Tajdid, Bagaimana Memahaminya
Oleh: Prof. Al Yasa Abu Bakar
Muhammadiyah
sejak awal kelahirannya sudah memproklamirkan diri sebagai organisasi
yang dalam faham keagamaannya berupaya untuk kembali kepada Al-qur’an
dan sunnah dan pada saat yang bersamaan menyatakan diri sebagai
persyarikatan yang menyandang predikat tajdid atau pembaharuan. Di dalam
berbagai dokumen yang ada, yang resmi dan tidak resmi, Muhammadiyah
hampir selalu menyatakan diri sebagai persyarikatan yang kembali kepada
Al-qur’an dan sunnah dan sekaligus juga sebagai gerakan tajdid. Dalam
Anggaran Dasarnya, dalam Pasal 4 disebutkan: (1)
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Ma`ruf Nahi Munkar dan
Tajdid, bersumber pada Al-qur’an dan As-Sunnah; (2) Muhammadiyah berasas
Islam.
Haedar Nasir, salah seorang Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah priode
2010-2015 memberi judul buku yang beliau terbitkan pada tahun 2010, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan.i
Dalam buku ini Haedar mengutip beberapa tokoh yang telah meneliti
Muhammadiyah, yang beliau kelompokkan menjadi empat: Kelompok pertama
seperti Deliar Noer, James L Peacock dan William Shepard menggolongkan
Muhammadiyah sebagai gerakan modern Islam atau modernisme Islam.
Kelompok kedua, seperti Alfian dan Wertheim menggolongkan Muhammaadiyah
ke dalam gerakan reformisme Islam. Kelompok ketiga, Abubakar Atjeh,
menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan kembali kepada ajaran Salaf (Muhyi Atsari al Salaf).
Kelompok keempat, seperti Clifford Geertz, George Kahin dan Robert van
Neil, memasukkan Muhammadiyah ke dalam gerakan sosiokultural. Menurut
Haedar, semua penamaan dengan berbagai istilah tersebut memberikan
substansi yang sama yaitu pembaruan atau tajdid. Menurut Haedar, bukti
substansial bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid dapat dirujuk
paling kurang pada tiga hal: (a) percikan gagasan dasar Kiyai Haji Ahmad
Dahlan selaku pendirinya; (c) pemikiran resmi yang dituangkan atau
dilembagakan dalam organisasi; dan (c) dalam wujud karya amaliah dari
pembaruan Muhammadiyah yang tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat.
Selain Abubakar Atjeh masih ada beberapa penulis lain yang menyebut
Muhammadiyah sebagai gerakan yang kembali kepada ajaran salaf atau
bahkan pengikut salafiyah. Dengan demikian oleh para pengamat, dan
mungkin juga oleh sebagian warganya, Muhammadiyah sebagai gerakan yang
ingin kembali kepada Al-qur’an dan sunnah didentifikasi dengan dua
metode: mengikuti cara-cara bahkan ajaran salaf atau mengikuti cara-cara
tajdid. Satu hal yang disepakati, Muhammadiyah tidak mengikuti mazhab,
dan mungkin lebih dari itu tidak mengunakan cara-cara mazhab untuk
memeahamiAl-qur’an dan sunnah.
Tetapi apa makna dari istilah “tajdid” sebagai metode untuk memahami
(kembali kepada) Al-qur’an dan sunnah, yang disebutkan di dalam berbagai
dokumen resmi Muhammadiyah, ataupun di dalam tulisan para peneliti,
serta bagaimana menerapkannya di kalangan Muhammadiyah, baik dalam
merumuskan ajaran dan pemikiran ataupun di dalam mengelola amal usaha,
kelihatannya belum diuraikan dan dirumuskan secara jelas apalagi tegas.
Buku Haedar pun tidak menguraikan hal tersebut. Karena itu dapat
dimaklumi sekiranya ada yang menyebut Muhammadiyah sebagai pengikut
aliran atau metode tajdid dan salaf secara bersamaan. Penyebutan ini
dapat dianggap wajar karena arti dari kedua istilah tersebut tidak
dijelaskan secara memadai. Sekiranya kedua istilah ini dipahami secara
apa adanya, maka menggabungkan keduanya sebagai paham atau aliran yang
diikuti oleh sebuah organisasi atau paham seseorang, dapat dianggap
mengandung kerancuan secara metodologis. Di pihak lain penyederhanaan
ini (klaim sekaligus menjadi pengikut salafi dan tajdidi) dapat
menimbulkan kebingungan di kalangan umat (termasuk warga Muhammadiyah
sendiri) karena salaf dan tajdid sebagai metode untuk memahami Al-qur’an
dan sunnah, adalah corak pemikiran atau manhaj yang berbeda. Lebih dari
itu istilah modernisme dan reformisme juga sebetulnya mempunyai makna
yang tidak sama, (tetapi tidak menjadi fokus penelitian ini). Jadi
kurang tepat sekiranya sebuah kelompok dianggap menjadi pengikut
pemikiran (metode) tajdid dan salaf atau modernisme dan reformisme
secara bersamaan.
Tulisan
ini akan berupaya menjelaskan corak atau model berpikir umat Islam
dalam upaya mereka memahami Al-qur’an dan sunnah, seraya berupaya
memposisikan Muhammadiyah, yang telah menyatakan diri berpegang kepada
Al-qur’an dan sunnah degan menggunakan manhaj tajdid.
Ada beberapa cara untuk memetakan (mengelompokkan) model atau corak
berpikir umat Islam, seperti salafi, mazhabi, ishlahi, dan tajdidi; ada
juga model lainnya, tradisionalis, revivalis, reformis, modernis, di
samping mungkin masih ada model-model yang lain. Penulis sendiri dalam
disertasi yang dimunaqasyahkan tahun 1989,ii
mengelompokkan pemikiran umat Islam, menjadi tiga model atau corak:
salafi, mazhabi dan tajdidi. Salafi adalah model pemikiran yang
mengikuti dan merujuk kepada cara berpikir yang dilakukan oleh para
Sahabat Rasulullah sesudah beliau wafat; sesudah mereka wafat hasil
pemikiran mereka sering disebut sebagai salafiyah. Karena itu pengikut
salaf dapat diidentifikasi sebagai pengikut cara-cara salaf, atau orang
yang mengikuti (bertaqlid) kepada pendapat-pendapat yang dihasilkan oleh
Sahabat. Mazhabi adalah model pemikiran yang mengikuti dan merujuk
kepada cara berpikir yang dilakukan oleh para ulama mazhab, yang muncul
mulai paroh akhir abad pertama hijriah (yang paling tua mazhab Ibadhiah)
dan terus berlanjut sampai awal abad keempat hijriah (mazhab Thabari,
yang kebetulan tidak mempunyai pengikut lagi). Pada masa belakangan
hasilpemikiran merelkapun dianggap sebagai mazhabi, sehingga orang
bermazhab mempunyai dua makna: mengikuti hasil pemikiran yang dihasilkan
oleh ulama mazhab, atau mengikuti metode yang ada di dalam
mazhab.Tajdidi adalah model pemikiran yang mengikuti dan merujuk kepada
cara berpikir yang dilakukan oleh para ulama kontemporer (dan hasil
pemikiran mereka), yang berusaha keluar dari kedua model di atas. Jadi
mereka berusaha melahirkan metode yang baru, yang kuat dugaan akan
menghasilkan pemikiran yang relatif baru, paling kurang dalam beberapa
aspeknya, yang sampai batas tertentu akan berbeda dengan apa yang
dihasilkan oleh kelompok salafi dan mazhabi. Kelompok tajdidi berupaya
mencari metode baru, adalah dalam upaya memahami dan menafsir ulang
Al-qur’an dan sunnah (guna menilai dan menyusun ulang pemikiran ulama
masa lalu) guna menjadikannya lebih sesuai dengan kebutuhan dan
kenyataan dalam masyarakat muslim masa kini.
Ciri utama pemikiran salafi adalah sifat atau coraknya yang merupakan
pemahaman atas Al-qur’an dan sunnah berdasarkan internalisasi atas
nilai-nilai, dalam kehidupan masyarakat yang relatif sangat sederhana.
Sahabat adalah generasi yang unik dalam sejarah Islam; karena merekalah
satu-satunya generasi–sepanjang sejarah, yang hidup bersama Rasulullah.
Karena itu mereka dapat memahami Islam secara internalisasi, langsung
dari hidup bergaul dengan Rasulullah, yang tidak mungkin dilakukan oleh
generasi manapun sesudah mereka. Ciri yang kedua, sebagai akibat dari
ciri yang pertama, cenderung sederhana dan lapang, dalam arti
menyelesaikan masalah secara langsung menurut apa adanya; tidak
memerlukan sistem (sistematika) ataupun kajian logika yang relatif
rumit. Cukup dengan pertimbangan subjektif yang dipandu oleh nilai
Islami yang sebelumnya sudah terbentuk melalui internaliasi. Ciri yang
ketiga sebagai akibat dari yang kedua, cenderung parsial (tidak
sistematis) sehingga ada yang menjadi tumpang tindih. Tetapi hal ini
tidak menimbulkan kesulitan karena mereka cenderung melihat atau
menyelesaikannya kasus perkasus, tidak berusaha mengolah atau
mengembangkannya sehingga menjadi sebuah sistem yang padu.
Sekiranya kita kritisi, maka pemikiran (manhaj) salafi mempunyai
kelebihan dan kekurangan diantaranya sebagai berikut. Kelebihannya,
mengikuti pendapat Sahabat akan memberikan kepuasan batin yang relatif
tinggi karena ada hadis yang memuji pemahaman para Sahabat, yang
maknanya lebih kurang: Sahabatku seperti bintang, yang mana saja kamu ikuti maka kamu akan mendapat petunjuk.
Kelebihan lainnya, pola pemahaman Sahabat cenderung sederhana, sehingga
Islam terkesan mudah, dan sederhana, tidak akan memikirkan atau
menonjolkan yang rumit-rumit. Pengikut model ini pada umumnya merasa
puas dengan pendekatan personal, kalau semua orang sudah baik maka
masyarakat bahkan negara dengan sendirinya akan menjadi baik, tidak
perlu memikirkan sistem ataupun model. Sedang kekurangannya, karena
Sahabat melakukan penafsiran berdasar internalisasi, maka model mereka
ini pada hakikatnya tidak dapat diikuti oleh generasi lainnya. Pola
sederhana, lapang dan subjektif yang mereka gunakan (yang berdasar
internalisasi) yang cenderung sangat parsial ataupun juz’iyyah, di
tangan para pengikutnya berubah menjadi tafsir yang relatif semena-mena,
bahkan liar atau sebaliknya menjadi kaku dan sempit, di samping tetap
bersifat parsial. Para pengikut kelomok ini sesudah masa Sahabat
cenderung memahami nash secara literal, atau menakwilkan secara relatif
subjektif, sesuai dengan jalan pikiran dan budaya serta adat mereka,
sehingga disadari atau tidak, ada pemikiran mereka ini yang dirasakan
sudah keluar dari nilai dan semangat Al-qur’an.
Hal
penting lain yang harus diperhatikan, Sahabat adalah generasi yang
di-Islamkan oleh Rasulullah, yang sebelumnya hidup dalam adat Arab
jahiliah. Sekiranya hasil ijtihad para Sahabat dicermati dengan baik,
akan terlihat bahwa sebagian pendapat tersebut masih bersemangat
jahiliah (keluar dari semangat Al-qur’an). Ketika Rasulullah hidup
pendapat yang bersemangat atau bahkan kembali ke jahiliah ini akan
langsung beliau perbaiki. Karena Rasulullah sudah wafat, maka pendapat
yang bersemangat jahiliah ini tidak dapat lagi dikonfirmasikan kepada
beliau, dan karena itu direkam oleh sejarah sebagai pendapat Sahabat.
Berhubung Sahabat telah diakui sebagai generasi yang unik, yang paling
memahami ajaran Rasulullah maka pemikiran mereka yang sebetulnya membawa
bias adat jahiliah tidak akan terliht dan cenderung diterima sebagai
tafsir otentik atas Al-qur’an dan hadis. Pendapat-pendapat yang
mengadung bias ini ini pada umumnya diterima dan berkembang menjadi
pendapat mayoritas, dan tetap diterima sampai ke masa kita sekarang.
Ciri utama pemikiran mazhabi adalah bentuknya yang relatif sudah sangat
sistematis, karena memang para ulama mazhab pada intinya menyusun
pendapat mazhabnya adalah untuk mensistematisasi pendapat para Sahabat
(salaf) yang saling tumpang tindih dan bahkan bertolak belakang,
berdasarkan sebuah metode (manhaj) yang mereka susun sendiri. Ciri
kedua, cenderugn mentarjih, berusaha memilih hanya satu pendapatdan
menafikan selebihnya. Pendapat yang tidak sesuai dengan metode (dan
karena itu tidak masuk ke dalam sistematika yang mereka rancang),
cenderung ditolak, sehingga disadari atau tidak kehadiran mazhab telah
mempersempit keadaan lapang yang ditemukan dalam model atau pola salafi.iii
Ciri selanjutnya, karena didasarkan dan merupakan sistematisasi atas
pendapat para Sahabat, maka pemikiran (fiqih) mazhab tetap bersifat
juz`iyah, yang berlandaskan pada pemahaman yang dihasilkan secara
internalisasi. Jadi fiqih mazhab merupakan sistematisai atas fiqih
internalisasi yang bersiat juz`iyah. Ciri berikutnya, karena telah
sistematis dan mempunyai metode yang relatif jelas, maka mudah sekali
mengundang pengkultusan, dan di dalammkenyataan itulah yang terjadi,
pemikiran mazhab menjadi tertutup bahkan terhenti; para penerus mazhab
tidak mampu berorientasi ke depan, mereka merasa aman dan nyaman
berorientasi ke belakang ke masa imam mazhab, bahkan cenderung sampai
kepada mengkultuskan secara berlebihan, dan menjadikan pendapat dalam
mazhab mereka sebagai ideologi yang harus dibela dan dipertahankan.
Pemikiran (manhaj) mazhabi sekiranya dikritisi, juga mempunyai
kelebihan dan kekurangan diantaranya sebagai berikut. Kelebihannya,
mengikuti pendapat mazhab memberikan semacam kepuasan karena merupakan
pemikiran para ulama yang telah tersusun rapi, yang kualitas pengetahuan
dan keimanannya sangat dihormati. Mengikuti mazhab juga memberikan
kemudahan, menjadikan pengikutnya tidak perlu berpikir; karena relatif
telah lengkap dan telah tersistematisasi dengan baik. Bahkan sebagiannya
sampai pada keyakinan bahwa pendapat dalam mazhab telah menjawab semua
masalah, sehingga semuanya sudah selesai. Kita cukup sekedar memilih dan
mengamalkannya, tidak perlu lagi memikirkannya. Dengan demikian
orientasi ke masa lalunya akan terasa kuat sekali. Fiqih menjadi beku,
diajarkan sebagai materi yang sudah selesai, sekedar untuk dihafal.
Keadaan ini secara perlahan-lahan menjadikan fiqih (mazhab) terpisah
dari kehidupan nyata masyarakat. Secara agak berlebih-lebihan, fiqih
menjadi fosil, tidak mampu menjalankan fungsi pencerahan dan pembebasan.
Alih-alih menjaga masyarakat agar tetap islami, pola mazhabi mendorong
masyarakat pada sekularisasi, karena adanya anggapan bahwa apa yang
tidak ada dalam ajaran (kitab) mazhab adalah bukan Islam dan karena itu
tidak harus tunduk kepada Islam. Kelemahan lainnya, karena berupaya
mencari kebenaran tunggal, maka kecenderungan kultus dalam arti
mengagungkan mazhab sendiri serta merendahkan bahkan menyalahkan mazhab
lainnya, tidak dapat dihindari yang pada akhirnya sampai ke tingkat
menyebabkan pertengkaran serta perpecahan di tengah msyarakat.
Ciri utama pemikiran tajdidi adalah bentuknya yang tidak mengacu kepada
apa yang sudah ada, tetapi berusaha keluar dari kemapanan dalam upaya
menselaraskan ajaran agama dengan kebutuhan nyata masyarakat masa kini.
Adagium yang sering digunakan adalah: al-muhafazhah `ala-l qadim-ish shalih wa-l akhdzu bi-l jadid-il ashlah
(mempertahankan hasil pemikiran masa lalu yang masih relevan namun
berupaya menghasilkan pemikiran baru yang lebih baik). Pihak yang
ekstrim cenderung berupaya memikirkan ulang seluruh ajaran agama dalam
upaya lebih menyesuaikannya dengan kebutuhan masa kini, walauun pada
sebagian hal akan membawanya pada kesimpulan yang bertolak belakang
dengan hasil pemikiran mazhabi ataupun salafi (masa lalu). Untuk
mencapai tujuan tersebut, pengikut pola tajdidi berupaya menafsirkan
nash (ajaran Islam) sebagai sebuah sistem yang padu, yang bukan sekedar
himpunan dari masalah-masalah secara juz’iyah. Dengan demikian sebelum
memikirkan atau menyelesaikan sesuatu masalah, menurut pola tajdidi
harus ditentukan terlebih dahulu apa yang menjadi nilai, asas, dan
prinsip yang betul-betul Islami (Qur’ani) yang harus dijaga dan
diperhatikan agar kasus yang akan dipikirkan dan diselesaikan tersebut
betul-betul berada di dalam sistem, bukan merupakan pendapat yang liar
apalagi menyimpang. Untuk ini pola tajdidi tidak ragu dan tidak merasa
malu untuk mengambil dan memanfaatkan hasil ilmu pengetahuan modern
secara maksimal, dalam upaya menemukan makna nash (memecahkan masalah)
yang dianggap paling mendekati kebenaan dan kebutuhan masa kini. Menurut
pengikut pola tajdidi, sumber dan manhaj pemikiran salafi dan mazhabi
dianggap tidak mampu memecahkan berbagai kebutuhan masa kini karena
masalah yang muncul sekarang ini tidak ada dalam khazanah kebutuhan dan
lingkungan masa lalu.iv Ciri lainnya, berupaya memanfaatkan hasil dn capaian ilmu pengetahuan dalam upaya menghasilkan aturan fiqih tersebut.
Sekiranya dikritisi, maka pemikiran (manhaj) Tajdidi mempunyai
kelebihan dan kekurangan, diantaranya sebagai berikut. Kelebihannya,
pola tajdidi akan menjadikan ajaran Islam lebih sesuai dengan kebutuhan
umat Islam masa kini. Dengan pola tajdidi umat Islam tidak akan
teralienasi dari lingkungannya. Diharapkan dengan pemahaman Islam yang
berpola tajdidi umat Islam akan lebih mudah berkomunikasi dan
berinteraksi dengan hasil pemikiran modern (yang sekuler), dan tidak
gamang ketika harus bersaing dan atau bersanding dalam berbagai aspek
kehidupan, dengan masyarakat dunia sekarang. Kekurangannya, pola ini
tidak mempunyai preseden dari masa lalu, sehingga cenderung akan
dicurigai dan bahkan ditolak oleh sebagian umat Islam karena dianggap
tersusupi dan tercemar oleh budaya asing yang menjadi musuh Islam. Lebih
dari itu pengikut pola tajdidi belum berhasil mewujudkan sebuah pola
atau model pemikiran yang padu seperti yang mereka harapkan. Dengan kata
lain, walaupun hasrat untuk mengikuti pola tajdidi sudah diucapkan oleh
Afghani, Abduh dan Ahmad Khan sejak satu abad yang lalu, bentuk
kongkrit dari pola tajdidi masih belum lahir. Sampai sekarang para ulama
pengusung pola ini masih dalam tingkat mencari, menyusun,
menyempurnakan dan memperbaiki berbagai gagasan yang sudah ada.
Diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, pola atau model tajdidi
yang ilmiah, sistematis dan menyeluruh seperti yang selama ini
diharapkan, akan dapat dihasilkan oleh para pemikir muslim yang serius
dan peduli untuk itu.
Dengan uraian di atas akan terlihat bahwa salafi tidak sama dengan
tajdidi, kalau tajdidi mengacu dan berupaya memenuhi kebutuhan masa
kini, serta memanfaatkan metode dan hasil ilmu pengetahuan untuk
memahami dan menafsirkan Al-qur’an, maka salafi mengacu ke masa lalu, ke
zaman para Sahabat. Pola Salafi, pada biasanya akan berusaha
menyederhanakan masalah, tidak merasa perlu berpikir komprehensif
apalagi melahirkan sebuah sistem yang padu dan juga merasa tidak
berkepentingan dengan ilmu pengetauan modern. Muhammadiyah seperti
terlihat pada awal tulisan ini kemungkinan sekali belum dapat membedakan
secara tajam antara salafi dan tajdidi. Jangan-jangan apa yang selama
ini dianggap tajdidi sebetulnya adalah salafi; apa yang kita anggap
sebagai berkemajuan, berorientasi ke masa depan, sebetulnya adalah
sebuah kemunduran yang berorientasi ke masa lalu, masa yang belum
mengenal ilmu, teknologi dan industri.
Semoga ada manfaatnya. Kepada Allah kita mohon hidayah, kepada Nya kita
berlindung dan kepada Nya pula kita persembahkan bakti. Wallahu a`lam
bish-shawab. Amin.
iHaedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, cet. 1, 2010, hlm. 1 dst.
iiAl Yasa` Abubakar, Ahli Waris Spertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab (Seri INIS XXXVI), INIS, Jakarta, 1998.
iii Penjelasan
tentang pola mazhabi (dalam hubungannya dengan pola salafi) relatif
hanya sesuai dengan perkembangan fiqih saja, tetapi tidak sesuai dengan
perkembangan ilmu kalam dan tarikat (tasauf). Mazhab dalam ilmu kalam
dan mazhab (aliran) tarikat bukanlah sistematisasi dan reduksi atas
pendapat yang ada pada masa Sahabat. Mazhab kalam dan tarekat secara
umum disusun berdasarkan pikiran (pemahaman) pendirinya atas Al-qur’an
dan Sunnah, dengan menggunakan bahan-bahan yang dapat mereka capai pada
masa tersebut sebagai alat analisis (misalnya bahasa, adat istiadat,
ajaran agama dan budaya masa lalu), untuk melindungi Islam dari
tantangan “luar” (filsafat, mistik dan ajaran agama bukan Islam) pada
masa mereka masing-masing. Dengan demikian, berbeda dengan fiqih, mazhab
kalam dan tarekat secara umum tidak mempunyai akar dan pertautan dengan
pendapat yang ada pada masa Sahabat.
ivBoleh
dikatakan, semua produk pemikiran Islami yang ada sekarang (mazhabi dan
salafi) adalah produk masa lalu, masa sebelum kehadiran ilmu
(teknologi) dan industri modern. Sedang pola tajdidi kan berusaha
melajhirkan pemikirandi zaman industri,teknologi an bahkan informasi,
yang tidka dikenal pada masa lalu. Jadi harusnya sesuatu yang
betul-betul baru, sebagai produk yang lahir di zaman yang berbeda.
Sebagai perbandingan, sekiranya hasil pemikiran masa lalu dipaksakan
untuk diterapkan ke keadaan sekarang, adalah ibarat memaksa orang untuk
berpikir (dan juga memperlakukan) bahwa mobil adalah sama dengan kuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar