MENGENAL MANHAJ TAJDID MUHAMMADIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Satu ciri yang menonjol dalam Persyarikatan Muhammadiyah adalah gerakan purifikasi (pemurnian) dan modernisasi (pembaharuan) atau dalam bahasa arab dikenal dengan nama ‘Tajdid’, keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Pada mulanya Muhammadiyah dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu kembali kepada semangat dan ajaran islam yang murni dan membebaskan umat dari Tahayul, Bid’ah, dan khurafat. Cita-cita dan gerakan pembaharuan yang dipelopori Muhammadiyah sendiri sebenarnya bersinggungan dan memiliki kaitan dengan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat manusia saat ini, baik dalam lingkup nasional maupun global, termasuk di dalamnya dinamika kehidupan umat Islam.
Sebagai gerakan pembaharuan atau tajdid, Muhammdiyah mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan yang lain, tetapi ciri tersebut bukan atas dasar teoritik belaka, melainkan berpijak pada proses yang sesuai dengan lingkungan-budaya masyarakat. Ciri tersebut tercemin dari dua hal, yaitu bentuk keteladan seorang pemimpin yang simpatik dan pemikiran pembaharuan Islam yang yang disebarluaskan oleh Muhammdiyah dalam bentuk amal nyata dengan tindakan yang moderat.
Usaha Muhammadiyah untuk memurnikan agama islam melalui gerakan tajdid sesuai dengan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW tidak terlepas dari berbagai usaha yang memberikan konstrubusi yang besar atas usaha tersebut. Bentuk usaha tersebut salah satunya adalah melalui alat organisasi dan kepemimpinan yang mementingkan keutamaan, keikhlasan, dan pertanggungjawaban dunia akhirat. Pentingnya melalui organisasi dan kepemimpinan tersebut didasari dari pemahaman bahwa tidak ada lagi nabi penyiar agama setelah Nabi Muhammad.
Posisi Muhammadiyah dalam dinamika dan permasalahan kehidupan nasional, global, dan dunia Islam sebagaimana digambarkan di atas dibingkai dan ditandai dengan lima peran yang secara umum menggambarkan misi Persyarikatan. Kelima peran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid terus mendorong tumbuhnya gerakan pemurnian ajaran Islam dalam masalah yang baku (al-tsawabit) dan pengembangan pemikiran dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang menitikberatkan aktivitasnya pada dakwah amar makruf nahi munkar. Muhammadiyah bertanggung jawab atas berkembangnya syiar Islam di Indonesia, dalam bentuk:
a) makin dipahami dan diamalkannya ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
b) kehidupan umat yang makin bermutu, yaitu umat yang cerdas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
2. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dengan semangat tajdid yang dimilikinya terus mendorong tumbuhnya pemikiran Islam secara sehat dalam berbagai bidang kehidupan. Pengembangan pemikiran Islam yang berwatak tajdid tersebut sebagai realisasi dari ikhtiar mewujudkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin yang berguna dan fungsional bagi pemecahan permasalahan umat, bangsa, negara, dan kemanusiaan dalam tataran peradaban global.
3. Sebagai salah satu komponen bangsa, Muhammadiyah bertanggung jawab atas berbagai upaya untuk tercapainya cita-cita bangsa dan Negara Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Konstitusi Negara.
4. Sebagai warga Dunia Islam, Muhammadiyah bertanggung jawab atas terwujudnya kemajuan umat Islam di segala bidang kehidupan, bebas dari ketertinggalan, keterasingan, dan keteraniayaan dalam percaturan dan peradaban global. Dengan peran di dunia Islam yang demikian itu Muhammadiyah berkiprah dalam membangun peradaban dunia Islam yang semakin maju sekaligus dapat mempengaruhi perkembangan dunia yang semakin adil, tercerahkan, dan manusiawi.
5. Sebagai warga dunia, Muhammadiyah senantiasa bertanggung jawab atas terciptanya tatanan dunia yang adil, sejahtera, dan berperadaban tinggi sesuai dengan misi membawa pesan Islam sebagai rahmatan lil-alamin. Peran global tersebut merupakan keniscayaan karena di satu pihak Muhammadiyah merupakan bagian dari dunia global, di pihak lain perkembangan dunia di tingkat global tersebut masih ditandai oleh berbagai persoalan dan krisis yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia dan peradabannya karena keserakahan negara-negara maju yang melakukan eksploitasi di banyak aspek kehidupan.
Sejarah menunjukkan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dalam rentang usia satu abad telah berkhiprah optimal untuk memajukan kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia, yang memberi makna bagi kehidupan umat manusia pada umumnya. Muhammadiyah telah berjuang melalui gerakan dakwah dan tajdid dalam usaha pembinaan kehidupan beragama sejalan dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi serta melakukan usaha-usaha pembaruan kemasyarakatan melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat, peran politik kebangsaan, dan sebagainya, yang merupakan perwujudan untuk membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tajdid dalam Muhammadiyah?
2. Prinsip dasar Tajdid dalam Muhammadiyah?
3. Bagaimana Perkembangan Tajdid Muhammadiyah?
4. Bagaimana pengaruh perkembangan gerakan pembaharuan Muhammadiyah dalam Islam?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membahas hal-hal yang sesuai dengan permasalahan yang diajukan antara lain:
1. Untuk mengetahui pengertian Tajdid dalam Muhammdiyah.
2. Untuk mengetahui dasar Tajdid dalam Muhammadiyah.
3. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan Tajdid Muhammdiyah.
4. Untuk mengetahui pengaruh perkembangan gerakan pembaharuan Muhammadiyah dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tajdid dalam Muhammadiyah
Apa yang dimaksud dengan tajdid dalam Muhammadiyah dan bagaimana perkembangannya selama satu abad pertama? Kedua persoalan ini perlu dianalisis berdasarkan periodesasi dan kurun waktu yang telah ada. Secara garis besar, perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga fase, yakni fase aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan ase rekonstruksi.
Ketika Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum memikirkan landasan konsepsional dan teoritis tentang apa yang akan dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan yang dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri ini. Kecenderungan yang bersifat reaktif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi mulai terlihat. Pembetulan arah kiblat dalam pelaksanaan shalat, misalnya, menjadi bukti betapa reaktifnya tokoh Muhammadiyah saat itu. Jargon yang diusung saat itu adalah “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah” secara apa adanya terutama dalam masalah aqidah dan ibadah mahdlah. Munculnya istilah TBC (Takhayyul, Bid’ah dan Churafat) merupakan akibat dari gerakan pemurnian periode ini. Produk pemikiran yang dihasilkan oleh Majelis Tarjih didominasi oleh upaya memurnikan bidang akidah dan ibadah itu. Periode ini berlangsung sampai tahun enam puluhan
Secara bahasa (etimologi) tajdid memiliki makna pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid (pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah (terminology), tajdid berarti pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam bentuk pemikiran ataupun gerakan, sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan sosial umat (Ibnu Salim dkk: 1998:1). Dalam pengertian lain, tajdid adalah upaya untuk memperbaharui interpretasi-interpretasi atau pendapat-pendapat ulama terdahulu terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, atas dasar bahwa ajaran tersebut sudah tidak relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, tajdid adalah usaha yang kontinyu dan dinamis, sebab selalu berhadapan dan beinteraksi dengan historisitas kehidupan manusia.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dalam arti peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Dalam konteks Muhammadiyah, tajdid bertujuan untuk menghidupkan kembali ajaran al-Qur'an dan Sunnah dan memerintahkan kaum muslimin untuk kembali kepadanya. Adapun yang masih merupakan rumpun tajdid dalam perspektif Muhammadiyah adalah seperti diurakan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah sebagai berikut: Pertama, K.H. Azhar basyir menyebutkan bahwa Muhammadiyah bertujuan memurnikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah dari praktek-praktek takhayul, bid’ah dan khurafat yang dianggap syirik. Dengan kata lain, Muhammadiyah berkepentingan mengusung Islam murni (Lihat Azhar Basyir: 1993: 255-257). Kedua Syafi’i Ma’arif menyebutkan bahwa Muhammadiyah mentahbihkan dirinya sebagai gerakan non-mazhab, dinamisasi di tengah-tengah arus utama umat Islam yang terkungkung dalam belenggu mazhab (Syafi’i Ma’arif 1997: 133). Dan Ketiga, K. H. Suja inti dari pendirian Muhammadiyah sebagai jawaban terhadap surat al-Maun yang dikaitkan dengan pembebasan kaum tertindas. (Q.S. Al-Anfal: 24) (Sukrianto AR 1990: 43)
Rumusan tajdîd di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadits, dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali al-Qur'an dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya Muhammadiyah mengakui peranan akal dalam memahami al-Qur'an dan Hadits. Namun, kata-kata "yang dijiwai ajaran Islam" memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam meyelesaikan masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash al-Qur'an dan Hadits. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak zhâhir nash, maka kehendak nash harus didahulukan dari pada pemahaman akal.
B. Prinsip Dasar Tajdid dalam Muhammadiyah
Secara garis besar, Tajdid adalah amal Islami yang disyariatkan dalam koridor pengertiannya yang benar, namun tidak semua yang mengaku melakukan tajdid dikatakan mujaddid, karena harus memiliki syarat-syarat mujaddid. Demikian juga usaha tajdid hanya diakui bila sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar yang telah digariskan para ulama, di antaranya:
· Seorang mujaddid harus terbebas dari kebid’ahan dan berjalan di atas manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam seluruh urusannya. Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan ahlu bid’ah dan tokoh sekte sesat sebagai mujaddid, walaupun telah mencapai ketinggian derajat dalam ilmu.
· Memiliki sumber pengambilan ilmu dan manhaj istidlal (metodologi pengambilan dalil) yang benar. Hal ini dilihat kepada metodologi dalam belajar dan pengambilan dalil yang dibangun di atas al-Qur`an, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ijma’, qiyas yang shahih (benar) dan tinjauan maslahat yang tidak bertentangan dengan nash syariat.
· Memiliki ilmu syar’i yang benar, hal ini karena di antara aktivitas tajdid adalah mengajarkan agama, menebarkan ilmu syar’i dan membela sunnah dan ahlinya, serta menghancurkan kebid’ahan.
· Seorang mujaddid harus seorang alim yang pakar dalam agama, dai yang cerdas yang mampu menjelaskan al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam yang shahih kepada manusia. Juga jauh dari kebid’ahan dan memperingatkan manusia dari perkara-perkara yang diadakan dalam Islam, serta mengembalikan mereka dari penyimpangan kepada jalan yang lurus yaitu kepada al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam (Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah, 2/169).
· Mampu menempatkan dengan pas dan tepat nash-nash syariat pada realita dan peristiwa yang terjadi.
· Memiliki manhaj (metodologi) dan kaidahnya yang jelas. Seorang mujaddid harus menyertai dalam aktivitas tajdid-nya dengan manhaj dan kaidah yang jelas dalam segala keadaannya. Sebab, mujaddid menisbatkan dirinya kepada Islam. Ini adalah nisbat ilmu dan ittiba’, bukan sekadar pengakuan dan klaim. Dari sini, maka kebenaran nisbatnya tersebut dibangun di atas kaidah memahami Islam berdasarkan manhaj tidak benar memahami Islam kecuali dengannya. Inti metodologi ini ada pada empat bidang:
1) Ushul Lughoh Arabiyah
2) Ushul at-tafsir
3) Ushul as-sunnah
4) Ushul al-fiqh
Sehingga, tidaklah menjadi mujaddid orang yang mengenal segala sesuatu kecuali Islam atau yang mengetahui Islam dengan selain manhaj ini. Di samping memiliki ilmu syar’i yang benar dan kejelasan manhaj, juga harus dihiasi dengan akhlak yang mulia dan memiliki kecintaan dan kasih sayang kepada manusia. Juga berusaha untuk merealisaikan kemaslahatan dan semangat menyelesaikan permasalahannya serta zuhud dan qana’ah dengan yang ada.
Mengamalkan ilmunya, komitmen terhadap perintah dan larangan syariat dan menjaga semua kewajiban dan perkara sunnah, serta menjadi suri teladan yang baik untuk orang lain. Ini semua adalah sifat para ulama yang masuk dalam pengertian Ahlus sunnah wal Jama’ah. Tidak dipungkiri lagi, mujaddid termasuk thaifah manshurah yang dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَنْ يَزَالَ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى النَّاسِ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ
“Akan senantiasa ada kaum dari umatku yang muncul atas manusia, hingga datang kepada mereka hari Kiamat dan mereka dalam keadaan menang.” (HR. al-Bukhari).
Sangat antusias dalam menjaga ushuluddin dan cabangnya dan tidak meremehkan satu perkara agamapun. Seorang mujaddid memiliki keinginan adanya perubahan nyata pada umat, sehingga ia menggerakkan umat ini dari realita yang buruk dan menyimpang menuju jalan perbaikan dan kesuksesan dunia dan akhirat.
Mujaddid munculnya setiap permulaan abad. Kemunculan ini tidak dilihat kepada kelahiran atau kematiannya, namun melihat kepada keahlian dan munculnya ia menjadi ulama. Hanya menetapkan berdasarkan pengertian diutus setiap awal abad dengan kematiannya di awal abad tersebut. Padahal, Anda pasti tahu yang dapat dicerna langsung dari hadits ini adalah al-ba’tsu (pengutusan) dan irsaal (kemunculan) ada di awal abad. Pengertian kemunculan seorang alim adalah kemampuannya untuk maju ke depan memberikan manfaat kepada orang dan majunya ia dalam menyebarkan hukum-hukum syariat.
Terdapat dua unsur penting yang menjadi dasar bagi Muhammdiyah dalam berdakwah. Pertama, seruan terhadap skriptualisme (al-Qur'an dan Sunnah) dengan menekankan otoritas mutlak teks suci dengan menemukan substansi ajaran baik yang bersifat aqidah maupun dengan penerapan praksisnya. Kedua, upaya untuk mereinterpretasi ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan pemahaman-pemahaman baru seiring dengan tuntutan zaman yang kontemporer.
Dari penjelasan di atas, dalam kaitan dengan pembaharuan (Tajdid), terdapat lima agenda penting atau prinsi dasar yang menjadi fokus Muhammadiyah dalam melakukan gerakannya, yaitu:
a. Tajdid al-Islam yang menyangkut tandhifal-aqidah yaitu purifikasi terhadap ajaran Islam (Sujarwanto 1990: 232). Tandhifal-aqidah ini berusaha untuk membersihkan ajaran-ajaran Islam dari unsur takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC).
b. Pembaharuan yang menyangkut masalah teologi. Dalam bidang teologi, Muhammadiyah sudah sewajarnya untuk mengkaji ulang konsep-konsep teologi yang lebih responsif dan tanggap terhadap persoalan zaman. Pembaharuan yang dilakukan adalah untuk membicarakan persoalan-persoalan kemanusiaan, di samping persoalan-persoalan ke-Tuhanan.
c. Karena Islam menyangkut persoalan dunia dan akherat, ideologi dan pengetahuan serta dimensi yang menyangkut kehidupan manusia, maka tajdid diorientasikan pada pengembangan serta peningkatan kualitas kemampuan sumber daya manusia (Islam).
d. Pembaharuan Islam mengangkut organisasi. Gerakan umat Islam harus rapi, terorgansir dan memiliki manajemen yang professional, sehingga mampu bersaing dengan yang lainnya.
e. Pembaharuan dalam bidang etos kerja. Point ini juga menjadi focus perhatian Muhammadiyah karena etos kerja umat Islam saat berdirinya Muhammadiyah sangat rendah.
C. Perkembangan Tajdid Muhammadiyah
1. Pilar Gerak Langkah Pembaharuan Muhammadiyah
Saat ini, Muhammadiyah telah memasuki usia satu abad. Sebuah perjalanan yang cukup panjang. Namun, organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 ini, telah mampu melintasi berbagai zaman yang ada di Indonesia. Mulai zaman perintis kemerdekaan (1912-1945), zaman kemerdekaan (1945-1950), zaman Orde Lama (1950-1966), Orde Baru (1966-1998), hingga Orde Reformasi (1998-sekarang).Selama rentang waktu itu, banyak kontribusi yang telah diberikan Muhammadiyah bagi bangsa Indonesia. Mulai dari pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan sosial, dan lain sebagainya.
Kini, Muhammadiyah mengembangkan satu konsep pembaruan baru sebagai kelanjutan dari tauhid sosial yang menjadi pilar pergerakan ormas Islam tersebut, yakni Fikih Al-Maun.
Muhammadiyah adalah organisasi modern yang senantiasa melakukan pembaruan (tajdid). Bagaimana konsep tajdid Muhammadiyah itu?Muhammadiyah memiliki sejumlah lembaga (majelis) dalam menjalankan tugasnya untuk senantiasa beramar makruf nahi mungkar (menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran). Salah satu lembaganya bernama Majelis Tarjih dan Tajdid.
Tarjih adalah pengamalan hukum-hukum agama sebagaimana tertulis dalam Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Tarjih bergerak dalam bidang pemurnian atau purifikasi. Sedangkan, tajdid adalah reform atau pembaruan. Keduanya (tarjih dan tajdid), ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan dan tak mungkin dipisahkan.Jika dilihat secara umum, tarjih lebih bersifat masa lampau, sedangkan tajdid untuk masa depan. Tajdid selalu berbicara prospektif. Jadi, pemurnian dan pembaruan, menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah. Organisasi ini akan diukur berdasarkan pada kedua benchmarks tersebut. Itulah konsep Kiai Ahmad Dahlan dalam meletakkan landasan dan fondasi Muhammadiyah, yang harus dilaksanakan penerusnya saat ini.
2. Contoh Konkret dari Gerakan Pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah
Ada tiga hal yang menjadi pondasi utama gerak langkah Muhammadiyah, yakni bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Ketiga hal ini dijalankan oleh Kiai Ahmad Dahlan yang sangat jauh “menyimpang” dari mainstream saat itu. Mengapa demikian? Karena kondisi masyarakat Indonesia yang terjajah, tertindas, terbelakang, miskin, dan selalu dibodohi oleh para penjajah. Maka, untuk memperbaiki semua itu, harus ada keberanian dalam melakukan perubahan secara menyeluruh.Misalnya, dalam pendidikan. Pola yang dikembangkan Muhammadiyah berusaha untuk mengadopsi pendidikan Barat yang berbeda dengan paham masyarakat Indonesia saat itu.
Kemudian dalam bidang kesehatan, beliau berusaha mendorong didirikannya balai pengobatan untuk rakyat miskin. Sebab, waktu itu banyak masyarakat Indonesia dengan kondisi ekonomi yang sangat tertinggal, sangat kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, kecuali mereka yang berasal dari kalangan bangsawan.
Dalam bidang kesejahteraan sosial, beliau membentuk lembaga amil zakat, lembaga peduli umat, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan lain sebagainya.
Ini semua tak lepas dari pengalaman yang didapatkan Kiai Ahmad Dahlan saat menempuh pendidikan di Tanah Suci. Di sana, beliau mendapatkan gagasan pemikiran dari para tokoh pembaru Islam, seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, serta Rasyid Ridla. Mereka semua dikenal sebagai pelopor gerakan pembaruan Islam.
kondisi masyarakat saat itu yang mulai jauh dari nilai-nilai Islam. Cara ibadah mereka mulai bercampur dengan kemusyrikan, takhayul, bid’ah, dan lain sebagainya. Kemudian dalam hal pemikiran, umat Islam saat itu cenderung telah mengalami stagnasi pemikiran. Pola pikir yang dikedepankan cenderung taklid (mengikuti saja) tanpa mau mencari dasarnya. Bahkan, mulai muncul kekhawatiran di masyarakat karena adanya fatwa yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Bagi tokoh pembaru seperti Abduh, Al-Afghani, dan Ibnu Taimiyah, hal ini dapat menyebabkan taklid buta dan pemikiran umat Islam pun menjadi jumud (stagnan).
Gerakan pembaruan akan terus dilakukan dan tak akan pernah berhenti. Bisa saja, pembaruan yang dilakukan hari ini, tapi karena satu hal, sehingga besok sudah tidak bisa dilakukan lagi. Maka, pembaruan akan terus berlangsung. Begitulah seterusnya.
3. Makna Pentingnya Pembaharuan Dilakukan Muhammadiyah
Muhammadiyah selalu melakukan gerakan pembaruan. Muhammadiyah tanpa pembaruan, ibarat makan sayur tanpa garam, maka rasanya hambar. Muhammadiyah harus selalu menjadi pelopor. Sebagai pelopor, Muhammadiyah tidak boleh kehilangan kepeloporannya.
Karena itu, pembaruan menjadi kebutuhan mutlak bagi warga pergerakan Muhammadiyah. Jadi, pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang. Dan, pembaruan itu akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang namanya amal syahadah.
Majelis Tarjih dan Tajdid itu berkutat melayani persoalan-persoalan yang muncul khususnya masalah keagamaan internal Muhammadiyah. Sehingga warga Muhammadiyah mendapatkan pedoman dan jawaban dalam masalah sosial keagamaan. Tidak hanya masalah fikih tapi juga akidah, akhlak, dan masalah-masalah yang lain
D. Pengaruh Pergerakan Pembaharuan Muhammdiyah dalam Islam
Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan dengan melakukan gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai latarbelakang dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di Indonesia, dan sejak itulah Muhammadiyah adalah satu-satunya yang berani mengadakan pembaharuan Islam yang kuat dan tangguh. di asia tenggara.
Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di negara terbesar kelima di dunia.”
Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan Islam yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan waktu itu, ketika umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren dengan peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi jelas merupakan fenomena modern abad ke-20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat, instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam.
Mem-format gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan keagmaan yang selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama mengenai qaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”, bahwa jika suatu urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya. Lebih mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga memperoleh rujukan teologis sebagaimana tercermin dalam pemaknaan /penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di kemudian hari bahkan dikenal sebagai ”ayat” Muhammadiyah.
Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidupan. Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di Indonesia. Diantara pengaruh pergerakan pembaharuan Muhammadiyah dalam Islam, diwujudkan dalam bentuk amal usaha Persyarikatan Muhammadiyah, yang meliputi:
1. Bidang Keagamaan
Muhammadiyah dalam pergerakan pembaharuan Islam, mempunyai andil cukup besar dibidang keagamaan. Seperti:
a) Majlis Tabligh Muhammadiyah senantiasa menekankan agar tegaknya Islam yang benar sesuai yang dicontohkan nabi Muhammad SAW, tidak dirusak oleh berbagai macam bid’ah, khurafat, dan tahayul yang dapat mengkikis nilai-nilai Islam itu sendiri.
b) Majlis Tarjih, suatu lembaga yang menghimpun ulama-ulamak Muhammadiyah dari berbagai disiplin ilmu, yang selalu bermusyawarah dan memberikan fatwa terhadap hal-hal yang acktual ditengah-tengah masyarakat. Seperti tuntunan hidup keluarga sejahtera, dan memberikan tuntunan untuk dipedomani dibidang ubudiyah, mu’amalah dan persoalan yang menyangkut kemasyarakatan lainnya.
c) Terbentuknya Departemen Agama, tidak terlepas dari kepeloporan Pimpinan Muhammadiyah, dan Menteri Agama Pertama kali dari Kalangan Pimpinan Muhammadiyah Yakni. Prof. Dr. H.M. Rosyidi. Dan sekarang bangsa Indonesia menikmatinya.
2. Bidang Pendidikan
Salah satu sebab Muhammadiyah didirikan karena lembaga pendidikan di Indonesia sudah tidak memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman, tidak saja isi dan metode pengajarannya yang tidak sesuai, bahkan sitem pendidikannya harus dirombak secara mendasar. Sehingga tidak ada pemisahan antara pelajaran umum dengan pelajaran agama. Dan baru saja tokoh besar Muhammadiyah Prof. Dr. Amin Rais, Tokoh Muhammadiyah yang memberikan sumbangsih besar terhadap lahirnya Undang-undang tentang Guru dan Dosen. Tidak itu saja terdapat ribuan Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ada diseluruh pelaosok tanah air, sejak dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi.
3. Bidang Kemasyarakatan
Bidang Kemasyarakatan, sumbangsih dan pengaruhnya cukup besar bagi negara Indonesia yang nota bone mayoritas beragama Islam, yakni dengan banyak berdiri Rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan peralatan canggih dan tenaga ahli serta apoteknya. Mendirikan panti asuhan yatim, panti jompo, pondok pesantren, mendirikan perusahaan, percetakan buku, majalah, dll
4. Bidang Politik Kenegaraan
Muhammadiyah menentang penjajahan, penjajah kolonial belanda, jepang hengkang dari Nagara republik Indonesia, tidak terlepas dari perjuangan Tokoh-tokoh Muhammadiyah, seperti Jenderal Besar Sudirman, Ir. Soekarno (presiden RI pertama) dan masih banyak lagi, dan Muhammadiyah bukan organisasi politik, namun tidak buta politik, ahli-ahli atau tokoh-tokoh politik Muhammadiyah yang menyebar di semua Partai Politik sebatas hanyalah penyampai aspirasi rakyat amar ma’ruf nahi mungkar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal antara lain:
1. Model gerakan tajdid Muhammadiyah termaktub dalam rumusan tarjih yang menyebutkan bahwa tajdid menyangkut pada wilayah pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan (dianmisasi). Dengan foemulasi ini, maka Muhammadiyah menyatanaj bahwa tajdid meliputi tiga dimensi. Pertama, pemurnian aqidah dan ibadah serta pembentukan akhlakul karimah. Kedua, pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, prograsif dan berwawasan ke depan. Dan ketiga, pengembangan kepemimpinan, organisasi dan etos kerja dalam persyarikatan Muhammadiyah.
2. Prinsip dasar tajdidi di Muhammadiyah adalah pertama, seruan terhadap skriptualisme (al-Qur'an dan Sunnah) dengan menekankan otoritas mutlak teks suci. Kedua, upaya untuk mereinterpretasi ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan pemahaman-pemahaman baru seiring dengan tuntutan zaman.
3. Pergerakan pembaharuan Muhammadiyah dalam islam diwujudkan dalam bentuk amal usaha Persyarikatan Muhammadiya, yang meliputi: Bidang Keagamaan, Bidang Pendidikan, Bidang Kemasyarakatan, dan Bidang Politik Kenegaraan.