Jumat, 27 Februari 2015

TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT : 221 (MENIKAHI WANITA MUSYRIK)

TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT : 221


وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلاَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {221}

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221).
Tafsir Ayat : 221

Maksudnya, { وَلاَ تَنْكِحُوْا } “Dan janganlah kamu menikahi” wanita-wanita, { الْمُشْرِكَاتِ } “musyrik” selama mereka masih dalam kesyirikan mereka, { حَتَّى يُؤْمِنَّ } “hingga mereka beriman”; karena seorang wanita mukmin walaupun sangat jelek parasnya adalah lebih baik daripada seorang wanita musyrik walaupun sangat cantik parasnya. Ini umum pada seluruh wanita musyrik, lalu dikhususkan oleh ayat dalam surat al-Maidah tentang bolehnya menikahi wanita ahli Kitab, sebagaimana Allah berfirman,

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلُُّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِاْلإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ {5}

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah : 5)

{ وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنَّ } “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman” Ini bersifat umum yang tidak ada pengecualian di dalamnya. Kemudian Allah menyebutkan hikmah dalam hukum haramnya seorang mukmin atau wanita mukmin menikah dengan selain agama mereka dalam firmanNya, { أُوْلئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ } “Mereka mengajak ke neraka”, yaitu, dalam perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan kondisi-kondisi mereka. Maka bergaul dengan mereka adalah merupakan suatu yang bahaya, dan bahayanya bukanlah bahaya duniawi, akan tetapi bahaya kesengsaraan yang abadi.

Dapat diambil kesimpulan dari alasan ayat melarang dari bergaul dengan setiap musyrik dan pelaku bid’ah; karena jika menikah saja tidak boleh padahal memiliki maslahat yang begitu besar, maka hanya sebatas bergaul saja pun harus lebih tidak boleh lagi, khususnya pergaulan yang membawa kepada tingginya martabat orang musyrik tersebut atau semacamnya di atas seorang muslim seperti pelayanan atau semacamnya.

Dalam firmanNya, { وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ } “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)” terdapat dalil tentang harus adanya wali dalam nikah. [ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ ] “Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan”, maksudnya, menyeru hamba-hambaNya untuk memperoleh surga dan ampunan yang di antara akibatnya adalah menjauhkan diri dari segala siksaan. Hal itu dengan cara mengajak untuk melakukan sebab-sebabnya berupa amal shalih, bertaubat yang sungguh-sungguh, berilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya.

{ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ } “Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya)” maksudnya, hukum-hukumNya, dan hikmah-hikmahnya, { لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ } “kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Hal tersebut mewajibkan mereka untuk mengingat apa yang telah mereka lupakan dan mengetahui apa yang tidak mereka ketahui serta mengerjakan apa yang telah mereka lalaikan.

Pelajaran dari Ayat :
  • Diharamkan bagi seorang mukmin menikahi wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita Ahli Kitab (baik Yahudi ataupun Nashrani) sebagaimana di nyatakan dalam firman Allah Ta’ala yang tersebut diatas (“…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik….” (QS. Al-Maidah : 5)), akan tetapi walaupun hal itu dibolehkan yang lebih utama adalah hendaknya seorang mukmin tidak menikah dengan mereka (wanita ahli kitab), karena akan berakibat kepada anak keturunannya (akan mengikuti agama dan akhlak ibunya yang musyrikah), atau bisa jadi berakibat buruk bagi dirinya, karena kecantikan, kecerdasan, atau akhlaknya yang akan menjadikan laki-laki tersebut hilang akal sehingga menyeretnya kepada kekufuran.
  • Terdapat kaidah ‘Berlakunya sebuah hukum itu tergantung ada atau tidak adanya penyebab’, karena dalam firman Allah “..sebelum mereka beriman..”. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Ketika label –musyrikah- pada seseorang telah hilang maka halal dinikahi, dan sebaliknya ketika label –musryikah- masih ada maka haram menikahinya’.
  • Ayat diatas menunjukkan bahwa seorang suami adalah ‘wali’ bagi dirinya
  • Diharamkan bagi seorang wanita muslimah menikah dengan seorang kafir secara mutlaq tanpa terkecuali. Baik dari Ahli Kitab dari lainnya, dalam firman Allah yang lain ditegaskan : “…. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka….” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
  • Syarat adanya seorang wali bagi seorang wanita ketika menikah, sebagaimana firmanNya “…Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman…”, ayat tersebut ditujukan untuk para wali bagi wanita mukminah, dengan demikian tidak sah hukumnya menikah tanpa wali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan dalam sabda beliau, “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali”, dalam hadits shahih riwayat Abu Daud beliau bersabda, “Wanita mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, batal, batal (3x).”
  • Ancaman terhadap berkasih sayang bersama orang-orang musyrik, bergaul atau bercampur bersama mereka. Karena mereka mengajak kepada kekufuran dengan prilaku, ucapan dan perbuatan mereka dengan demikian berarti mereka mengajak kepada neraka.
  • Wajibnya ber-muwaalah (berkasih sayang, setia) dengan orang-orang mukmin karena mereka mengajak ke surga, dan ber-mu’aadah (memusuhi, benci) terhadap pelaku kekufuran dan kesesatan karena mereka mengajak ke neraka.
  • Ayat tersebut menunjukkan bahwa orang mukmin adalah lebih baik dari pada orang musyrik, walaupun musyrik tersebut memilki sifat-sifat yang menakjubkan.
  • Menunjukkan bahwa keutamaan manusia adalah berbeda-beda, dan tidaklah mereka pada derajat yang sama.
  • Ayat tersebut merupakan BANTAHAN bagi orang-orang yang mengatakan bahwa, “Sesungguhnya Agama Islam adalah ‘Dinun musaawah’ (Agama kesetaraan)”, dan yang mengherankan juga bahwa lafadz ‘AL-MUSAAWAAH’ tidaklah ada penetapannya didalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah, dan Allah Ta’ala juga tidak memerintahkan hal tersebut, tidak pula menganjurkannya. Karena, jika engkau paksakan juga dengan lafadz ‘Al-Musaawah’(kesetaraan), maka tentulah akan setara antara yang fasiq, adil, kafir, dan mukmin, dan setara antara laki-laki dan wanita; itulah yang yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam terhadap kaum muslimin. Akan tetapi Islam telah mendatangkan kalimat yang tepat, yang lebih baik dari kalimat ‘al-Musaawah’ dan tidak pula mengandung dugaan-dugaan makna atau maksud yang bermacam-macam, yaitu lafadz AL-‘ADL Allah berfirman : {إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ } yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil…” (QS. An-Nahl : 90), kalimat Al-‘Adl maksudnya adalah menyamakan antara dua hal yang semisal, dan membedakan antara dua hal yang berbeda. Karena ‘Al-‘Adl adalah memberikan segala sesuatu sesuai haknya. Yang jelas bahwa kalimat AL-MUSAAWAH adalah kalimat yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam terhadap kaum muslimin; yang mana kebanyakan kaum muslimin, khususnya muslim yang memiliki Tsaqafah ‘Amah (perpengetahuan umum), mereka tidak memiliki kejelian atau pandangan yang tajam terhadap suatu perkara, tidak pula membedakan antara isthilah yang satu dengan yang lainnya, sehingga didapati penilaian atau prasangka terhadap kalimat –almusawaah- tersebut seolah-olah kalimat yang bercahaya diatas slogan ‘Islam adalah dinun musaawah (Agama kesetaraan)’. Maka dalam hal ini Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan (ketika menafsirkan ayat tersebut diatas dalam kitabnya) “Kalaulah engkau katakan, ‘Islam adalah Dinul ‘Adl’ (Islam adalah Agama yang adil) maka hal itu lebih utama dan sangat sesuai dengan realita Islam”. Wallahu A’lam
Sumber :
1. Tafsir as-Sa’diy
2. Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Syaikh Ibnu Utsaimin.
3. Aisar at-Tafasir. 


http://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatquran&id=117

Kamis, 19 Februari 2015

القاعدة الكبرى الخامسة: العادة محكَّمة


تعريف العادة([1]):

لغة: هي الديدن، وعَوَّدته كذا فاعتاده، وتعوده أي: صيرته له عادة، وسمي العيد عيدا لأنه يعود، واسْتَعَدْتُ الرجل: سألته أن يعود، وسُميت العادة بذلك؛ لأن صاحبها يعاودها، أي يرجع إليها مرة بعد أخرى.

اصطلاحاً: عرفت العادة بعدة تعريفات منها:

1- ما استمر الناس عليه على حكم العقول وعادوا إليه مرة بعد أخرى.

2- ما استقر في النفوس من الأمور المتكررة المعقولة عند الطباع السليمة.

3- الأمر المتكرر من غير علاقة عقلية([2]).

وقد رجح التعريف الأخير بعض العلماء والباحثين، حيث لم يخص العادة بكونها موافقة للعقل أو الشرع، فهي عادة وإن خالفت ذلك.

 ومعنى محكَّمة: اسم مفعول بمعنى فاعل أي حاكمة فالمراد أن تكون العادة حَكَماً يرجع إليها عند الاختلاف، ويقضى لمن وافقها.

والفقهاء يوردون لفظ العادة، وأحياناً يوردون العرف، وقولهم: «العادة محكمة» والمراد والعرف أيضاً، لأن بعض العلماء  لايرى التفريق بينهما.

تعريف العرف

لغة: أطلق لفظ العرف في اللغة على عدة معان، منها:

أنه ضد النُّكر، واسم من الاعتراف، والعرف يطلق أيضاً على المكان المرتفع من الأرض وغيرها، وقوله تعالى]خذ العفو وأمر  بالعرف [ ، أي: المعروف، والمعروف اسم لكل فعل يعرف بالعقل أو الشرع حسنه.

اصطلاحاً: عرف العرف بعدة تعريفات منها:

1-ما استقر في النفوس من جهة العقول وتلقته الطباع السليمة بالقبول([3]).

2-ما اعتاده الناس وساروا عليه من كل فعل شاع بينهم، أو لفظ تعارفوا إطلاقه على معنى خاص لا تألفه اللغة، و لايتبادر غيره عند سماعه، وهو بمعنى العادة الجماعية.

3- ما اعتاده أكثر الناس وساروا عليه في جميع البلدان، أو في بعضها سواء أكان ذلك في جميع العصور، أم في عصر معين.

والذي يترجح -والله اعلم - التعريف الأول([4])؛ لوجازته ووفائه بالمقصود إذ أدخل العرف القولي والعملي، كما أخرج العادة الفردية بما يفهم من قوله (ما استقر في النفوس).

الفرق بين العرف والعادة:

قيل في الفرق بينهما ثلاثة أقوال:

1- أنه لا فرق بينهما، فهما بمعنى واحد.

2- أنَّ العرف مخصوص بالقول، وأن العادة مخصوصة بالعمل.

3- أن بينهما عموم وخصوص مطلق، فالعادة أعم، إذ تطلق على العادة الجماعية وهي العرف، كما تطلق على العادة الفردية فكل عرف عادة، ولا عكس، ولعل هذا هو الأرجح.

أقسام العرف والعادة باعتبار سببه: قسمان:

1- قولي: وهو ما إذا أطلق فُهم منه معنى لم يوضع ذلك اللفظ له، من غير قرينة. مثل لفظ الشواء يطلق على اللحم فقط، دون ما يشوى من غيره.

2- عملي: وهو ما جرى عليه عمل الناس في جميع البلدان أو بعضها.

كما ينقسم باعتبار من يصدر عنه إلى ثلاثة أقسام:

1- العرف العام: هو ما تعامل به المسلمون في قديم الدهر أو حديثه في سائر الأقطار.

2- العرف الخاص: هو ما اختص به أهل بلد أو حرفة دون سواهم.

3- العرف الشرعي، كالمنقولات الشرعية، كلفظ الصلاة حيث نقل من المعنى اللغوي وهو الدعاء إلى العبادة المخصوصة المفتتحة بالتكبير والمختتمة بالتسليم.



شروط تطبيق القاعدة([5]):

1- أن لا يخالف العرف أو العادة أصلاً أو نصاً شرعياً، أو قاعدة متفقاً عليها، أو إجماعاً، ومن ذلك إذا جرت عادة أهل بلد على فعل عبادة معينة، فلا يقبل لأن الأصل في العبادات التوقيف.

2- ألا يعارضه ما يدل على خلاف المراد منه، بأن يصرح  صاحب الشأن بخلاف ما يدل عليه العرف فيسقط اعتباره، وكذا إن كان له معنى  يدل عليه في اللغة أو في الشرع، قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: «إن هذه الأسماء جاءت في كتاب الله وسنة رسوله معلقاً بها أحكام شرعية، وكل اسم فلابد له من حد، فمنه ما يُعلم حده باللغة، كالشمس والقمر والبر،…، ومنه ما يعلم بالشرع، كالمؤمن، والكافر، والمنافق، وكالصلاة،.. وما لم يكن له حد في اللغة، ولا في الشرع، فالمرجع فيه إلى عرف الناس، كالقبض».

3- أن يكون مطرداً. بمعنى أنه لو كان يفعل أحياناً، فهو عادة غير مطردة ، فلا تعتبر.

3-أن يكون العرف موجوداً عند إنشاء التصرف المستند عليه. بمعنى أن لايكون العرف قد ذهب ولم يكن عرفاً حال إنشاء التصرف، بمعنى أن لايستدل بالحادث على القديم.

وهذه القاعدة من قواعد الفقه الكبرى التي سهلت أمور الناس ويسرت حاجاتهم، ومن الأدلة الناصعة على صلاحية الشريعة لكل زمان ومكان، فإن الشرع ما نزل بالحرج }وما جعل عليكم في الدين من حرج { ؛ لأن ترك الناس وما اعتادوا في بعض شؤونهم على عرفهم وعادتهم تسهيل وتيسير عليهم، لذا فإن الشرع المطهر، يقر الأحكام التي تكون وفق عادات الناس وأعرافهم غير المخالفة للنصوص وهذه القاعدة يجب على كل مفت للناس أن يستحضرها إفتاء، وأن يبينها تعليماً؛ يقول ابن القيم رحمه الله: «من أفتى الناس بمجرد المنقول في الكتب على اختلاف عرفهم وعوائدهم وأزمنتهم وأمكنتهم وأحوالهم وقرائن أحوالهم فقد ضل وأضل، وكانت جنايته على الدين أعظم من جناية من طبب الناس كلَّهم على اختلاف بلادهم وعوائدهم، وأزمنتهم وطبائعهم بما في كتاب من كتب الطب على أبدانهم، بل هذا الطبيب الجاهل، وهذا المفتي الجاهل، أضر ما[يكون]على أديان الناس وأبدانهم »، ومما يدل على أهمية هذه القاعدة تخصيص العادة للعموم، قال ابن رجب رحمه الله: «قاعدة يخص العموم بالعادة على المنصوص».

والحكم بالعرف من أقدم مصادر القانون، كما يذكر ذلك المؤرخون، فكان هو حاكم حياتهم ومنظم شئونهم.

وللعرف في الشريعة شأن كبير، فإنه يُحكم به في مواضع لا تحصى في أكثر أبواب الفقه.

وخلاصة القول: إن القاعدة أفادت أنه إذا جرت عادة الناس على أمر من الأمور فإن هذه العادة حجة معتبرة.



دليل القاعدة:

1-  قوله تعالى : ] خذ العفو وأمر بالعرف [، والعرف هو المعروف، وهو اسم لكل فعل يعرف بالعقل أو الشرع حسنه، فالعرف في القاعدة داخل في بيان حد المعروف هنا، بل قال ابن عطية: «وقوله ]وأمر بالعرف[ معناه: بكل ما عرفته النفوس مما لا تردُّه الشريعة».

2- قوله تعالى: } وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف {

3- قولهلهند رضي الله عنها: (خذي أنت وبنوك مايكفيك بالمعروف).

4- إقرار النبي r لكثير من الأعراف التي كانت موجودة في زمنه r.

5- ماجاء عن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال: (مارآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسن)

وفي وقائع  هذه الأدلة وغيرها، دليل على اعتبار الشَّرع للعرف، والحكم بمقتضاه والإحالة إليه.



من فروع القاعدة:

1- أن اليسير من الدم الذي يبطل به الوضوء، هو ما يفحش في القلب، ومردُّ ذلك إلى العرف.

2- إذا اتفق المتبايعان هنا في المملكة العربية السعودية على أن سعر السلعة مائة ألف، ثم بعد ذلك اختلفا، فقال البائع إنما هو بالدولار، وقال المشتري بل الريال، فالمعتبر الريال؛ لأنه الذي جرت به العادة في التبايع فيها.

3- عدم الضمان على من وضع في المسجد شيئاً ينتفع به الناس، ولم يتعد في وضعه، إذا تلف به أحد؛ لأن العرف جار بأنه مأذون فيه من غير استئذان أحد.

4- حمل اليمين على العرف والعادة، فمن حلف لا يتكلم ثم قرأ القرآن، لا يحنث؛ لأن العرف لا يطلق الكلام إلا على كلام الآدميين، وكذا لو حلف لايأكل من هذه الشجرة، فلا يحنث بأكل ورقها، وإنما الحنث بأكل الثمرة؛ لأنها ما يؤكل عادة.

5- جواز المسح على العمامة إذا كانت ساترة لجميع الرأس الا ما جرت العادة بكشفه كمقدم الرأس والأذنين وجوانب الرأس ([6]).

6- أن ثمن المثل للماء معتبر بما جرت به العادة، في تلك البقعة([7]).

7- أن الوعاء الذي فيه الهدية، إن جرت العادة بإعادته أعاده، وإلا فهو هدية معه([8]).

8- أن حرز المال ماجرت العادة بحفظه فيه([9])

BAHAYA TAQLID

Semua amalan kita masing masing yang akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Semua yang diikuti akan berlwpas diri dari yang mengikutinya, sampai sampai syaitan pun berlepas diri dari pengikutnya. Maka oleh karena itu jangan asal ikut saja dalam beragama, Allah berfirman dalam surat Ibrohim ayat 22:

وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الْأَمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ ۖ وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلَّا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي ۖ فَلَا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ ۖ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ ۖ إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ ۗ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih.

BAHAYA GHIBAH


عن سفيان بن حسين قال :
( ذكرت رجلاً بسوء عند إياس بن معاوية ، فنظر في وجهي ، وقال :
أغزوتَ الرومَ ؟ قلت : لا ، قال : فالسِّند والهند والترك ؟ قلت: لا .
قال : أفَتسلَم منك الروم والسِّند والهند والترك ، ولم يسلَمْ منك أخوك المسلم ؟! قال: فلَم أعُد بعدها ) .
البداية والنهاية لابن كثير (13/ 121)


Dari sufyan bin Husain ia berkata: " Aku menyebut seseorang di samping Iyas bin Mu'awiyah, lantas ia melihat kepada wajahku dan berkata: " Apakah kamu telah ikut memerangi Rumania? Aku jawab: tidak, negeri sindi, india dan turk? Aku jawab: tidak. Lalu ia berkata:" Apakah Rumania, Sindi, india, dan Turk selamat dari dirimu sementara Saudaramu yang Muslim tidak selamat dari dirimu (lidahmu)?!, ia berkata: Maka aku tidak pernah mengulang (menggunjungi orang lain) setelah itu. (Al bidayah wan nihayah 13/121).

PENGOBATAN DENGAN RUQYAH UNTUK PENYAKIT JIWA



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah seorang mukmin bisa menderita sakit jiwa ? Apakah obatnya secara syara ? perlu diketahui bahwa pengobatan modern mengobati penyakit-penyakit ini hanya dengan obat-obatan masa kini saja ?

Jawaban
Tidak disangsikan lagi bahwa manusia bisa menderita penyakit-penyakit jiwa berupa ‘hamm’ (sakit hati) terhadap masa depan dan ‘huzn’ (duka cita) terhadap masa lalu. Penyakit-penyakit kejiwaan lebih banyak mempengaruhi tubuh daripada penyakit-penyakit anggota tubuh. Pengobatan penyakit-penyakit ini dengan perkara syar’iyah (ruqyah) lebih manjur daripada pengobatannya dengan obat-obatan yang biasa digunakan.

Di antara obat-obatan adalah hadits shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.


إِنَّهُ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُصِيْبُهُ هَمٌّ أَوْ غَمٌّ أَوْ حُزْنٌ فَيَقُوْلُ: اَللّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فيِ كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فيِ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلِ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ إِلاَّ فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ

“Artinya : Tidak ada seorang mukmin yang menderita hamm, atau, ghamm, atau duka cita, lalu ia membaca, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hambaMu, anak hamba laki-lakiMu, anak hamba perempuanMu, ubun-ubunku di tanganMu, berlaku hukum engkau padaku, qadhaMu sangat adil padaku, aku memohon kepadMu dengan segala nama yang Engkau namakan diriMu dengannya, atau Engkau beritahuk kepada seseorang makhlukMu, atau Engkau turunkan dalam kitabMu, atau hanya Engkau yang mengetaguinya dalam ilmu ghaib di sisiMu, jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penerang duka citaku, dan hilangnya hamm (sakit hati)ku. Melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melapangkan darinya” [Hadits Riwayat Ahmad dalam Al-Musnad 3704-, 4306]

Siapa yang menginginkan tambahan lagi, rujuklah (bacalah) kepada kitab yang ditulis para ulama dalam bab dzikir, seperti Al-Wabil Ash-Shayyib karya Ibnul Qayyim, Al-Kalim Ath-Thayyib karya Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, Al-Adzkar oleh An-Nawawi, demikian pula Zad Al-Ma’ad karya Ibnul Qayyim.

Tetapi manakala iman lemah, nicaya lemahlah penerimaan jiwa terhadap obat-obatan syar’iyah. Sekarang manusia lebih banyak berpegang kepada obat-obatan nyata daripada berpegang mereka terhadap obat-obatan syar’iyah. Dan manakala iman kuat, niscaya obat-obatan syar’iyah memberikan implikasi secara sempurna, bahkan impilkasinya lebih cepat daripada pengaruh obat-obatan biasa. Sangat jelas bagi kita semua cerita seseorang yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu pasukan (sariyah). Lalu mereka singgah di suatu kaum bangsa Arab. Tetapi kaum/suku yang mereka singgahi tidak memberikan jamuan kepada para sahabat. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki pemimpin kaum tersebut digigit ular. Sebagian mereka berkata kepada yang lain, “Pergilah kepada mereka yang telah singgah/mampir, mungkin saja kalian mendapatkan ahli ruqyah di sisi mereka””. Para sahabat berkata, “Kami tidak akan meruqyah pemimpin kalian, kecuali kalau kalian memberikan kepada kami kambing sebanyak begini dan begini”. Mereka menjawab, “Tidak mengapa”. Lalu salah seorang sahabat pergi membacakan surah Al-Fatihah. Orang yang digigit ular tadi langsung berdiri, seolah-olah berlepas dari ikatan. Seperti inilah, bacaan Al-Fatihah memberikan pengaruh atas laki-laki ini, karena ia muncul dari hati yang penuh iman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah mereka kembali kepada beliau” Tahukan engkau bahwa ia adalah ruqyah” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, Kitab Ath-Thibb 5749, Muslim, kitab As-Salam 2201]

Namun di zaman kita sekarang ini, iman dan agama telah lemah. Manusia berpegang atas perkara-perkara yang terasa dan nampak. Sebenarnya mereka diuji padanya. Akan tetapi di hadapan mereka terdapat para ahli sulap dan mempermainkan akal, kemampuan, dan harta manusia. Mereka meyakini sebagai qurra (pembaca Al-Qur’an) yang bersih, namun mereka sebenarnya adalah pemakan harta dengan cara batil. Manusia berada diantara dua sisi yang kontardiktif, di antara mereka ada yang bersikap ekstrim dan tidak melihat adanya implikasi secara absolute terhadap bacaan. Ada pula yang bersikap ekstrim dan bermain dengan akal manusia dengan bacaan bohong serta menipu. Ada pula yang berada di tengah.

[Fatawa Al-Ilaj bil Qur’an wa Sunnah – Ar-Ruqa wa ma ya’taallaqu biha, karya Syaikh bin Baz, Ibn Utsaimin, Al-Lajnah Ad-Da’imah, hal. 25-27]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq]


UCAPANMU AKAN MEMPENGARUHI DIRIMU.

ﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺩﻳﻨﺎﺭ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ :« ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺖ ﻗﺴﺎﻭﺓ ﻓﻲ
ﻗﻠﺒﻚ، ﻭﻭﻫﻨﺎ ﻓﻲ ﺑﺪﻧﻚ، ﻭﺣﺮﻣﺎﻧﺎ ﻓﻲ ﺭﺯﻗﻚ، ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻧﻚ
ﺗﻜﻠﻤﺖ ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﻳﻌﻨﻴﻚ ».[ ﻓﻴﺾ ﺍﻟﻘﺪﻳﺮ ﻟﻠﻤﻨﺎﻭﻱ ١ /٣٦٩ ]


Berkata Malik bin Dinar Rahimahullah: 
"Apabila Engkau melihat kekakuan didalam hatimu, kelemahan di dalam fisikmu, dan kesempitan di dalamrezekimu.
Maka ketahuilah, bahwa Engkau telah banyak berbicara dengan
perkara yang tidak bermanfaat bagimu".

[Faidhul Qodir karya al-Munawiy (1/369)]

Semoga kita selalu mendapatkan taufiq dari Allah Ta'ala untuk senantiasa menjaga lisan kita dan kokoh diatas As-Sunnah.

Minggu, 15 Februari 2015

BERSABAR DALAM BELAJAR

Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bersyair dalam Diwannya :
اصبر على مر الجفا من معلم
Sabarlah terhadap perangai keras dari seorang guru...

فإن رسوب العلم في نفراته
Karena sesungguhnya kegagalan ilmu adalah jika engkau lari darinya...

و من لم يذق مر تعلم ساعة
Barangsiapa yang tidak pernah mengecap pahitnya menuntut ilmu walau sesaat..

تجرع ذل الجهل طول حياته
Sungguh ia terjerembab ke dalam hinanya kebodohan sepanjang hidupnya...

و من فاته التعليم وقت شبابه
Dan barangsiapa terlewat masa mudanya dari menuntut ilmu...

فكبر عليه أربعا لوفاته
Maka bertakbirlah engkau atasnya empat kali takbir jenazah atas kematiannya...

و ذات الفتى و الله بالعلم و التقى
Kemuliaan seorang pemuda demi Allah terletak pada ilmu dan ketakwaannya...

إذا لم يكونا لا اعتبار لذاته
Jika keduanya tidak ada maka sungguh tidak berguna dirinya...

Sabtu, 14 Februari 2015

SYIRIK AKBAR (MEYAKINI ORANG MATI DAPAT MEMBERIKAN MANFAAT & MUDHARAT)

الامام صالح الفوزان حفظه الله :
من كان يعتقد في الأموات انهم ينفعون او يضرون وينذر لهم ويتقرب اليهم فهذا مشرك الشرك الأكبر - المنتقى


Berkata As-syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah :
Barangsiapa meyakini mengenai orang mati dapat memberikan manfa'at dan mudharat, lalu ia pun bernadzar untuk mereka dan bertaqarrub kepada mereka maka orang ini musyrik dengan SYIRIK AKBAR [Al-Muntaqa]

PERKATAAN ULAMA BUKAN HUJJAH

قال شيخ الإسلام رحمه الله :
" وليس لأحد أن يحتجَّ بقولِ أحدٍ في مسائل النِّزاع ، وإنما الحُجَّة :
النصُّ والإجماع ، ودليل مستنبط من ذلك تقرر مقدماته بالأدلة الشرعية .
لا بأقوال بعض العلماء ، فإن أقوال العلماء يُحتجُّ لها بالأدلة الشرعية.
لا يُحتجُّ بها على الأدلة الشرعية ."
[ الفتاوى ٢٦/ ٢٠٢-٢٠٣]


Berkata Syaikhul Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
Dan tidak boleh bagi seseorang berhujjah dengan ucapan seseorang dalam perkara yang diperselisihkan, karena sesungguhnya hujjah itu hanyalah : Nash, ijma', dan dalil yang diistinbathkan, yang dari itu ditetapkan muqaddimah-muqaddimahnya berdasarkan dalil-dalil syar'iyyah. bukan berdasarkan perkataan-perkataan para ulama', karena sesungguhnya perkataan ulama' itu dapat dijadikan hujjah berdasarkan dalil-dalil syar'iyyah. dan tidak dapat dijadikan hujjah dengan perkataan ulama' tersebut untuk menentang dalil-dalil syar'iyyah.
[ Al-Fataawaa 26/202-203 ]

PERJUANGAN UNTUK BERTOBAT

قيل للحسن البصري
يا أبا سعيد .. إن الرجل يخطئ ثم يتوب ويخطئ ثم يتوب ويخطئ .. إلي متي؟!
قال .. إلي أن ييأس الشيطان منه ...!!
اللهم توبة لا انتكاسة بعدها


Dikatakan kepada Al-Hasan AlbAshri rahimahullah :
Wahai Abu Sa'id.. jika ada seseorang yang berbuat salah kemudian bertaubat, kemudian berbuat salah lagi, kemudian bertaubat lagi, kemudian berbuat salah lagi.. sampai kapan ia terus begitu ?
Al-Hasan Al-Bashri menjawab : sampai Syaithan pun menyerah darinya...

Jumat, 13 Februari 2015

TIDAK PERNAH BERTEMU SALAFUS SHALIH MENGAKU BERMANHAJ SALAF

Salah satu fitnah akhir zaman adalah orang-orang pada masa kini (khalaf) yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholih namun pada kenyataannya tentu mereka tidak pernah bertemu dengan Salafush Sholih.

Perlu kita ingat bahwa nama-nama para Sahabat yang tercantum pada hadits, pada umumnya mereka berposisi sebagai perawi, bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad atau istinbat mereka melainkan para Sahabat sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah membaguskan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya -dalam lafadz riwayat lain : lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).

Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi (para Sahabat) yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Jadi pendapat atau pemahaman para Sahabat tidak bisa didapatkan cuma dari membaca hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata :

المجموع شرح المهذب - (ج 1 / ص 55)
وليس له التذهب بمذهب أحد من ائمة الصحابة رضى الله عنهم وغيرهم من الاولين وان كانوا أعلم وأعلا درجة ممن بعدهم لانهم لم يتفرغوا لتدوين العلم وضبط اصوله وفروعه فليس لاحد منهم مذهب مهذب محرر مقرر وانما قام بذلك من جاء بعدهم من الائمة الناحلين لمذاهب الصحابة والتابعين القائمين بتمهيد أحكام الوقائع قبل وقوعها الناهضين بايضاح اصولها وفروعها كمالك وأبى حنيفة وغيرهما


“Dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka dari generasi awal, walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka. Hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk menyusun ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas (dasar) dan furu’ (cabangnya). Tidak ada salah seorang dari mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut, dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas (dasar) dan furu’ (cabang) ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”

Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri bukan pendapat atau permahaman para Sahabat.

Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat berijtihad dengan pendapatnya sendiri terhadap hadits yang mereka baca. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman para Sahabat.

Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah dan kekurangajaran terhadap para Sahabat.
Wallahu A'lam.............

Kamis, 12 Februari 2015

PERADILAN AGAMA ISLAM


PENGERTIAN, DASAR, EKSISTENSI, DAN PENTINGNYA PERADILAN AGAMA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

      Peradilan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia dan suatu tugas suci yang diakui oleh semua kalangan, baik kalangan bangsawan ataupun kalangan religius. Peradian dapat menyahuti kebutuhan terhadap keadilan dan kebenaran, yang pada gilirannya membawa manusia kepada ketenangan hati dan ketentraman jiwa, mempererat hubungan silaturrahmi, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar.
Keadilan baru dapat diwujudkan, bila setiap pencari keadilan menerima perlakuan seadil-adilnya. Hal itu bisa terlaksana ketika hukum yang ditetapkan sesuai dengan apa yang telah disinyalir Allah dalam Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan wujud keadilan itu tidak akan dapat terealisasi kalau hanya terikat dengan peraturan-paraturan yang ada saja melainkan juga harus dibarengi dengan sarana dan prasarananya, dalam hal ini adalah Lembaga Peradilan. Sehingga perlindungan terhadap jiwa, harta dan kehormatan bagi pencari keadilan akan tercapai secara konkrit.

B.     Rumusan Masalah

1.      Pengertian Peradilan Agama
2.      Dasar Hukum Peradilan Agama
3.      Eksitensi Peradilan Agama Dalam Kerangka Pendekatan Hukum
4.      Pentingnya Peradilan Agama Bagi Umat Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Peradilan Agama
Dalam bahasa Arab, peradilan disebut al-qadha yang secara etimologi memiliki beberapa arti:
1.      Al-faragh artinya putus atau selesai. Seperti firman Allah Swt:

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya . Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. ( QS. Al-Ahzab (33): 37).

2.     Al-Adaa’ artinya menunaikan atau membayar, seperti firman Allah Swt:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah (62): 10)

3.      Al Hukm artinya mencegah atau menghalangi. Dari kata inilah maka qadhi-qadhi disebut sebagai hakim, karena mencegah terjadinya kezhaliman orang yang mau berbuat dzhalim.
4.      Arti lain dari kata qadha adalah memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan.
Jadi, sebenarnya qadhi menurut bahasa artinya orang yang memutuskan perkara dan menetapkanya.
Kemudian, secara terminology, peradilan dan qadha memiliki beberapa makna, antara lain:
الولاية الامور
Kekuasaan yang dikenal (kekuasaan yang mengadili atau memutuskan perkara)
هو الفصل في الخصومات حمسا لتداعى وقطعا لنزع بالاحكام الشرعية المتلفاة من الكتاب و السنة
“Menyelesaikan perkara pertengkaran untuk melenyapkan gugat menggugat dan untuk memotong pertengkaran dengan hukum-hukum syara’yang dipetik dari Al-qurán dan Assunnah”.
Menurut Ukbariy dalam Kulliatnya yang dimaksud peradilan adalah:
قول ملزم صدر عن ذي ولاية عامة
“Peraturan yang harus diikuti, yang terbit dari penguasa, yang mempunyai kekuasaan umum”.[1]

Dengan demekian pengertian peradilan agama adalah pengadilan yang memeriksa dan memutuskan perkara-perkara antara orang-orang Islam, yang berkaitan dengan nikah, rujuk, talak (perceraian), nafkah, waris, dan lain-lain.

Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruak dalam penerapan system peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan amandemen UUD 1945 yakni pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.

Ke-empat lembaga peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung, baik dalam hal teknis yudisialnya maupun non teknis yudisialnya. Adapun strata ke-empat lembaga tersebut adalah :

a.      Lingkungan peradilan umum terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.

b.      Lingkungan peradilan agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI. Adapun Pengadilan Agama yang ada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasar Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003 diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah, seadangkan Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

c.      Lingkungan Peradilan militer terdiri dari Mahkamah Militer sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.

d.      Lingkungan peradilan tata usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.

Adapun kewenangan absolut Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah Syar’iyyah Provinsi adalah kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Kewenangan lain tersebut dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka system peradilan nasional. Mengenai kewenangan relatif Mahkamah Syar’iyyah adalah daerah hukum eks Pengadilan Agama yang bersangkutan, sedangkan kewenangan relatif Mahkamah Syar’iyyah Provinsi adalah daerah hukum eks Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh.

B.     Dasar Hukum Peradilan Agama Di Indonesia
1.     Pasal (24) ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 beserta Amanademennya
2.     Pasal 10 ayat 92) jo. pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3.     Pasal 2, 3 dan 3A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan Undang_undang Nomor 3 Tahun 2006.
4.     Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
C.    Eksitensi Peradilan Agama Dalam Kerangka Pendekatan Hukum

Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.

Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung (MA) yang efektifnya akan dimulai 1 April 2004. Hasil revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR belum lama ini menyebutkan sistem peradilan satu atap dibawah MA selambatnya harus sudah dilaksanakan akhir Maret 2004. Dengan terbentuknya sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung menurut Bagir Manan maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan HAM serta Departemen Agama akan berpindah ke struktur Mahkamah Agung Republik Indonesia. Namun dengan belum selesainya penyusunan struktur organisasinya, maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan Departemen Agama belum akan segera dipindahkan ke lingkungan MA. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberi waktu kepada MA untuk menyiapkan struktur organisasi peradilan satu atap tersebut selama satu tahun.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka upaya dan langkah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama ke dalam Mahkamah Agung RI, terlepas ide dan gagasan kearah satu atapitu terinisiatif dari dalam orang-orang Peradilan Agama sendiri atau sebuah reaksi dari kenyataan sejarah dan hukum, sebagaimana telah dipaparkan diatas dan Abdul Gani Abdullah ungkap bahwa Peradilan Agama satu atap dalam Mahkamah Agung RI sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, meski masalah penetapan waktunya tidak ditentukan hal tersebut secara analisis teoritis karena persoalan Peradilan Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung RI bukan masalah berat bagi Departemen Agama RI, tetapi lebih dari karena eksistensi perjalanan sejarah Peradilan Agama itu sendiri yang sejak dulu hingga kini eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan umat Islam dan ulama dimana kecenderungan masyarakat atau umat Islam dan ulama, kiai (MUI) cenderung kurang menyetujui keinginan dan gagasan tersebut.[2]

Maka kehati-hatian untuk mencapai arah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama dalam Mahkamah Agung RI secara total harus ekstra diperhatikan, Jangan sampai tepatnya moment, adanya kesempatan dan besarnya dukungan terutama dari orang-orang legislatif (Baca : DPR) yang nampaknya begitu bersemangat untuk mendukung Peradilan Agama menyatu secara administratif dan teknis yuridis ke Mahkamah Agung menjadi sebuah euforia, sehingga dalam merealisasikan dan mengaktualisasikan harapan tersebut tidak memperhatikan hal-hal kecil namun memiliki sensitifitas yang tinggi dan dapat menimbulkan konflik kedepan.

Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan, yang di antaranya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradlan Tata Usaha Negara. Selain itu Peradilan Agama juga merupakan peradilan khusus, yang mana diartikan peradilan khusus karena PA mengadili perkara-perkara tertentu yaitu hanya berwenang di bidang perdata Islam saja dan juga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Islam saja.

D.    Pentingnya Peradilan Agama Bagi Umat Islam

Secara resmi, tonggak kelahiran PA di Indonesia ditetapkan pada tanggal 19 Januari 1882. Penetapan tersebut didasarkan pada ketetapan Raja Belanda, Willem III, Nomor 24 tentang Peradilan Agama (Priesterraden) untuk Jawa dan Madura. Namun demikian, menurut Zaini Ahmad Noeh (1985), penetapan tersebut hanyalah merupakan pengakuan pemerintah Belanda terhadap adanya pranata peradilan agama di Indonesia. Karena, jauh sebelum penjajah Barat datang ke Indonesia, hukum Islam sudah diterima dan dilaksanakan sepenuhnya oleh umat Islam di Indonesia.

Ajaran Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian yang lazim dipahami oleh orang-orang Barat. Islam memiliki sistem hukum yang disebut syari’ah yang menjadi salah satu komponen utama ajarannya di samping aqidah dan akhlak. Pelaksanaan hukum tersebut, menurut Noeh, pada dasarnya merupakan kewajiban masing-masing individu. Namun, dalam kondisi tertentu, diperlukan campur tangan pihak yang memiliki otoritas, terutama ketika terjadi sengketa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa peradilan agama di Indonesia telah ada seiring masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.[3]

BAB III

PENUTUP

a.      Kesimpulan

Hukum Islam yang sejak dulu dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesadaran masyarakat Indonesia mengenai hukum dan keadilan yang memang jelas keberadaan atau eksistensinya dalam kerangka sistem hukum nasional. Secara instrumental, banyak ketentuan perundang-undangan Indonesia yang telah mengadopsi berbagai materi Hukum Islam ke dalam pengertian Hukum Nasional. Secara institusional, eksistensi Pengadilan Agama sebagai warisan penerapan sistem Hukum Islam sejak zaman pra penjajahan Belanda, juga terus dimantapkan keberadaannya.

Menilik pada sistem kekuasaan ketatanegaraan yang dianut NKRI, yaitu Sistem Trias Politika dimana menurut Charles Secondat Baron de Labrede et de Montesquieu (Baca : Montesquieu) sistem pemerintahan/kekuasaan negara terbagi ke dalam tiga kekuasaan besar : Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, yang sudah barang kekuasaan tersebut harus terpisah (independen), baik mengenai fungsi maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang melaksanakan dalam Ilmu
b.      Saran
Semoga makalah yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Saya  menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis meminta kepada para pembaca kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Akhirnya saya mohon kepada Allah SWT, semoga selalu  melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin........

[1] Prof. Dr. Alaidin Koto,M.A, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal. 9-11
[2] Mujahidin, Ahmad, Dr., Peradilan Satu Atap di Indonesia (Bandung, Refika Aditama, 2007), hal. 20-21.

[3] Zuhriah, Erfaniah, M.H., Peradilan Agama di Indonesia (Malang, UIN Press, 2009). Hal 53