AL-QAWA’ID AL-FIQHIYYAH
Oleh: Dr. Zulkarnaini, M. Ag
(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM SUMBAR Periode 2015-2010)
I
Al-QAWA’ID
AL-FIQHIYYAH ADALAH
BAGIAN DARI USHUL FIQH
Ushul al-Fiqh secara sederhana berarti dasar-dasar
fikih.Dasar adalah terjemahan dari kata al-ashl, bentuk tunggal dari
kata al-ushul.Salah satu arti kata al-ashl dalam literatur ushul
al-fiqh adalah kaidah umum (al-qa’idah al-‘ammah).[1]Secara
terminology, salah satu definisi ushul al-fiqh adalah: Ilmu pengetahuan
tentang kaidah-kaidah dan penelitian yang bisa digunakan untuk menemukan hukum
syara’ yang bersifat ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terinci.[2]Dengan
demikian, apabila kata ushul dalam istilah ushul al-fiqh diterjemahkan
dengan kaidah-kaidah , maka bisa dikatakan bahwa ushul fiqh itu adalah
kaidah-kaidah yang digunakan untuk menggali atau menemukan hukum syara’ yang
bersifat ‘amaliah dari dalil-dalilnya secara terinci.
Kaidah-kaidah yang dibicarakan dalam ushul
al-Fiqh itu adalah kaidah-kaidah umum yang disebut juga al-qawa’id
al-kulliyyahatau al-qawa’id al-‘ammah. Kaidah-kaidah umum itu ada
yang berkaitan dengan dalil-dalil yang biasa disebut dengan kaidah ushuliyyah (
al-qawa’id al-ushuliyyah ),karena kedudukan dalil-dalil itu sebagai
dasar atau landasan dalam mengistinbatkan hukum syara’. Di samping itu ada pula
kaidah-kaidah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,[3] yang
biasa disebut dengan kaidah-kaidah fikih (al-qawa’id al-fiqhiyyah)..
Kaidah-kaidah ushul dalam hubungan dengan teks
wahyu (nash) ada yang berhubungan dengan urusan lafaz dan bahasa, yang
biasa disebut kaidah lafziyah(al-qawa’id al-lafzhiyyah)atau kaidah
lughawiyah (al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah).Di samping itu ada
pula yang berhubungan dengan tujuan pensyari’atan hukum yang biasa disebut al-qawa’id
al-ushuliyyah al-tasyri’iyyah.[4]
Baik kaidah ushuliyah, maupun kaidah
fiqhiyah, kedua-duanya sama-sama bermuara kepada hukum (fiqh). Hanya
saja kalau kaidah ushuliyyah bertolak dari dalil, dalam hal ini teks wahyu (nash),
sedangkan kaidah fiqhiyah melihat kepada perbuatan manusia mukallaf. Artinya
kaidah-kaidah fiqhiyah ituberupa prinsip-prinsip umum berkaitan langsung dengan
perbuatan tertentu dengan hukum tertentu pula.
A.
AL-QAWA’ID USHULIYYAH AL-LUGHAWIYYAH
Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah
kaidah-kaidah hukum yang dipetik dan dibantuk dari bahasa Arab sebagai bahasa nash
atau bahasa teks syari’at. Sebagaimana halnya bahasa lainnya, bahasa Arab
memiliki kaidah-kaidah tertentu yang perlu diketahui untuk menangkap pesan-pesan
yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, pengetahuan tentang kaidah-kaidah
tersebut sengat penting untuk memahami pesan-pesan atau hukum-hukum yang
terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi.
Kepentingan kaidah-kaidah tersebut akan lebih
terasa lagi, bila dihubungkan dengan cara dan gaya bahasa yng digunakan dalam
Al-Qur`an dan Hadis dalam menetapkan hukum. Kadang suatu hukum disebutkan dalam
bentuk perintah (al-amr).Pada bagian lain hukum diungkapkan dalam bentuk
larangan (al-nahy). Tidak jarang pula perintah dan larangan itu disampai
dalam susunan kalimat berita (jumlah
khabariyyah). Cakupan satuan yang dituju oleh teks perintah dan larangan
itu kadang-kadangbersifat umum dan di lain tempat bersifat khusus.
Sebagai contoh kaidah ushuliyah antara lain;
kaidah-kaidah amar (amr) dan nahi (nahy), ‘am dank hash, muthlaq
dan muqayyad, manhuq dan mafhum.
Kaidah amar, misalnya;
الأصل فى الأمر للوجوب. - الأمر بعد النهي يفيد الاباحة -الأمر بشيء أمر بوسائله .
Kaidah-kaidah nahi antara lain dapat dilihat dalam contoh-contoh berikut;النهي للتحريم الأصل فى-الأصل فى النهي يقتضى الفور -الأصل فى النهي يقتضى التكرار.
Kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan ‘am dankhash misalnya:
حذف المعمول يفيد العموم _ ذكر بعض أفراد العام بحكمه لا يخصصه – العام بعد التخصيص حجة فى الباقى
Kaidah-kaidah yang barhubungan dengan muthlaq dan muqayyad, misalnya:
المطلق يحمل على المقيد اذا اتفقا فى السبب والحكم- المطلق يحمل على المقيد و ان اختلف فى السبب –
المطلق لا يحمل على المقيد اذا اختلف فى الحكم- المطلق لا يحمل على المقيد ان اختلفا فى السبب والحكم
B.
AL-QAWA’ID AL-FIQHIYYAH
Kaidah Fiqhiyah adalah kaidah hukum yang
bersifat umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fikih yang menjadi
pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fikih atau kasus hukum, baik
yang ditunjuk oleh nash yang sharih, maupun yang tidak ditemukan nashnya sama
sekali.
Kaidah-kaidah fiqhiyah berisikan
prinsip-prinsip umum yang bisa menampung berbagai ketentuan yang sifatnya
terinci.Artinya, suatu kaidah umum (kulli) bisa mencakup sekian banyak
kaidah-kaidah tertentu (juz`i) yang lebih terinci.Kaidah-kaidah itu
dibangun berdasarkan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam sejumlah nash,
baik ayat-ayat Al-Qur`an maupun hadis Nabi.
Pengelompokan
kaidah-kaidah juz`i yang jumlahnya
banyak kedalam kaidah induk itu dengan memperhatikan dan membandingkan
kemiripan di antara masing-masing kaidah tersebut.
Kitab-kitab yang memuat kumpulan kaidah
tersebut, sesuai dengan cara penggabungan atau pengelompokannya antara lain
diberi judul al-Asybah wa al-Nazha`ir yang berarti: beberap kaidah yang
serupa dan sebanding. Misalnya, dua orang ulama dari mazhab yang berbeda
menyusun kitab tentang kaidah-kaidah inidengan judul serupa.Yang pertama Jalal
al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i, sedangkan yang kedua, Zain al-Din ibn Ibrahim ibn
Muhammad ibn Bakr yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Nujaim.
Kaidah-kaidah yang banyak itu menurut ulama
ushul bila dikelompok- kan akan tergabung di dalam dua kaidah saja, yaitu:
درء المفاسد و جلب المصالح (Dar`
al-Mafasid dan Jalb al-Mashalih ) yang berarti: Menolak kerusakan
dan menarik kemashlahatan.Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh ‘Izz al-Din
ibn ‘Abd al-Salam berdasarkan pemikiran bahwa syri’at Islam ini seluruhnya
mengandung maslahat, adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan adakalanya
dengan menarik kemaslahatan.[5]
Selanjutnya dua kaidah ini besar ini dipecah
oleh ulama ushul(Syafi’yyah) secara lebih terarah menjadi lima kaidah umum yang
juga dipandang sebagai kaidah induk yaitu:[6]
II
KANDUNGAN
MASING-MASING KAIDAH
A.
الأمور
بمقاصدها
Kaidah ini meliputi semua ketentuan yang
bersangkut paut maksud atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melakukan
amal tertentu.Maksud ini dalam bahasa fikih dikenal dengan niyat.Kaidah-kaidah
tentang niyat sangat penting, karena niyat menempati posisi yang sangat
menentukan status, macam dan nilai amal ibadah seseorang.Salah dalam berniyat
bisa saja berakibat fatal dalam amal ibadah seseorang.
Yang dimaksud status dalam amal seseorang
adalah, apakah perbuatan yang ia lakukan dalam rangka ketaatan kepda Allah atau
semata-mata urusan kepentingan atau keinginan alamiyah manusia. Seseorang mandi
pada waktu tertentu, bisa termasuk mandi ibadah, misalnya mandi menjelang
Jum’atan, bisa juga mandi sekedar kebutuhan mengatasi gerah karena suhu panas.
Dua orang yang sama-sama duduk di mesjid belum tentu nilainya sama, tergantung
kepada niyatnya. Yang seorang duduk i’tikaf, yang lain sekedar melepas lelah,
tergantung kepada niyat masing-masing. Dua orang yang sama-sama menghindari
makan, minum dan hubungan suami-isteri sejak terbit fajar, bisa saja yang
seorang puasa dan yang lain diet, tergantung kepda niat mereka.
Yang dimaksud dengan macam dalam amal ibadah
seseorang adalah perbedaan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya yang sama
bentuknya. Misalnya, seseorang melakukan puasa di luar bulan Ramadhan.Puasa
tersebut mungkin saja puasa qadha, mungkin juga puasa kifarat, boleh jadi puasa
nazar dan tidak tertutup kemungkinan puasanya itu puasa sunat
tertentu.macam-macam ibadah tersebut tergantung kepada niyat yang melakukannya.
Bagitu pula halnya dengan shalat.Seseorang shalat sendirian di rumahnya di
waktu subuh dua raka’at.Apakah shalatnya itu shalat subuh atau sunat qabliyah
subuh, tergantung kepada niyat yang bersangkutan.
Kesalahan dalam berniyat yang berakibat fatal
misalnya, seseorang shalat zuhur, tetapi niyatnya shalat ‘Ashar, maka tidaklah
gugur kewajibannya untuk shalat zuhur.Begitu juga kifarat zihar dengan niyat
kifarat pembunuhan. Dalam hal ini berlaku kaidah: ما
يشترط فيه التعيين فالخطأ فيه مبطل. Artinya:
Sesuatu yang disyaratkan untuk dinyatakan (macam-macam amal ibadah) maka salah
dalam hal ini membuat amal menjadi batal.
Kesalahan niyat yang tidak mengakibatkan
batal, misalnya salah dalam penentuan hari dan lokasi shalat dan puasa.Kesalahan
dalam hal ini tidak berakibat batalnya ibadah tersebut.Misalnya seseorang
shalat tahiyyatul masjid Khaif, ternyata mesjid itu adalah mesjid Namirah.Begitu
juga seseorang berniat shalat Dhuha hari Kamis, ternyata hari itu hari
Rabu.Kesalahan dalam kasus ini tidak menyebabkan batal ibadahnya, karena
penentuan waktu dan tempat itu tidak disyaratkan dalam berniyat dan tidak
menyangkut substansi ibadah. Untuk kasus ini kaidah yang digunakan adalah: ما
لا يشترط فيه التعرض له جملة ولا تفصيلا,
اذا عينه وأخطأ لم يضر. .
Sesuatu yang tidak disyaratkan untuk mengungkapkannya secara global ataupun
terinci, maka kesalah yang terjadi dalam hal ini tidak merusak ibadah.
B.
اليقين لا
يزال بالشك
Kaidah ini meliputi semua ketentuan yang
berhubungan dengan masalah keragu-raguan dalam menetapkan sesuatu. Termasuk
dalam hal ini ragu dalam menetapkan jumlah sesuatu, seperti jumlah raka’at
shalat yang sudah dikerjakan, status suci atau tidaknya seseorang.Syari’at
menyuruh berpegang kepada yang yakin atau pasti.Bila seseorang ragu apakah
jumlah rakaat shalat atau bilangan thawaf yang sudah dilakukannya tiga atau
empat, maka dianggap saja tiga, karena jumlah terkecil itu yang diyakini,
sedangkan yang keempat statusnya ragu-ragu.
Selanjutnya
bila seseorang ragu-ragu apakah ia masih dalam keadaan suci dari hadas
atau telah batal wudhuknya, dikembalikan saja ke keadaan awal. Kalau keadaan
awalnya dia yakin telah berwudhuk, setelah berlalu beberapa saat, tibul
keragu-raguan apakah wudhuknya telah batal, pada hal bukti tidak ada, maka dia
dihukum suci. Seabaliknya, bila setelah buang air, seseorang ragu apakah ia
telah berwudhuk atau belum, maka dengan kaidah ini dia dihukum tidak suci alias
berhadas. Kaidah yang lebih rinci sebagai turunan tersebut adalah الأصل
بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره .Artinya: Pada dasarnya sesuatu yang sudah ada tetap sebagaimana adanya,
sampai ada bukti yang menunjukkan terjadinya perubahan.
Pada kasus lain, seseorang yang meragukan
kehalalan atau kebolehan memanfaatkan sesuatu yang dipandang bermanfaat, selama
tidak ditemukan dalil yang melarangnya, berarti hukumnya boleh atau halal (الأصل
فى اللأشياء الاباحة .). Artinya:
Kaidah ini juga menjangkau persoalan
pertentangan klaim antara penjual dan pembeli, antara penyewa dan yang
menyewakan sesuatu, antara yang mengupah dan yang menerima upah, antara yang
yang meminjam dengan yang meminjamkan, antara tuan (majikan) dan anak buah dan
antara antara suami dan isteri. Kaidah khusus yang digunakan dalam kasus ini
adalah: الأصل العدم. Artinya: Menurut asalnya sesuatu tidak ada.Kaidah lainnya yang senada
adalah: الأصل براءة الذمة. Artinya: Hukum asal seseorang bebas dari
tanggungan.
Contoh kasus yang mungkin terjadi, misalnya
bila terjadi pertentangan pengakuan tentang status barang antara antara yang
mengatakan cacad dengan tidak cacad, maka hukum asalnya tidak cacad.Dalam hal
beruntung atau tidak, maka hukum asalnya tidak beruntung. Dalam masalah klaim
hutang, jika seseorang dituduh berhutang atau melakukan tindakan kejahatan tanpa
ada bukti, sedangkan yang dituduh tidak mengakui, maka yang diterima adalah
pernyataan yang dituduh bahwa ia tidak berhutang dan tidak bersalah. Dalam
masalah perawan atau tidak, maka hukum asalnya adalah perawan.Dalam masalah tamkin
atau penyerahan diri sepenuhnya atau belum, maka hokum asalnya adalah
belum.
Seandainya keragu-raguan itu menyangkut ada
atau tidaknya ketentuan atau kewajiban syari’at, maka selama tidak ada dalil,
maka hukumnya tidak wajib.
C.
المشقة تجلب
التيسير
Kaidah mencakup semua ketentuan yang mengatur
bagaimana seseorang menjalankan syari’at di saat mengalami kesulitan.Dalam
keadaan sulit, tidak semua ketentuan syari’at bisa dilaksanakan.Sebagai contoh,
segala yang terkait dengan syarat-syarat dan rukun-rukun ibadah dan akad
tertentu, dalam situasi normal semua syarat dan rukun mesti dipenuhi, sedangkan
dalam kondisi sulit, jumlah syarat dan rukun bisa ditolerir dengan rukhshah
atau takhfif. Dari kaidah ini muncul kaidah senada yaitu:
الأشياء اذا ضاقت اتسعت – الأشياء اذا اتسعت
ضاقت.
Segala sesuatu urusan (syari’at) apa bila mengalami
kesempitan aturan pelaksaannya menjadi lapang, sebaliknya apabila keadaan sudah
lapang, atura itu akan menjadi sempit.
D.
الضرر يزال
Kaidah ini mengandung pengertian bahwa dalam
syari’at Islam segala macam bahaya mesti disingkirkan atau dihindari. Kalau
perlu, untuk menyelamatkan diri dari bahaya, dibolehkan melakukan sesuatu yang
dalam keadaan normal terlarang (الضرورة تبيح
المحظورات ). Artinya: Keadaan bahaya itu membolehkan yang terlarang. Agar
kebolehan itu tidak disalah gunakan untuk kepentingan selera nafsu, maka kaidah
selanjutnya membatasi kebolehan itu sekedar untuk menghindari bahaya.Kalau
bahaya itu sudah tak ada lagi, kembalilah hukum yang terlarang itu seperti
semula. Kaidah yang mengatur kasus ini adalah sebagai berikut: ما
أبيح للضرورة يقدر بقدرها Artinya: Sesgala sesuatu yang dibolehkan karena
alas an darurat (bahaya) diukur sebatas ukuran bahaya itu.
Sebaliknya berbagai perintah ibadah yang
mengandung sejumlah unsur rukun dan syarat, dengan alasan menghindari bahaya,
sejumlah unsur-unsur yang diwajibkan
tersebut bisa ditinggalkan. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal
pelaksanaan shalat ketika terancam bahaya.
Ke dalam kaidah ini dimasukkan semua
ketentuan yang mengatur bagaimana seseorang menjalankan agama di saat
pelaksanaan tersebut ternyata yang bersangkutan terancam bahaya.Termasuk dalam
hal ini bagaimana harus bertindak ketika seseorang pada waktu yang sama
dihadapkan kepada pilihan yang serba bahaya. Begitu juga bila dalam suatu
perbuatan terdapat bahaya dan keuntungn sekaligus.
E.
العادة محكمة
Kaidah ini mengandung pengertian bahwa dalam
masalah tata cara pergaulan dalam masyarakat yang tidak diatur secara rinci
oleh syari’at, maka yang diberlakukan sebagai hukum adalah adat, yaitu sesuatu
yang dipandang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat pada wilayah
tertentu. Termasuk dalam masalah ini; jenis mata uang yang dipakai dalam
transaksi, istilah yang digunakan untuk barang tertentu, gerakan yang biasa dilakukan dengan makna dan tujuan tertentu,
jumlah yang ditetapkan sebagai ukuran nilai tertentu. Kaidah khusus yang
digunakan untuk kasus ini adalah: ما ورد به
الشرع مطلفا ولا ضابط له فيه ولا فى اللغة, يرجع فيه الى العرف. Artinya:
Segala ketentuan yang bersumber dari syara’ tanpa disertai dengan rincian cara
pelaksanaannya dan tidak pula ada penjelasan secara bahasa, maka cara
pelaksanaannya dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.
Contoh
konkrit dalam hal ini antara lain adalah dalam masalah sewa menyewa. Dalam
Islam disyari’atkan sewa menyewa dan upah mengupah, akan tetapi berapa kadar sewa
untuk barang tertentu atau imbalan jasa tertentu, tidak diatur secara rinci
oleh agama. Misalnya, berapa sewa hotel, sewa gedung, ongkos kendaran, honor
atau upah kerja tertentu, agama menyerahkannya kepada kebiasaan yang berlaku.
Demikian
pula halnya dalam Islam disyari’atkan jual beli dan dalam jual beli itu
disyaratkan adanya ridha masing-masing pihak yang terlibat dalam jual beli
tersebut. Akan tetapi apa bahasa yang digunakan dan bagaimana cara
mengungkapkan kehendak masing-masing serta apa tindakan yang dilakukan sebagai
tanda suka sama suka kedua belah pihak, diserahkan kepada adat yang biasa
berlaku.
Begitu
pula halnya dalam syari’at Islam ada ketentuan membayar harga barang orang yang
diambil, ada pula yang diambil secara gratis.Untuk membedakan mana makanan yang
disuguhkan kepada seseorang yang gratis dan mana pula yang mesti dibayar sesuai
harga yang berlaku, berpedoman kepada kebiasaan yang berlaku.
DAFTAR KEPUSAKAAN
[1] ‘Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz
fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1996, cet. V, hlm. 8
2‘Abd
al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah
al-Islamiyyah Syabab al-Azhar, 1956, cet. VII, hlm.12
3‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam, Qawa’id
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Kairo: Mathba’ah al-Istiqamah, t.t.), juz 1,
hlm. 9
4 Mukhtar Yahya & Fatchurrahman, Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiiqh Islam, Bandung: PT. Alma’arif, 1986, cet.I,
hlm. 486-487
[1]‘Abd
al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1996, cet. V, hlm. 8
[2]Teks
aslinya adalah: العلم
بالقواعد والبحوث التي يتوصل بها الى استفادة الأحكام الشرعية العملية من أدلتها
التفصيلية Lihat,‘Abd al-Wahhab
Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah
Syabab al-Azhar, 1956, cet. VII, hlm.12
[3]Mukallafberarti
orang yang telah memenuhi syarat untuk dibebani hukum syara’ dalam arti kalau hokum syara’ ia
patuhi, ia pantas dapat pahala, sebaliknya kalau hokum itu ia langgar ia
berdosa.
[4]‘Abd
al-Wahhab Khallaf, op. ct., hlm. 197
[5]‘Izz
al-Din ibn ‘Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Kairo:
Mathba’ah al-Istiqamah, t.t.), juz 1, hlm. 9
[6] Mukhtar
Yahya & Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiiqh Islam, Bandung:
PT. Alma’arif, 1986, cet.I, hlm. 486-487
[7]Kaidah
ini dirumuskan berdasarkan prinsip yang terkandung dalam hadis:
انما
الأعمال بالنيات … رواه البخاري ومسلم عك عمربن الخطاب
[8] Kaidah
ini dibangun berdasarkan antara lain prinsip yang terkandung dalam hadis
berikut:
اذا
شك أحدكم فى صلاته فلم يدر أصلى ثلاثا أم أربعا فليطرح الشك وليبن على ما استيقن….
رواه مسلم عن أبي سعيد الخدري.
[9] Kaidah
ini bertolak dari prinsip yang terkandung dalam sejumlah nash, antara lain
surat al-Baqarah ayat 185: …يريد الله بكم العسر ولا يريد بكم العسر….
[10] Kaidah
ini dibangun berdasarkan prinsip yang terkandung dalam nash, antara lain,
hadis:
لا
ضرر ولا ضرار. رواه مالك عن عمر بن يحيى المازني, و ابن ماجه عن عباده بن صامت
وابن عباس.
[11] Kaidah
ini dirumuskan berdasarkan prinsip yang terkandung dalam nash, antara lain
surat al-A’raf ayat 199: خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين.
[12] Kaidah
ini antara lain merujuk kepada ayat 29 surat al-Baqarah yang menyatakan bahwa
Allah lah yang menciptakan segala yang terdapat di bumi ini untuk kamu
(manusia)
[13] Kaidah
ini berpedoman antara lain kepada Al-Qur`an surat al-Mukminun ayat 5 dan 6 yang
menyatakan bahwa nafsu seks itu hanya boleh disalurkan kepada isteri atau budak
milk al-yamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar