Kamis, 08 November 2018

Tajdid, Bagaimana Memahaminya

 Tajdid, Bagaimana Memahaminya

Oleh:  Prof. Al Yasa Abu Bakar

 


Muhammadiyah sejak awal kelahirannya sudah memproklamirkan diri sebagai organisasi yang dalam faham keagamaannya berupaya untuk kembali kepada Al-qur’an dan sunnah dan pada saat yang bersamaan menyatakan diri sebagai persyarikatan yang menyandang predikat tajdid atau pembaharuan. Di dalam berbagai dokumen yang ada, yang resmi dan tidak resmi, Muhammadiyah hampir selalu menyatakan diri sebagai persyarikatan yang kembali kepada Al-qur’an dan sunnah dan sekaligus juga sebagai gerakan tajdid. Dalam Anggaran Dasarnya, dalam Pasal 4 disebutkan: (1) Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Ma`ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-qur’an dan As-Sunnah; (2) Muhammadiyah berasas Islam. Haedar Nasir, salah seorang Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah priode 2010-2015 memberi judul buku yang beliau terbitkan pada tahun 2010, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan.i Dalam buku ini Haedar mengutip beberapa tokoh yang telah meneliti Muhammadiyah, yang beliau kelompokkan menjadi empat: Kelompok pertama seperti Deliar Noer, James L Peacock dan William Shepard menggolongkan Muhammadiyah sebagai gerakan modern Islam atau modernisme Islam. Kelompok kedua, seperti Alfian dan Wertheim menggolongkan Muhammaadiyah ke dalam gerakan reformisme Islam. Kelompok ketiga, Abubakar Atjeh, menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan kembali kepada ajaran Salaf (Muhyi Atsari al Salaf). Kelompok keempat, seperti Clifford Geertz, George Kahin dan Robert van Neil, memasukkan Muhammadiyah ke dalam gerakan sosiokultural. Menurut Haedar, semua penamaan dengan berbagai istilah tersebut memberikan substansi yang sama yaitu pembaruan atau tajdid. Menurut Haedar, bukti substansial bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid dapat dirujuk paling kurang pada tiga hal: (a) percikan gagasan dasar Kiyai Haji Ahmad Dahlan selaku pendirinya; (c) pemikiran resmi yang dituangkan atau dilembagakan dalam organisasi; dan (c) dalam wujud karya amaliah dari pembaruan Muhammadiyah yang tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat. Selain Abubakar Atjeh masih ada beberapa penulis lain yang menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan yang kembali kepada ajaran salaf atau bahkan pengikut salafiyah. Dengan demikian oleh para pengamat, dan mungkin juga oleh sebagian warganya, Muhammadiyah sebagai gerakan yang ingin kembali kepada Al-qur’an dan sunnah didentifikasi dengan dua metode: mengikuti cara-cara bahkan ajaran salaf atau mengikuti cara-cara tajdid. Satu hal yang disepakati, Muhammadiyah tidak mengikuti mazhab, dan mungkin lebih dari itu tidak mengunakan cara-cara mazhab untuk memeahamiAl-qur’an dan sunnah.

Tetapi apa makna dari istilah “tajdid” sebagai metode untuk memahami (kembali kepada) Al-qur’an dan sunnah, yang disebutkan di dalam berbagai dokumen resmi Muhammadiyah, ataupun di dalam tulisan para peneliti, serta bagaimana menerapkannya di kalangan Muhammadiyah, baik dalam merumuskan ajaran dan pemikiran ataupun di dalam mengelola amal usaha, kelihatannya belum diuraikan dan dirumuskan secara jelas apalagi tegas. Buku Haedar pun tidak menguraikan hal tersebut. Karena itu dapat dimaklumi sekiranya ada yang menyebut Muhammadiyah sebagai pengikut aliran atau metode tajdid dan salaf secara bersamaan. Penyebutan ini dapat dianggap wajar karena arti dari kedua istilah tersebut tidak dijelaskan secara memadai. Sekiranya kedua istilah ini dipahami secara apa adanya, maka menggabungkan keduanya sebagai paham atau aliran yang diikuti oleh sebuah organisasi atau paham seseorang, dapat dianggap mengandung kerancuan secara metodologis. Di pihak lain penyederhanaan ini (klaim sekaligus menjadi pengikut salafi dan tajdidi) dapat menimbulkan kebingungan di kalangan umat (termasuk warga Muhammadiyah sendiri) karena salaf dan tajdid sebagai metode untuk memahami Al-qur’an dan sunnah, adalah corak pemikiran atau manhaj yang berbeda. Lebih dari itu istilah modernisme dan reformisme juga sebetulnya mempunyai makna yang tidak sama, (tetapi tidak menjadi fokus penelitian ini). Jadi kurang tepat sekiranya sebuah kelompok dianggap menjadi pengikut pemikiran (metode) tajdid dan salaf atau modernisme dan reformisme secara bersamaan. 

Tulisan ini akan berupaya menjelaskan corak atau model berpikir umat Islam dalam upaya mereka memahami Al-qur’an dan sunnah, seraya berupaya memposisikan Muhammadiyah, yang telah menyatakan diri berpegang kepada Al-qur’an dan sunnah degan menggunakan manhaj tajdid.
Ada beberapa cara untuk memetakan (mengelompokkan) model atau corak berpikir umat Islam, seperti salafi, mazhabi, ishlahi, dan tajdidi; ada juga model lainnya, tradisionalis, revivalis, reformis, modernis, di samping mungkin masih ada model-model yang lain. Penulis sendiri dalam disertasi yang dimunaqasyahkan tahun 1989,ii mengelompokkan pemikiran umat Islam, menjadi tiga model atau corak: salafi, mazhabi dan tajdidi. Salafi adalah model pemikiran yang mengikuti dan merujuk kepada cara berpikir yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah sesudah beliau wafat; sesudah mereka wafat hasil pemikiran mereka sering disebut sebagai salafiyah. Karena itu pengikut salaf dapat diidentifikasi sebagai pengikut cara-cara salaf, atau orang yang mengikuti (bertaqlid) kepada pendapat-pendapat yang dihasilkan oleh Sahabat. Mazhabi adalah model pemikiran yang mengikuti dan merujuk kepada cara berpikir yang dilakukan oleh para ulama mazhab, yang muncul mulai paroh akhir abad pertama hijriah (yang paling tua mazhab Ibadhiah) dan terus berlanjut sampai awal abad keempat hijriah (mazhab Thabari, yang kebetulan tidak mempunyai pengikut lagi). Pada masa belakangan hasilpemikiran merelkapun dianggap sebagai mazhabi, sehingga orang bermazhab mempunyai dua makna: mengikuti hasil pemikiran yang dihasilkan oleh ulama mazhab, atau mengikuti metode yang ada di dalam mazhab.Tajdidi adalah model pemikiran yang mengikuti dan merujuk kepada cara berpikir yang dilakukan oleh para ulama kontemporer (dan hasil pemikiran mereka), yang berusaha keluar dari kedua model di atas. Jadi mereka berusaha melahirkan metode yang baru, yang kuat dugaan akan menghasilkan pemikiran yang relatif baru, paling kurang dalam beberapa aspeknya, yang sampai batas tertentu akan berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh kelompok salafi dan mazhabi. Kelompok tajdidi berupaya mencari metode baru, adalah dalam upaya memahami dan menafsir ulang Al-qur’an dan sunnah (guna menilai dan menyusun ulang pemikiran ulama masa lalu) guna menjadikannya lebih sesuai dengan kebutuhan dan kenyataan dalam masyarakat muslim masa kini. 

Ciri utama pemikiran salafi adalah sifat atau coraknya yang merupakan pemahaman atas Al-qur’an dan sunnah berdasarkan internalisasi atas nilai-nilai, dalam kehidupan masyarakat yang relatif sangat sederhana. Sahabat adalah generasi yang unik dalam sejarah Islam; karena merekalah satu-satunya generasi–sepanjang sejarah, yang hidup bersama Rasulullah. Karena itu mereka dapat memahami Islam secara internalisasi, langsung dari hidup bergaul dengan Rasulullah, yang tidak mungkin dilakukan oleh generasi manapun sesudah mereka. Ciri yang kedua, sebagai akibat dari ciri yang pertama, cenderung sederhana dan lapang, dalam arti menyelesaikan masalah secara langsung menurut apa adanya; tidak memerlukan sistem (sistematika) ataupun kajian logika yang relatif rumit. Cukup dengan pertimbangan subjektif yang dipandu oleh nilai Islami yang sebelumnya sudah terbentuk melalui internaliasi. Ciri yang ketiga sebagai akibat dari yang kedua, cenderung parsial (tidak sistematis) sehingga ada yang menjadi tumpang tindih. Tetapi hal ini tidak menimbulkan kesulitan karena mereka cenderung melihat atau menyelesaikannya kasus perkasus, tidak berusaha mengolah atau mengembangkannya sehingga menjadi sebuah sistem yang padu. 

Sekiranya kita kritisi, maka pemikiran (manhaj) salafi mempunyai kelebihan dan kekurangan diantaranya sebagai berikut. Kelebihannya, mengikuti pendapat Sahabat akan memberikan kepuasan batin yang relatif tinggi karena ada hadis yang memuji pemahaman para Sahabat, yang maknanya lebih kurang: Sahabatku seperti bintang, yang mana saja kamu ikuti maka kamu akan mendapat petunjuk. Kelebihan lainnya, pola pemahaman Sahabat cenderung sederhana, sehingga Islam terkesan mudah, dan sederhana, tidak akan memikirkan atau menonjolkan yang rumit-rumit. Pengikut model ini pada umumnya merasa puas dengan pendekatan personal, kalau semua orang sudah baik maka masyarakat bahkan negara dengan sendirinya akan menjadi baik, tidak perlu memikirkan sistem ataupun model. Sedang kekurangannya, karena Sahabat melakukan penafsiran berdasar internalisasi, maka model mereka ini pada hakikatnya tidak dapat diikuti oleh generasi lainnya. Pola sederhana, lapang dan subjektif yang mereka gunakan (yang berdasar internalisasi) yang cenderung sangat parsial ataupun juz’iyyah, di tangan para pengikutnya berubah menjadi tafsir yang relatif semena-mena, bahkan liar atau sebaliknya menjadi kaku dan sempit, di samping tetap bersifat parsial. Para pengikut kelomok ini sesudah masa Sahabat cenderung memahami nash secara literal, atau menakwilkan secara relatif subjektif, sesuai dengan jalan pikiran dan budaya serta adat mereka, sehingga disadari atau tidak, ada pemikiran mereka ini yang dirasakan sudah keluar dari nilai dan semangat Al-qur’an. 

Hal penting lain yang harus diperhatikan, Sahabat adalah generasi yang di-Islamkan oleh Rasulullah, yang sebelumnya hidup dalam adat Arab jahiliah. Sekiranya hasil ijtihad para Sahabat dicermati dengan baik, akan terlihat bahwa sebagian pendapat tersebut masih bersemangat jahiliah (keluar dari semangat Al-qur’an). Ketika Rasulullah hidup pendapat yang bersemangat atau bahkan kembali ke jahiliah ini akan langsung beliau perbaiki. Karena Rasulullah sudah wafat, maka pendapat yang bersemangat jahiliah ini tidak dapat lagi dikonfirmasikan kepada beliau, dan karena itu direkam oleh sejarah sebagai pendapat Sahabat. Berhubung Sahabat telah diakui sebagai generasi yang unik, yang paling memahami ajaran Rasulullah maka pemikiran mereka yang sebetulnya membawa bias adat jahiliah tidak akan terliht dan cenderung diterima sebagai tafsir otentik atas Al-qur’an dan hadis. Pendapat-pendapat yang mengadung bias ini ini pada umumnya diterima dan berkembang menjadi pendapat mayoritas, dan tetap diterima sampai ke masa kita sekarang. 

Ciri utama pemikiran mazhabi adalah bentuknya yang relatif sudah sangat sistematis, karena memang para ulama mazhab pada intinya menyusun pendapat mazhabnya adalah untuk mensistematisasi pendapat para Sahabat (salaf) yang saling tumpang tindih dan bahkan bertolak belakang, berdasarkan sebuah metode (manhaj) yang mereka susun sendiri. Ciri kedua, cenderugn mentarjih, berusaha memilih hanya satu pendapatdan menafikan selebihnya. Pendapat yang tidak sesuai dengan metode (dan karena itu tidak masuk ke dalam sistematika yang mereka rancang), cenderung ditolak, sehingga disadari atau tidak kehadiran mazhab telah mempersempit keadaan lapang yang ditemukan dalam model atau pola salafi.iii Ciri selanjutnya, karena didasarkan dan merupakan sistematisasi atas pendapat para Sahabat, maka pemikiran (fiqih) mazhab tetap bersifat juz`iyah, yang berlandaskan pada pemahaman yang dihasilkan secara internalisasi. Jadi fiqih mazhab merupakan sistematisai atas fiqih internalisasi yang bersiat juz`iyah. Ciri berikutnya, karena telah sistematis dan mempunyai metode yang relatif jelas, maka mudah sekali mengundang pengkultusan, dan di dalammkenyataan itulah yang terjadi, pemikiran mazhab menjadi tertutup bahkan terhenti; para penerus mazhab tidak mampu berorientasi ke depan, mereka merasa aman dan nyaman berorientasi ke belakang ke masa imam mazhab, bahkan cenderung sampai kepada mengkultuskan secara berlebihan, dan menjadikan pendapat dalam mazhab mereka sebagai ideologi yang harus dibela dan dipertahankan. 

Pemikiran (manhaj) mazhabi sekiranya dikritisi, juga mempunyai kelebihan dan kekurangan diantaranya sebagai berikut. Kelebihannya, mengikuti pendapat mazhab memberikan semacam kepuasan karena merupakan pemikiran para ulama yang telah tersusun rapi, yang kualitas pengetahuan dan keimanannya sangat dihormati. Mengikuti mazhab juga memberikan kemudahan, menjadikan pengikutnya tidak perlu berpikir; karena relatif telah lengkap dan telah tersistematisasi dengan baik. Bahkan sebagiannya sampai pada keyakinan bahwa pendapat dalam mazhab telah menjawab semua masalah, sehingga semuanya sudah selesai. Kita cukup sekedar memilih dan mengamalkannya, tidak perlu lagi memikirkannya. Dengan demikian orientasi ke masa lalunya akan terasa kuat sekali. Fiqih menjadi beku, diajarkan sebagai materi yang sudah selesai, sekedar untuk dihafal. Keadaan ini secara perlahan-lahan menjadikan fiqih (mazhab) terpisah dari kehidupan nyata masyarakat. Secara agak berlebih-lebihan, fiqih menjadi fosil, tidak mampu menjalankan fungsi pencerahan dan pembebasan. Alih-alih menjaga masyarakat agar tetap islami, pola mazhabi mendorong masyarakat pada sekularisasi, karena adanya anggapan bahwa apa yang tidak ada dalam ajaran (kitab) mazhab adalah bukan Islam dan karena itu tidak harus tunduk kepada Islam. Kelemahan lainnya, karena berupaya mencari kebenaran tunggal, maka kecenderungan kultus dalam arti mengagungkan mazhab sendiri serta merendahkan bahkan menyalahkan mazhab lainnya, tidak dapat dihindari yang pada akhirnya sampai ke tingkat menyebabkan pertengkaran serta perpecahan di tengah msyarakat. 

Ciri utama pemikiran tajdidi adalah bentuknya yang tidak mengacu kepada apa yang sudah ada, tetapi berusaha keluar dari kemapanan dalam upaya menselaraskan ajaran agama dengan kebutuhan nyata masyarakat masa kini. Adagium yang sering digunakan adalah: al-muhafazhah `ala-l qadim-ish shalih wa-l akhdzu bi-l jadid-il ashlah (mempertahankan hasil pemikiran masa lalu yang masih relevan namun berupaya menghasilkan pemikiran baru yang lebih baik). Pihak yang ekstrim cenderung berupaya memikirkan ulang seluruh ajaran agama dalam upaya lebih menyesuaikannya dengan kebutuhan masa kini, walauun pada sebagian hal akan membawanya pada kesimpulan yang bertolak belakang dengan hasil pemikiran mazhabi ataupun salafi (masa lalu). Untuk mencapai tujuan tersebut, pengikut pola tajdidi berupaya menafsirkan nash (ajaran Islam) sebagai sebuah sistem yang padu, yang bukan sekedar himpunan dari masalah-masalah secara juz’iyah. Dengan demikian sebelum memikirkan atau menyelesaikan sesuatu masalah, menurut pola tajdidi harus ditentukan terlebih dahulu apa yang menjadi nilai, asas, dan prinsip yang betul-betul Islami (Qur’ani) yang harus dijaga dan diperhatikan agar kasus yang akan dipikirkan dan diselesaikan tersebut betul-betul berada di dalam sistem, bukan merupakan pendapat yang liar apalagi menyimpang. Untuk ini pola tajdidi tidak ragu dan tidak merasa malu untuk mengambil dan memanfaatkan hasil ilmu pengetahuan modern secara maksimal, dalam upaya menemukan makna nash (memecahkan masalah) yang dianggap paling mendekati kebenaan dan kebutuhan masa kini. Menurut pengikut pola tajdidi, sumber dan manhaj pemikiran salafi dan mazhabi dianggap tidak mampu memecahkan berbagai kebutuhan masa kini karena masalah yang muncul sekarang ini tidak ada dalam khazanah kebutuhan dan lingkungan masa lalu.iv Ciri lainnya, berupaya memanfaatkan hasil dn capaian ilmu pengetahuan dalam upaya menghasilkan aturan fiqih tersebut. 

Sekiranya dikritisi, maka pemikiran (manhaj) Tajdidi mempunyai kelebihan dan kekurangan, diantaranya sebagai berikut. Kelebihannya, pola tajdidi akan menjadikan ajaran Islam lebih sesuai dengan kebutuhan umat Islam masa kini. Dengan pola tajdidi umat Islam tidak akan teralienasi dari lingkungannya. Diharapkan dengan pemahaman Islam yang berpola tajdidi umat Islam akan lebih mudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan hasil pemikiran modern (yang sekuler), dan tidak gamang ketika harus bersaing dan atau bersanding dalam berbagai aspek kehidupan, dengan masyarakat dunia sekarang. Kekurangannya, pola ini tidak mempunyai preseden dari masa lalu, sehingga cenderung akan dicurigai dan bahkan ditolak oleh sebagian umat Islam karena dianggap tersusupi dan tercemar oleh budaya asing yang menjadi musuh Islam. Lebih dari itu pengikut pola tajdidi belum berhasil mewujudkan sebuah pola atau model pemikiran yang padu seperti yang mereka harapkan. Dengan kata lain, walaupun hasrat untuk mengikuti pola tajdidi sudah diucapkan oleh Afghani, Abduh dan Ahmad Khan sejak satu abad yang lalu, bentuk kongkrit dari pola tajdidi masih belum lahir. Sampai sekarang para ulama pengusung pola ini masih dalam tingkat mencari, menyusun, menyempurnakan dan memperbaiki berbagai gagasan yang sudah ada. Diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, pola atau model tajdidi yang ilmiah, sistematis dan menyeluruh seperti yang selama ini diharapkan, akan dapat dihasilkan oleh para pemikir muslim yang serius dan peduli untuk itu. 

Dengan uraian di atas akan terlihat bahwa salafi tidak sama dengan tajdidi, kalau tajdidi mengacu dan berupaya memenuhi kebutuhan masa kini, serta memanfaatkan metode dan hasil ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan Al-qur’an, maka salafi mengacu ke masa lalu, ke zaman para Sahabat. Pola Salafi, pada biasanya akan berusaha menyederhanakan masalah, tidak merasa perlu berpikir komprehensif apalagi melahirkan sebuah sistem yang padu dan juga merasa tidak berkepentingan dengan ilmu pengetauan modern. Muhammadiyah seperti terlihat pada awal tulisan ini kemungkinan sekali belum dapat membedakan secara tajam antara salafi dan tajdidi. Jangan-jangan apa yang selama ini dianggap tajdidi sebetulnya adalah salafi; apa yang kita anggap sebagai berkemajuan, berorientasi ke masa depan, sebetulnya adalah sebuah kemunduran yang berorientasi ke masa lalu, masa yang belum mengenal ilmu, teknologi dan industri. 

Semoga ada manfaatnya. Kepada Allah kita mohon hidayah, kepada Nya kita berlindung dan kepada Nya pula kita persembahkan bakti. Wallahu a`lam bish-shawab. Amin. 

iHaedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, cet. 1, 2010, hlm. 1 dst.
iiAl Yasa` Abubakar, Ahli Waris Spertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab (Seri INIS XXXVI), INIS, Jakarta, 1998.
iii Penjelasan tentang pola mazhabi (dalam hubungannya dengan pola salafi) relatif hanya sesuai dengan perkembangan fiqih saja, tetapi tidak sesuai dengan perkembangan ilmu kalam dan tarikat (tasauf). Mazhab dalam ilmu kalam dan mazhab (aliran) tarikat bukanlah sistematisasi dan reduksi atas pendapat yang ada pada masa Sahabat. Mazhab kalam dan tarekat secara umum disusun berdasarkan pikiran (pemahaman) pendirinya atas Al-qur’an dan Sunnah, dengan menggunakan bahan-bahan yang dapat mereka capai pada masa tersebut sebagai alat analisis (misalnya bahasa, adat istiadat, ajaran agama dan budaya masa lalu), untuk melindungi Islam dari tantangan “luar” (filsafat, mistik dan ajaran agama bukan Islam) pada masa mereka masing-masing. Dengan demikian, berbeda dengan fiqih, mazhab kalam dan tarekat secara umum tidak mempunyai akar dan pertautan dengan pendapat yang ada pada masa Sahabat.
ivBoleh dikatakan, semua produk pemikiran Islami yang ada sekarang (mazhabi dan salafi) adalah produk masa lalu, masa sebelum kehadiran ilmu (teknologi) dan industri modern. Sedang pola tajdidi kan berusaha melajhirkan pemikirandi zaman industri,teknologi an bahkan informasi, yang tidka dikenal pada masa lalu. Jadi harusnya sesuatu yang betul-betul baru, sebagai produk yang lahir di zaman yang berbeda. Sebagai perbandingan, sekiranya hasil pemikiran masa lalu dipaksakan untuk diterapkan ke keadaan sekarang, adalah ibarat memaksa orang untuk berpikir (dan juga memperlakukan) bahwa mobil adalah sama dengan kuda.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar