Senin, 02 Oktober 2017

REFORMULASI USHUL FIQH DALAM DINAMIKA PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM KONTEMPORER



REFORMULASI USHUL FIQH DALAM DINAMIKA
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM KONTEMPORER

بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh: Prof. Dr. Amir Syarifudin 
Pendahuluan
            Walau dalam kenyataannya ilmu ushul fiqh datang belakangan sesudah disusunnya fiqh, namun ia adalah – sesuai dengan namanya – dasar bagi fiqh. Sebagai dasar ia berada lebih dahulu dan kepadanyalah para ulama fiqh berpedoman waktu merumuskan fiqhnya. Kemunculannya belakangan itu hanya dalam bentuknya yang formal sistematis, baik ia disusun untuk membimbing para ulama fiqh dalam mendalami dan mengembangkan fiqh  sebagaimana yang berlaku dalam aliran al-mutakllimun/ Syafiiyah, maupun untuk menjustifikasi furu’ yang sudah ada sebagaimana yang berlaku dalam aliran al-fuqaha/Hanafiyah. Dalam keadaan dan bentuk apapun, ushul fiqh itu digunakan sebagai pedoman atau aturan main bagi orang yang akan merumuskan fiqh.
            Terlepas dari persoalan siapa sebenarnya yang menyusun pertama ushul fiqh itu, namun diakui bersama, bahwa kitab al-Risalah yang disusun oleh Imam al-Syafi’iy diakui sebagai kitab ushul fiqh yang pertama dalam bentuknya yang formal sistematis itu. Nool J.Coulson menganggap Imam al-Syafi’iy sebagai arsitek dari Ushul fiqh itu.
            Baik dalam bentuknya yang telah sistematis maupun dalam bentuk yang belum tersusun, ushul fiqh yang telah dirumuskan oleh imam mujtahid sekitar abad ke dua dan ketiga Hijriyah itu telah berhasil mengantarkan murid dan pengikut imam mujtahid mengembangkan dan menyem-purnakan pendapat dan hasil ijtihad imam masing-masing dan membentuk mazhab tersendiri. Belum dirasakan waktu itu kesulitan dalam memahami dan mengam-bangkannya.
            Ushul fiqh yang kita hadapi sekarang ini, yang dipelajari dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan, pada dasarnya adalah dalam formulasinya semula, sedangkan kahidupan manusia sudah mengalami perubahan yang begitu besar. Pada mulanya ushul fiqh itu berhasil mendorong kreatifitas befikir dalam bidang hukum, karena para ulama menempatkan ushul fiqh itu sebagai suatu proses; namun pada waktu ini belajar ushul fiqh tidak lebih dari belajar sejarah perumusan hukum fiqh, karena kita waktu ini telah menempatkan ushul fiqh itu sebagai suatu produk
Fiqh yang diharapkan mengatur kehidupan umat Islam waktu ini disusun lebih dari seribu tahun yang lalu. Oleh karena itu sudah bagitu banyak aturannya yang sulit untuk dipahami apalagi untuk dijalankan; hingga suara-suara yang menuntutnya untuk direformulasi tidak mungkin lagi dibendung.
Akhir-akhir ini fiqh atau Hukum Islam banyak mendapat tantangan dari berbagai pihak kelompok muslim. Tantangan itu diantaranya tudingan bahwa Hukum Islam itu bersifat patriarki dan sangat menguntungkan laki-laki bahkan di beberapa bagiannya sangat merugikan hak perempuan, seperti tidak dapat mejadi saksi, wali dan beberapa wewenang lain yang didominasi laki-laki, seperti imam, baik untuk shalat yang dihadiri oleh laki-laki atau imam dalam kenegaraan. Kelompok feminis muslim ingin melampiaskan kehendaknya itu dalam bentuk mengajukan Counter Legal Draft Undang-Undang Perkawinan, yang di antara isinya adalah mengharamkan poligami, mewajibkan iddah bagi laki-laki yang bercerai dari isterinya dan menyamakan perempuan dengan laki-laki dalam hak kewarisan.
Tantangan lain muncul dari pemikir Islam liberal yang tidak mau lagi memahami Hukum Islam itu menurut apa yang telah dilakukan oleh ulama sebelumnya dengan menggunakan ushul fiqh klasik. Mereka tidak mau lagi terikat dengan kaidah-kaidah Ushul yang lama yang tidak membolehkan  menggunakan  ijtihad memasuki ruang yang qath’iy.  Bahkan lebih jauh sudah banyak yang menyangsikan keotentikan sebagian ayat-ayat al-Quran yang selama ini kita tempatkan sebagai sesuatu yang sakral, sehingga tidak lagi ditem-patkannya sebagai dasar hukum.
Issu HAM dan kebebasan sering dibenturkan dengan ajaran fiqh sehingga dengan dua issu itu mereka ingin menelanjangi fiqh dan  mengganggap fiqh itu terutama bagian hudud dan qisas sebagai hukum barbar bertentangan dengan hak asasi manusia; sedangkan beberapa aturan dalam fiqh seperti keharusan menutup aurat dan larangan seks bebas sebagai membatasi kebebasan individu seseorang. 
Semua kelompok yang tidak puas lagi kepada fiqh lama itu mengemukakan argumennya dengan menggunakan panafsiran al-Quran tidak lagi menurut metoda yang sudah digariskan dalam ushul fiqh yang lama. Kelompok-kelompok ini tidak lagi berpedoman kepada penafsir-penafsir yang mu’tabar tetapi menggunakan dan mengagungkan penggunaan tafsir dari penafsir-penafsir dadakan semacam Syahrur, Arkoun dan lainnya.
Menghadapi kenyataan yang tidak mungkin dinafikan itu kita perlu mengakomodasi pemikiran-pemikiran fiqh yang timbul dengan cara memberikan rambu-rambu yang layak untuk mereka agar aspirasi mereka dapat tersalur, namun tidak kebablasan  dalam  kebebasan berfikir mereka. Rambu-rambu yang dimaksud adalah Ushul Fiqh dalam bentuknya yang baru
Reformulasi fiqh tidak dapat begitu saja dilaksanakan tanpa mereformulasi ushul fiqh, karena ia merupakan biang dari fiqh  itu sendiri. Oleh karena itu perlu dikembangkan wacana untuk meninjau ulang ushul fiqh yang sudah ada selama ini dan berfikir untuk merumuskannya dalam bentuknya yang baru sehingga keinginan kita untuk membumikan fiqh itu di kalangan umat Islam dapat berhasil.
Ada dua hal besar yang dibicarakan dalam ushul fiqh. Pertama tentang penggunaan dalil syara’  dan kedua tentang pemahaman atas dalil syara’dalam hal ini adalah al-Quran dan sunnah Nabi.. Dalam penggunaan dalil al-Quran, ayat mana saja yang berkekuatan sebagai dalil. Dalam sunnah Nabi, sunnah dalam kualitas mana yang dapat dijadikan dalil. Dalam ijma, ijma mana dan dalam kualitas apa dapat menjadi dalil, demikian pula pada qiyas, qiyas macam apa dan dalam kriteraia bagaimana yang mempunyai kekuatan hujjah. Di sampaing empat dalil pokok tersebut terdapat pula beberapa dalil alternatif lainnya.
Dalam memahami dalil al-Quran dan sunnah Nabi, bagaimana cara memahaminya, apakah secara tekstual, secara kontekstual terbatas atau kontekstual bebas. Hanya memahami apa yang tersurat saja, atau juga yang tersirat, atau bahkan juga yang tersuruk. Bila dimunculkan format baru dari Usul Fiqh tentu tidak jauh dari dua pola tersebut di atas.
Terdapatnya perbedaan pendapat di antara para mujtahid terahulu yang menghasilkan mazhab-mazhab fiqh  disebabkan oleh perbedaan dalam dua pola  pokok di atas. Bila ada kelompok-kelompok tertentu mengemukakan pendapatnya tentang hukum atau fiqh akan dapat diketahui pola ushul fiqh macam apa yang diikutinya. Pendapat baru yang dikatakan merupakan tentangan terhadap fiqh lama itu menurut mereka juga berdasarkan al-Quran, sunnah, ijma dan qiyas. Namun cara pengggunaannya dan demikian pula cara pemahamannya tentu tidak sama dengan cara-cara yang digunakan oleh ulama sebelumnya.   
 Menghadapi kemungkinan  reformulasi terhadap Ushul Fiqh menurut yang dikehendaki banyak pihak itu tentu kita harus  melihat kembali secara kritis   formulasi dari ushul fiqh yang lama itu menurut dua pola fikir disebutkan di atas.  Namun dalam kesempatan terbatas itu tulisan ini hanya menyoroti beberapa bagian saja dari padanya yang berada dalam pola penggunaan dalil syara.
Analisis kritis terhadap beberapa formulasi ushul fiqh

Bila diperhatikan secara saksama ushul fiqh menurut yang dirumuskan dalam kitab-kitab yang ditulis dalam mazhab apapun, dihubungkan pula kepada cara fikir kritis waktu ini, ditemukan banyak sekali yang perlu dikritisi karena ditemukan padanya hal-hal yang sudah sulit untuk dipahami dan dilaksanakan. Hal demikian terdapat dalam segala bidangnya. Sebagai contoh di sini dikemukakan beberapa masalah

1.      Dalam pristilahan
Dalam hampir semua kitab ushul fiqh pada waktu menjelaskan pengetian hukum syara’ selalau dibedakan hukum syara’ menurut ulama fiqh dan menurut ulama ushul fiqh. Pada waktu memberikan definisi hukum syara’ menurut ulama fiqh yaitu:  الأثر الذى يقتضيه خطاب الشارع   dan dihubungkan dengan firman Allah dalam al-Quran sebagai dalil syara’, tidak begitu sulit untuk memahaminya dan dapat dijelaskan mana yang “hukum syara’” dan mana pula yang “dalil hukum syara’”. Namun dalam memberikan definisi hukum syara’ menurut ulama ushul fiqh, menurut yang biasa dirumuskan dalam kitab-kitab kontemporer pada umumnya adalah: 

خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا    timbul kesulitan dalam beberapa hal di antaranya:

Pertama: memahami lafaz       خطاب الله  terutama waktu menghubungkannya dengan dalil hukum syara’. Sebabnya ialah bagi kebanyakan orang, sebagaimana terdapat dalam buku-buku dan kitab-kitab Usul fiqh,  khitab Allah” itu dipahami sebagai kalam Allah atau titah Allah atau lebih konkrit wahyu Allah yang terdapat dalam al-Quran. Kalau hukum syara’ itu adalah khitab Allah atau al-Quran, bagaimana pula menetapkan al-Quran itu sebagai dalil hukum syara’. Untunglah dalam hal ini sebagian ulama ushul fiqh klasik seperti Ibnu Subki menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan خطاب الله      itu adalah  كلام الله النفسى الأذلى    artinya kalam yang  merupakan sifat yang melekat dalam zat Allah yang dengan sendirinya qadim sebagaimana qadimnya zat Allah. Dalam pengetian ini hukum syara’ itu telah ada semenjak dulu-dulunya jauh sebelum datangnya al-Quran. Al-Quran itu sndiri hanyalah untuk memberi petunjuk ( dalil ) bagi adanya khitab Allah yang qadim itu. Dengan demikian terlihat beda antara hukum syara’ dengan dalil hukum syara’. Agaknya kerumitan dalam memahami khithab Allah itu dalam beberapa literatur secara sederhana memahami “huk um syara’” sebagai al-nushush al-muqaddasah  atau teks suci yang langsung dari  Allah sebagai imbangan dari “hukum fiqh” yang dihasilkan oleh manusia yang berkualitas mujtahid.

Kedua:  dalam memahami thalab dan  takhyir. Thalab mengandung arti tunntutan, baik tuntutan mengerjakan yang disebut perintah atau tuntutan meninggalkan yang disebut larangan. Oleh karena pada keduanya memang ada tuntutannya maka berhak ia dimasukkan dalam kelompok hukum taklifi karena memang mengandung beban hukum. Namun memasukkan takhyir atau hukum mubah ke dalam kelompok hukum taklifi sulit untuk memahaminya, karena padanya tidak terdapat taklif atau beban hukum, kecuali hanya sekedar numpang dalam kelompok. Oleh karena itu akan lebih tepat takhyir yang menimbulkan hukum mubah atau ‘boleh’ itu tidak dikelompokkan kepada hukum taklifi dan tidak pula pada hukum wadh’iy, tetapi kepadanya diberikan nama kelomok sendiri. Dengan demikian hukum syara’ itu tidak lagi terbagi dua secara dikotomis, tetapi menjadi tiga yang terpisah secara trikotomis. Pemberian nama sendiri kepada hukum mubah itu rasanya sangat sesuai dengan definisi hukum syara’ itu.
Ketiga:  menyangkut tuntutan atau thalab. Dalam dalil atau nash syara’ memang ditemukan talab al-fi’l  ( perintah ) dan thalab al-tark  ( larangan ), tanpa rincian. Dalam meru-muskannya ke dalam hukum taklifi  para ulama ushul fiqh membagi masing-masingnya kepada dua  yaitu perintah yang jazim  dan  perintah yang tidak jazim; larangan yang jazim dan larangan yang tidak jazim. Pembedaan jazim dan tidak jazim tidak ditentukan oleh nash, karena memang dalam nash tidak ada yang demikian, tetapi hanya melalui qarinah. Para ulama ushul menempatkan hukum wajib pada perintah yang jazim dan hukum sunat pada perintah yang tidak jazim. Sampai di sini belum terasa kesulitan. Namun dalam memberikan istilah pada masing-masingnya, terutama pada hukum sunnat atau nadab, baru terasa adanya kejanggalan. Ulama ushul memberi istilah untuk sunnah itu dengan: ما يثاب فاعله و لا يعاقب تاركه   yaitu “diberi pahala yang melaksanakannya dan tidak berdosa yang meninggalkannya.”. Apakah pantas untuk dikatakan bahwa orang yang tidak menjalankan perintah Allah “tidak berdosa” atau “tidak apa-apa” atau “boleh-boleh saja”. Berbuat kebajikan itu dikategorikan sebagai perbuatan sunnat. Karena termasuk hukum sunnat dan boleh-boleh saja ditinggalkan, akibatnya lihatlah waktu ini, berbuat kebajikan itu sudah diabaikan. Agaknya waktu merumuskan istilah nadab itu tidak dirasakan kejanggalan pemahaman karena muslim waktu itu begitu taat menjalankan suruhan Allah dengan tidak memisahkan apakah perintah itu berbentuk jazim  atau tidak; dinamakan wajib atau nadab.
            Demikian pula keadaannya terhadap larangan yang tidak jazim yang hukumnya ditetapkan ulama sebagai “makruh”. Dalam seluruh kitab ushul fiqh hukum makruh itu dita’rifkan dengan:  ما يثاب تاركه و لا يعاقب فاعله  yaitu  diberi pahala orang yang meninggalkan, namun tidak berdosa orang yang melakukannya. Apakah patut dikatakan bahwa orang yang melanggar larangan Allah – tingkat apapun kadar larangan itu – dikatakan tidak berdosa, atau tidak apa-apa atau boleh-boleh saja?. Akibat yang dirasakan waktu ini adalah orang tidak peduli lagi dengan apa yang diistilahkan oleh ulama ushul fiqh dengan makruh. Agaknya dalam hal larangan ini muslim pertama begitu patuh untuk menjauhinya dengan tidak membedakan jazim atau tidak; dinamakan haram atau makruh
            Supaya umat Islam ini menghargai perintah dan larangan Allah, melakukan semua yang disuruh dan menjauhi semua yang dilarang Allah  rasanya perlu ada usaha redefinisi istilah-istilah hukum syara’. Sebaiknya dikembalikan kepada asalnya yaitu “sesuatu yang disuruh” dan “sesuatu yang dilarang”
Keempat: dalam sistematika penyusunan dan pengelom-pokkan hukum wadh’iy hampir semua penulis ushul fiqh memasukkan hukum ‘azimah dan hukum rukhsah dalam kelompok ini. Dalam hal ini perlu dipertanyakan apakah tidak sebaiknya kedua istilah ini dimasukkan dalam hukum taklifi, karena ia berbicara tentang hukum taklif dan karena di dalamnya jelas termuat beban hukum atau taklif.

Penggunaan dalil syara’

Kita dapat menerima penempatan 4 dalil syara’ utama dengan urutan: al-Quran, sunnah, ijma’ dan qiyas secara prinsip. Namun kedudukan masing-masing masih perlu dipertanyakan. Kalau kita merujuk kepada ayat yang mengatakan: إن الحكم الا لله   maka  harus kita yakini bahwa sumber itu hanya Allah; dan yang berhak disebut syaari’ atau pencipta hukum itu hanyalah Allah SWT. Selanjutnya hanya Allah yang dapat disebut dalil syara’ dalam arti hanya al-Quran yang dapat menuntun kita mengetahui khitab Allah yang qadim itu. Hanya karena anggapan bahwa pemberitaan  al-Quran itu banyak yang tidak jelas, meskipun dalam al-Quran dinyatakan bahwa al-Quran itu  tibyan li kulli syaiin, maka diperlukan penjelasan dari Nabi. Namun apakah terhadap seluruh ucapan Allah itu perlu menunggu penjelasan Nabi dan tanpa penjelasan Nabi ayat al-Quran belum bisa dilak-sanakan?. Apakah penjelasan Nabi itu cukup lengkap untuk menjelaskannya?. Kukuh dalam sikap ini dapat menjadikan al-Quran itu tidak berdaya.
Dalam memahami firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 267:
يا أيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الأرض
Dari adanya firman Allah ini terutama ucapan: ما كسبتم   dapat dipahami dengan mudah bahwa Allah mewajibkan zakat penghasilan atau profesi. Memang ayat ini bersifat umum, namun sudah dapat dipahami dengan jelas tanpa penjelasan tambahan dari hadis. Namun karena harus menunggu penjelasan khusus dari hadis, sedangkan hadis khusus untuk itu tidak ada, maka tetaplah hasil profesi itu tidak terjamah oleh hukum, padahal sumber zakat yang terbesar waktu ini adalah dari sektor jasa ini. Ada ulama yang mengatakan bahwa umumnya firman Allah itu telah dijelaskan oleh hadis tentang zakat tijarah. Pantaskah hadis tentang zakat tijarah yang sangat kontroversi itu dijadikan pembelenggu keumuman ayat tersebut? Bahkan ulama Zhahiriyah tidak mengakui kebenaran hadis tersebut.  Memang selama ini ulama berlindung dengan kaidah ushul yang mengatakan: الأصل فى العبادات التوقيف ,  namun sering kaidah ini digunakan untuk membelenggu jalannya ijtihad. Apa yang difikirkan oleh ulama selama ini tidaklah salah karena orientasi mereka adalah melindungi harta seseorang untuk tidak mudah dijadikan sasaran zakat tanpa dalil yang meyakinkan. Namun waktu ini yang sangat diperlukan adalah mengalirnya harta para pengusaha dan profesional yang melimpah kepada umat yang sangat banyak yang membu-tuhkannya.
Diakui bersama bahwa fungsi sunnah itu adalah sebagai bayan, sebagaimana banyak disebutkan dalam al-Quran; namun perlu ditegaskan tingkat bayan yang diberikan oleh sunnah terhadapal-Quran. Ulama ushul sebelum ini terlihat memberikan keluasan tanpa batas terhadap sunnah dalam memberikan bayan. Bukan hanya berbentuk taqrir dan ta`kid  (menguatkan), tafsir ( menerangkan ) dan tafshil  (menguraikan) saja, tetapi juga sampai kepada hashr  (membatasi ) dan ziyadah  (menambah).
Diakui pula bahwa sunnah Nabi itu bertingkat-tingkat pula kekuatan dan kebenarannya. Tentu tidak semuanya dapat digunakan menjadi bayan dalam semua seginya itu. Sekadar untuk taqrir, tafsir dan tafshil  rasanya dapat diterima sunnah-sunnah yang tingkatannya lemah. Tentu tidak demikian keadaannya untuk bayan dalam bentuk hashr dan ziyadah. Hashr dengan dalil yang tidak kuat dapat berarti membelenggu syara’ dan ziyadah  dengan dalil yang tidak kuat dapat berarti membuat-buat syara’. Oleh karena itu diperlukan pesyaratan sunnah Nabi untuk dapat difungsikan sebagai bayan ta`kid, tafsir dan tafshil, berbeda dengan syarat untuk difungsikan sebagai bayan al-hashr  dan  bayan ziyadah.
Dalam literatur ushul fiqh, baik yang klassik maupun kontemporer hampir tidak pernah ditemukan pemisahan sunnah yang berbentuk wahyu dari Allah dan sunnah sebagai hasil ijtihad dari Nabi dalam hal kepastian hukum yang dihasilkannya. Kedua bentuk itu menghasilkan hukum yang tetap dan berlaku sepanjang masa. Dalam hal sunnah itu adalah berbentuk wahyu yang ghairu matlu, keabadian pemberlakuannya itu barangkali mudah diterima, sebagai-mana pandangan kita terhadap keabadian pemberlakuan hukum al-Quran. Kalau sunnah itu adalah sebagai hasil ijtihad Nabi, baik yang dibetulkan kemudian oleh al-Quran atau tidak, tentu Nabi dalam berijtihad menggunakan akal yang tidak bebas sama sekali dari prtimbangan waktu, keadaan dan lingkungan di mana Nabi berada. Kalau demikian keadaanya  tentu di kemudian hari apa yang ditapkan Nabi melalui ijtihadnya itu akan mengalami perubahan. Dalam hal ini hukum yang ditetapkan Nabi tidak bersifat abadi.
Dalam kebanyakan ushul fikih lama kelihatannya ketentuan tentang kedudukan bayan dari sunnah terhadap al-Quran itu tidak tegas dan sering tidak konsisten dalam kenyataan di lapangan. Dalam kitab ushul dijelaskan bahwa ulama yang lebih hati-hati dan ketat dalam menggunakan sunnah adalah ulama Hanafiyah. Namun sering terlihat ulama Hanafiyah ini tidak konsisten. Berlakunya apa yang disebut takharuj dalam hukum kewarisan boleh dikatakan hanya terdapat di kalangan ulama Hanafiyah. Kelihatannya di sini tidak merujuk sama sekali kepada sunnah Nabi. Sandarannya hanya pada kasus Tumadir dengan Abdul Rahman bin ‘Auf, yang otoritasnyapun sangat diragukan, sehingga golongan ulama lain tidak mengakui adanya.
Selama ini ulama terlalu banyak memberikan porsi kepada ijma untuk menguasai penjelasan hukum syara’. Tidak salah kalau ada orientalis yang mengatakan bahwa ijma’ itu memegang kata kunci dalam hukum Islam, bahkan kesahihan al-Quran itupun tergantung pada ijma’. Apakah memang harus demikian kita meletakkan ijma’ itu dalam kedudukannya sebagai dalil syara’. Kalau memang demikian kedaannya maka apa yang dikatakan ijma’ itu adalah apa yang secara ketat didefinisikan oleh ulama ushul yaitu “kesepakatan seluruh mujtahid yang ada dalam alam islami setelah wafatnya Nabi dalam menetapkan hukum syara’ terhadap suatu kejadian yang berlaku”. Bila persyaratan ijma’ itu diberlakukan menurut apa yang dikehendaki oleh al-Syafi’iy yang hanya menerima ijma’ sharih yaitu semua mujtahid menyampaikan pendapatnya secara terang terangan tentang hukumnya dan ternyata semua pendapat itu adalah sama, maka persyaratan ijma’ itu semakin ketat. Ketatnya persyaratan itu karena yang akan dihasilkan adalah hukum Allah yang hanya mungkin dihasilkan oleh sesuatu yang bersifat ma’shum atau bebas dari kesalahan. Hal ini hanya berlaku selain pada Nabi  adalah pada kesepakatan umat.
Karena begitu sulitnya mencapai apa yang dinamakan ijma’ itu, bahkan sampai pada tingkat mustahil, maka di antara ulama ushul ada yang membatasi kemungkinan berlakunya itu pada “pendapat yang tidak diketakahui ada yang menyanggahnya”. Kalau Imam Ahmad mengatakan bahwa orang yang menyebut ada ijma, adalah bohong, maksudnya adalah ulama yang mengatakan ijma’ bukanlah ijma’ dalam arti yang ideal sebagaimana tersebut dalam tefinisi, tetapi adalah ijma’ dalam artian yang praktis dalam bentuk kedua yang disebutkan di atas. Kalau bentuk itu, memang ada dan banyak terjadi.
 Analisa kritis dalam bentuk ini kita kemukakan karena ijma yang ideal dan resmi tidak mungkin terjadi. Kalau memang ada hanya terbatas pada ma yu’lam fi al-dini bi al-dharurah,  sedangkan ijma’ dalam artian praktis dalam arti kedua tentu tidak punya kekeuatan hukum yang mengikat. Hal ini kita tampilkan karena ijma’ itu, baik dalam bentuknya yang ideal teoritis maupun alam arti praktis,  tidak mempunyai landasan yang kuat, baik dalam al-Quran maupun dalam hadis Nabi. Tidak satupun ayat al-Quran dan tidak satupun hadis Nabi yang secara ‘ibarat nash mengacu kepada ijma’. Memang dalam setiap kitab ushul fikih ditemukan sederetan dalil ayat al-Quran dan hadis Nabi yang digunakan sebagai argumentasi kehujjahan ijma’. Namun kalau kita mau jujur dapat dikatakan semua dalil yang dideretkan itu hanyalah satu bentuk تكلف   atau memaksakan diri menggunakan dalil yang tidak pada tempatnya, sehingga dengan mudah para نفاة الإجماع  menjatuhkan argumen tersebut.
Dalam menampilkan kehujjahan ijma’ ulama Syafi’iyah hanya mau mengakui ijma sharih yang diistilahkan dengan: “kesepakatan semua ulama mujtahid setelah masing-masing mengemukakan pendapatnya secara sharih “. Apakah memang pernah ada terjadi ijma’ dalam bentuk itu?  Peristiwa pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah sering dijadikan contoh terlaksananya ijma sharih tersebut. Kalau memang demikian kita juga patut bertanya: apakah itu dinamakan ijma’,  sedangkan Ali sendiri tidak menghadirinya?. kalau disebut yang demikian adalah ijma’ maka istilah ijma’ itu harus diubah dari “kesepakatan semua” menjadi “kesepakatan kebanyakan”. Kalau ini dapat diterima, maka tidak salah kalau disebut orang ijma’ itu adalah “selera orang banyak”. Kita khawatir bila selera orang banyak itu menguasai hukum syara’.  Kalau mau menempatkan ijma’ sebagai dalil, paling tinggi bentuknya hanyalah apa yang dinamakan dengan ijma’ sukuti yang memang oleh ulama Hanafiyah dijadikan sebagai hujjah.
Kadang-kadang terlihat ulama ushul tempo dulu menempatkan ijma’ itu pada tempat yang berlebihan setidaknya dengan dua cara:
Pertama:  ijma’ ditempatkan sebagai yang qath’iy al-dilalah. Artinya tidak boleh diutak-atik dan tidak boleh dipertanyakan lagi, bahkan bila berbenturan dengan sunnah ( yang kedudukannya kebanyakannya adalah zhanniy ) , ijma’ harus didahulukan.
Kedua:  ijma’ tidak dapat dibatalkan atau dinasakhkan dengan ijma’ apalagi dibatalkan dengan hasil ijtihad. Semua ulama ushul  ( kecuali beberapa ulama kontemporer ) menyatakan dalam kitab-kitab mereka waktu membicarakan syarat seseorang mujtahid yang bunyinya: “harus mengetahui hukum yang telah ada ijma’ ulama padanya, agar tidak menghasilkan hukum yang bertentangan dengan itu”.
Sekadar contoh perlunya ditinjau hasil ijma ulama terdahulu adalah dalam hal haramnya perempuan muslimah kawin dengan laki-laki ahli kitab. Bahwa laki-laki muslim boleh kawin dengan perempuan ahli kitab, ada landasannya dalam al-Quran yaitu surat al-Maidah ayat 5 yang bunyinya:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Namun tidak ada dasar hukum kawinnya perempuan muslimah dengan laki-laki ahli kitab di dalam al-Quran, baik melarang atau menyuruh, secara manthuq  maupun secara mafhum. Memang ada ulama yang menetapkan hukum haramnya melalui mafhum mukhalafah kepada ayat 5 surat al-Maidah tersebut di atas; namun mafhum menurut caranya ini rasanya  cara yang ngawur. Dalam banyak kitab fikih ditetapkan bahwa dasar hukumnya adalah ijma’ ulama. Pertimbangannya adalah mencegah anak-anak terbawa oleh agama ayahnya.
            Kalau memang itu yang dijadikan alasan penetapan ijma’, perlu dipertanyakan pemberlakuan ijma’ tersebut waktu ini terutama di lingkungan masyarakat yang matrilineal. Dalam lingkungan masyarakat patrilineal seperti Arab yang menetapkan ayah sebagai faktor yang sangat menentukan dalam pembentukan anak, alasan pemberlakuan ijma’ cukup masuk akal. Namun waktu ini rasanya yang sangat menentukan pembentukan pribadi anak adalah ibu, terutama dalam lingkungan masyarakat matrilineal, maka penetapan ijma’ itu menjadi tidak relevan.
Kesimpulannya: rumusan ushul fikih tentang ijma’ perlu dikaji ulang dan ditempatkan pada tempat yang selayaknya.
Qiyas ditempatkan sebagai dalil syara’ keempat dalam seluruh kajian ushul fikih, walaupun kebenaran yang dihasilkan oleh qiyas itu tidak meyakinkan. Ulama manthiq menempatkan qiyas ( dalam ushul fikih ) sebagai sesuatu yang belum tentu benar dalam arti kebenarannya sangat bersifat spekulatif. Oleh karena itu qiyas dalam ushul fiqh itu oleh ulama Manthiq atau logika disebut tamtsil yang dalam menghasilkan kebenaran disebut analogis atau dalam arti menetapkan kebenaran yang bersifat khusus dengan pertimbangan kebkenaran yang juga bersifat khusus. Berbeda halnya dengan qiyas dalam pengertian ahli manthiq yang mendasarkan pemikirannya pada dalil deduktif yang diakui kebenarannya secara meyakinkan. Itulah di antara sebab golongan Zhahiriyah menolak qiyas. Yang diterima oleh Zhahiri hanyalah qiyas manthiqi ( istiqrai ) yang ditempatkannya sebagai bagian dari al-Dalil.
Sama halnya dengan ijma’, qiyas juga tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Dalil yang digunakan oleh ulama penegak qiyas, sebagaimana yang dibeberkan dalam seluruh kitab ushul fikih kelihatannya seperti dicari-cari, sehingga begitu mudah dijatuhkan oleh pihak nufat al-qiyas.  Namun sebagai salah satu usaha merentangkan nash syara’ yang sangat terbatas kepada kejadian yang bermun-culan kemudian, penggunaan qiyas memang merupakan suatu keterpaksaan. Penggunaan qiyas dianggap sebagai cara yang paling aman dalam berijtihad karena mempunyai cantelan di dalam nash. Bahkan Imam al-Syafi’iy dalam kitabnya al-Risalah mengatakan: الإجتهاد القياس    Tanpa penggunaan qiyas,  nash syara’ yang ada itu akan sangat kaku dan terbatas penggunaannya.
 Adanya begitu banyak rambu-rambu dalam penggu-naan qiyas agaknya untuk berhati-hati terhadap nash yang ada dan tidak digunakan secara salah arah. Namun rambu-rambu yang ada itu sering menempatkan mujtahid seperti salah tingkah waktu berijtihad. Oleh karena itu qiyas, seandainya kita sepakat untuk menggunakannya, mesti ditempatkan secara proporsional. Walaupun pada awalnya kebenaran kesimpulan yang dihasilkan oleh qiyas itu hanya bersifat analogi, namun kekuatannya dapat ditingkatkan melalui suatu rekayasa logis dengan menjadikannya sebagai bentuk pemikiran deduktif.
Kalau dikatakan umpamanya: alkohol itu haram karena memabukkan disamakan dengan hukum haramnya khamar karena memabukkan, maka format yang dihasilkan adalah analogi, karena menetapkan hukum kepada alkohol secara khusus dengan pertimbangan haramnya khamar karena memabukkan yang juga bersifatr khusus. Untuk maksud itu harus dibuat kesimpulan yang bersifat umum untuk menjadi landasannya. Format qiyas menjadi:
            Khamar hukumnya haram karena memabukkan
            Setiap yang memabukkan hukumnya haram
            Alkohol itu memabukkan
Kesimpulan:    alkohol itu hukumnya haram
Bentuk pemikian tersebut sudah berformat deduktif yang kebenarannya tidak dapat diragukan karena didasarkan kepada sesuatu yang bersifat umum.
Penggunaan akal dalam menemukan hukum syara’
            Hukum syara’ itu tidak perlu lagi ditetapkan karena ia bersifat qadim dan tetap ada semenjak dahulu kala. Usaha manusia waktu ini hanyalah mencari dan menemukan yang qadim itu. Petunjuk yang digunakan dalam menemukan hukum syara’ yang qadim itu disebut dalil syara’. Dapatkah akal digunakan untuk itu?. Ushul fikih telah menempatkan akal sebagai salah satu dalil syara’ melalui konsep maslahat. Nabi sendiri telah mempelopori penggunaan akal dalam menemukan hukum syara’, sebagaimana terlihat begitu banyak kebijaksanaan syara’ yang dilakukan oleh Nabi waktu tidak menemukannya secara jelas dalam al-Quran. Apa yang dilakukan oleh Nabi telah diikuti begitu baik oleh para sahabat utamanya, terutama oleh Umar bin Khattab. Begitu banyak kebijaksanaan syara’ yang diambil Umar waktu meyakini bahwa yang demikian adalah mashlahat, meskipun menurut zahirnya kelihatan menyalahi nash yang ada. Pemikiran Umar itu melangkah lebih jauh melampaui apa yang sudah ditetapkan Nabi sebelumnya dan bahkan jauh lebih maju dari apa yang dilakukan oleh ulama yang datang di belakangnya. 
            Ulama ushul fikih memang menempatkan akal melalui konsep mashlahat untuk menemukan (menetapkan) hukum. Namun secara jujur perlu diakui bahwa ulama ushul tidak dengan ikhlas memberikan tempat kepada akal. Artinya mashlahat menurut akal itu baru boleh diterima bila berada dalam kendali ( إعتبار ) dari wahyu atau nash. Bahkan ushul fikih jumhur ulama menetapkan mashlahat hanya dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum bila ada إعتبار  dari nash, baik secara langsung yang dinamai  مؤثر   atau tidak secara langsung yang dinamai  ملائم  . Kedua bentuk ini dikenal dengan mashlahat mu’tabarah  ( المصلحة المعتبرة ) yang disepakati oleh ulama boleh dijadikan dalil dalam menemukan hukum syara’.
 Ulama Malikiyah berpandangan lebih maju dari ini dan mengatakan meskipun tidak ada إعتبار  dari  nash, asalkan tidak ada penolakan ( إلغاء   )  dari nash secara khusus, sudah dapat dijadikan dalil yang dalam ushul fikih disebut dengan maslahat mursalah  ( المصلحة المرسلة ). Keseluruhan ulama ushul menolak mashlahat  yang menyalahi nash syara’ yang disebut dengan maslahat mulghah ( المصلحة الملغاة ). Hal yang terakhir inilah yang memasung para mujtahid dalam menggunakan akalnya karena selalu dibayangi oleh adanya  إلغاء   tersebut. Kreativitas yang telah dirintis oleh Umar selama ini telah sirna dengan pasung yang disediakan oleh ulama ushul tersebut. Apa yang dilakukan oleh ulama ushul itu kelihatannya jauh mundur ke belakang sebagaimana yang telah dirintis oleh Umar. Ujung-ujungnya ialah kita terpaksa menerima ushul fikih ulama lama itu menurut apa adanya meskipun kita sendiri sudah sesak nafas dalam melaksanakannya.
            Konsekuensi lanjutan dari pasung yang dibuat ulama ushul tersebut membuat ulama itu sendiri kelabakan waktu menilai kebijaksanaan syara’ yang dilakukan oleh Umar jauh sebelumnya. Umar bin Khattab membuat kebijaksanaan syara’ yang banyak menyalahi nash yang ada ( telah saya rinci kebijaksanaan Umar tersebut dalam Reformulasi fikih Islam ).  Kalau kebijaksanaan Umar atas dasar maslahat tersebut menyalahi hukum syara’, maka tindakan Umar itu menurut pengelompokan maslahat yang dibuat jumhur ulama tentu termasuk maslahat mulghah. Dengan demikian Umar tidak patut disebut membuat kebijaksanaan syara’, tetapi lebih tepat dikatakan melakukan penyimpangan terhadap hukum syara’. Karena Umar itu sendiri adalah Khalifah al-rasyidun, maka ulama ushul kalang kabut mencari pembelaan atas penyimpangan tersebut.  
            Tampaknya dalam hal ini Najmuddin al-Tufi tidak mau repot-repot membuat-buat pembelaan atas penyimpangan Umar itu. Dia tidak mau terjebak dengan dikotomi yang disodorkan jumhur ulama  ( mu’tabar dan mulghah ) dan juga tidak menggunakan konsep kompromis yang diajukan ulama Malikiyah dengan konsep mashlahat mursalah. Al-Thufiy membagi mashlahat itu secara dikotomis kepada “bidang ibadat” dan “muamalat”. Dia tidak memasuki lapangan  ibadat, karena ibadat tidak dapat dinilai dengan mashlahat. Dia hanya mengemukakan kedudukan mashlahat yang lebih unggul dalam bidang muamalat dan yang disamakan dengan itu. Dalam hal ini – katanya – maslahat  mangatasi dalil-dalil yang lain. Kalau kebetulan maslahat berbenturan dengan dalil yang qath’iy sekalipun, didahulukan mashlahat dengan cara mentakhsiskan dalil yang qath’iy itu.
Walaupun pada masanya dan masa-masa sesudah itu pendapat al-Thufi itu tidak dilihat sebelah mata oleh kebanyakan ulama, namun waktu ini patut direnungkan, agar para mujtahid tidak terbelenggu dalam lingkaran setan.

Kesimpulan:

Untuk menghadapi kehidupan umat yang semakin maju, namun tetap di bawah naungan hukum Allah, banyak timbul desakan untuk mereformulasi fiqh. Untuk memenuhi tuntutan tersebut adanya usaha reformulasi ushul fiqh merupakan suatu keniscayaan. Cara penggunaan dalil syara’ dan demikian pula cara-cara pemahaman atas dalil syara’ itu menurut yang diformulasikan oleh pakar terdahulu perlu dilihat kembali secara kritis untuk menemukan formulanya yang lebih pas.

                               













. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar