FIQIH NAWAZIL DALAM IBADAH[1]
Oleh : Muhammad Ridho Nur,Lc, M.A
A. Pendahuluan
Dalam literatur keilmuan islam
(baca syariah), ada empat ilmu yang harus diketahui oleh seorang calon
mujtahid, yang pertama qawaid ushuliyah, kedua qawaid fiqhiyyah ketiga , qawaid tahdist dan yang
ke-empat qawaid maqashidiyyah. Keempat cabang ilmu ini
merupakan ilmu yang berbicara tentang
methoda (thuruq al-istinbath). Hasil yang akan ingin dicapai sangat
ditentukan metode yang digunakan , Keempat disiplin ilmu ini sekaligus
membantah sebahagian pendapat yang mengatakan dalam kajian leimuwan Islam
miskin dengan metodologi,.
Bahkan
seorang calon mujtahid bukan sekedar mengathui metodologi secara umum, akan
tetapi dituntut mengetahui secara khusus dan terperinci, Sebagai contoh Ushul
fiqih sebagai salah satu ilmu yang terpenting diketahui oleh seorang
mujtahid,dalam materi kajian ushul fiqih ada sebuah bab yang sangat rumit yaitu kaifiyyah dalalah al-adillah ala
al-ahkam.[2]
Adapun Ilmu yang secara khusus
membahas masalah-masalah kekinian atau apa yang disebut dengan fiqhu
al-nawazil, atau disebut juga dengan istilah al-qadhaya
al-mu’ashirah, bukan hanya sekedar memaparkan materi masalah kekinian (sardu
al-ma’lumat) seperti yang sering
dipelajari , akan tetapi dalam kajian fiqih
al-nawazil ada ilmunya atau metode
yang sangat penting yang berfungsi
mengahantarkan kepada fiqihnya, atau
apa yang disebut dengan Manhaj
istinbath ahkam al-nawazil. Kajian Manhaj
istinbath ahkam al-nawazil sangat
beririsan dengan kajian ilmu ushul fiqih. yang sarat dengan
Metodologi yang merupakan menu utama dan pesanan
khusus bagi pencinta ilmu-ilmu syari’ah.
Salah satu unsur yang terpenting dalam kajian fiqih
nawazil adalah membahasakan tema-tema fiqih atau
pembahasan yang terdapat pada fiqih klasik dengan bahasa hari ini
sehingga kajian fiqih merupakan sesutu yang
disenangi dan diminati karena
dapat menjawab kebutuhan masyarakat, Sekaligus dapat menunjukkan bahwa Islam
sangat layak dan tepat mengusung
peradaban baru kepada masyarakat
dunia hari ini karena salah satu khosoisul Islam sejalan dengan
perkembangan zaman dan kondisi (sholihun
likulli zamanin wa makanin).
Kajian fiqih Islam terkadang terkesan kurang menarik bagi masyarakat
tertentu karena ketidak mampuan kita
membahasakan bahasa-bahasa fiqih klasik dengan bahasa hari ini . sebagai contoh
sewaktu menterjemahkan kitab al-libas wa al-zinah diterjemahkan dengan bahasa yang kurang
menarik dengan terjemahan kitab pakaian dan perhiasan mengapa
tidak diterjemahkan dengan bahasa hari
ini dengan terjemahan bab busana dan kosmetika, jual beli najsy
hal
berdampak kajian fiqih dipasenteren lebih menekankan sisi fiqih ibadah
ritual saja dan tidak memnadapat
perhatian kajian fiqih muamalah lebih mendalam.
Dalam pengantiar Fiqih nawazil ada beberapa pembahasan
yang terkait sebagai berikut .
1.
Pengertian Fiqih nawazil
Nawazil dikalangan
Ulama terdahulu adalaha
الشديدة من شدائد الدهر تنـزل بالناس
Menurut Ulama hari ini adalah :
معرفة الحوادث التي تحتاج إلى حكم شرعي
2.
Beberapa
istilah yang terkait dengan fiqih Nawazil
1.
الواقعات seperti buku واقعات المفتين oleh
Abul Qodir Afandi
2.
الفتاوى
3.
القضايا المعاصرة
4.
القضايا المستجدة
3. Ada beberapa disiplin ilmu yang berkaitan dengan fiqih Nawazil :
1. فقه الواقع
2. فقه المقاصد
3. فقه الأولويّات
4. فقه الموازنات
4.Bentuk-Bentuk Fiqih Nawa
Ada beberapa contoh
fiqih nawazil dalam ibadah :
1.
apa hukumnya air yang sudah tercemar oleh najis seperti air cucian dan
kemudian didaur ulang dengan teknologi
sehingga air kembali bersih apakah bisa dipergunakan untuk mandi atau berwhudu’.
Jumhur Ulama berpendapat apabila ilmu dan teknologi mampu menjadikan air
menjadi bersih (warna, baud an rasa)
maka air tersebut menjadi bersih sejalan
dengan kaidah :
الاصــل في الاشيــــاء الطهـــــــــــــــارة
Yang menjadi dalil dari kaidah di atas adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah dalam surat
al-Jatsiyah :13
dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan
apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berfikir.
2. Barapa jarak dan lama seseorang boleh menqashar shalat
Ulama berbeda pendapat bolehkan
seseorang mengqoshar shalat apabila perjalananya kurang dari 83 km, berapa lama
seseorang boleh mengqoshar shalat apakah boleh lebih dari tiga hari. Bahakan ada yang bertanya pakah hari
ini seseorang yang membawa kenadaraan pribadi boleh mengqoshar shalat ? Pada
dasarnya tidak ada nas (baik al-Quran dan Hadist ) secara tegas menjelaskan
berapa jarak dan lama seseorang boleh mengqoshar shalat.Maka pendapat yang kuat
adalah dikembalikan kepada uruf terkait dengan jarak dan batas waktu seseorang
melakukan qosar shalat.
3. Apakah boleh zakat dipergunakan untuk pembangunan mesjid
Pendapat ini muncul apakah
pembangunan mesjid termasuk asnaf yang delapan yaitu fisabilillah
pendapat yang kuat adalah bahwa dana zakat tidak bisa diberikan untuk
pembangunan mesjid karena yang dimaksud dengan fi sabilillah adalah
seseorang yang berjuang dimedan perang dengan sukarela dan hal-hal yang terkait
dengan persiapan jihad.dengan demikian yang dimaksud fi sabillah adalah
arti khusus bukan arti umum.
4.
Apakah amil zakat itu merupakan wakil dari muzakki atau dari mustahiq,
permaslahan ini muncul apabila seseorang sudah menyerahkan zakatnya kepada amil
- seperti zakat fitrah pada bulan Ramadhan- dan amil menyerahkan kepada faqir
miskin setelah lebaran permasalahannya adalah apakah zakat fitrah orang
tersebut sudah sah atau belum.
5. Nikah wisata (nikah
misyar, nikahul lail ) apakah dibolehkan dalam syariah Islam? Apakah
Nikah misyar sama dengan nikah kontrak
5. Secara umum untuk mengetahui fiqih nawazil . ada beberapa hal yang dapat
dilakukan oleh pencinta dan pemerhati
hukum Islam sebagai berikut :
Thuruq al-ta’arruf ala ahkam al-nawazil (cara mengetahui hukum fikih kontemporer)
Imam al-Ghazali melihat bahwa sebuah ijtihad dapat dikatakan benar dan
bermanfaat apabila ijtihad dilakukan oleh ahlinya dan
mempergunakan metode yang benar, sebagaimana ditegaskan oleh al-Ghazali dalam
karyanya al-mushtasfa dalam bidang
Ushul Fiqih :
فكل اجتهـــاد تــام ادا صــدر من أهلـــه
وصــادف محـــله فثمـــرتـــه حـــق وصـــواب [3]
Sesuatu dapat
dikatakan ijtihad sempurna apabila
ijtihad dari ahlinyua dan sesuai objeknya maka hasilnya menjadi benar.
Salah
satu prinsif yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam mengkllasifikasi
dalil adalah menenmpatkan dalil berdasarkan aulawiyyatu al-adillah
; mana dalil yang harus ditamakan dan mana dalil yang harus dinomor duakan.
Artinya seorang bukan sekedar mengetahui dalil atau alat yang akan dipergunakan
sebagai landasan hukum sebuah masalah , akan tetapi seorang mujtahid dituntut
untuk mengetahui tartib al-adillah . dalam kenyataan bisa
didapatkan seoranag melandasi pendapatnya dengan qawa’id fiqhiyyah
sebagai salah qawa’id istinbath. Secara dalil pendapat tersebut
sudah bisa dikatakan benar , akan tetapi
kesalahan terjadi dari sisi aulawiyyah al-adillah.Bahkan tidak
berlebihan apabila dikatan bahwa kefaqihan seseorang salah satunya
ditentukan kemampuan menentukan skala dan prioritas dalam mempergunakan
dalil.
Dr
Musfir al-Qahthaniy menegaskan tartib
al-adillah yang harus dilakukan oleh
seorang mujtahid sebagai berikut :
2.
Melihat al-qawa’id dan al-dhawabith al-fiqhiyyah
3.
Melakukan pendekatan al-takhrij
al-fiqhiy
Adapun yang
menjadi bahasan utama yang terkait degan Al-adillah al-syariyyah sekaligus sebagai
langkah dalam merumuskan hukum
terhadap masalah yang terjadi
adalah sebagai berikut :
1.
Merujuk kepada al-adillah
al-muttafaq alai (al-Quran, al-Sunnah dan al-Ijma’)
2.
Melihat dalil-dalil al-mukhtalaf
( ijma’ al-khlafa al-rasyidin,ijma’ ahli al-Madinah, Istihsan, syar’u
man qablana, saddu al-Zara’I’, al-Istishab, al-Istidlal, maslahah al-mursalah dan al-‘uruf .
3.
Dhawabith (criteria)
sewaktu merujuk kepada dalil.[5]
Langkah yang pertama yang harus
dilakukan oleh sesorang mujtahid dalam mengistinbathkan hukum adalah kembali
dalil-dali yang disepekati oleh seluruh Ulama. Yaitu al-Quran selanjutnya
al-Sunnah dan yang ketiga adalah Ijma’ dan qiyas. Merujuk kepada nas-nas
al-Quran merupakan langkah awal dan
sebuah keharusan bagi mujtahid dalam mengistinbathkan hukum. Apabila
tidak ditemukan didalam al-Quran seorang mujtahid melakukan langkah kedua
dengan merujuk kepada nas-nas yang terdapat dalam hadist, apabila tidak
ditemukan jawabannya dalam hadist mujtahid melakukan langkah berikut yaitu ijma’
apakah sudah ada ijma’ Ulama terkait masalah yang mau diputuskan, kalau tidak
ditemukan Ulama ijtihad atau qiyas, demikian Ulama menyebutkan langkah-langkah
yang harus dilakukan oleh seorang
mujtahid.[6]
Banyak ayat yang terdapat dalam al-Quran dan Hadist
Nabi yang menjadi alasan keharusan tartib
al-adillah dalam mengistinbatkan hukum. Firman Allah surat al-Nisa’:59
يــأيها الدين أمنــــوا أطيعــــوا اللــــه وأطيعـــوا الرســـول
وأولي الأمـــر منكـــم فان تنـــازعتـــم في شيئ فردوا الى اللــــه والرســولان
كنتــم تـــؤمنون باللـــه واليــــــوم الأخــــر
Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Hadist Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sewaktu Rasulullah saw melakukan haji Wada’
يــأيها الناس اني تركت فيكـــــم ما ان نغصمتم بــــه فلن تضـــلوا
بـــه أبدا كتاب اللــــه وسنـــــة وســـولــه La(الترمدي)[7]
Wahai Orang banyak sesungguhnya aku telah meninggalkan
kepadamu jika kamu berpegang teguh kamu tidak akan sesat buat selama-lamnya a-Quran
dan Sunnah Rasul.
B.
Latar belakang munculnya fiqih nawazil
Adapun
latar belakang munculnya kajian fiqih nawazil disebabkan karena dua hal :
1. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi
Islam
agama rahmatallilamin dan shalih limakanin wa zamanin harus mampu
memnjawab dan memberikan solusi yang terjadi ditangah masyarakat. Perkembangna
ilmu pengetahuan menuntut ada kajaian baru baru dilapangan fiiqh mualamah,
fiqih ibadah danfiiqh kedokteran, begitu juga dalam dunia makanan. Perkembangan
ilmu penegetahuan dan kemajuan teknologi
menuntut mujtahid untuk mengetahui dan memberikan jawaban .
2. Tidak
mengamalkan nilai-nilai syariah dalam kehidupan
Mengabaikan
dan tidak mengamalkan nilai syariat salah satu faktor yang mendasar munculnya
masalah-masalah baru ditengah masyarakat apa yang dikenal al-tawassu’ fi
almubahat (berlebihan dalam hal-hal yang mubah) dan tasabbuh bi alkuffar
(mengikuti gaya orang kafir). Ini yang yang dikatakan oleh Umar bin abdul
aziz
تحــدث
للنــــاس أقضيــــة بقــدر ماأحـــدثــــــوا مـــن الفجــــــور[8]
Munculnya
permaslahan ditengah masyarakat sejalan dengan penyimpangan (fujur)yang mereka lakukan .
C.
Penutup
Dengan demikian fiqih nawazil dapat
disimpulkan bahwa fiqih nawazil selain membahas masalah yang mucul yang bersifat
kekinian akan tetapi juga bahwa fiqih nawazil menuntut kepada calon ulama dan
mujtahid kemampuan membahsakan fiqih klasik dengan bahasa hari ini.wallahu
a’lamu bisshowab
[1] Disampaikan pada pelatihan Kader
Ulama Majlis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat pada tanggal 7 Des 2014 di
DIklat Dinas Sosia Sumatra Barat
[2] Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar,al-wadhih
fdi al-ushul al-fihqhi li al-mubtadiin,(Yordan:Dar al-Nafais 2004)cet.ke-2
h.12
[3] Abu Hamid al-Ghazaliy, al-Mustashfa (
Bairut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1322)cet.ke-1 juz-2h.355
[4] Musfir bin Ali bin Muhammad al-Qahthaniy,Manhaj
Istinbath Ahkam al-Nawazil al-Fiqhiyyah al-Mu’ashrah,( Jeddah: Dar
al-Andalus 2003) cet.ke-1 h.376
[5] Ibid,
lihat juga buku adillah al-tasyri’al-mukhtalaf fi al-ihtijaj biha Dr
Abdu al-Aziz al-Rabi’ah .
[6] Muhammad Idris al-Syafi’I,al-Risalah
(Bairut : Dar al-Kutub al-ilmiyyah 1413)cet.ke-1 h.595
[7] Muhammad bin Idris al-Turmizi , Sunan
al-Turmizi (Bairut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1415) cet.ke-1 h.232
[8] Muhammad bin Husein al-Jizany Fiqghu
al-nawazil.Dar ibnu al-jauzi th 2006 juz 1 h.32