan nilai nilai dasar gerakan Muhammadiyah: Paham Agama, Manhaj Tarjih, Muqaddimah Anggaran Dasar, MKCH, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan lain lain.

Mereka bukan individu yang ber-Muhammadiyah karena agenda pribadi seperti:  menjadikan Muhammadiyah sebagai “batu loncatan” untuk meniti karir di bidang politik, untuk memperoleh keuntungan finansial, untuk memperoleh kedudukan, dan lain lain. Dalam pengamatan penulis, tidak sedikit di antara mereka yang berdiri dalam “shaf” ini, apabila keinginan dan cita cita pribadinya tidak ‘diakomodir” Muhammadiyah, kemudian menjadi pendurhaka, “Malin Kundang” Muhammadiyah, yang sudah “terbalik kaji” dan kemudian menjelek jelekan Muhammadiyah. Muhammadiyah seumpama “manggadangan anak harimau” terhadap kader seperti ini. Mereka lupa, bahwa ber-Muhammadiyah itu tidak sama seperti beraktifitas di interest group sejenis, bukan seperti di perusahaan, apalagi seperti di partai politik. Ber-Muhammadiyah itu, untuk ladang Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, bukan untuk kepentingan pribadi, kepentingan politik jangka pendek, dan sebagainya. Jika kemudian Allah S.W.T mentakdirkan ada konsekuensi keduniawian sebagai “buah” dari pengabdian di  Muhammadiyah, itu bonus dari Allah S.W.T. Bukan sesuatu hal yang sudah dirancang dan diniatkan dari awal untuk tujuan seperti itu.

Sungguhpun demikian, penulis sepakat sepenuhnya bahwa harus ada prioritas utama terhadap kader dalam pengisian struktur penggerak persyarikatan dan Amal Usaha Muhammadiyah, yang tentu saja harus sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas, kualifikasi, patut dan mungkinnya. Para kader memang digodok untuk keperluan itu, menjadi pelopor, pelaksana, dan penyempurna gerakan Muhammadiyah. Jangan sampai kader persyarikatan merasa  seperti “urang batandang” di rumah “Gadangnya”. Ini juga bukan berarti kader Muhammadiyah boleh “mendabik dada,” merasa memiliki “priveledge”, hak istimewa, dan paling berhak “memiliki” Muhammadiyah, sehingga ngotot menuntut harus diakomodir dalam berbagai Amal Usaha Muhamadiyah. Walau apapun, harus diakui bahwa kader juga memiliki keterbatasan dalam kualifikasi, sebagaimana yang dibutuhkan oleh berbagai amal usaha. Oleh karena itu, dapat dipahami jika kemudian persyarikatan dan amal usahanya memberi ruang kepada kalangan “profesional” untuk bergabung ke dalam Muhammadiyah dan amal usahanya. Sungguhpun demikian, pihak luar tersebut harus direkrut dengan selektif, berdasarkan kualifikasi dan profesionalitasnya. Pertimbangan lain yang juga harus dipakai adalah: mereka harus memiliki pemahaman dan bersetuju dengan ideologi Muhammadiyah. Kalau tidak, Muhammadiyah dan amal usahanya akan “terpesong” dari “ruh” dan tujuan sebenar ia didirikan. Sehingga pada akhirnya, individu yang beraktifitas dalam persyarikatan dan amal usaha itu tidak “menghidupkan” Muhammadiyah, akan tetapi hanya semata mata job seeker, yang “menumpang” dan mencari hidup di Muhammadiyah.

Wallahu a’lam. Fastabiqul Khairat !
🙏

Semua Anggota Muhammadiyah Mengaji

 Semua Anggota Muhammadiyah Mengaji

Oleh: dr. Agus Sukaca , M.Kes 

(Mantan Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)

 

Allahuyarham pak AR Fachruddin berulang-ulang menyatakan bahwa pengajian adalah ruh-nya Muhammadiyah. Tanpa pengajian, Muhammadiyah ibarat jasad yang sudah tak bernyawa. Betapapun hebatnya seseorang, bila nyawanya sudah tak ada, ia hanyalah mayat yang tidak lagi mampu memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Ia menjadi tanggungjawab orang lain untuk memandikan, menshalatkan dan menguburkan. Demikian halnya dengan Muhammadiyah, bila tanpa pengajian, ia kehilangan kemampuan memberikan kemanfaatan bagi ummat, bahkan menjadi beban. Menurut pengamatan saya, orang-orang yang sering bermasalah dalam Muhammadiyah, apakah di amal usaha atau persyarikatan, bila ditelusuri, ternyata kebanyakan bukanlah orang yang ahli mengaji.

KHA Dahlan mengawali geraknya melalui pengajian-pengajian. Beliau senantiasa mencari peluang untuk mengisi pengajian dan menggerakkan pengajian. Sejarah mencatat banyak pengajian-pengajian yang digerakkan KHA Dahlan, seperti: Qismul Arqa’, Fathul Asrar wa Miftahus Sa’adah, Wal ‘Ashri, Pengajian Malam Jum’at, Sapatresna, dll. Dari pengajian-pengajian tersebut muncul kader-kader dakwah yang luar biasa, yang menyebarluaskan Muhammadiyah ke segala penjuru Nusantara.

Tentu pendiri dan para pemimpin Muhammadiyah terdahulu mempunyai alasan yang kuat kenapa menempatkan pengajian sebagi inti gerakan. Kita bisa melacak alur pemikiran mereka dengan mempelajari kaidah-kaidah perjuangan Muhammadiyah yang mereka rumuskan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, MKCH, Kebribadian Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah, Visi dan Misi Muhammadiyah dan lain-lain.

Dalam Kepribadian Muhammadiyah, Muhammadiyah diberi pengertian sebagai Gerakan Islam yang maksud geraknya adalah Dakwah Islam Amar Makruf Nahi Mungkar. Pengertian ini diaktualisasikan dalam misi Muhammadiyah: menegakkan keyakinan tauhid yang murni, menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah; dan mewujudkan amal islami dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.

Berbagai amal usaha yang dibentuk Muhammadiyah, sesungguhnyalah untuk menjalankan misi tersebut. Melalui bidang pendidikan, didirikanlah Taman Kanak-Kanak ‘Aisyiyah Bustanul Athfal, Sekolah Dasar dan Menengah, pondok pesantren, serta Perguruan Tinggi, di dalamnya dilaksanakan pengajaran dan pendidikan agama secara terstruktur dengan kurikulum yang jelas. Melalui bidang kesehatan, didirikanlah poliklinik, rumah bersalin, rumahsakit untuk memberikan pelayanan kesehatan yang Islami, dan menggembirakan orang untuk beragama Islam dengan baik. Melalui bidang kesejahteraan, didirikanlah panti asuhan anak yatim, dll.

Melalui pendidikan formal, kita bisa menyebarluaskan ajaran Islam untuk waktu yang agak panjang sesuai masa pendidikannya. Melalui Panti Asuhan, kita juga bisa melakukannya untuk batas waktu tertentu selagi anak dalam masa pengasuhan. Melalui rumahsakit, waktunya lebih terbatas lagi. Semua amal usaha tersebut penting, tetapi kita tidak mungkin mengajak para siswa dan mahasiswa Muhammadiyah sepanjang hayat belajar di sekolah atau perguruan tingginya masing-masing. Pada waktunya mereka akan lulus dan keluar dari perguruan Muhammadiyah. Demikian halnya di rumahsakit, tidak mungkin kita minta pasien untuk tinggal terus di rumahsakit. Lantas bagaimana setelah mereka lulus sekolah, selesai diasuh atau selesai dirawat? Bagaimana pula yang tidak bersekolah di sekolah Muhammadiyah, tidak diasuh di panti asuhan Muhammadiyah, atau tidak dirawat di RS Muhammadiyah? Di sinilah urgensinya pengajian!

Pengajian adalah media paling pas bagi ummat Islam untuk belajar sepanjang hayat tanpa batas waktu. Melalui pengajian pula kehidupan berjama’ah bisa diamalkan. Dan melalui pengajian pula fungsi Muhammadiyah untuk mengantarkan ummat Islam ke gerbang surga jannatun na’iem dapat dilaksanakan. Berada dalam Jama’ah Pengajian Muhammadiyah menjamin kita tetap berada dalam Orbit Gerakan Muhammadiyah.

Perkembangan Gerakan Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari pengajian. Kaidah-kaidah persyarikatan menjadikan pengajian menjadi inti gerakan. Ranting Muhammadiyah berdiri dengan syarat minimal memiliki amal usaha pengajian anggota, pengajian umum, dan jama’ah. Demikian pula untuk level kepemimpinan cabang, daerah, dan wilayah, mensyaratkan memiliki amal usaha pengajian pimpinan dan pengajian muballigh.

Pengajian anggota merupakan bagian dari sistem pembinaan anggota. Tujuannya memberikan pengajaran dan bimbingan kepada anggota agar menjadi muslim yang taat, memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang benar sesuai dengan yang dipahami Muhammadiyah, dan mampu menjadi subyek dakwah. Kewajiban ranting menyelenggarakan Pengajian Anggota mengisyaratkan semua anggota harus mengaji, meningkatkan pemahaman agama, dan senantiasa berada dalam jama’ah. Ini juga berarti bahwa menjadi Anggota Muhammadiyah adalah teken kontrak untuk menjadi muslim yang baik dan senantiasa menjadi lebih baik.

Apakah anda sudah rutin mengikuti Pengajian Anggota? Alhamdulillah bila jawaban anda “ya”. Tetapi bila belum, sebagai Anggota Muhammadiyah anda berkewajiban segera bergabung dalam Pengajian Anggota yang ada dalam ranting anda. Bila di ranting anda belum diselenggarakan, segeralah bergerak menghubungi Pimpinan Ranting dan anggota-anggota yang ada di sekitar anda, ajaklah mereka mengaji. Anda lah penggeraknya.

Pengajian Umum, di samping merupakan bagian dari sistem pembinaan anggota juga menjadi bagian dari sistem dakwah Muhammadiyah kepada para simpatisan. Pengajian ini menjadi media Muhammadiyah untuk melaksanakan misi menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada masyarakat umum. Anggota Muhammadiyah sebagai inti anggota pengajian dan masyarakat umum sebagai sasaran dakwah Muhammadiyah. Kewajiban ranting menyelenggarakan pengajian umum mengindikasikan bahwa sasaran dakwah Muhammadiyah haruslah senantiasa diperluas di kalangan masyarakat umum, sehingga makin hari makin banyak masyarakat umum yang menerima dakwah Islam. Sebagai Anggota Muhammadiyah tugas kita adalah memasarkan dan merekrut sebanyak-banyaknya orang-orang yang anda kenal untuk mengikuti pengajian ini.

Kalau kita telusuri dengan teliti, ternyata tugas utama Anggota Muhammadiyah adalah mengaji dan mengajak orang mengaji. Tugas mengaji diperlukan untuk keperluan pembinaan diri agar dari hari kehari agar tauhidnya tambah murni dan kuat, pemahaman agamanya semakin luas dan mendalam, dan perwujudan amal islaminya dalam kehidupan pribadi dan keluarganya semakin mantap. Sedangkan tugas mengajak orang mengaji, merupakan aktualisasi pelaksanaan dakwah yang paling sederhana yang bisa dilakukan oleh semua Anggota Muhammadiyah.

Bayangkan, apabila semua Anggota Muhammadiyah mengaji, dan masing-masing dapat mengajak minimal seorang simpatisan dalam sebulan, maka dalam sebulan saja jumlah peserta pengajian Muhammadiyah akan menjadi 2 kali lipat! Betapa dahsyatnya!

Wallahu ‘Alam


Kamis, 12 Juli 2018

APA ALASAN MUHAMMADIYAH MENGGUNAKAN "HISAB"

APA ALASAN MUHAMMADIYAH MENGGUNAKAN "HISAB" 

 

Salah satu saat Muhammadiyah menjadi perbincangan adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikuti Rasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.

Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan juga contoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang diringkaskan dari makalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431.H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.

Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.

Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasika
n bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.

Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?

Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.

Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli Al-Qur'an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.

Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur'an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru'yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma'qul ma'na/tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru'yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru'yah mengalami gagal total.

Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta'qul ma'naartinya dapat dirasionalkan maka ru'yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya. Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis ru'yah itu ta'aquli ma'na maka hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itudapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.

Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur'an surah Annisa ayat 59 "Athiullah wa athi'u ar rasul wa ulil amri minkum". Muhammadiyah tidak melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya, makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian agar semua menjadi maklum.
 

Selasa, 10 Juli 2018

TRANSFORMASI KADER MUHAMMADIYAH

Transformasi Kader Muhammadiyah

Oleh: Haedar Nashir (PP Muhammadiyah)




Di beberapa forum masih sering dipertanyakan bagaimana mentrasformasikan atau menempatkan kader Muhammadiyah di lingkungan Persyarikatan., selain dalam kehidupan yang lebih luas ditingkat ummat dan bangsa. Artinya, terdapat tuntutan yang perlu dijawab, bagaimana menempatkan kader Muhammadiyah secara terprogram atau terencana untuk menduduki posisi-posisi strategis di lingkungan sendiri, termasuk dalam kepemimpinan dan pengelolaan amal usaha Muhammadiyah.

Di kalangan orang-orang Muhammadiyah sendiri masih berkembang tiga pandangan mengenai transformasi kader tersebut. Pandangan pertama menyatkan bahwa seharusnya keder Muhammadiyah disiapkan untuk menduduki dan menjalankan fungsi-fungsi mengemban visi Persyarikatan baik dalam kepemimpinan termasuk dalam amal usaha muhammadiyah. Jika Muhammadiyah termasuk amal usahanya ingin tumbuh dan berkembang sesuai dengan misinya maka harus dijalankan oleh para kader Muhammadiyah yang memang sejak dini memahami dan menghayati perjuangan Muhammadiyah.

Pandangan yang kedua menyatakan, struktur kepemimpinan atau pengelola di lingkungan persyarikatan maupun amal usahanya tidak harus dari AMM atau yang pernah mengalami kaderisasi di Muhammadiyah. Kader dari luar pun sejauh alam pikirannya sama dengan Muhammadiyah maka dapat diterima dan dimasukkan kedalam struktur kelembagaan Muhammadiyah tersebut.

Ada pula pendapat ketiga yang menyatakan bahwa kader itu tidak harus atau tidak selalu harus masuk dalam struktur kepemimpinan baik di Persyarikatan maupun di amal usaha, yang paling utama ialah wujud pengabdiannya. Jika logika ini dipakai, maka boleh jadi kepemimpinan strategis tidak akan dikuasai kader Persyarikatan, dengan logika bahwa “pengabdian” dimanapun jauh lebih utama daripada “berebut posisi”, sedang posisi penting di Muhammadiyah dikuasai oleh mereka yang bukan kader. Padahal sesungguhnya, harus sebanyak mungkin kader muhammadiyah yang menguasai posisi penting dan strategis di seuruh lingkungan struktur kelembagaan Persyarikatan, termasuk di amal usaha, dengan catatan bahwa para kader itu sendiri dimobilisasi agar memiliki kualitas yang standar bahkan unggul.

Transformasi kader ke struktur kelembagaan Persyarikatan tidak terlepas dari proses penyiapan dan keberadaan kader itu sendiri. Jika kader Muhammadiyah khususnya yang berasal dari AMM memiliki kunggulan standar, maka dengan sendirinya akan berbanding lurus dengan proses transformasi kader di kepemimpinan maupun amal usaha Muhammadiyah. Sebaliknya ,tidak mungkin transformasi kader itu berlangsung sukses manakala petensi dan keberadaan kader Muhammadiyah sendiri dibawah standar, baik kuantitas lebih-lebih kualitas.

Maka, sejak saat ini institusi-institusi AMM dan kelembagaan lainnya di tubuh persyarikatan –dibawah koordinasi MPK-SDI– harus melakukan usaha mobilisasi potensial secara tersistem dan serius untuk kepentingan transformasi kader tersebut. Berbagai langkah dan jaringan kerja harus ditempuh secara optimal. Manakala hal itu tidak dilakukan pada periode ini maka masalah dan tantangan yang yang dihadapi baik dalam hal kaderisas maupun transformasi kader akan semakin berat. Dua sasaran perlu difokuskan, yaitu (a)penyiapan kader kepemimpinan dilingkungan Persyarikatan, dan (b)penyiapan kader amal usaha dari AMM secara terprogram. Dua agenda tersebut harus dibicarakan dan ditindak lanjuti secara sungguh-sungguh.

Transformasi kader disamping terkait dengan penyiapan potensi kader, pada saat yang sama harus disertai dengan adanya Political Will dari seluruh lingkup kepemimpinan Muhammadiyah baik di persyarikatan maupun di lingkungan amal usaha Muhammadiyah. Bahwa masa depan Muhammadiyah tergantung pada kadernya yang harus memikul amanat dengan berbagai daya dukung yang optimal. I’tikad politik yang serius itu harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan organisasi secara sistemik, bukan sekedar kebaikan orang perorang yang kebetulan sedang memimpin baik di kepemimpinan Persyarikatan maupun dilingkungan amal usaha Muhammadiyah. Kepentingan transformasi kader tersebut juga bukan dianggap sebagai beban tetapi melekat sebagai kewajiban kepemimpinan dan organisasi. Namun, sering proses kearah penciptaan I’tikad politik itu tidaklah mudah dan dan datang dengan sendirinya, karena itu harus selalu didorong dan dikritisi oleh seluruh komponn yang ada dilingkungan Muhammadiyah. Bahwa siapapun yang diberi amanat memimpin Persyarikatan dan amal usahanya, memiliki amanat dan kewajiban yang melekat untuk membuka dan menjalankan transformasi kader.

Khusus dikalangan Organisasi Otonom AMM sendiri, yang dibutuhkan saat ini ialah melakukan berbagai usaha serius untuk penyiapan kader-kader tyang memiliki standar bagi kepentingan Muhammadiyah. Diperlukan pula keteladanan dan bukti konkret dari para kader dan elit AMM untuk menunjukkan diri bahwa mereka memang pantas sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah. Slogan tersebut bukan suatu klise, tetapi sebagai suatu komitmen kaderisasi bagi kelangsungan Muhammadiyah. Disinilah pentingnya revitalisasi ditubuh AMM sebagai basis penyiapan diri selain itu tidak kalah pentingnya membangun kesadaran dan solidaritas kolektif yang lebih solid, bukan berjalan sendiri-sendiri dengan saling menegaskan hanya karena ingin serba bertindak “rasional-obyektif”sebagaimana “watak” orang Muhammadiyah.

Beberapa model dapat dikembangkan dalam proses transformasi kader ditubuh Persyarikatan termasuk di amal usaha yaitu antara lain : (a) model otoritas, yaitu penempatan kader secara legal-institusional berdasarkan kebijakan organisasi secara tersistem, (b) model penokohan yaitu secara berproses menaikkan reputasi keder sehingga memperoleh percepatan dalam menempati posisi dan peran penting di struktur organisasi, (c) model pelibatan aktifitas, yaitu menempatkan kader dalam berbagai kegiatan dan jalur kelembagaan sehingga secara berproses menjadi lebih siap dalam menempati posisi tertentu, (d) model informal, yaitu melibatkan kader melalui “dzawil qurba” yang tentu harus terkait dengan sistem kelembagaan.

Kini dan kedepan perlu dikembangkan cara pandang yang positif dari segenap kalangan di dalam Persyarikatan, termasuk dilingkungan amal usaha Muhammadiyah. Bahwa sejatinya gerakan Muhammadiyah, tidak kecuali amal usahanya, memerlukan orientasi misi dan dikelola oleh mereka yang yang menghayati dan memahami misi Muhammadiyah, juga yang benar-benar memliki komitmen yang tinggi untuk mewujudkan tujuan Muhammadiyah. Guna kepentingan mengemban misi utama dan strategis Muhammadiyah seperti itulah maka mau tidak mau diperlukan kader Muhammadiyah. Kader Muhammadiyah tidak hanya untuk mengurus organisasi, tetapi juga untuk berdakwah, memimpin Persyarikatan, termasuk masuk kea amal usaha Muhammadiyah.

Sudah barang tentu bahwa para kader Muhammadiyah yang diproyeksikan keseluruh lini Persyarikatan itu harus berbekel kemampuan-kemampuan yang standar dan berkualitas, selain bermodal integritas dan komitmen untuk mengemban misi Persyarikatan. Kenyataannya, kini makin banyak kader Muhammadiyah yang memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Memang kadang muncul pencitraan yang negatif tentang kader Muhammadiyah di amal usaha, seolah mereka masuk dengan bebas hambatan, padahal kenyataanya mereka pun berjuang dan bekerja secara obyektif. Jika berpikir secara negatif, tidak sedikit pula mereka yang diluar kader Muhammadiyah, dalam prakteknya tidak memiliki keunggulan dan hanya memiliki kemampuan biasa-biasa saja, selain sekedar kemampuan formal.

Maka kini yang dituntut ialah pandangan yang positif sekaligus komitmen politik yang kuat dari pimpinan diseluruh lini Persyarikatan, tentang penting dan strategisnya kader Muhammadiyah untuk mengemban misi perjuangan mewujudkan tujuan Muhammadiyah, yakni mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Proses transformasi kader Muhammadiyah dapat diletakkan dalam usaha mengemban misi mencapai tujuan muhammadiyah sebagaimana yang dicita-citakan itu.

KIAT-KIAT AGAR AIB & KEKURANGANMU TIDAK TERSEBAR DAN MELEBAR KEMANA MANA


KIAT-KIAT AGAR AIB & KEKURANGANMU TIDAK TERSEBAR DAN MELEBAR KEMANA MANA

 


Masalah aib sering menjadi tema pergaulan kita sehari-hari, yang tak henti diperbincangkan sebagai bentuk fitnah atau provokasi terhadap orang lain, di samping usaha menimbulkan konflik dalam sebuah pergaulan antar sesama muslim. Intinya membicarakan aib seseorang itu sama saja dengan usaha membongkar rahasia orang lain yang dianggap penting bagi mereka dalam rangka menghancurkan orang lain. Bagaimana pandangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah melihat aib sebagai bentuk sebuah kejahatan yang tidak terampuni Kalau tidak ada maaf dari mereka yang dibongkar aibnya.

Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma berkata:

كان بالمدينة أقوام لهم عيوب فسكتوا عن عيوب الناس فأسكت الله الناس عنهم عيوبهم فماتوا ولا عيوب لهم


"Dahulu di Madinah terdapat suatu kaum yang memiliki banyak aib, mereka diam (tidak membicarakan) aib-aib manusia. Maka Allah menjadikan manusia diam terhadap aib mereka. Kemudian mereka mati dalam keadaan tidak memiliki aib (yang diketahui)".
[Al-Firdaus bi Ma'tsur Al-Khitab No. 4830]

Al-Imam Malik bin Anas (TABI'UT TABI'IN) rahimahullah berkata:

ادركت اقواما كانت لهم عيوب، فسكتوا عن عيوب الناس فسكت الناس عن عيوبهم، وادركت اقواما، لم تكن لهم عيوب، فتكلموا في الناس، فأحدث الناس لهم عيوبا

"Aku mendapati suatu kaum yang dahulu mereka memiliki aib dan kekurangan. Mereka diam (tidak membicarakan) aib-aib manusia, maka manusia pun diam terhadap aib-aib mereka.

Aku juga mendapati suatu kaum yang dahulu tidak memiliki aib dan kekurangan, kemudian mereka membicarakan (aib) manusia. Maka Allah mendatangkan aib bagi mereka"
[Bada'ius Salik fi Thaba'i Al-Malik, 1/285]

Syadzan Al-Madani rahimahullah berkata:

رأيت أقواما من الناس لهم عيوب فسكتوا عن عيوب الناس فستر الله عيوبهم وزالت عنهم تلك العيوب ورأيت أقواما لم تكن لهم عيوب اشتغلوا بعيوب الناس فصارت لهم عيوب

"Aku melihat suatu kaum dari manusia yang memiliki aib-aib, kemudian mereka diam (tidak membicarakan) aib manusia, maka Allah menutup aib dan kekurangan mereka. Aib tersebut senantiasa ada pada mereka.

Aku juga melihat suatu kaum yang tidak nampak memiliki aib dan kekurangan, kemudian mereka sibuk membicarakan aib manusia, maka nampaklah aib-aib mereka"
['Uyubun Nafs, 1/13]

Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

من ستر مسلما ستره الله

“Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya.”

[HR. Al-Bukhari No. 2442 dan Muslim No. 2580]

Semoga Bermanfaat ! Baarakallahufiykum.