REFORMULASI USHUL FIQH DALAM
DINAMIKA
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
KONTEMPORER
بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh: Prof. Dr. Amir Syarifudin
Pendahuluan
Walau dalam
kenyataannya ilmu ushul fiqh datang belakangan sesudah disusunnya fiqh, namun
ia adalah – sesuai dengan namanya – dasar bagi fiqh. Sebagai dasar ia berada
lebih dahulu dan kepadanyalah para ulama fiqh berpedoman waktu merumuskan
fiqhnya. Kemunculannya belakangan itu hanya dalam bentuknya yang formal
sistematis, baik ia disusun untuk membimbing para ulama fiqh dalam mendalami
dan mengembangkan fiqh sebagaimana yang
berlaku dalam aliran al-mutakllimun/ Syafiiyah, maupun untuk menjustifikasi
furu’ yang sudah ada sebagaimana yang berlaku dalam aliran al-fuqaha/Hanafiyah.
Dalam keadaan dan bentuk apapun, ushul fiqh itu digunakan sebagai pedoman atau
aturan main bagi orang yang akan merumuskan fiqh.
Terlepas dari
persoalan siapa sebenarnya yang menyusun pertama ushul fiqh itu, namun diakui
bersama, bahwa kitab al-Risalah yang disusun oleh Imam al-Syafi’iy diakui
sebagai kitab ushul fiqh yang pertama dalam bentuknya yang formal sistematis
itu. Nool J.Coulson menganggap Imam al-Syafi’iy sebagai arsitek dari Ushul fiqh
itu.
Baik dalam bentuknya
yang telah sistematis maupun dalam bentuk yang belum tersusun, ushul fiqh yang
telah dirumuskan oleh imam mujtahid sekitar abad ke dua dan ketiga Hijriyah itu
telah berhasil mengantarkan murid dan pengikut imam mujtahid mengembangkan dan
menyem-purnakan pendapat dan hasil ijtihad imam masing-masing dan membentuk
mazhab tersendiri. Belum dirasakan waktu itu kesulitan dalam memahami dan
mengam-bangkannya.
Ushul fiqh yang kita
hadapi sekarang ini, yang dipelajari dan diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan, pada dasarnya adalah dalam formulasinya semula, sedangkan kahidupan
manusia sudah mengalami perubahan yang begitu besar. Pada mulanya ushul fiqh
itu berhasil mendorong kreatifitas befikir dalam bidang hukum, karena para
ulama menempatkan ushul fiqh itu sebagai suatu proses; namun pada waktu ini
belajar ushul fiqh tidak lebih dari belajar sejarah perumusan hukum fiqh,
karena kita waktu ini telah menempatkan ushul fiqh itu sebagai suatu produk
Fiqh yang diharapkan mengatur kehidupan umat
Islam waktu ini disusun lebih dari seribu tahun yang lalu. Oleh karena itu
sudah bagitu banyak aturannya yang sulit untuk dipahami apalagi untuk
dijalankan; hingga suara-suara yang menuntutnya untuk direformulasi tidak
mungkin lagi dibendung.
Akhir-akhir ini fiqh atau Hukum Islam banyak
mendapat tantangan dari berbagai pihak kelompok muslim. Tantangan itu
diantaranya tudingan bahwa Hukum Islam itu bersifat patriarki dan sangat
menguntungkan laki-laki bahkan di beberapa bagiannya sangat merugikan hak
perempuan, seperti tidak dapat mejadi saksi, wali dan beberapa wewenang lain
yang didominasi laki-laki, seperti imam, baik untuk shalat yang dihadiri oleh
laki-laki atau imam dalam kenegaraan. Kelompok feminis muslim ingin
melampiaskan kehendaknya itu dalam bentuk mengajukan Counter Legal Draft
Undang-Undang Perkawinan, yang di antara isinya adalah mengharamkan poligami,
mewajibkan iddah bagi laki-laki yang bercerai dari isterinya dan menyamakan
perempuan dengan laki-laki dalam hak kewarisan.
Tantangan
lain muncul dari pemikir Islam liberal yang tidak mau lagi memahami Hukum Islam
itu menurut apa yang telah dilakukan oleh ulama sebelumnya dengan menggunakan
ushul fiqh klasik. Mereka tidak mau lagi terikat dengan kaidah-kaidah Ushul
yang lama yang tidak membolehkan
menggunakan ijtihad memasuki
ruang yang qath’iy. Bahkan lebih jauh
sudah banyak yang menyangsikan keotentikan sebagian ayat-ayat al-Quran yang
selama ini kita tempatkan sebagai sesuatu yang sakral, sehingga tidak lagi
ditem-patkannya sebagai dasar hukum.
Issu HAM dan kebebasan sering dibenturkan
dengan ajaran fiqh sehingga dengan dua issu itu mereka ingin menelanjangi fiqh
dan mengganggap fiqh itu terutama bagian
hudud dan qisas sebagai hukum barbar bertentangan dengan hak asasi manusia;
sedangkan beberapa aturan dalam fiqh seperti keharusan menutup aurat dan
larangan seks bebas sebagai membatasi kebebasan individu seseorang.
Semua kelompok yang
tidak puas lagi kepada fiqh lama itu mengemukakan argumennya dengan menggunakan
panafsiran al-Quran tidak lagi menurut metoda yang sudah digariskan dalam ushul
fiqh yang lama. Kelompok-kelompok ini tidak lagi berpedoman kepada
penafsir-penafsir yang mu’tabar tetapi menggunakan dan mengagungkan penggunaan
tafsir dari penafsir-penafsir dadakan semacam Syahrur, Arkoun dan lainnya.
Menghadapi kenyataan yang tidak mungkin
dinafikan itu kita perlu mengakomodasi pemikiran-pemikiran fiqh yang timbul
dengan cara memberikan rambu-rambu yang layak untuk mereka agar aspirasi mereka
dapat tersalur, namun tidak kebablasan
dalam kebebasan berfikir mereka.
Rambu-rambu yang dimaksud adalah Ushul Fiqh dalam bentuknya yang baru
Reformulasi fiqh tidak dapat begitu saja
dilaksanakan tanpa mereformulasi ushul fiqh, karena ia merupakan biang dari
fiqh itu sendiri. Oleh karena itu perlu
dikembangkan wacana untuk meninjau ulang ushul fiqh yang sudah ada selama ini
dan berfikir untuk merumuskannya dalam bentuknya yang baru sehingga keinginan
kita untuk membumikan fiqh itu di kalangan umat Islam dapat berhasil.
Ada dua hal besar yang dibicarakan dalam ushul
fiqh. Pertama tentang penggunaan dalil syara’
dan kedua tentang pemahaman atas dalil syara’dalam hal ini adalah
al-Quran dan sunnah Nabi.. Dalam penggunaan dalil al-Quran, ayat mana saja yang
berkekuatan sebagai dalil. Dalam sunnah Nabi, sunnah dalam kualitas mana yang
dapat dijadikan dalil. Dalam ijma, ijma mana dan dalam kualitas apa dapat
menjadi dalil, demikian pula pada qiyas, qiyas macam apa dan dalam kriteraia
bagaimana yang mempunyai kekuatan hujjah. Di sampaing empat dalil pokok
tersebut terdapat pula beberapa dalil alternatif lainnya.
Dalam memahami dalil al-Quran dan sunnah
Nabi, bagaimana cara memahaminya, apakah secara tekstual, secara kontekstual
terbatas atau kontekstual bebas. Hanya memahami apa yang tersurat saja, atau
juga yang tersirat, atau bahkan juga yang tersuruk. Bila dimunculkan format
baru dari Usul Fiqh tentu tidak jauh dari dua pola tersebut di atas.
Terdapatnya perbedaan pendapat di antara para
mujtahid terahulu yang menghasilkan mazhab-mazhab fiqh disebabkan oleh perbedaan dalam dua pola pokok di atas. Bila ada kelompok-kelompok
tertentu mengemukakan pendapatnya tentang hukum atau fiqh akan dapat diketahui
pola ushul fiqh macam apa yang diikutinya. Pendapat baru yang dikatakan
merupakan tentangan terhadap fiqh lama itu menurut mereka juga berdasarkan
al-Quran, sunnah, ijma dan qiyas. Namun cara pengggunaannya dan demikian pula
cara pemahamannya tentu tidak sama dengan cara-cara yang digunakan oleh ulama
sebelumnya.
Menghadapi kemungkinan reformulasi terhadap Ushul Fiqh menurut yang
dikehendaki banyak pihak itu tentu kita harus
melihat kembali secara kritis
formulasi dari ushul fiqh yang lama itu menurut dua pola fikir
disebutkan di atas. Namun dalam
kesempatan terbatas itu tulisan ini hanya menyoroti beberapa bagian saja dari
padanya yang berada dalam pola penggunaan dalil syara.
Analisis
kritis terhadap beberapa formulasi
ushul fiqh
Bila diperhatikan secara saksama ushul fiqh menurut yang dirumuskan dalam kitab-kitab yang ditulis dalam mazhab apapun, dihubungkan pula kepada cara fikir kritis waktu ini, ditemukan banyak sekali yang perlu dikritisi karena ditemukan padanya hal-hal yang sudah sulit untuk dipahami dan dilaksanakan. Hal demikian terdapat dalam segala bidangnya. Sebagai contoh di sini dikemukakan beberapa masalah
1.
Dalam pristilahan
Dalam
hampir semua kitab ushul fiqh pada waktu menjelaskan pengetian hukum syara’
selalau dibedakan hukum syara’ menurut ulama fiqh dan menurut ulama ushul fiqh.
Pada waktu memberikan definisi hukum syara’ menurut ulama fiqh yaitu: الأثر الذى يقتضيه خطاب
الشارع dan dihubungkan dengan firman Allah dalam
al-Quran sebagai dalil syara’, tidak begitu sulit untuk memahaminya dan dapat
dijelaskan mana yang “hukum syara’” dan mana pula yang “dalil hukum syara’”.
Namun dalam memberikan definisi hukum syara’ menurut ulama ushul fiqh, menurut
yang biasa dirumuskan dalam kitab-kitab kontemporer pada umumnya adalah:
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا timbul kesulitan dalam beberapa hal di antaranya:
Pertama: memahami lafaz خطاب الله terutama waktu menghubungkannya dengan dalil hukum syara’. Sebabnya ialah bagi kebanyakan orang, sebagaimana terdapat dalam buku-buku dan kitab-kitab Usul fiqh, “khitab Allah” itu dipahami sebagai kalam Allah atau titah Allah atau lebih konkrit wahyu Allah yang terdapat dalam al-Quran. Kalau hukum syara’ itu adalah khitab Allah atau al-Quran, bagaimana pula menetapkan al-Quran itu sebagai dalil hukum syara’. Untunglah dalam hal ini sebagian ulama ushul fiqh klasik seperti Ibnu Subki menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan خطاب الله itu adalah كلام الله النفسى الأذلى artinya kalam yang merupakan sifat yang melekat dalam zat Allah yang dengan sendirinya qadim sebagaimana qadimnya zat Allah. Dalam pengetian ini hukum syara’ itu telah ada semenjak dulu-dulunya jauh sebelum datangnya al-Quran. Al-Quran itu sndiri hanyalah untuk memberi petunjuk ( dalil ) bagi adanya khitab Allah yang qadim itu. Dengan demikian terlihat beda antara hukum syara’ dengan dalil hukum syara’. Agaknya kerumitan dalam memahami khithab Allah itu dalam beberapa literatur secara sederhana memahami “huk um syara’” sebagai al-nushush al-muqaddasah atau teks suci yang langsung dari Allah sebagai imbangan dari “hukum fiqh” yang dihasilkan oleh manusia yang berkualitas mujtahid.
Kedua: dalam memahami thalab dan takhyir. Thalab mengandung arti
tunntutan, baik tuntutan mengerjakan yang disebut perintah atau tuntutan
meninggalkan yang disebut larangan. Oleh karena pada keduanya memang ada
tuntutannya maka berhak ia dimasukkan dalam kelompok hukum taklifi karena
memang mengandung beban hukum. Namun memasukkan takhyir atau hukum mubah
ke dalam kelompok hukum taklifi sulit untuk memahaminya, karena
padanya tidak terdapat taklif atau beban hukum, kecuali hanya sekedar numpang
dalam kelompok. Oleh karena itu akan lebih tepat takhyir yang
menimbulkan hukum mubah atau ‘boleh’ itu tidak dikelompokkan kepada
hukum taklifi dan tidak pula pada hukum wadh’iy, tetapi kepadanya
diberikan nama kelomok sendiri. Dengan demikian hukum syara’ itu tidak lagi
terbagi dua secara dikotomis, tetapi menjadi tiga yang terpisah secara
trikotomis. Pemberian nama sendiri kepada hukum mubah itu rasanya sangat sesuai
dengan definisi hukum syara’ itu.
Ketiga:
menyangkut tuntutan atau thalab. Dalam
dalil atau nash syara’ memang ditemukan talab al-fi’l ( perintah ) dan thalab al-tark ( larangan ), tanpa rincian. Dalam
meru-muskannya ke dalam hukum taklifi
para ulama ushul fiqh membagi masing-masingnya kepada dua yaitu perintah yang jazim dan perintah yang tidak jazim; larangan
yang jazim dan larangan yang tidak jazim. Pembedaan jazim dan
tidak jazim tidak ditentukan oleh nash, karena memang dalam nash tidak
ada yang demikian, tetapi hanya melalui qarinah. Para
ulama ushul menempatkan hukum wajib pada perintah yang jazim dan hukum
sunat pada perintah yang tidak jazim. Sampai di sini belum terasa
kesulitan. Namun dalam memberikan istilah pada masing-masingnya, terutama pada
hukum sunnat atau nadab, baru terasa adanya kejanggalan. Ulama ushul
memberi istilah untuk sunnah itu dengan: ما يثاب فاعله و لا يعاقب
تاركه yaitu “diberi pahala yang melaksanakannya dan
tidak berdosa yang meninggalkannya.”. Apakah pantas untuk dikatakan bahwa orang
yang tidak menjalankan perintah Allah “tidak berdosa” atau “tidak apa-apa” atau
“boleh-boleh saja”. Berbuat kebajikan itu dikategorikan sebagai perbuatan
sunnat. Karena termasuk hukum sunnat dan boleh-boleh saja ditinggalkan,
akibatnya lihatlah waktu ini, berbuat kebajikan itu sudah diabaikan. Agaknya
waktu merumuskan istilah nadab itu tidak dirasakan kejanggalan pemahaman
karena muslim waktu itu begitu taat menjalankan suruhan Allah dengan tidak
memisahkan apakah perintah itu berbentuk jazim atau tidak; dinamakan wajib atau nadab.
Demikian
pula keadaannya terhadap larangan yang tidak jazim yang hukumnya
ditetapkan ulama sebagai “makruh”. Dalam seluruh kitab ushul fiqh hukum makruh
itu dita’rifkan dengan: ما يثاب تاركه و لا يعاقب فاعله yaitu
diberi pahala orang yang meninggalkan, namun tidak berdosa orang yang
melakukannya. Apakah patut dikatakan bahwa orang yang melanggar larangan Allah
– tingkat apapun kadar larangan itu – dikatakan tidak berdosa, atau tidak
apa-apa atau boleh-boleh saja?. Akibat yang dirasakan waktu ini adalah orang
tidak peduli lagi dengan apa yang diistilahkan oleh ulama ushul fiqh dengan
makruh. Agaknya dalam hal larangan ini muslim pertama begitu patuh untuk
menjauhinya dengan tidak membedakan jazim atau tidak; dinamakan haram
atau makruh
Supaya
umat Islam ini menghargai perintah dan larangan Allah, melakukan semua yang
disuruh dan menjauhi semua yang dilarang Allah
rasanya perlu ada usaha redefinisi istilah-istilah hukum syara’.
Sebaiknya dikembalikan kepada asalnya yaitu “sesuatu yang disuruh” dan “sesuatu
yang dilarang”
Keempat: dalam
sistematika penyusunan dan pengelom-pokkan hukum wadh’iy hampir semua
penulis ushul fiqh memasukkan hukum ‘azimah dan hukum rukhsah dalam
kelompok ini. Dalam hal ini perlu dipertanyakan apakah tidak sebaiknya kedua
istilah ini dimasukkan dalam hukum taklifi, karena ia berbicara tentang
hukum taklif dan karena di dalamnya jelas termuat beban hukum atau taklif.
Penggunaan dalil syara’
Kita dapat
menerima penempatan 4 dalil syara’ utama dengan urutan: al-Quran, sunnah, ijma’
dan qiyas secara prinsip. Namun kedudukan masing-masing masih perlu dipertanyakan.
Kalau kita merujuk kepada ayat yang mengatakan: إن الحكم الا لله maka harus kita yakini bahwa sumber itu hanya
Allah; dan yang berhak disebut syaari’ atau pencipta hukum itu hanyalah
Allah SWT. Selanjutnya hanya Allah yang dapat disebut dalil syara’ dalam
arti hanya al-Quran yang dapat menuntun kita mengetahui khitab Allah
yang qadim itu. Hanya karena anggapan bahwa pemberitaan al-Quran itu banyak yang tidak jelas,
meskipun dalam al-Quran dinyatakan bahwa al-Quran itu tibyan li kulli syaiin, maka diperlukan
penjelasan dari Nabi. Namun apakah terhadap seluruh ucapan Allah itu perlu
menunggu penjelasan Nabi dan tanpa penjelasan Nabi ayat al-Quran belum bisa
dilak-sanakan?. Apakah penjelasan Nabi itu cukup lengkap untuk menjelaskannya?.
Kukuh dalam sikap ini dapat menjadikan al-Quran itu tidak berdaya.
Dalam
memahami firman Allah dalam surat
al-baqarah ayat 267:
يا أيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الأرض
Dari adanya
firman Allah ini terutama ucapan: ما كسبتم dapat dipahami dengan mudah bahwa Allah
mewajibkan zakat penghasilan atau profesi. Memang ayat ini bersifat umum, namun
sudah dapat dipahami dengan jelas tanpa penjelasan tambahan dari hadis. Namun
karena harus menunggu penjelasan khusus dari hadis, sedangkan hadis khusus
untuk itu tidak ada, maka tetaplah hasil profesi itu tidak terjamah oleh hukum,
padahal sumber zakat yang terbesar waktu ini adalah dari sektor jasa ini. Ada ulama yang mengatakan
bahwa umumnya firman Allah itu telah dijelaskan oleh hadis tentang zakat tijarah.
Pantaskah hadis tentang zakat tijarah yang sangat kontroversi itu dijadikan
pembelenggu keumuman ayat tersebut? Bahkan ulama Zhahiriyah tidak mengakui
kebenaran hadis tersebut. Memang selama
ini ulama berlindung dengan kaidah ushul yang mengatakan: الأصل
فى العبادات التوقيف , namun sering kaidah ini digunakan untuk
membelenggu jalannya ijtihad. Apa yang difikirkan oleh ulama selama ini
tidaklah salah karena orientasi mereka adalah melindungi harta seseorang untuk
tidak mudah dijadikan sasaran zakat tanpa dalil yang meyakinkan. Namun waktu
ini yang sangat diperlukan adalah mengalirnya harta para pengusaha dan
profesional yang melimpah kepada umat yang sangat banyak yang membu-tuhkannya.
Diakui
bersama bahwa fungsi sunnah itu adalah sebagai bayan, sebagaimana banyak
disebutkan dalam al-Quran; namun perlu ditegaskan tingkat bayan yang diberikan
oleh sunnah terhadapal-Quran. Ulama ushul sebelum ini terlihat memberikan
keluasan tanpa batas terhadap sunnah dalam memberikan bayan. Bukan hanya
berbentuk taqrir dan ta`kid (menguatkan), tafsir ( menerangkan )
dan tafshil (menguraikan) saja,
tetapi juga sampai kepada hashr (membatasi ) dan ziyadah (menambah).
Diakui
pula bahwa sunnah Nabi itu bertingkat-tingkat pula kekuatan dan kebenarannya.
Tentu tidak semuanya dapat digunakan menjadi bayan dalam semua seginya itu.
Sekadar untuk taqrir, tafsir dan tafshil rasanya dapat diterima sunnah-sunnah yang
tingkatannya lemah. Tentu tidak demikian keadaannya untuk bayan dalam bentuk hashr
dan ziyadah. Hashr dengan dalil yang tidak kuat dapat berarti
membelenggu syara’ dan ziyadah dengan dalil yang tidak kuat dapat berarti
membuat-buat syara’. Oleh karena itu diperlukan pesyaratan sunnah Nabi untuk
dapat difungsikan sebagai bayan ta`kid, tafsir dan tafshil, berbeda
dengan syarat untuk difungsikan sebagai bayan al-hashr dan bayan ziyadah.
Dalam
literatur ushul fiqh, baik yang klassik maupun kontemporer hampir tidak pernah
ditemukan pemisahan sunnah yang berbentuk wahyu dari Allah dan sunnah sebagai
hasil ijtihad dari Nabi dalam hal kepastian hukum yang dihasilkannya. Kedua
bentuk itu menghasilkan hukum yang tetap dan berlaku sepanjang masa. Dalam hal
sunnah itu adalah berbentuk wahyu yang ghairu matlu, keabadian
pemberlakuannya itu barangkali mudah diterima, sebagai-mana pandangan kita
terhadap keabadian pemberlakuan hukum al-Quran. Kalau sunnah itu adalah sebagai
hasil ijtihad Nabi, baik yang dibetulkan kemudian oleh al-Quran atau tidak,
tentu Nabi dalam berijtihad menggunakan akal yang tidak bebas sama sekali dari
prtimbangan waktu, keadaan dan lingkungan di mana Nabi berada. Kalau demikian
keadaanya tentu di kemudian hari apa
yang ditapkan Nabi melalui ijtihadnya itu akan mengalami perubahan. Dalam hal
ini hukum yang ditetapkan Nabi tidak bersifat abadi.
Dalam
kebanyakan ushul fikih lama kelihatannya ketentuan tentang kedudukan bayan dari
sunnah terhadap al-Quran itu tidak tegas dan sering tidak konsisten dalam
kenyataan di lapangan. Dalam kitab ushul dijelaskan bahwa ulama yang lebih
hati-hati dan ketat dalam menggunakan sunnah adalah ulama Hanafiyah. Namun
sering terlihat ulama Hanafiyah ini tidak konsisten. Berlakunya apa yang
disebut takharuj dalam hukum kewarisan boleh dikatakan hanya terdapat di
kalangan ulama Hanafiyah. Kelihatannya di sini tidak merujuk sama sekali kepada
sunnah Nabi. Sandarannya hanya pada kasus Tumadir dengan Abdul Rahman bin ‘Auf,
yang otoritasnyapun sangat diragukan, sehingga golongan ulama lain tidak
mengakui adanya.
Selama
ini ulama terlalu banyak memberikan porsi kepada ijma untuk menguasai
penjelasan hukum syara’. Tidak salah kalau ada orientalis yang mengatakan bahwa
ijma’ itu memegang kata kunci dalam hukum Islam, bahkan kesahihan al-Quran
itupun tergantung pada ijma’. Apakah memang harus demikian kita meletakkan
ijma’ itu dalam kedudukannya sebagai dalil syara’. Kalau memang demikian
kedaannya maka apa yang dikatakan ijma’ itu adalah apa yang secara ketat
didefinisikan oleh ulama ushul yaitu “kesepakatan seluruh mujtahid yang ada
dalam alam islami setelah wafatnya Nabi dalam menetapkan hukum syara’ terhadap
suatu kejadian yang berlaku”. Bila persyaratan ijma’ itu diberlakukan menurut
apa yang dikehendaki oleh al-Syafi’iy yang hanya menerima ijma’ sharih yaitu
semua mujtahid menyampaikan pendapatnya secara terang terangan tentang hukumnya
dan ternyata semua pendapat itu adalah sama, maka persyaratan ijma’ itu semakin
ketat. Ketatnya persyaratan itu karena yang akan dihasilkan adalah hukum Allah
yang hanya mungkin dihasilkan oleh sesuatu yang bersifat ma’shum atau
bebas dari kesalahan. Hal ini hanya berlaku selain pada Nabi adalah pada kesepakatan umat.
Karena
begitu sulitnya mencapai apa yang dinamakan ijma’ itu, bahkan sampai pada
tingkat mustahil, maka di antara ulama ushul ada yang membatasi kemungkinan
berlakunya itu pada “pendapat yang tidak diketakahui ada yang menyanggahnya”.
Kalau Imam Ahmad mengatakan bahwa orang yang menyebut ada ijma, adalah bohong,
maksudnya adalah ulama yang mengatakan ijma’ bukanlah ijma’ dalam arti yang
ideal sebagaimana tersebut dalam tefinisi, tetapi adalah ijma’ dalam artian
yang praktis dalam bentuk kedua yang disebutkan di atas. Kalau bentuk itu,
memang ada dan banyak terjadi.
Analisa kritis dalam bentuk ini kita kemukakan
karena ijma yang ideal dan resmi tidak mungkin terjadi. Kalau memang ada hanya
terbatas pada ma yu’lam fi al-dini bi al-dharurah, sedangkan ijma’ dalam artian praktis dalam
arti kedua tentu tidak punya kekeuatan hukum yang mengikat. Hal ini kita
tampilkan karena ijma’ itu, baik dalam bentuknya yang ideal teoritis maupun
alam arti praktis, tidak mempunyai
landasan yang kuat, baik dalam al-Quran maupun dalam hadis Nabi. Tidak satupun
ayat al-Quran dan tidak satupun hadis Nabi yang secara ‘ibarat nash mengacu
kepada ijma’. Memang dalam setiap kitab ushul fikih ditemukan sederetan dalil
ayat al-Quran dan hadis Nabi yang digunakan sebagai argumentasi kehujjahan
ijma’. Namun kalau kita mau jujur dapat dikatakan semua dalil yang dideretkan
itu hanyalah satu bentuk تكلف atau memaksakan diri menggunakan dalil yang
tidak pada tempatnya, sehingga dengan mudah para نفاة الإجماع menjatuhkan argumen
tersebut.
Dalam
menampilkan kehujjahan ijma’ ulama Syafi’iyah hanya mau mengakui ijma sharih
yang diistilahkan dengan: “kesepakatan semua ulama mujtahid setelah
masing-masing mengemukakan pendapatnya secara sharih “. Apakah
memang pernah ada terjadi ijma’ dalam bentuk itu? Peristiwa pengangkatan Abu Bakar menjadi
khalifah sering dijadikan contoh terlaksananya ijma sharih tersebut. Kalau
memang demikian kita juga patut bertanya: apakah itu dinamakan ijma’, sedangkan Ali sendiri tidak menghadirinya?.
kalau disebut yang demikian adalah ijma’ maka istilah ijma’ itu harus diubah
dari “kesepakatan semua” menjadi “kesepakatan kebanyakan”. Kalau ini dapat
diterima, maka tidak salah kalau disebut orang ijma’ itu adalah “selera orang
banyak”. Kita khawatir bila selera orang banyak itu menguasai hukum
syara’. Kalau mau menempatkan ijma’
sebagai dalil, paling tinggi bentuknya hanyalah apa yang dinamakan dengan ijma’
sukuti yang memang oleh ulama Hanafiyah dijadikan sebagai hujjah.
Kadang-kadang terlihat ulama ushul tempo dulu
menempatkan ijma’ itu pada tempat yang berlebihan setidaknya dengan dua cara:
Pertama: ijma’ ditempatkan sebagai yang qath’iy
al-dilalah. Artinya tidak boleh diutak-atik dan tidak boleh dipertanyakan
lagi, bahkan bila berbenturan dengan sunnah ( yang kedudukannya kebanyakannya
adalah zhanniy ) , ijma’ harus didahulukan.
Kedua: ijma’ tidak dapat dibatalkan atau
dinasakhkan dengan ijma’ apalagi dibatalkan dengan hasil ijtihad. Semua
ulama ushul ( kecuali beberapa ulama
kontemporer ) menyatakan dalam kitab-kitab mereka waktu membicarakan syarat
seseorang mujtahid yang bunyinya: “harus mengetahui hukum yang telah ada ijma’
ulama padanya, agar tidak menghasilkan hukum yang bertentangan dengan itu”.
Sekadar
contoh perlunya ditinjau hasil ijma ulama terdahulu adalah dalam hal haramnya
perempuan muslimah kawin dengan laki-laki ahli kitab. Bahwa laki-laki muslim
boleh kawin dengan perempuan ahli kitab, ada landasannya dalam al-Quran yaitu surat al-Maidah ayat 5
yang bunyinya:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ
غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik.
Namun tidak ada
dasar hukum kawinnya perempuan muslimah dengan laki-laki ahli kitab di dalam
al-Quran, baik melarang atau menyuruh, secara manthuq maupun secara mafhum. Memang ada ulama
yang menetapkan hukum haramnya melalui mafhum mukhalafah kepada ayat 5 surat al-Maidah tersebut
di atas; namun mafhum menurut caranya ini rasanya cara yang ngawur. Dalam banyak kitab fikih
ditetapkan bahwa dasar hukumnya adalah ijma’ ulama. Pertimbangannya adalah mencegah
anak-anak terbawa oleh agama ayahnya.
Kalau memang itu yang dijadikan
alasan penetapan ijma’, perlu dipertanyakan pemberlakuan ijma’ tersebut waktu
ini terutama di lingkungan masyarakat yang matrilineal. Dalam lingkungan
masyarakat patrilineal seperti Arab yang menetapkan ayah sebagai faktor yang
sangat menentukan dalam pembentukan anak, alasan pemberlakuan ijma’ cukup masuk
akal. Namun waktu ini rasanya yang sangat menentukan pembentukan pribadi anak
adalah ibu, terutama dalam lingkungan masyarakat matrilineal, maka penetapan
ijma’ itu menjadi tidak relevan.
Kesimpulannya: rumusan ushul fikih tentang
ijma’ perlu dikaji ulang dan ditempatkan pada tempat yang selayaknya.
Qiyas ditempatkan sebagai dalil syara’
keempat dalam seluruh kajian ushul fikih, walaupun kebenaran yang dihasilkan
oleh qiyas itu tidak meyakinkan. Ulama manthiq menempatkan qiyas ( dalam ushul
fikih ) sebagai sesuatu yang belum tentu benar dalam arti kebenarannya sangat
bersifat spekulatif. Oleh karena itu qiyas dalam ushul fiqh itu oleh ulama
Manthiq atau logika disebut tamtsil yang dalam menghasilkan kebenaran
disebut analogis atau dalam arti menetapkan kebenaran yang bersifat khusus
dengan pertimbangan kebkenaran yang juga bersifat khusus. Berbeda halnya dengan
qiyas dalam pengertian ahli manthiq yang mendasarkan pemikirannya pada dalil
deduktif yang diakui kebenarannya secara meyakinkan. Itulah di antara sebab
golongan Zhahiriyah menolak qiyas. Yang diterima oleh Zhahiri hanyalah qiyas
manthiqi ( istiqrai ) yang ditempatkannya sebagai bagian dari al-Dalil.
Sama halnya dengan ijma’, qiyas juga tidak mempunyai landasan hukum
yang kuat. Dalil yang digunakan oleh ulama penegak qiyas, sebagaimana yang
dibeberkan dalam seluruh kitab ushul fikih kelihatannya seperti dicari-cari,
sehingga begitu mudah dijatuhkan oleh pihak nufat al-qiyas. Namun sebagai salah satu usaha
merentangkan nash syara’ yang sangat terbatas kepada kejadian yang bermun-culan
kemudian, penggunaan qiyas memang merupakan suatu keterpaksaan. Penggunaan
qiyas dianggap sebagai cara yang paling aman dalam berijtihad karena mempunyai
cantelan di dalam nash. Bahkan Imam al-Syafi’iy dalam kitabnya al-Risalah
mengatakan: الإجتهاد القياس
Tanpa penggunaan
qiyas, nash syara’ yang ada itu akan
sangat kaku dan terbatas penggunaannya.
Adanya begitu banyak rambu-rambu
dalam penggu-naan qiyas agaknya untuk berhati-hati terhadap nash yang ada dan
tidak digunakan secara salah arah. Namun rambu-rambu yang ada itu sering
menempatkan mujtahid seperti salah tingkah waktu berijtihad. Oleh karena itu
qiyas, seandainya kita sepakat untuk menggunakannya, mesti ditempatkan secara
proporsional. Walaupun pada awalnya kebenaran kesimpulan yang dihasilkan oleh
qiyas itu hanya bersifat analogi, namun kekuatannya dapat ditingkatkan melalui
suatu rekayasa logis dengan menjadikannya sebagai bentuk pemikiran deduktif.
Kalau dikatakan umpamanya: alkohol itu haram karena memabukkan
disamakan dengan hukum haramnya khamar karena memabukkan, maka format yang
dihasilkan adalah analogi, karena menetapkan hukum kepada alkohol secara khusus
dengan pertimbangan haramnya khamar karena memabukkan yang juga bersifatr
khusus. Untuk maksud itu harus dibuat kesimpulan yang bersifat umum untuk
menjadi landasannya. Format qiyas menjadi:
Khamar hukumnya haram karena memabukkan
Setiap yang memabukkan hukumnya haram
Alkohol itu memabukkan
Kesimpulan: alkohol itu hukumnya haram
Bentuk
pemikian tersebut sudah berformat deduktif yang kebenarannya tidak dapat
diragukan karena didasarkan kepada sesuatu yang bersifat umum.
Penggunaan akal dalam menemukan hukum syara’
Hukum
syara’ itu tidak perlu lagi ditetapkan karena ia bersifat qadim dan
tetap ada semenjak dahulu kala. Usaha manusia waktu ini hanyalah mencari dan
menemukan yang qadim itu. Petunjuk yang digunakan dalam menemukan hukum
syara’ yang qadim itu disebut dalil syara’. Dapatkah akal digunakan
untuk itu?. Ushul fikih telah menempatkan akal sebagai salah satu dalil syara’
melalui konsep maslahat. Nabi sendiri telah mempelopori penggunaan akal
dalam menemukan hukum syara’, sebagaimana terlihat begitu banyak kebijaksanaan
syara’ yang dilakukan oleh Nabi waktu tidak menemukannya secara jelas dalam
al-Quran. Apa yang dilakukan oleh Nabi telah diikuti begitu baik oleh para
sahabat utamanya, terutama oleh Umar bin Khattab. Begitu banyak kebijaksanaan
syara’ yang diambil Umar waktu meyakini bahwa yang demikian adalah mashlahat,
meskipun menurut zahirnya kelihatan menyalahi nash yang ada. Pemikiran Umar itu
melangkah lebih jauh melampaui apa yang sudah ditetapkan Nabi sebelumnya dan
bahkan jauh lebih maju dari apa yang dilakukan oleh ulama yang datang di
belakangnya.
Ulama ushul fikih memang menempatkan akal melalui konsep
mashlahat untuk menemukan (menetapkan) hukum. Namun secara jujur perlu diakui
bahwa ulama ushul tidak dengan ikhlas memberikan tempat kepada akal. Artinya
mashlahat menurut akal itu baru boleh diterima bila berada dalam kendali ( إعتبار )
dari wahyu atau nash. Bahkan ushul fikih jumhur ulama menetapkan mashlahat
hanya dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum bila ada إعتبار
dari nash, baik secara
langsung yang dinamai مؤثر
atau tidak secara
langsung yang dinamai ملائم
. Kedua bentuk ini
dikenal dengan mashlahat mu’tabarah ( المصلحة المعتبرة )
yang disepakati oleh ulama boleh dijadikan dalil dalam menemukan hukum syara’.
Ulama Malikiyah berpandangan lebih maju dari
ini dan mengatakan meskipun tidak ada إعتبار dari
nash, asalkan tidak ada penolakan ( إلغاء ) dari
nash secara khusus, sudah dapat dijadikan dalil yang dalam ushul fikih disebut
dengan maslahat mursalah ( المصلحة
المرسلة ). Keseluruhan ulama ushul menolak mashlahat yang menyalahi nash syara’ yang disebut
dengan maslahat mulghah ( المصلحة الملغاة ).
Hal yang terakhir inilah yang memasung para mujtahid dalam menggunakan akalnya
karena selalu dibayangi oleh adanya إلغاء
tersebut. Kreativitas
yang telah dirintis oleh Umar selama ini telah sirna dengan pasung yang
disediakan oleh ulama ushul tersebut. Apa yang dilakukan oleh ulama ushul itu
kelihatannya jauh mundur ke belakang sebagaimana yang telah dirintis oleh Umar.
Ujung-ujungnya ialah kita terpaksa menerima ushul fikih ulama lama itu menurut
apa adanya meskipun kita sendiri sudah sesak nafas dalam melaksanakannya.
Konsekuensi
lanjutan dari pasung yang dibuat ulama ushul tersebut membuat ulama itu sendiri
kelabakan waktu menilai kebijaksanaan syara’ yang dilakukan oleh Umar jauh
sebelumnya. Umar bin Khattab membuat kebijaksanaan syara’ yang banyak menyalahi
nash yang ada ( telah saya rinci kebijaksanaan Umar tersebut dalam Reformulasi
fikih Islam ). Kalau kebijaksanaan Umar
atas dasar maslahat tersebut menyalahi hukum syara’, maka tindakan Umar itu
menurut pengelompokan maslahat yang dibuat jumhur ulama tentu termasuk maslahat
mulghah. Dengan demikian Umar tidak patut disebut membuat kebijaksanaan
syara’, tetapi lebih tepat dikatakan melakukan penyimpangan terhadap hukum
syara’. Karena Umar itu sendiri adalah Khalifah al-rasyidun, maka ulama
ushul kalang kabut mencari pembelaan atas penyimpangan tersebut.
Tampaknya
dalam hal ini Najmuddin al-Tufi tidak mau repot-repot membuat-buat pembelaan
atas penyimpangan Umar itu. Dia tidak mau terjebak dengan dikotomi yang
disodorkan jumhur ulama ( mu’tabar dan
mulghah ) dan juga tidak menggunakan konsep kompromis yang diajukan
ulama Malikiyah dengan konsep mashlahat mursalah. Al-Thufiy membagi
mashlahat itu secara dikotomis kepada “bidang ibadat” dan “muamalat”. Dia tidak
memasuki lapangan ibadat, karena ibadat
tidak dapat dinilai dengan mashlahat. Dia hanya mengemukakan kedudukan
mashlahat yang lebih unggul dalam bidang muamalat dan yang disamakan
dengan itu. Dalam hal ini – katanya – maslahat
mangatasi dalil-dalil yang lain. Kalau kebetulan maslahat berbenturan
dengan dalil yang qath’iy sekalipun, didahulukan mashlahat dengan cara
mentakhsiskan dalil yang qath’iy itu.
Walaupun pada masanya dan masa-masa sesudah
itu pendapat al-Thufi itu tidak dilihat sebelah mata oleh kebanyakan ulama,
namun waktu ini patut direnungkan, agar para mujtahid tidak terbelenggu dalam
lingkaran setan.
Kesimpulan:
Untuk menghadapi kehidupan umat yang semakin
maju, namun tetap di bawah naungan hukum Allah, banyak timbul desakan untuk
mereformulasi fiqh. Untuk memenuhi tuntutan tersebut adanya usaha reformulasi
ushul fiqh merupakan suatu keniscayaan. Cara penggunaan dalil syara’ dan
demikian pula cara-cara pemahaman atas dalil syara’ itu menurut yang
diformulasikan oleh pakar terdahulu perlu dilihat kembali secara kritis untuk
menemukan formulanya yang lebih pas.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar