Kamis, 12 Februari 2015

PERADILAN AGAMA ISLAM


PENGERTIAN, DASAR, EKSISTENSI, DAN PENTINGNYA PERADILAN AGAMA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

      Peradilan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia dan suatu tugas suci yang diakui oleh semua kalangan, baik kalangan bangsawan ataupun kalangan religius. Peradian dapat menyahuti kebutuhan terhadap keadilan dan kebenaran, yang pada gilirannya membawa manusia kepada ketenangan hati dan ketentraman jiwa, mempererat hubungan silaturrahmi, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar.
Keadilan baru dapat diwujudkan, bila setiap pencari keadilan menerima perlakuan seadil-adilnya. Hal itu bisa terlaksana ketika hukum yang ditetapkan sesuai dengan apa yang telah disinyalir Allah dalam Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan wujud keadilan itu tidak akan dapat terealisasi kalau hanya terikat dengan peraturan-paraturan yang ada saja melainkan juga harus dibarengi dengan sarana dan prasarananya, dalam hal ini adalah Lembaga Peradilan. Sehingga perlindungan terhadap jiwa, harta dan kehormatan bagi pencari keadilan akan tercapai secara konkrit.

B.     Rumusan Masalah

1.      Pengertian Peradilan Agama
2.      Dasar Hukum Peradilan Agama
3.      Eksitensi Peradilan Agama Dalam Kerangka Pendekatan Hukum
4.      Pentingnya Peradilan Agama Bagi Umat Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Peradilan Agama
Dalam bahasa Arab, peradilan disebut al-qadha yang secara etimologi memiliki beberapa arti:
1.      Al-faragh artinya putus atau selesai. Seperti firman Allah Swt:

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya . Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. ( QS. Al-Ahzab (33): 37).

2.     Al-Adaa’ artinya menunaikan atau membayar, seperti firman Allah Swt:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah (62): 10)

3.      Al Hukm artinya mencegah atau menghalangi. Dari kata inilah maka qadhi-qadhi disebut sebagai hakim, karena mencegah terjadinya kezhaliman orang yang mau berbuat dzhalim.
4.      Arti lain dari kata qadha adalah memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan.
Jadi, sebenarnya qadhi menurut bahasa artinya orang yang memutuskan perkara dan menetapkanya.
Kemudian, secara terminology, peradilan dan qadha memiliki beberapa makna, antara lain:
الولاية الامور
Kekuasaan yang dikenal (kekuasaan yang mengadili atau memutuskan perkara)
هو الفصل في الخصومات حمسا لتداعى وقطعا لنزع بالاحكام الشرعية المتلفاة من الكتاب و السنة
“Menyelesaikan perkara pertengkaran untuk melenyapkan gugat menggugat dan untuk memotong pertengkaran dengan hukum-hukum syara’yang dipetik dari Al-qurán dan Assunnah”.
Menurut Ukbariy dalam Kulliatnya yang dimaksud peradilan adalah:
قول ملزم صدر عن ذي ولاية عامة
“Peraturan yang harus diikuti, yang terbit dari penguasa, yang mempunyai kekuasaan umum”.[1]

Dengan demekian pengertian peradilan agama adalah pengadilan yang memeriksa dan memutuskan perkara-perkara antara orang-orang Islam, yang berkaitan dengan nikah, rujuk, talak (perceraian), nafkah, waris, dan lain-lain.

Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruak dalam penerapan system peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan amandemen UUD 1945 yakni pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.

Ke-empat lembaga peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung, baik dalam hal teknis yudisialnya maupun non teknis yudisialnya. Adapun strata ke-empat lembaga tersebut adalah :

a.      Lingkungan peradilan umum terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.

b.      Lingkungan peradilan agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI. Adapun Pengadilan Agama yang ada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasar Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003 diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah, seadangkan Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

c.      Lingkungan Peradilan militer terdiri dari Mahkamah Militer sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.

d.      Lingkungan peradilan tata usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.

Adapun kewenangan absolut Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah Syar’iyyah Provinsi adalah kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Kewenangan lain tersebut dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka system peradilan nasional. Mengenai kewenangan relatif Mahkamah Syar’iyyah adalah daerah hukum eks Pengadilan Agama yang bersangkutan, sedangkan kewenangan relatif Mahkamah Syar’iyyah Provinsi adalah daerah hukum eks Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh.

B.     Dasar Hukum Peradilan Agama Di Indonesia
1.     Pasal (24) ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 beserta Amanademennya
2.     Pasal 10 ayat 92) jo. pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3.     Pasal 2, 3 dan 3A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan Undang_undang Nomor 3 Tahun 2006.
4.     Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
C.    Eksitensi Peradilan Agama Dalam Kerangka Pendekatan Hukum

Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.

Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung (MA) yang efektifnya akan dimulai 1 April 2004. Hasil revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR belum lama ini menyebutkan sistem peradilan satu atap dibawah MA selambatnya harus sudah dilaksanakan akhir Maret 2004. Dengan terbentuknya sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung menurut Bagir Manan maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan HAM serta Departemen Agama akan berpindah ke struktur Mahkamah Agung Republik Indonesia. Namun dengan belum selesainya penyusunan struktur organisasinya, maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan Departemen Agama belum akan segera dipindahkan ke lingkungan MA. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberi waktu kepada MA untuk menyiapkan struktur organisasi peradilan satu atap tersebut selama satu tahun.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka upaya dan langkah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama ke dalam Mahkamah Agung RI, terlepas ide dan gagasan kearah satu atapitu terinisiatif dari dalam orang-orang Peradilan Agama sendiri atau sebuah reaksi dari kenyataan sejarah dan hukum, sebagaimana telah dipaparkan diatas dan Abdul Gani Abdullah ungkap bahwa Peradilan Agama satu atap dalam Mahkamah Agung RI sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, meski masalah penetapan waktunya tidak ditentukan hal tersebut secara analisis teoritis karena persoalan Peradilan Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung RI bukan masalah berat bagi Departemen Agama RI, tetapi lebih dari karena eksistensi perjalanan sejarah Peradilan Agama itu sendiri yang sejak dulu hingga kini eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan umat Islam dan ulama dimana kecenderungan masyarakat atau umat Islam dan ulama, kiai (MUI) cenderung kurang menyetujui keinginan dan gagasan tersebut.[2]

Maka kehati-hatian untuk mencapai arah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama dalam Mahkamah Agung RI secara total harus ekstra diperhatikan, Jangan sampai tepatnya moment, adanya kesempatan dan besarnya dukungan terutama dari orang-orang legislatif (Baca : DPR) yang nampaknya begitu bersemangat untuk mendukung Peradilan Agama menyatu secara administratif dan teknis yuridis ke Mahkamah Agung menjadi sebuah euforia, sehingga dalam merealisasikan dan mengaktualisasikan harapan tersebut tidak memperhatikan hal-hal kecil namun memiliki sensitifitas yang tinggi dan dapat menimbulkan konflik kedepan.

Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan, yang di antaranya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradlan Tata Usaha Negara. Selain itu Peradilan Agama juga merupakan peradilan khusus, yang mana diartikan peradilan khusus karena PA mengadili perkara-perkara tertentu yaitu hanya berwenang di bidang perdata Islam saja dan juga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Islam saja.

D.    Pentingnya Peradilan Agama Bagi Umat Islam

Secara resmi, tonggak kelahiran PA di Indonesia ditetapkan pada tanggal 19 Januari 1882. Penetapan tersebut didasarkan pada ketetapan Raja Belanda, Willem III, Nomor 24 tentang Peradilan Agama (Priesterraden) untuk Jawa dan Madura. Namun demikian, menurut Zaini Ahmad Noeh (1985), penetapan tersebut hanyalah merupakan pengakuan pemerintah Belanda terhadap adanya pranata peradilan agama di Indonesia. Karena, jauh sebelum penjajah Barat datang ke Indonesia, hukum Islam sudah diterima dan dilaksanakan sepenuhnya oleh umat Islam di Indonesia.

Ajaran Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian yang lazim dipahami oleh orang-orang Barat. Islam memiliki sistem hukum yang disebut syari’ah yang menjadi salah satu komponen utama ajarannya di samping aqidah dan akhlak. Pelaksanaan hukum tersebut, menurut Noeh, pada dasarnya merupakan kewajiban masing-masing individu. Namun, dalam kondisi tertentu, diperlukan campur tangan pihak yang memiliki otoritas, terutama ketika terjadi sengketa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa peradilan agama di Indonesia telah ada seiring masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.[3]

BAB III

PENUTUP

a.      Kesimpulan

Hukum Islam yang sejak dulu dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesadaran masyarakat Indonesia mengenai hukum dan keadilan yang memang jelas keberadaan atau eksistensinya dalam kerangka sistem hukum nasional. Secara instrumental, banyak ketentuan perundang-undangan Indonesia yang telah mengadopsi berbagai materi Hukum Islam ke dalam pengertian Hukum Nasional. Secara institusional, eksistensi Pengadilan Agama sebagai warisan penerapan sistem Hukum Islam sejak zaman pra penjajahan Belanda, juga terus dimantapkan keberadaannya.

Menilik pada sistem kekuasaan ketatanegaraan yang dianut NKRI, yaitu Sistem Trias Politika dimana menurut Charles Secondat Baron de Labrede et de Montesquieu (Baca : Montesquieu) sistem pemerintahan/kekuasaan negara terbagi ke dalam tiga kekuasaan besar : Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, yang sudah barang kekuasaan tersebut harus terpisah (independen), baik mengenai fungsi maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang melaksanakan dalam Ilmu
b.      Saran
Semoga makalah yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Saya  menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis meminta kepada para pembaca kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Akhirnya saya mohon kepada Allah SWT, semoga selalu  melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin........

[1] Prof. Dr. Alaidin Koto,M.A, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal. 9-11
[2] Mujahidin, Ahmad, Dr., Peradilan Satu Atap di Indonesia (Bandung, Refika Aditama, 2007), hal. 20-21.

[3] Zuhriah, Erfaniah, M.H., Peradilan Agama di Indonesia (Malang, UIN Press, 2009). Hal 53


Tidak ada komentar:

Posting Komentar