ISLAM NUSANTARA: DI ANTARA KESESATAN BERPIKIR DAN PERANG GENERASI KEEMPAT
Oleh Mahsun
Guru Besar Bidang Linguistik Forensik
Universitas Mataram
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud
(2012--2015)
Terdapat tiga persoalan mendasar yang patut dikuak dari
topik di atas, pertama, ada apa dengan istilah Islam Nusantara, kedua mengapa
Islam Nusantara disebut sebagai salah satu bentuk kesesatan berpikir, dan
ketiga mengapa Islam Nusantara dikaitkan dengan perang generasi keempat?
Untuk lebih fokus pembicaraan ihwal persoalan-persoalan di
atas, termasuk persoalan lain yang terkait dengan masing-masing persoalan
tersebut dipaparkan secara berturut-turut berikut ini.
A. Ihwal Islam Nusantara
Istilah Islam Nusantara mungkin diikhtiarkan sebagai padanan
dari Istilah Islam Jawa (Woodward, 1989, 1999) atau Islam Sasak (Budiwanti,
2000). Meskipun harus dicatat, bahwa pada konstruksi asli berbahasa Inggris
untuk karya Woodward, merupakan konstruksi preposisional: Islam in Java
(preposisi: in yang sepadan dengan preposisi: di, dalam bahasa Indonesia yang
memiliki peran sintaktis sebagai pemarkah lokatif/tempat), sehingga konstruksi
itu mestinya menjadi Islam di Jawa.
Itu sebabnya muncul usulan seperti diajukan, almarhum K.H.
Hasjim Muzadi, sebagai Islam di Nusantara.
Terlepas dari itu, istilah Islam Nusantara menjadi
kontroversial akhir-akhir ini karena kandungan muatan semantis yang disematkan
padanya. Prof. Azyumardi memaknai Islam Nusantara sebagai Islam distingtif yang
merupakan hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi
Islam Universal dengan realitas sosial,
budaya, dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy'ari, fiqih
mazhab Syafi'i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang
moderat dan toleran. Dalam konteks etnis Minang misalnya, Prof. Azyumardi
menjelaskan bahwa Islam Nusantara itu diwujudkan dalam "Adat bersandi syarak,
syarak bersandi kitabullah".
Adat merupakan lokal genius dan Islam datang serta menyebar
melalui proses vernakularisasi dan indigenisasi _(Dikutip dari WAG Guru Besar
Kahmi, 31 Juli 2018, pkl. 14.03)._
Apabila dicermati argumentasi dan per contoh yang diajukan
Prof. Azyumardi tentang konsep Islam Nusantara di atas, maka terlihat bahwa
terdapat pencampuradukan antara Islam sebagai seperangkat sistem nilai (nilai
yang berhubungan dengan aqidah, syariah yang di dalamnya menyangkut ibadah dan
muamalah) dengan prilaku/tingkah laku (orang yang menyebut dirinya penganut
Islam) yang merefleksikan sistem nilai itu.
Apa yang dicontohkan Prof. Azyumardi tentang Islam Nusantara
untuk etnis Minang: "Adat yang bersandi sarak-kitabullah"
sesungguhnya merupakan contoh yang menganggap Islam sebagai seperangkat sistem
tingkahlaku, bukan Islam sebagai seperangkat sistem nilai.
Dengan mengadopsi dan mengadaptasikan konsep yang dianjukan
Parson (1977) dalam bukunya Social System and the Evolution of Action Theory,
bahwa sistem nilai (Parson menyebutnya sebagai sistem budaya) mengontrol sistem
tingkah laku manusia melalui sistem sosial dan sistem kepribadian.
Sementara itu, suatu sistem nilai dapat merefleksikan diri
dalam berbagai varian tergantung ranah kehidupan atau ruang dan waktu di mana
nilai itu diejawantahkan.
Sebagai contoh, nilai tentang anjuran untuk senantiasa
menjaga silaturahim antarsesama manusia. Dalam masyarakat Sumbawa direfleksikan dalam berbagai varian
tergantung pada ranah kehidupan, misalnya, dalam ranah pertanian muncul
perilaku "basiru", yaitu
silaturahim dalam wujud tolong menolong antarsesama saat menanam atau
memanen padi; dalam pembangunan (perumahan) muncul perilaku
"basanata", yaitu silaturahim dalam bentuk tolong menolong saat
membangun rumah/tempat tinggal; yang belum tentu pada masyarakat lainnya
memiliki wujud perilaku itu tetapi, mungkin pada ranah lain, perilaku yang
menjadi refleksi sistem nilai itu dapat muncul. Contoh lain, sikap toleran pada
masyarakat Muslim Sasak yang hidup berdampingan dengan masyarakat Hindu di desa
Babakan atau di dusun Gumitri Lombok Barat. Pada masyarakat Muslim dan Hindu
Sasak di Babakan, muncul perilaku "NGEJOT", yaitu toleransi dalam
bentuk saling memberi bantuan dapat berupa saling mengirimkan bahan makanan
saat acara keagamaan masing-masing, seperti acara Mauludan untuk umat muslim
dan hari raya Galungan untuk umat Hindu, yang berbeda dalam merefleksikan nilai
toleransi dengan komunitas Islam-Hindu di dusun Gumitri. Di dusun Gumitri,
nilai toleransinya diwujudkan dalam bentuk perilaku upacara PITRAYADNYA, yaitu
toleransi dalam bentuk upacara syukuran bersama di tempat berbeda tetapi
berdekatan pada rangkaian acara ngaben antara dua komunitas berbeda keyakinan.
Perilaku semacam itu tidak terdapat pada komunitas Islam-Hindu yang terdapat di
Karang Taliwang (ingat ayam Taliwang, Cakranegara) meskipun unsur pembentuk
masyarakatnya sama, yaitu Islam-Hindu.
Di sini ada dimensi ruang dan waktu/sejarah yang berbeda
dialami oleh kedua tipe komunitas Islam-Hindu di Lombok (komunitas Islam-Hindu
di desa Babakan dan dusun Gumitri Lombok barat dengan komunitas Islam-Hindu di Karang Taliwang,
Cakranegara, kota Mataram).
Komunitas Hindu yang merefleksikan nilai toleran di desa
Babakan atau di dusun Gumitri berasal
dari Nusa Penida, Bali, yang datang ke Lombok untuk mencari pekerjaan/sebagai
transmigran), sedangkan komunitas Hindu di Cakranegara berasal dari Karang
Asem-Bali yang datang ke Lombok untuk menjajah (lebih jauh lihat Mahsun,
2006).
Kesemua contoh refleksi dari nilai-nilai di atas,
menunjukkan bahwa nilai dasarnya tidak berubah, hanya wujud perilakunya yang
bervariasi.
*Nah persoalannya, apakah Islam hanya dipandang sebagai
seperangkat perilaku bukan seperangkat nilai yang mendasari munculnya perilaku
tersebut?*
Adat istiadat merupakan salah satu bentuk perilaku, yang
dapat berupa perilaku non verbal dan dapat pula berupa perilaku verbal.
Sebagai bentuk perilaku maka adat dikontrol oleh satu sistem
yang paling dasar dan bersifat abstrak, yaitu sistem nilai melalui sistem
sosial dan sistem kepribadian. Persoalannya, apakah Islam mau dipandang sebagai
seperangkat sistem nilai (aqidah dan syariah yang di dalamnya menyangkut
nilai-nilai yang terkait dengan ibadah dan muamalah) atau hanya merupakan
seperangkat sistem tingkah laku.
Konstruksi "Adat bersandi syarak, syarak bersandi
kitabullah", sebenarnya menggambarkan etnis Minang sadar sesadar-sadarnya
bahwa adat istiadat yang mereka miliki dikontrol oleh satu sistem nilai dasar,
yaitu sistem nilai yang terdapat dalam Islam (kitabullah) dan karena itu Islam
dipandang sebagai seperangkat sistem nilai bukan seperangkat sistem tingkah
laku. Itu artinya, bahwa tidak semua adat yang diwarisi turun-temurun sebelum
Islam diberlakukan pada era Minang-Islam tanpa penyaringan. Nilai-nilai
Islamlah menjadi penapisnya, yang tidak sesuai tentu dimodifikasi agar
sesuai/tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Bukan sebaliknya,
nilai-nilai keislaman menyesuaikan diri dengan adat istiadat (termasuk sistem
nilai yang mendasari munculnya adat istiadat tersebut).
Nilai-nilai dalam Islam, sangat jelas, seperti disebutkan
dalam Al Quran, bahwa Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Quran agar
menjadi petunjuk untuk seluruh alam (tidak mengenal ruang dan waktu). Dia
merupakan seperangkat nilai yang menjadi rujukan dalam bertingkah laku setiap
orang yang mempercayainya.
B. Islam Nusantara dan Kesesatan Berpikir
Berbeda dengan Prof. Azyumardi, Prof. Said Aqil Siradj,
Ketua Umum PBNU, dalam pembukaan acara istighasah menyambut Ramadhan dan
pembukaan Munas Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal, Jakarta, 14 Juni 2018,
mengintroduksi pemaknaan istilah Islam Nusantara, sebagai Islam yang menjunjung
tinggi toleransi, saling menghormati, beradab, dan berbudaya. Pandangannya itu
didasari pada realita historis yang menunjukkan pada fakta sejarah penyebaran
Islam di wilayah Nusantara, yang disebutnya dengan cara pendekatan budaya,
tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Bahkan Ulama ini mengontraskan antara
Islam Nusantara dengan Islam Arab. Pandangan ini pun menggiring kita pada
penyesatan berpikir, tatkala mengontraskan antara Islam Nusantara dengan Islam
Arab, hanya dengan argumentasi bahwa Islam Arab (meminjam istilah Prof. Said
Aqil Siradj) dikembangkan dengan cara-cara kekerasan, intoleran. Persoalannya,
ialah apakah Islam yang diajarkan di Arab tidak mengajarkan toleransi, saling
menghormati, beradab, dan berbudaya?
Bahwa ada orang atau kelompok orang di Arab sana, yang
mengaku beragama Islam berperilaku intoleran, tidak beradab dan berbudaya,
jangan lalu diklaim bahwa itu merupakan refleksi dari nilai-nilai Islam.
Mestinya, harus tegas dinilai bahwa orang atau kelompok
orang itu berperilaku tidak dilandasi
nilai-nilai Islam, jadi bukan orang atau kelompok orang yang beragama Islam.
Jangan melabeli mereka dengan memberi embel-embel yang
berhubungan dengan dimensi ruang, seperti Islam Nusantara, Islam Jawa, Islam
Sasak dll.
Di sinilah letak kesesatan berpikir yang pertama.
Selain kesesatan berpikir yang terjadi akibat mereduksi
Islam sebagai seperangkat nilai-nilai (aqidah dan syariah yang di dalamnya
menyangkut nilai-nilai yang mangatur ihwal yang berhubungan dengan ibadah dan
muamalah) menjadi seperangkat sistem perilaku yang dipengaruhi dimensi ruang dan
waktu termasuk ranah kehidupan seperti dipaparkan di atas, juga terjadi penyesatan berpikir yang kedua
tentang Islam, yaitu melalui cara mereduksi konsep Islam dengan mengambil
bagian terkecil dari nilai-nilai keislaman untuk mewakili sistem nilai yang
membangun konstruksi sistem nilai keislaman secara menyeluruh, seperti istilah
Islam Berkemajuan yang diintroduksi lembaga keagamaan Muhammadiyah.
Konsep/nilai "berkemajuan" merupakan salah satu
nilai yang menjadi dasar ditinggikan derajad manusia oleh Allah. Dalam Al
Quran, sangat jelas disebutkan bahwa, "Allah akan meninggikan beberapa
derajad di antara kamu bagi orang yang beriman dan berilmu pengetahuan".
Konstruksi kalimat yang dikutip dalam Al Quran tersebut adalah konstruksi
kausalitas, sebab-akibat. Kamu beriman dan berilmu, maka derajadmu akan
ditinggikan.
Sementara itu, sejarah membuktikan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan merupakan persyaratan hakiki bagi kemajuan peradaban manusia,
misalnya keunggulan peradaban Islam abad 8-12M, tidak lepas dari perkembangan
ilmu pengetahuan di dunia Islam saat itu, begitu pula kemajuan Yunani Kuno,
Eropa Latin saat ini juga tidak dapat dilepaskan dari kemajuan perkembangan
ilmu pengetahuan di masyarakat tersebut. Jadi nilai "berkemajuan"
melalui penguasaan ilmu pengetahuan merupakan salah satu nilai dari seperangkat
nilai yang ada dalam Islam yang menjadi pedoman, tuntunan, ajaran dalam
berperilaku penganutnya. Bagian nilai yang kecil ini janganlah dijadikan
kategori untuk memilah-bedakan Islam atau menjadi representasi dari keseluruhan
nilai keislaman.
Bahwa Islam Berkemajuan dijadikan sebagai salah satu tema
diskusi, tentu boleh, tetapi jangan dijadikan kategori untuk membuat
pertentangan konsepsi.
Dalam logika yang sederhana, jangan menyamakan,
membandingkan "kaki meja" dengan keseluruhan "bangunan yang
disebut meja", yang di dalamnya ada "kaki" meja itu sendiri.
Mungkin secara serta merta, dengan menyederhanakan persoalan", dikatakan,
ah... itu hanya persoalan nama dan metode saja, bukan menyangkut substansi; yang
penting isinya. Untuk hal ini, akan dipaparkan secara panjang lebar dalam seksi
B1, berikut ini.
B.1 Bahasa dan Persoalan dalam Keberislaman
Persoalan penamaan menyangkut persoalan pembahasaan, jadi
terkait dengan masalah kebahasaan. Ada dua komponen dasar pembentuk bahasa,
yaitu makna dan bentuk (yang dapat berupa bunyi jika bahasa lisan dan huruf
jika berupa bahasa tulis).
Kedua unsur pembentuk bahasa ini harus hadir, tidak boleh
tidak ada salah satu di antaranya. Ada bentuk, misalnya berupa bunyi: /n, a, k,
m,a/ > /nakma/ tetapi tidak mengandung makna/gagasan maka satuan itu tidak
membentuk bahasa.
Dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan satuan bahasa yang
terbentuk dari penggabungan dan urutan huruf atau bunyi seperti di atas, yang
ada adalah penggabungan huruf atau bunyi dalam urutan: /m a k a n/ > /makan/
yang bermakna mengunyah sesuatu berupa bahan makanan lalu ditelan. Jadi, satuan
bahasa nakma/ bukanlah bahasa, sedangkan
yang merupakan satuan bahasa dalam sistem ketatabahasaan bahasa Indonesia
adalah satuan: /makan/. Begitu pula, ada makna tetapi tidak ada bentuknya, juga
bukan bahasa, karena bagaimana mungkin kita dapat mengetahui apa yang ada dalam
pikiran orang jika tidak direalisasikan dalam bentuk bunyi-bunyi atau
huruf-huruf. Dengan demikian, kedua unsur tersebut harus hadir, jika hendak
membentuk bahasa.
Di antara kedua unsur itu, unsur yang pertama hadir adalah
unsur makna atau gagasan atau konsep. Itu sebabnya tuturan: "Eni menikahi
Ali dua tahun lalu", tidak akan pernah berterima dalam masyarakat tutur
bahasa Indonesia. Dari segi bentuk, tuturan itu merupakan satuan yang memiliki
kegramatikalan, karena sudah memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai sebuah
kalimat, yaitu memiliki S: Eni; P: menikahi; O: Ali; K: dua tahun lalu. Namun,
dalam alam berpikir dan cara pandang atau sistem nilai masyarakat Indonesia
tidak melazimkan seorang wanita menikahi lelaki, tetapi yang lazim adalah
lelaki yang menikahi wanita. Itu sebabnya, konstruksi "Eni menikahi Ali
dua tahun lalu" baru dapat membentuk satuan dalam perbendaharaan bahasa
Indonesia apabila satuan itu disusun menjadi konstruksi: "Eni dinikahi Ali
dua tahun lalu" atau: "Ali menikahi Eni dua tahun lalu".
Artinya, unsur makna merupakan unsur fundamental dalam bahasa, karena makna
menyangkut nilai, wujud referensial, aktivitas, tindakan, keadaan, atau konsep
yang akan mendasari tindakan atau tingkah laku manusia yang dinyatakan melalui
bentuk bahasa yang berupa bunyi atau huruf-huruf tersebut..
Sebegitu pentingnya persoalan makna dalam bahasa, maka upaya
menjadikan seseorang atau komunitas penganut Islam secara kaffah maka langkah
awal yang harus dilakukan adalah mengislamkan bahasa orang atau komunitas itu.
Bukankah Allah melalui Rasulnya mengislamkan orang-orang kafir Quraisy,
penyembah berhala, dengan cara Allah mengintroduksi satuan bahasa il-lallah
yang dikontraskan dengan satuan bahasa Ila, seperti dalam konstruksi dua
kalimah syahadat, rukun pertama pada lima rukun Islam.
Begitu pula konsep mulia yang dianut bangsa Arab sebelum
Islam yang menggunakan kategori: kaya, mampu, berkuasa dll. diislamkan dengan
konsep bahwa yang mulia di sisi Allah itu adalah orang yang bertaqwa.
Sebaliknya, untuk membuat orang atau komunitas muslim tidak
lagi muslim (deislamisasi) juga dapat dilakukan melalui bahasa. Untuk hal ini
ada kasus yang menarik dalam hubungannya dengan pengembangan dan pembinaan
bahasa negara, bahasa Indonesia. Pada tahun 1970-an sampai 1990-an, terjadi
perdebatan yang cukup seru di antara pakar bahasa, tentang keberadaan konsonan
atau vokal panjang dalam bahasa Indonesia, yang secara ortografis/tata tulis
direalisasikan dengan konsonan atau vokal rangkap-identik, seperti konsonan:
/s/ pada kata: wassalam. Prof. Anton Moeljono, dengan tegas menolak adanya
konsonan atau vokal panjang dalam sistem fonotaktik bahasa Indonesia.
Apa implikasinya dari kegigihan dalam mempertahankan
pandangan itu, adalah semua kata serapan dari bahasa asing, termasuk bahasa
Arab harus tunduk pada sistem fonotaktik bahasa Indonesia tersebut. Itu
sebabnya, kata wassalam, yang baku harus ditulis: wasalam, kata Allah mestinya
kalau mengikuti kaidah itu ditulis: Alah, yang pelafalannya sama dengan
pelafalan saudara kita yang kristiani. Padahal, ada banyak kosakata bahasa Arab
yang karena perbedaan panjang-pendeknya vokal atau konsonan dapat berakibat
pada pemaknaan yang berbeda.
Contoh di atas merupakan salah satu gambaran dari upaya penjauhan
umat Islam dari keyakinannya dari aspek bahasa yang menyangkut lafal (aspek
bentuk bahasanya).
Contoh yang menyangkut penciptaan jarak umat Islam dengan
nilai-nilai keyakinannya dari aspek unsur bahasa yang berupa makna dapat
dilihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ada banyak kosakata serapan
yang berasal dari bahasa Arab dan tentunya kata-kata itu diserap bersamaan
dengan penyebaran dan dianutnya agama Islam oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Ambil contoh kata: halal. Kata ini dalam KBBI memiliki
uraian makna leksikal yang sangat umum
dan terbatas, seperti: (1) diizinkan (tidak dilarang oleh syarak), (2) yang
diperoleh atau diperbuat dengan sah; (3) izin, ampun.
Apabila dilihat dari sudut konsepsi Islam, maka makna yang
pertama: diizinkan (tidak dilarang oleh syarak) yang memiliki gayutan dengan
penggunaan kata itu sebagai salah satu kata yang berhubungan hukum dalam agama
Islam. Namun, makna ini terlalu umum, sementara konsep halal yang diatur dalam
Islam sangat renik, mengacu pada butir
atau item tertentu secara satu per satu, misalnya babi merupakan jenis hewan
yang dagingnya tidak halal untuk dikonsumsikan, dan jika dalam bentuk
kolektivitas, maka kategorinya jelas, seperti binatang yang hidup di dua dunia
(air dan darat) tidak halal untuk dikonsumsi dagingnya. Keumuman pemaknan kata
: halal dalam KBBI mengakibatkan kata tersebut mengalami pereduksian makna
secara semantis, misalnya pada penggunaan kata halal dalam konstruksi
pariwisata halal. Kata pariwisata merupakan kata yang memiliki unsur-unsur
bawahan (hiponimi) berupa: hotel, makanan, pantai, pemandangan, seni dll. yang
terlibat dalam industri pariwisata. Ketika kata: halal disematkan untuk
melabeli aktivitas: pariwisata, maka semestinya semua kata lain yang menjadi
hiponimnya haruslah pula terjamin kehalalannya. Tidak lagi ditemukan
pemandangan orang-orang yang berpakaian seronok bahkan tidak berbusana sama
sekali yang sedang berjemuran di tepi pantai, karena itu dari sudut Islam haram
hukumnya jika dilihat oleh orang yang bukan muhrimnya.
Rupanya, konsep halal yang disematkan pada pariwisata,
pemaknaannya sebatas tersedianya sarana untuk peribadatan, misal sajadah,
mukena, arah kiblat di dalam kamar hotel.
Dalam konteks ini terjadi pereduksian konsep halal sebagai
salah satu kosakata yang berhubungan dengan masalah syariat dalam Islam.
Dapat dibayangkan dalam perkembangan bahasa selanjutnya,
konsep halal akan dikaitkan hanya pada ketersediaan sarana peribadatan, suatu
pemaknaan yang jauh dari pengaturan yang terurai dalam Al Quran dan sunnah
rasul.
Contoh lain, dapat dicermati pemaknaan kata: taqwa dalam
KBBI, yang jauh dari pemaknaan kata itu dalam tuntunan Al Quran, misalnya
istilah taqwa mengacu pada: percaya pada hal yang gaib (keberadaan Allah dll.),
mendirikan shalat, menafkahkan sebagai rezeki yang diperolehnya, percaya pada
kitab Al Quran dan kitab-kitab lain yang diturunkan sebelumnya, serta percaya
pada hari akhirat (Al Baqarah: 3-4). Ketidaksinkronan antara pemaknaan kata
serapan itu dengan makna aslinya mengakibatkan gagasan-gagasan yang terpahami
melalui kamus itulah yang akan membentuk cara pandang dan cara bertingkah laku
seseorang.
Jangan heran, jika terdapat orang yang menjadi panutan,
tokoh nasional, dan mengaku dirinya beragama Islam, tetapi tidak percaya akan
adanya hari pembalasan (akhirat), karena memang KBBI belum mengakomodasi
pemaknaan kata itu sesuai dengan pemaknaan aslinya.
Apa yang dipaparkan di atas menggambarkan bahwa betapa
bahasa menjadi salah satu kendala dalam mengaktualisasi keberislaman masyarakat
Indonesia yang menetapkan Islam sebagai agamanya.
Persoalannya, adalah mengapa bahasa berpengaruh secara
signifikan bagi manusia pemilik bahasa tersebut?
Hal itu disebabkan, bahasa selain sebagai sarana untuk
berpikir juga bahasa membentuk cara berpikir seseorang. Dalam linguistik
dikenal teori relativitas bahasa, yang menyatakan bahwa cara pandang manusia
terhadap dunia akan membentuk bahasanya, sementara itu bahasa yang dimiliki
oleh suatu komunitas akan membentuk cara pandang dan sekaligus menentukan cara
bertingkah laku pemiliknya. Dengan kata lain, bahasa memiliki peran strategis dalam
membentuk dan mengubah cara pandang dan sekaligus mengubah cara bertingkah laku
manusia.
C. Islam Nusantara dan Perang Generasi Keempat
Uraian yang cukup panjang lebar di atas menuntun kita pada
satu pertanyaan yang menjadi inti pembahasan dalam bagian ini, yaitu apakah
hubungan antara istilah Islam Nusantara dengan perang generasi keempat.
Untuk membahas hal ini ada baiknya dipaparkan terlebih
dahulu tentang konsep perang generasi keempat serta ciri-cirinya.
Perang generasi keempat yaitu perang yang tidak lagi
menuntut mobilisasi peralatan tempur secara besar-besaran tetapi dilakukan
melalui perang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya serta agama
(perang informasi: Ipoleksosbud-Agama).
Peperangan semacam ini tidak lagi mengandalkan konfrontasi
secara langsung, melainkan melalui pemanfaatan segala jaringan yang ada baik
politik, ekonomi, sosial, dan militer untuk meyakinkan para pengambil keputusan
politik musuh bahwa tujuan strategis mereka tidak bisa diraih atau terlalu
mahal jika dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan.
Oleh karena itu, pelibatan dua aktor atau lebih dengan
kekuatan yang tidak seimbang dan mencakup spektrum perang yang luas merupakan
karakter utama dari perang generasi keempat.
Karakter utama lainnya adalah bersifat transnasional, tidak
mengenal medan perang yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, tidak
mengenal masa perang dan damai, serta tidak mengenal garis depan.
Fokusnya adalah mematahkan kehendak pembuat keputusan.
Mereka menggunakan jalur yang berbeda untuk menyampaikan pesan yang berbeda
kepada khalayak yang berbeda. Tujuan dari pesan itu adalah:
(a) mematahkan semangat musuh (pembuat kebijakan),
(b) mempertahankan kehendak rakyat mereka sendiri, dan
(c) memastikan pihak yang netral tetap netral atau
memberikan dukungan diam-diam terhadap alasan yang mereka gunakan.
Singkatnya, perang generasi keempat bersifat Ipoleksosbud,
jaringan terbentuk secara sosial dan membutuhkan waktu yang panjang. Perang ini
merupakan antitesis dari teknologi tinggi dan perang singkat yang selama ini
diintroduksi Pentagon (Mustarom, 2014).
Ada beberapa hal yang menjadi penanda perang generasi
keempat, yaitu :
(a) menurunnya harmoni dalam masyarakat,
(b) menurunnya loyalitas kenegaraan dan meningkatnya
loyalitas alternatif, terutama budaya atau agama,
(c) hilangnya monopoli negara atas perang,
(d) munculnya entitas non negara yang mampu menguasai
loyalitas utama masyarakat,
(e) peran dominan dari propaganda dan tekanan psikologis
untuk mengubah pikiran para pembuat kebijakan politik.
Oleh karena satu-satunya yang dapat mengubah pikiran
seseorang adalah informasi, maka informasi merupakan elemen utama dalam setiap
perang generasi keempat.
Dalam bahasa militer, seperti dinyatakan Menteri Pertahanan
RI, pada acara silaturahim Pimpinan tujuh instansi strategis negara, termasuk
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dengan Menhan di Aula Dharma Canti,
Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia, Sentul, 7 April 2015, perang generasi
keempat adalah perang murah meriah.
Ada beberapa tahap yang dilalui dalam perang murah meriah
tersebut, yaitu:
1. Infiltrasi paham: ideologi, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya, serta agama
(Ipoleksosbud-Agama);
2. Cuci Otak melalui introduksi paham-paham tertentu,
3. Adu domba;
4. Perang saudara;
5. Pecah belah
6. Kuasai, yang tidak hanya berupa fisik tetapi dapat berupa
penguasaan non fisik yaitu hal-hal yang menyangkut ipoleksosbud.
Apabila ditinjau dari batasan dan ciri-ciri perang generasi
keempat di atas, maka sesungguhnya perang generasi keempat merupakan bentuk
perang konsepsi. Lalu apa hubungan perang konsepsi tersebut dengan kehadiran
istilah Islam Nusantara?
Seperti dipaparkan di atas bahwa Istilah Islam Nusantara
memiliki kecacatan bawaan secara terminologis dan konseptual, yang
mengidentikkan Islam sebagai seperangkat sistem perilaku, bukan seperangkat
dari sistem nilai yang mendasari munculnya perilaku beserta variannya itu
sendiri.
Akibatnya, ketika hendak mengargumentasikan keberadaan
istilah Islam Nusantara, termasuk konsep yang dikandung di dalamnya, terpaksa
dipertentangkan dengan konsep Islam lainnya, seperti Islam Arab/Timur Tengah,
yang sudut pandangnya ditekankan pada penampakan dalam sistem perilaku,
misalnya dengan menyebutkan bahwa Islam Nusantara lebih toleran, beradab,
berbudaya, saling menghormati sementara Islam Arab sebaliknya.
Penganut pandangan Islam Nusantara lupa bahwa sesungguhnya
nilai dasar yang harus diperjuangkan dalam hubungan sesama manusia dalam Islam
di antaranya adalah nilai-nilai: toleran, beradab, berbudaya, saling
menghormati.
Nilai ini bukanlah milik dari Islam Nusantara saja tetapi
merupakan milik dari Islam itu sendiri.
Dengan demikian, tatkala ada pihak-pihak yang memperjuangkan
Islam yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar itu mestinya harus berani
dikatakan bahwa pihak tersebut bukanlah pihak pemeluk Islam yang sesungguhnya,
sebagaimana keberadaan ISIS yang dilansir sebagai ciptaan pihak tertentu yang
memiliki kepentingan tertentu, bukan lalu melabeli mereka dengan istilah Islam
dengan embel-embel bernuansa geografis, seperti Islam Arab, Islam Timur Tengah
dll.
Munculnya klaim kepemilikan nilai semacam ini sangat
berpotensi untuk memecah belah umat, tidak hanya dalam konteks kehidupan
keumatan dalam sebuah negara bangsa tetapi akan memecah belah kesatuan umat
Islam secara menyeluruh, sehingga keberadaan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin
menjadi ternodai.
Dalam konteks ini, disadari atau tidak, keberadaan istilah
Islam Nusantara termasuk muatan konsepsi di dalamnya, dapat menjadi amunisi
bagi terciptanya perang generasi keempat yang akan memporakporandakan bangunan
kebersamaan antarsesama pemeluk Islam baik dalam konteks keindonesiaan maupun
sesama pemeluk Islam dalam konteks Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.
Sudah sepatutnya, istilah-istilah baru untuk melabeli
Islam, termasuk Istilah Islam Berkemajuan, mulai sekarang dihindari, karena di
samping akan mengkerdilkan Islam itu sendiri juga akan menjadi amunisi yang
dapat dimanfaatkan oleh pihak lain untuk memperkeruh suasana silaturahim
antarsesama penganut Islam.
Sumber Rujukan Pustaka
Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu
Lima. Yogyakarta: LKiS.
Geertz, C. 1960. The Religion of Java, III. The Free Press.
Mahsun. 2006. Bahasa dan Relasi Sosial: Kesepadanan Adaptasi
Linguistik dengan Adaptasi Sosial.
Yogyakarta: Gama Media.
Mahsun. 2015. Indonesia dalam Perspektif Politik Kebahasaan.
Jakarta: Rajawali Perss.
Mustarom, K. 2014. Perang Generasi Keempat (4GW): Mengubah
Paradigma Perang. www.syamina.org.
Parsons, Talcott. 1977. Social System and the Evolution of
Action Theory. New York: The Free Press A Division of MacMillan Publishing Co.
Woodward, Mark R. 1989. Islam in Java: Normative Plety and
Mysticism. Diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Hairus Salim HS, 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta:
LKiS.