PENGERTIAN, DASAR, EKSISTENSI, DAN PENTINGNYA PERADILAN AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia dan
suatu tugas suci yang diakui oleh semua kalangan, baik kalangan bangsawan
ataupun kalangan religius. Peradian dapat menyahuti kebutuhan terhadap keadilan
dan kebenaran, yang pada gilirannya membawa manusia kepada ketenangan hati dan
ketentraman jiwa, mempererat hubungan silaturrahmi, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah kepada yang munkar.
Keadilan baru dapat diwujudkan, bila setiap pencari keadilan menerima
perlakuan seadil-adilnya. Hal itu bisa terlaksana ketika hukum yang ditetapkan sesuai dengan apa yang
telah disinyalir Allah dalam Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan wujud keadilan itu
tidak akan dapat terealisasi kalau hanya terikat dengan peraturan-paraturan
yang ada saja melainkan juga harus dibarengi dengan sarana dan prasarananya,
dalam hal ini adalah Lembaga Peradilan. Sehingga perlindungan terhadap jiwa,
harta dan kehormatan bagi pencari keadilan akan tercapai secara konkrit.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian
Peradilan Agama
2. Dasar Hukum
Peradilan Agama
3. Eksitensi
Peradilan Agama Dalam Kerangka Pendekatan Hukum
4. Pentingnya
Peradilan Agama Bagi Umat Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peradilan Agama
Dalam bahasa Arab, peradilan disebut al-qadha
yang secara etimologi memiliki beberapa arti:
1. Al-faragh
artinya putus atau selesai. Seperti firman Allah Swt:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ
مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ
فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً وَكَانَ أَمْرُ
اللَّهِ مَفْعُولاً
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia
supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri
anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya . Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. ( QS. Al-Ahzab (33): 37).
2. Al-Adaa’ artinya menunaikan atau membayar, seperti
firman Allah Swt:
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا
اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jumu’ah (62): 10)
3. Al Hukm
artinya mencegah atau menghalangi. Dari kata inilah maka qadhi-qadhi disebut
sebagai hakim, karena mencegah terjadinya kezhaliman orang yang mau berbuat
dzhalim.
4. Arti lain dari
kata qadha adalah memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan.
Jadi, sebenarnya qadhi menurut bahasa artinya
orang yang memutuskan perkara dan menetapkanya.
Kemudian, secara terminology, peradilan dan
qadha memiliki beberapa makna, antara lain:
الولاية الامور
Kekuasaan yang dikenal
(kekuasaan yang mengadili atau memutuskan perkara)
هو الفصل في
الخصومات حمسا لتداعى وقطعا لنزع بالاحكام الشرعية المتلفاة من الكتاب و السنة
“Menyelesaikan perkara
pertengkaran untuk melenyapkan gugat menggugat dan untuk memotong pertengkaran
dengan hukum-hukum syara’yang dipetik dari Al-qurán dan Assunnah”.
Menurut Ukbariy dalam Kulliatnya yang dimaksud peradilan adalah:
قول ملزم صدر عن
ذي ولاية عامة
“Peraturan yang harus
diikuti, yang terbit dari penguasa, yang mempunyai kekuasaan umum”.[1]
Dengan demekian pengertian peradilan agama
adalah pengadilan yang memeriksa dan memutuskan perkara-perkara antara
orang-orang Islam, yang berkaitan dengan nikah, rujuk, talak (perceraian),
nafkah, waris, dan lain-lain.
Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruak dalam penerapan system
peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan amandemen UUD 1945 yakni pasal
24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kemudian UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (2)
menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi
badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha Negara.
Ke-empat lembaga peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung, baik dalam
hal teknis yudisialnya maupun non teknis yudisialnya. Adapun strata ke-empat
lembaga tersebut adalah :
a. Lingkungan peradilan umum terdiri dari Pengadilan
Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai
pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.
b. Lingkungan peradilan agama terdiri dari
Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama
sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI. Adapun Pengadilan
Agama yang ada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasar Keputusan Presiden
No. 11 Tahun 2003 diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah, seadangkan Pengadilan
Tinggi Agama Banda Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
c. Lingkungan Peradilan militer terdiri dari
Mahkamah Militer sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Militer Tinggi
sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.
d. Lingkungan peradilan tata usaha Negara
terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama
dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat banding dan
berpuncak di MA-RI.
Adapun kewenangan absolut Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah Syar’iyyah
Provinsi adalah kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama,
ditambah dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Kewenangan
lain tersebut dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi
dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka system peradilan nasional.
Mengenai kewenangan relatif Mahkamah Syar’iyyah adalah daerah hukum eks
Pengadilan Agama yang bersangkutan, sedangkan kewenangan relatif Mahkamah
Syar’iyyah Provinsi adalah daerah hukum eks Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh.
B. Dasar Hukum
Peradilan Agama Di Indonesia
1.
Pasal (24) ayat (2) dan
(3) Undang-Undang Dasar 1945 beserta Amanademennya
2.
Pasal 10 ayat 92) jo.
pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3.
Pasal 2, 3 dan 3A Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan
Undang_undang Nomor 3 Tahun 2006.
4.
Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
C. Eksitensi Peradilan Agama
Dalam Kerangka Pendekatan Hukum
Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan
dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan
nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama
tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi,
sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok
Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan
diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.
Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung (MA) yang efektifnya akan
dimulai 1 April 2004. Hasil revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR belum lama ini menyebutkan sistem
peradilan satu atap dibawah MA selambatnya harus sudah dilaksanakan akhir Maret
2004. Dengan terbentuknya sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung
menurut Bagir Manan maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan
HAM serta Departemen Agama akan berpindah ke struktur Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Namun dengan belum selesainya penyusunan struktur organisasinya,
maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan Departemen Agama belum
akan segera dipindahkan ke lingkungan MA. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberi
waktu kepada MA untuk menyiapkan struktur organisasi peradilan satu atap
tersebut selama satu tahun.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka upaya dan langkah pensatu-atapan
lembaga Peradilan Agama ke dalam Mahkamah Agung RI, terlepas ide dan gagasan kearah
satu atapitu terinisiatif dari
dalam orang-orang Peradilan Agama sendiri atau sebuah reaksi dari kenyataan
sejarah dan hukum, sebagaimana telah dipaparkan diatas dan Abdul Gani Abdullah
ungkap bahwa Peradilan Agama satu atap dalam Mahkamah Agung RI sebenarnya telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, meski masalah penetapan
waktunya tidak ditentukan hal tersebut secara analisis teoritis karena
persoalan Peradilan Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung RI bukan
masalah berat bagi Departemen Agama RI, tetapi lebih dari karena eksistensi
perjalanan sejarah Peradilan Agama itu sendiri yang sejak dulu hingga kini
eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan umat Islam dan ulama dimana
kecenderungan masyarakat atau umat Islam dan ulama, kiai (MUI) cenderung kurang
menyetujui keinginan dan gagasan tersebut.[2]
Maka kehati-hatian untuk mencapai arah pensatu-atapan lembaga Peradilan
Agama dalam Mahkamah Agung RI secara total harus ekstra diperhatikan, Jangan
sampai tepatnya moment, adanya kesempatan dan besarnya dukungan terutama dari
orang-orang legislatif (Baca : DPR) yang nampaknya begitu bersemangat untuk
mendukung Peradilan Agama menyatu secara administratif dan teknis yuridis ke
Mahkamah Agung menjadi sebuah euforia, sehingga dalam merealisasikan dan
mengaktualisasikan harapan tersebut tidak memperhatikan hal-hal kecil namun memiliki
sensitifitas yang tinggi dan dapat menimbulkan konflik kedepan.
Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan, yang
di antaranya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradlan Tata Usaha
Negara. Selain itu Peradilan Agama juga merupakan peradilan khusus, yang mana diartikan
peradilan khusus karena PA mengadili perkara-perkara tertentu yaitu hanya
berwenang di bidang perdata Islam saja dan juga hanya diperuntukkan bagi
orang-orang Islam saja.
D. Pentingnya Peradilan Agama
Bagi Umat Islam
Secara resmi, tonggak kelahiran PA di Indonesia ditetapkan pada tanggal 19
Januari 1882. Penetapan tersebut didasarkan pada ketetapan Raja Belanda, Willem
III, Nomor 24 tentang Peradilan Agama (Priesterraden) untuk Jawa dan
Madura. Namun demikian, menurut Zaini Ahmad Noeh (1985), penetapan tersebut
hanyalah merupakan pengakuan pemerintah Belanda terhadap adanya pranata
peradilan agama di Indonesia. Karena, jauh sebelum penjajah Barat datang ke
Indonesia, hukum Islam sudah diterima dan dilaksanakan sepenuhnya oleh umat
Islam di Indonesia.
Ajaran Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian yang lazim dipahami
oleh orang-orang Barat. Islam memiliki sistem hukum yang disebut syari’ah yang
menjadi salah satu komponen utama ajarannya di samping aqidah dan akhlak.
Pelaksanaan hukum tersebut, menurut Noeh, pada dasarnya merupakan kewajiban
masing-masing individu. Namun, dalam kondisi tertentu, diperlukan campur tangan
pihak yang memiliki otoritas, terutama ketika terjadi sengketa. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa peradilan agama di Indonesia telah ada seiring
masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.[3]
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Hukum Islam yang sejak dulu dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari kesadaran masyarakat Indonesia mengenai hukum dan keadilan yang memang
jelas keberadaan atau eksistensinya dalam kerangka sistem hukum nasional.
Secara instrumental, banyak ketentuan perundang-undangan Indonesia yang telah
mengadopsi berbagai materi Hukum Islam ke dalam pengertian Hukum Nasional.
Secara institusional, eksistensi Pengadilan Agama sebagai warisan penerapan
sistem Hukum Islam sejak zaman pra penjajahan Belanda, juga terus dimantapkan
keberadaannya.
Menilik pada sistem kekuasaan ketatanegaraan yang dianut NKRI, yaitu Sistem
Trias Politika dimana menurut Charles Secondat Baron de Labrede et de
Montesquieu (Baca : Montesquieu) sistem pemerintahan/kekuasaan negara terbagi
ke dalam tiga kekuasaan besar : Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, yang sudah
barang kekuasaan tersebut harus terpisah (independen), baik mengenai fungsi
maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang melaksanakan dalam Ilmu
b. Saran
Semoga makalah yang penulis
buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Saya menyadari bahwa makalah
ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis meminta kepada para pembaca
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini di masa
yang akan datang. Akhirnya saya mohon
kepada Allah SWT, semoga selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada
kita semua. Amin........
[2] Mujahidin, Ahmad, Dr., Peradilan Satu Atap di Indonesia (Bandung,
Refika Aditama, 2007), hal. 20-21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar