Selasa, 24 Oktober 2017

FIQIH NAWAZIL DALAM IBADAH



FIQIH NAWAZIL DALAM IBADAH[1]

Oleh : Muhammad Ridho Nur,Lc, M.A

 A. Pendahuluan

Dalam literatur  keilmuan islam (baca syariah), ada empat ilmu yang harus diketahui oleh seorang calon mujtahid, yang pertama qawaid ushuliyah, kedua  qawaid fiqhiyyah  ketiga , qawaid tahdist dan yang ke-empat qawaid maqashidiyyah. Keempat cabang ilmu ini merupakan  ilmu yang berbicara tentang methoda (thuruq al-istinbath). Hasil yang akan ingin dicapai sangat ditentukan metode yang digunakan , Keempat disiplin ilmu ini sekaligus membantah sebahagian pendapat yang mengatakan dalam kajian leimuwan Islam miskin dengan metodologi,.
                Bahkan seorang calon mujtahid bukan sekedar mengathui metodologi secara umum, akan tetapi dituntut mengetahui secara khusus dan terperinci, Sebagai contoh Ushul fiqih sebagai salah satu ilmu yang terpenting diketahui oleh seorang mujtahid,dalam materi kajian ushul fiqih ada sebuah  bab yang sangat rumit   yaitu kaifiyyah dalalah al-adillah ala al-ahkam.[2]
                Adapun Ilmu yang secara khusus membahas masalah-masalah kekinian atau apa yang disebut dengan fiqhu al-nawazil, atau disebut juga dengan istilah al-qadhaya al-mu’ashirah, bukan hanya sekedar memaparkan materi masalah kekinian (sardu al-ma’lumat)  seperti yang sering dipelajari  , akan tetapi dalam kajian fiqih al-nawazil ada ilmunya atau  metode yang sangat penting yang berfungsi  mengahantarkan kepada fiqihnya, atau  apa yang disebut dengan Manhaj  istinbath ahkam al-nawazil. Kajian  Manhaj  istinbath ahkam al-nawazil  sangat  beririsan dengan kajian ilmu  ushul fiqih. yang sarat dengan Metodologi  yang  merupakan menu utama dan  pesanan  khusus bagi pencinta ilmu-ilmu syari’ah.
                Salah satu unsur  yang terpenting dalam kajian fiqih nawazil adalah membahasakan tema-tema fiqih  atau  pembahasan yang terdapat pada fiqih klasik dengan bahasa hari ini sehingga kajian fiqih merupakan sesutu yang  disenangi  dan diminati  karena  dapat  menjawab kebutuhan  masyarakat, Sekaligus dapat menunjukkan  bahwa Islam  sangat layak dan tepat mengusung  peradaban baru  kepada masyarakat dunia hari ini karena salah satu khosoisul Islam sejalan dengan perkembangan zaman  dan kondisi (sholihun likulli zamanin wa makanin).
Kajian fiqih Islam terkadang terkesan kurang menarik bagi masyarakat tertentu  karena ketidak mampuan kita membahasakan bahasa-bahasa fiqih klasik dengan bahasa hari ini . sebagai contoh sewaktu menterjemahkan kitab al-libas wa al-zinah  diterjemahkan dengan bahasa yang kurang menarik dengan terjemahan kitab pakaian dan perhiasan mengapa tidak  diterjemahkan dengan bahasa hari ini dengan terjemahan bab busana dan kosmetika, jual beli najsy  hal  berdampak kajian fiqih dipasenteren lebih menekankan sisi fiqih ibadah ritual saja  dan tidak memnadapat perhatian kajian fiqih muamalah lebih mendalam.
                Dalam  pengantiar Fiqih nawazil ada beberapa pembahasan yang terkait  sebagai berikut .
1.      Pengertian Fiqih nawazil
Nawazil dikalangan Ulama terdahulu adalaha
الشديدة من شدائد الدهر تنـزل بالناس
Menurut Ulama hari ini adalah :
معرفة الحوادث التي تحتاج إلى حكم شرعي
2.      Beberapa istilah yang terkait dengan fiqih Nawazil
1.      الواقعات  seperti buku واقعات المفتين oleh Abul Qodir Afandi
2.      الفتاوى
3.      القضايا المعاصرة
4.      القضايا المستجدة

3.      Ada beberapa disiplin ilmu yang berkaitan dengan fiqih Nawazil :
1.      فقه الواقع
2.      فقه المقاصد
3.      فقه الأولويّات
4.      فقه الموازنات
   
      4.Bentuk-Bentuk Fiqih  Nawa
                Ada beberapa contoh fiqih nawazil dalam ibadah :
1.      apa hukumnya air yang sudah tercemar oleh najis seperti air cucian dan kemudian didaur ulang  dengan teknologi sehingga air kembali bersih apakah bisa  dipergunakan untuk mandi atau berwhudu’. Jumhur Ulama berpendapat apabila ilmu dan teknologi mampu menjadikan air menjadi bersih  (warna, baud an rasa) maka air tersebut menjadi bersih  sejalan dengan kaidah :
الاصــل في الاشيــــاء الطهـــــــــــــــارة           
              Yang menjadi dalil dari kaidah di atas adalah sebagai berikut :
1.      Firman Allah dalam surat al-Jatsiyah :13

dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.

2.      Barapa jarak dan lama seseorang boleh menqashar shalat
Ulama berbeda pendapat bolehkan seseorang mengqoshar shalat apabila perjalananya kurang dari 83 km, berapa lama seseorang  boleh mengqoshar shalat  apakah boleh lebih dari tiga  hari. Bahakan ada yang bertanya pakah hari ini seseorang yang membawa kenadaraan pribadi boleh mengqoshar shalat ? Pada dasarnya tidak ada nas (baik al-Quran dan Hadist ) secara tegas menjelaskan berapa jarak dan lama seseorang boleh mengqoshar shalat.Maka pendapat yang kuat adalah dikembalikan kepada uruf terkait dengan jarak dan batas waktu seseorang melakukan qosar shalat.
3.      Apakah boleh zakat dipergunakan untuk pembangunan mesjid
Pendapat ini muncul apakah pembangunan mesjid termasuk asnaf yang delapan yaitu fisabilillah pendapat yang kuat adalah bahwa dana zakat tidak bisa diberikan untuk pembangunan mesjid karena yang dimaksud dengan fi sabilillah adalah seseorang yang berjuang dimedan perang dengan sukarela dan hal-hal yang terkait dengan persiapan jihad.dengan demikian yang dimaksud fi sabillah adalah arti khusus bukan arti umum.
4.      Apakah amil zakat itu merupakan  wakil dari muzakki atau dari mustahiq, permaslahan ini muncul apabila seseorang sudah menyerahkan zakatnya kepada amil - seperti zakat fitrah pada bulan Ramadhan- dan amil menyerahkan kepada faqir miskin setelah lebaran permasalahannya adalah apakah zakat fitrah orang tersebut sudah sah atau belum.
5.      Nikah wisata (nikah misyar, nikahul lail ) apakah dibolehkan dalam syariah Islam? Apakah Nikah misyar sama dengan nikah kontrak

5.      Secara umum   untuk mengetahui  fiqih nawazil . ada beberapa hal yang dapat  dilakukan oleh pencinta dan pemerhati hukum Islam  sebagai berikut :

Thuruq al-ta’arruf ala ahkam al-nawazil (cara mengetahui hukum fikih kontemporer)
Imam al-Ghazali melihat bahwa sebuah  ijtihad dapat dikatakan benar dan bermanfaat  apabila  ijtihad dilakukan oleh ahlinya dan mempergunakan metode yang benar, sebagaimana ditegaskan oleh al-Ghazali dalam karyanya al-mushtasfa dalam bidang  Ushul Fiqih :
فكل اجتهـــاد تــام ادا صــدر من أهلـــه وصــادف محـــله فثمـــرتـــه حـــق وصـــواب [3]
Sesuatu dapat dikatakan  ijtihad sempurna apabila ijtihad dari ahlinyua dan sesuai objeknya maka hasilnya menjadi benar.
                                Salah satu prinsif yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam mengkllasifikasi dalil adalah menenmpatkan dalil berdasarkan aulawiyyatu al-adillah ; mana dalil yang harus ditamakan dan mana dalil yang harus dinomor duakan. Artinya seorang bukan sekedar mengetahui dalil atau alat yang akan dipergunakan sebagai landasan hukum sebuah masalah , akan tetapi seorang mujtahid dituntut untuk mengetahui tartib al-adillah . dalam kenyataan bisa didapatkan seoranag melandasi pendapatnya dengan qawa’id fiqhiyyah sebagai salah qawa’id istinbath. Secara dalil pendapat tersebut sudah  bisa dikatakan benar , akan tetapi kesalahan terjadi  dari sisi  aulawiyyah al-adillah.Bahkan tidak berlebihan apabila dikatan bahwa kefaqihan seseorang salah satunya ditentukan kemampuan  menentukan  skala dan prioritas dalam mempergunakan dalil.
                                Dr Musfir al-Qahthaniy menegaskan  tartib al-adillah  yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid sebagai berikut :
1.       Kembali kepada Al-adillah al-syariyyah

2.      Melihat al-qawa’id dan  al-dhawabith al-fiqhiyyah
3.      Melakukan pendekatan al-takhrij al-fiqhiy
4.      Memperhatika  maqashid  al-Syari’ah  dan  kulliyat al-syari’ah.[4]

Adapun yang menjadi bahasan  utama  yang terkait degan  Al-adillah al-syariyyah sekaligus sebagai langkah dalam  merumuskan  hukum  terhadap  masalah yang terjadi adalah sebagai berikut :
1.      Merujuk kepada al-adillah al-muttafaq alai (al-Quran, al-Sunnah dan al-Ijma’)
2.      Melihat dalil-dalil al-mukhtalaf ( ijma’ al-khlafa al-rasyidin,ijma’ ahli al-Madinah, Istihsan, syar’u man qablana, saddu al-Zara’I’, al-Istishab, al-Istidlal, maslahah al-mursalah dan  al-‘uruf .
3.      Dhawabith (criteria) sewaktu merujuk kepada dalil.[5]
                Langkah yang pertama yang harus dilakukan oleh sesorang mujtahid dalam mengistinbathkan hukum adalah kembali dalil-dali yang disepekati oleh seluruh Ulama. Yaitu al-Quran selanjutnya al-Sunnah dan yang ketiga adalah Ijma’ dan qiyas. Merujuk kepada nas-nas al-Quran merupakan  langkah awal dan sebuah keharusan bagi mujtahid dalam mengistinbathkan hukum. Apabila tidak ditemukan didalam al-Quran seorang mujtahid melakukan langkah kedua dengan merujuk kepada nas-nas yang terdapat dalam hadist, apabila tidak ditemukan jawabannya dalam hadist mujtahid melakukan langkah berikut yaitu ijma’ apakah sudah ada ijma’ Ulama terkait masalah yang mau diputuskan, kalau tidak ditemukan Ulama ijtihad atau qiyas, demikian Ulama menyebutkan langkah-langkah yang  harus dilakukan oleh seorang mujtahid.[6]
                Banyak  ayat yang terdapat dalam al-Quran dan Hadist Nabi  yang menjadi alasan keharusan tartib al-adillah dalam mengistinbatkan hukum. Firman Allah surat al-Nisa’:59
يــأيها الدين أمنــــوا أطيعــــوا اللــــه وأطيعـــوا الرســـول وأولي الأمـــر منكـــم فان تنـــازعتـــم في شيئ فردوا الى اللــــه والرســولان كنتــم تـــؤمنون باللـــه واليــــــوم الأخــــر
 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
                Hadist Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sewaktu Rasulullah saw melakukan haji Wada’
يــأيها الناس اني تركت فيكـــــم ما ان نغصمتم بــــه فلن تضـــلوا بـــه أبدا كتاب اللــــه وسنـــــة وســـولــه La(الترمدي)[7]
Wahai Orang banyak sesungguhnya aku telah meninggalkan kepadamu jika kamu berpegang teguh kamu tidak akan sesat buat selama-lamnya a-Quran dan Sunnah Rasul.
B.         Latar belakang  munculnya fiqih nawazil
Adapun latar belakang munculnya kajian fiqih nawazil  disebabkan karena dua hal :
1.      Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Islam agama rahmatallilamin dan shalih limakanin wa zamanin harus mampu memnjawab dan memberikan solusi yang terjadi ditangah masyarakat. Perkembangna ilmu pengetahuan menuntut ada kajaian baru baru dilapangan fiiqh mualamah, fiqih ibadah danfiiqh kedokteran, begitu juga dalam dunia makanan. Perkembangan ilmu penegetahuan  dan kemajuan teknologi menuntut mujtahid untuk mengetahui dan memberikan jawaban .
2.      Tidak mengamalkan nilai-nilai syariah dalam kehidupan
Mengabaikan dan tidak mengamalkan nilai syariat salah satu faktor yang mendasar munculnya masalah-masalah baru ditengah masyarakat apa yang dikenal al-tawassu’ fi almubahat (berlebihan dalam hal-hal yang mubah) dan tasabbuh bi alkuffar (mengikuti gaya orang kafir). Ini yang yang dikatakan oleh Umar bin abdul aziz
تحــدث للنــــاس أقضيــــة بقــدر ماأحـــدثــــــوا مـــن الفجــــــور[8]
Munculnya permaslahan ditengah masyarakat sejalan dengan penyimpangan (fujur)yang mereka lakukan .

C.     Penutup
Dengan demikian fiqih nawazil dapat disimpulkan bahwa fiqih nawazil selain membahas masalah yang mucul yang bersifat kekinian akan tetapi juga bahwa fiqih nawazil menuntut kepada calon ulama dan mujtahid kemampuan membahsakan fiqih klasik dengan bahasa hari ini.wallahu a’lamu bisshowab



[1] Disampaikan pada pelatihan Kader Ulama Majlis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat pada tanggal 7 Des 2014 di DIklat Dinas Sosia Sumatra Barat
[2] Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar,al-wadhih fdi al-ushul al-fihqhi li al-mubtadiin,(Yordan:Dar al-Nafais 2004)cet.ke-2 h.12
[3] Abu Hamid al-Ghazaliy, al-Mustashfa ( Bairut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1322)cet.ke-1 juz-2h.355
[4] Musfir bin Ali bin Muhammad al-Qahthaniy,Manhaj Istinbath Ahkam al-Nawazil al-Fiqhiyyah al-Mu’ashrah,( Jeddah: Dar al-Andalus 2003) cet.ke-1 h.376
[5] Ibid, lihat juga buku adillah al-tasyri’al-mukhtalaf fi al-ihtijaj biha Dr Abdu al-Aziz al-Rabi’ah .
[6] Muhammad Idris al-Syafi’I,al-Risalah (Bairut : Dar al-Kutub al-ilmiyyah 1413)cet.ke-1 h.595
[7] Muhammad bin Idris al-Turmizi , Sunan al-Turmizi (Bairut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1415) cet.ke-1 h.232
[8] Muhammad bin Husein al-Jizany Fiqghu al-nawazil.Dar ibnu al-jauzi th 2006 juz 1 h.32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar