Buya HAMKA dan
Perbedaan Idul Adha
Mantan Ketua MUI
pertama, Buya HAMKA
Oleh: Bahrul
Ulum
Kasus perbedaan penentuan Idul Adha tidaklah hanya
terjadi saat ini.Kasus ini bahkan pernah terjadi di jaman Ketua MUI pertama
Indonesia, Buya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (HAMKA).
Kala itu, keputusan Departemen Agama RI., Hari Raya
Idul Adha 1395 jatuh pada hari Sabtu 13 Desember 1975. Keputusan itu
dikeluarkan setelah Departemen Agama menerima laporan dari ahli-ahli hisab dan
kesaksian orang-orang yang mengadakan ru’yah bil fi’li (melihat hilal dengan
perbuatan). Terdapat kesamaan hasil Hisab dengan hasi Ru’yah, bahwa akhir
Zulqa’idah jatuh pada hari Rabu sore 3 Desember 1975.
Tiba-tiba pada hari Senin tanggal 8 Desember 1975,
Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta menyiarkan berita di media-memdia
Jakarta bahwa, Wuquf tahun itu jatuh pada hari Kamis tanggal 11 Desember 1975,
sehingga orang-orang di Makkah mengerjakan Idul Adha hari Jumat 12 Desember
1975.
Rabithah ‘Alam Islamiy di Makkah bahkan mengirim
telegram epada Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat di Jakarta,
menyatakan tentang wuquf hari Kamis itu, dan bukan pada hari Jumat.
Saat itu banyak tanggapan dan pertanyaan; sebagaian
golongan menganjurkan Hari Raya dilakukan hari Jumat, sebab Wuquf dilakukan
hari Kamis, bukan Jumat. Sementara pihak lain menganjurkan hari Sabtu, 13
Desember 1975 berdasarkan keputusan Menteri Agama berdasarkan pertimbangan dari
Pimpinan Majelis Ulama dan ahli-ahli Hisab dan Ru’yah. Saat itulah ada yang
bertanya pada Buya Hamka, “Sahkah sembahyang Hari Raya hari Sabtu 13
Desember?
Buya Hamka menjawabnya dengan tegas dan elegan soal
perbedaan ini;
“Setelah Prof. Dr. A, Mukti Ali naik menjadi Menteri
Agama, beliau telah mengambil satu kebijaksanaan. Yaitu mendirikan sebuah
Panitia tetap ahli Rukyah dan Hisab. Yang duduk dalam Panitia tersebut
ialah ahli-ahli hisab dari sekalian golongan yang memakai hisab dan golongan
yang mempertahankan rukyah. Supaya setiap tahun diadakan hisab dan rukyah
dan dijadikan di antara keduanya sokong-menyokong (saling mendukung,
red).” (Sumber: http://buyahamka.org/tanya-jawab/mesti-samakah-hari-raya-dengan-di-mekkah/)
Hamka juga menjelaskan soal perbedaan penentuan Idul
Adha Saudi dan Indonesia setelah adanya pengumuman wuquf di Arafah jatuh hari
Kamis 1395 H. Dalam penjelasannya, Hamka tetap memerintahkan umat Islam
(khususnya bagi yang bukan jamaah Haji) mengikuti apa yang telah diputuskan
pemerintah Indonesia. Di bawah ini penjelasan Hamka;
“Wuquf jatuh pada hari Kamis, sehingga sembahyang
Hari Raya ‘Idul Adha di Makkah jatuh pada hari Jum’at. Sedangkan di Indonesia
telah dilakukan ru’yatul hilal bil fi’li; ternyata bahwa akhir Dzulqa’idah
jatuh pada senja hari Rabu 3 Desember 1975.
Oleh karena hasil rukyah yang bersamaan dengan hasil
hisab itu telah pasti bahwa 1 Zulhijjah 1395 jatuh hari Kamis 4 Desember 1975,
maka Departemen Agama pun mengeluarkan maklumatnya, berdasar wewenang yang ada
padanya, bahwa 10 Zulhijjah, hari untuk sembahyang Hari Raya Idul Adha jatuh
pada hari Sabtu 3 Desember 1975.
Dan ini diterima dengan lega oleh kaum
Muslimin. Dan ini telah sesuai dengan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wassallam yang kita salinkan di atas tadi. Yaitu, “Puasa kamu ialah di
hari kamu semua berpuasa. Berbuka kamu ialah di hari kamu semua berbuka dan
Hari Raya Qurban kamu ialah di hari kamu semua berqurban.”
10 Zulhijjah disebut juga “Yaumun Nahr” (Hari
Berqurban). Lantaran itu tidaklah wajib bagi kita meninggalkan maklumat
yang timbul dari wewenang Menteri Agama, yang menyiarkan hasil rukyah dan hisab
yang jelas itu, untuk disamakan dengan Hari Raya Hajji di Makkah, yang menurut
perhitungan hisab dan rukyah mereka, mereka lakukan pada 10 Zulhijjah juga.
Tidaklah berdosa orang yang berhari Raya Adha hari
Sabtu, karena mereka mematuhi maklumat pemerintahnya yang berdasarkan hasil
penyelidikan seksama itu. Dan tidaklah mesti hasil rukyah dan hisab di
Indonesia sama harinya, oleh sebab Wuquf di ‘Arafah Hari Kamis.”
Keterangan Buya Hamka tersebut menyimpulkan;
Pertama; tidaklah wajib negeri yang berjauhan
mengikuti puasa dan berbuka dan Hari Raya Haji, karena mathla’ nya tidak sama.
Kedua, Wuquf di Arafah wajib dituruti oleh jamaah
haji, sesuai dengan keputusan penguasa di negeri itu.
Ketiga, Rasulullah memberi peringatan bahwa
berpuasa dan berbuka dan berkorban menurut orang banyak. Karena
berbeda-beda hari kurang beliau sukai. Namun jika tetap tidak yakin dan
ingin melakukannya juga, sebaiknya dilakukan dengan rahasia, bukan
disiar-siarkan.
PUASA
ARAFAH ADALAH PUASA PADA TANGGAL 9 ZULHIJJAH
I. Merujuk pada Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah No.
01/MLM/I.0/E/2018 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal dan Zulhijah
1439 H, bahwa:
- 1 Zulhijah 1439 H jatuh pada hari Senin Kliwon, 13 Agustus 2018 M.
- Hari Arafah (9 Zulhijah 1439 H) hari Selasa Pon, 21 Agustus 2018 M.
- Idul Adha (10 Zulhijah 1439 H) hari Rabu Wage, 22 Agustus 2018 M.
II. Bagi orang yang tidak sedang melaksanakan haji, disunatkan
untuk melaksanakan puasa pada hari Arafah tanggal 9 Zulhijah dan hari-hari
sejak tanggal 1 hingga tanggal 9 Zulhijah tersebut, berdasarkan dalil,
Dari
Abu Qatadah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw ditanya … … … tentang puasa
hari Arafah, lalu beliau menjawab: [Puasa hari Arafah itu] menghapus dosa-dosa
satu tahun lalu dan satu tahun tersisa …
[HR. Muslim dan Ahmad].
Dari
Hunaidah Ibn Khalid, dari istrinya, dari salah seorang istri Nabi saw
[diriwayatkan bahwa] ia berkata: Adalah Rasulullah saw melakukan puasa pada
sembilan hari bulan Zulhijah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, dan hari
Senin dan Kamis pertama setiap bulan
[HR Abu Dawud, Ahmad, dan al-Baihaqi].
III. Pada dasarnya Puasa Arafah, wukuf di Arafah dan tanggal 9
Zulhijah adalah satu kesatuan (terjadinya pada hari yang sama). Namun karena
adanya perbedaan sistem penyusunan kalender hijriyah, maka terjadi pula
perbedaan penentuan jatuhnya Hari Arafah tersebut.
IV. Perbedaan tersebut hanya dapat diselesaikan dengan Kalender
Hijriyah Global. Dalam kondisi ketiadaan Kalender Hijriyah Global, perbedaan
penentuan awal bulan hijriyah akan selalu terjadi. Dalam situasi ini,
Muhammadiyah tetap konsisten dengan penggunaan metode hisab hakiki dengan
kriteria wujudul hilal untuk menentuan awal bulan kamariyah. Jadi, puasa
Arafah bagi warga Muhammadiyah yang ada di Indonesia adalah pada Selasa Pon,
21 Agustus 2018 M.
V. Muhammadiyah tengah berupaya untuk merealisasikan
terwujudnya Kalender Hijriyah Global. Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang
diselenggarakan pada bulan Agustus tahun 2015 yang lalu turut merekomendasikan
tentang perlunya kehadiran Kalender Hijriyah Global. (Sumber: https://tarjih.or.id/puasa-arafah-adalah-puasa-pada-tanggal-9-zulhijjah/
)
Editor: Aya S Miza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar