Selasa, 22 Januari 2019

Fikih Kebencanaan Muhammadiyah (II)

Fikih Kebencanaan Muhammadiyah (II) 



Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Fikih Kebencanaan mungkin lebih tepat dimaknai sebagai salah satu produk pemikiran Islam kontemporer daripada perkembangan diskursus bidang Fikih secara terpisah. Selama ini Fikih dianggap telah selesai dengan mengatur persoalan muamalah, siyasah, dan ibadah. Fikih Kebencanaan tampak berada di luar jangkauan kajian fikih an sich karena dianggap dapat diselesaikan dengan hukum-hukum klasik yang mengatur tata cara ibadah di tengah kondisi darurat.
Padahal, situasi kebencanaan tidak hanya berkaitan dengan letak hukum ibadah seorang muslim di tengah situasi bencana. Terdapat situasi kompleks yang yang berelasi antara peristiwa alam dan manusia. Dalam posisi inilah, Fikih Kebencanaan bagi Muhammadiyah menjadi penting untuk dirumuskan karena berkaitan dengan persoalan teknis di lapangan yang sangat kompleks. Tidak hanya persoalan teologis tetapi juga melibatkan HAM dan sains.

Fikih Kebencanaan meletakkan secara khusus konsepsi bencana, pengelolaan situasi bencana, pemenuhan hak-hak korban bencana, dan praktik peribadahan di tengah situasi bencana ke dalam satu kompilasi. Fikih Kebencanaan dengan demikian tidak hanya mengatur bagaimana hukum ibadah dan muamalah selama kondisi bencana, tapi juga mengakomodir rekomendasi-rekomendasi perspektif sains dan sosial humaniora terkini. Konstruksi pemahaman terhadap kebencanaan inilah yang disebut sebagai Fikih Kebencanaan.

Fikih Kebencanaan yang dipahami oleh Muhammadiyah bukan sekadar pedoman tindakan praktis. Fikih bagi Muhammadiyah adalah seperangkat ketentuan Islam yang mengatur nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah), prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah), dan aturan hukum konkrit (al-ahkam al-far’iyyah).

Muhammadiyah merumuskan Fikih Kebencanaan sebagai hasil dari Musyawarah Nasional Tarjih ke-29 tahun 2015 di Yogyakarta. Dalam buku Fikih Kebencanaan (2015) yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid serta Lembaga Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MDMC), bencana memiliki beragam padanan istilah; musibah, bala’, fitnah, ‘azab, fasad, halak, tadmir, tamziq, iqab, dan nazilah. Bencana alam dengan demikian tidak selalu berkonotasi sebagai azab atau kemurkaan Tuhan terhadap perbuatan manusia. Bencana alam tidak dapat serta merta diinterpretasi sebagai hukuman. Bencana alam lebih baik dimaknai sebagai musibah terlebih dahulu. Kosakata musibah bermakna bahwa segala bentuk takdir kehidupan manusia merupakan ujian dan cobaan.

Mengembalikan Makna Bencana

Letak utama Fikih Kebencanaan ala Muhammadiyah yang pertama adalah mengembalikan makna konseptual bencana yang selalu dikonotasikan sebagai “hukuman Tuhan terhadap manusia”. Padahal di dalam Al-Qur’an, musibah digambarkan dan dikonspetualisasi dengan beragam cara yang berbeda.
Dalam Fikih Kebencanaan, penggunaan istilah akan sangat mempengaruhi cara manusia memaknai berbagai peristiwa. Secara luas, Islam memperkenalkan istilah musibah, berasal dari kata a-saba yang bermakna “sesuatu yang menimpa manusia” sebagai bentuk umum.

Dalam Al-Qur’an, musibah bisa berupa kejadian yang baik maupun kejadian buruk sesuai dengan persepsi manusia atas peristiwa yang menimpa dirinya. Surat Al-Baqarah ayat 155-156 menyatakan “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilahi raji’un”. Ayat ini memang tidak mengisahkan secara khusus untuk kondisi yang dialami oleh manusia akibat peristiwa alam. Tetapi ayat ini memberi bekal bagaimana manusia bersikap atas berbagai kejadian yang menimpa dirinya.

Musibah baik berasal dari Allah Swt, sedangkan musibah yang buruk merupakan hasil dari perbuatan manusia (Q.S. Al-Nisa  ayat 79). Tindakan manusia yang mengeksploitasi lingkungan dapat berakibat buruk terhadap daya tahan ekosistem, dan menjadi merugikan bagi manusia. Musibah memang akan menimpa siapa saja.

Terdapat beragam istilah yang dekat dengan makna bencana di dalam Al-Qur’an. Bala’ misalnya berarti “cobaan untuk memperteguh keimanan” (Q.S. Al-A’raf, 168). Fitnah merujuk pada bencana sosial yang melibatkan ketegangan antar tiap manusia. Azab bermakna “berbagai peristiwa yang menimpa manusia karena perbuatan yang melanggar ketetapan Allah”. Fasad adalah bencana yang diakibatkan oleh praktik kehidupan manusia yang bertolak belakang dengan ketetapan Allah Swt. Fasad dicontohkan dengan perang, pertumpahan darah, kriminalitas, dan lain sebagainya. Halak merujuk pada kebinasaan dan kehancuran yang menjadi ketetapan Allah Swt. Tadmir adalah sifat dari sebuah peristiwa atau kejadian yang berakibat mega destruktif, bisa disebabkan oleh manusia juga oleh alam. Sedangkan Tamziq adalah kata sifat untuk berbagai peristiwa buruk yang murni disebabkan oleh manusia. Iqab adalah kejadian berupa hukuman disebabkan oleh sikap pengingkaran manusia terhadap Allah dan Rasul. Terakhir adalah Nazilah merujuk pada bencana sebagai hukuman yang diturunkan dari Allah terhadap manusia.

Berbagai istilah yang digunakan secara bergantian untuk menggambarkan “segala sesuatu yang menimpa manusia” menjadi sangat penting bagi pengetahuan dasar tentang Fikih Kebencanaan.
Pemahaman konsepsional ini penting karena berkaitan dengan bagaimana seseorang membingkai peristiwa, baik sebagai seseorang yang terdampak langsung (insider) atau tidak langsung (outsider). Pembingkaian persepsi akan mempengaruhi kesadaran kemanusiaan seseorang. Apakah mereka akan berempati atau justru antipati. Model komunikasi sosial berplatform digital akan menunjukkan bagaimana pengaruh persepsi seperti ini akan menciptakan wacana yang konstruktif atau sebaliknya.
Apakah setiap orang akan terdorong untuk menggiatkan pengetahuan dan tindakan yang semakin pro-ekologi atau justru menganggap bahwa peristiwa alam sebagai hukuman Tuhan yang tidak dapat direspon. Dampak pemahaman konseptual terhadap musibah memiliki pengaruh terhadap pemaknaan manusia.

Fikih Multisipilin

Sebagaimana disebutkan bahwa Fikih Kebencanaan ala Muhammadiyah merupakan produk pemikiran Islam. Alasan utamanya adalah karena dalam pemikiran fikih ini, ilmu sains dan sosial-humaniora berhasil diintegrasi dengan ajaran Islam. Karakter utama fikih an-sich adalah berpegang pada warisan khasanah kognitif ulama klasik. Mereka adalah intelektual Islam yang sukses memformalisasi hukum Islam. Tentu saja pekerjaan semacam itu bukan berarti bahwa fikih tidak dapat dikembangkan atau diperluas.

Fikih Kebencanaan adalah contoh lain dari praktik formalisasi dengan pemanfaatan instrumen ilmu pengetahuan sains dan humaniora yang berupaya memperluas kemungkinan manfaat ilmu ini di ruang publik kontemporer.

Di sinilah letak keberhasilan Fikih Kebencanaan, meletakkan dampak peristiwa alam terhadap manusia dengan ajaran keagamaan atas situasi tersebut. Keberasilan mengkontekstualisasi hal semacam ini tidak mudah. Dibutuhkan kesungguhan dan upaya keras untuk mengatasi problem-problem yang selalu menjadi momok eksperimen integrasi Islam dan situasi kontemporer terutama dalam bidang fikih.

Spirit Neo-Filantropi

Fikih Kebencanaan ala Muhammadiyah lahir dari pergulatan lanjutan spirit neo-filantropi. Produk Fikih Kebencanaan ala Muhammadiyah didahului oleh proses panjang praktik kerelawanan dalam berbagai peristiwa sosial, politik, dan ekologi. Dapat dianggap titik kulminasinya terjadi pada tahun 2007 saat Muhammadiyah membentuk secara resmi lembaga penanggulangan bencana (disingkat dalam akronim Inggris MDMC).

Fikih Kebencanaan adalah sumbangan kognitif Muhammadiyah selama sewindu terlibat dengan berbagai dampak peristiwa alam di Indonesia, menempatkan produk pemikiran ini sebagai bagian utuh dari proses praktik di lapangan dan refleksi teologis aktivis Muhammadiyah.

Fikih kebencanaan telah menjadi sumbangan Islam Indonesia terhadap dunia. Ketika diterbitkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul Coping With Disaster: Principle Guidance from an Islamic Perspective” pada tahun 2016, buku ini telah dibawa ke ajang World Humanitarian Summit yang diadakan PBB di Turki.
 
Workhsop Resistemasi Buku Fiqh Kebencanaan
Makalah Pemateri. 

Memahami Bencana dalam Perspektif Fikih Kebencanaan (I)


Memahami Bencana dalam Perspektif Fikih Kebencanaan (I)


Oleh: Arif Jamali Muis
Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC)
PP Muhammadiyah


TERJADINYA bencana beruntun baru-baru ini di Lombok-Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dan disusul gempa dan tsunami Palu, Donggala, dan Sigi, Sulawesi Tengah, menggugah rasa kemanusiaan kita. Donasi dari masyarakat dari berbagai penjuru Nusantara berdatangan sebagai wujud saling membantu, begitu juga relawan dari berbagai organisasi hadir untuk meringankan beban saudara-saudara sebangsa yang sedang mengalami musibah.

Di balik rasa kemanusiaan yang patut kita banggakan muncul di berbagai grup WA dan media sosial lainnya pendapat yang menyertai penyebab terjadinya bencana. Selain analisis ilmiah keilmuan, muncul pendapat bahwa bencana terjadi karena di tempat tersebut banyak terjadi kemaksiatan yang dilakukan.

Lihatlah isu yang menyertai gempa Lombok, yakni bencana terjadi karena terdapat pulau yang digunakan bebas untuk bermaksiat sehingga Allah “murka” dan “marah”, maka diturunkanlah azab dari-Nya. Atau gempa dan tsunami di Palu karena akan ada pertemuan forum LGBT secara besar-besaran di Palu dan berbagai isu lainnya. Intinya, semua bencana yang terjadi karena “kemurkaan” Allah akibat kemaksiatan manusia.

Ada cerita menarik pada saat penulis mendampingi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkunjung ke NTB. Ada warga yang bercerita kepada relawan Muhammadiyah bahwa mereka merasa tidak nyaman dengan wacana gempa terjadi karena azab dari Tuhan. Kata mereka, sudah kena musibah dianggap ingkar dan bermaksiat kepada Allah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Lalu, bagaimana kita baiknya memahami kebencanaan yang terjadi?

Fikih Kebencanaan

Pada Munas Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015 telah diterbitkan fikih kebencanaan sebagai upaya memahami, menjelaskan, mengantisipasi, dan menyikapi peristiwa-peristiwa kebencanaan berdasarkan value, ethics, dan ethos dalam Alquran dan Hadis. Dalam fikih kebencanaan, memandang terjadinya bencana bisa kita bedakan dalam dua hal, yaitu bencana dari sisi teologis dan sosiologis.

Dalam konteks teologis Alquran mengajarkan bahwa Allah SWT bersifat Rahman dan Rahim, Allah Maha Kasih dan Sayang (QS 6:54). Maka itu, konsekuensi dari keyakinan itu adalah apa pun yang diberikan Allah SWT kepada manusia selalu dalam kerangka kebaikan dan penuh dengan kasih sayang. Cara pandang ini pun harus kita pakai dalam memandang bencana yang terjadi bahwa bencana sebagai kehendak Allah SWT merupakan sebuah kebaikan (QS 16:30) yang menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas keimanan manusia.

Bencana yang terjadi bukan merupakan bentuk amarah dan ketidakadilan Allah kepada manusia, melainkan merupakan bentuk kebaikan dan kasih sayang (Rahman) Allah kepada manusia, yaitu sebagai media introspeksi bagi seluruh perbuatan manusia yang mendatangkan peristiwa merugikan manusia itu sendiri.

Kedua, secara sosiologis, kita dapat memahami bencana dari perspektif peran manusia sebagai khalifah (pengelola) alam. Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini mempunyai tugas penting menjaga kelestarian alam, tidak melakukan kerusakan, menjaga harmoni alam, dan menjadikan alam sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam konteks kebencanaan, manusia sebagai khalifah ada tiga peran penting, pertama melakukan upaya preventif, yaitu mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana (QS Yusuf : 47–49), melakukan upaya-upaya jika terjadi bencana dapat meminimalkan kerugian dan korban jiwa.

Kesadaran mitigasi dan kesiapsiagaan ini sangat penting, apalagi Indonesia termasuk wilayah yang rawan bencana, baik gempa, gunung api, banjir, dan lain-lain. Sayangnya, usaha mitigasi dan kesiapsiagaan bencana ini belum mendapat porsi utama, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Ketiga, jika terjadi bencana bagi masyarakat yang terdampak harus bersikap sabar dan bersyukur, mengembangkan positive thinking and action akan kebaikan dan hikmah di balik peristiwa kebencanaan. Di sisi lain, bagi masyarakat yang tidak terdampak harus melakukan upaya tanggap darurat dengan menyelamatkan kelangsungan kehidupan manusia, mengurangi penderitaan korban, dan meminimalkan kerugian materi (QS Al-maidah: 32).

Bagi organisasi kemanusiaan menolong korban bencana harus memegang tiga prinsip; pertama inklusif, membantu tidak hanya untuk kelompok tertentu saja, membantu untuk semua kelompok yang terkena dampak bencana entah apa pun suku, ras, agama dan golongannya. Bukankah mustad’afin dalam bahasa agama tertuju tidak memandang agama, suku, etnis, dan kelompok tertentu.

Prinsip inklusif ini penting karena di lapangan kadang ada kecenderungan membantu sesuai dengan kelompoknya saja. Kedua, non-charity, artinya bantuan kemanusiaan tidak hanya model “bakti sosial” sekadar membantu apa saja tanpa analisis kebutuhan, setelah itu selesai dan merasa puas. Prinsip bantuan kemanusiaan adalah berbasis pada hak masyarakat terdampak dan memperhatikan keberlanjutan program.Bantuan kemanusiaan tidak lagi model “hero” yang datang memberi bantuan lalu pergi, hit, take a picture and run. Ketiga, prinsip bantuan kemanusiaan harus lebih memperhatikan kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, dan orang tua lanjut usia. Karena kelompok inilah paling gampang jika terjadi bencana mengalami penderitaan.

Keempat, pascabencana, sebagai khalifah, manusia wajib melakukan upaya rehabilitasi, yaitu perbaikan semua aspek yang rusak akibat terjadinya bencana maupun melakukan rekonstruksi semua sarana dan prasarana yang hancur akibat bencana. Ada baiknya masyarakat mulai menghentikan wacana mengaitkan terjadinya bencana akibat “kemarahan” dan “murka” Tuhan atas tindakan manusia.

Selain tidak membantu apa pun terhadap korban bencana, juga membuat korban menjadi tidak nyaman. Jalan terbaik setelah membantu korban adalah kita belajar dari kejadian bencana tersebut untuk melakukan upaya antisipasi agar jika terjadi di tempat kita tidak menimbulkan kerugian yang besar. Wallahualam.
Sumber: Aya S. Miza ( Anggota Majelis Tabligh PWM SUMBAR). 
Workhsop Resistemasi Buku Fiqh Kebencanaan/Makalah Pemateri. 

Senin, 21 Januari 2019

FILOSOFI KARATE (II)

FILOSOFI KARATE (II)



Karate sangat dipengaruhi oleh Filosofi yang harus di pahami dan di mengerti oleh para Sempai (pelatih/instruktur) maupun Kohai (siswanya). Agar mereka mencapai DO (jalan yang sebenarnya). Untuk mencapai DO maka para Karateka harus senantiasa memiliki REI (sikap saling menghormati) MEIKYO (berpikir positif), MUGA (berkosentrasi penuh) USHIN (melekat pada ajaran), SHUBAKU (senantiasa berhati lembut), TAI NO SEN (senantiasa memiliki inisiatif), dan KEIKO (rajin).

Apabila filosofi dipraktekan maka akan lahir para Karateka yang disiplin, jujur, percaya diri, sehat dan kuat. Hal ini amat relevan bagi profil prajurit yang harus tanggap, tanggon dan trengginas. Bagi para Karateka yang telah menjiwai latihan Karate secara sungguh-sungguh melalui latihan yang terus menerus dan teratur akan menemukan MYO (rahasia yang tersembunyi) berupa lahirnya intuisi, kekuatan fisik dan spiritual yang terkadang tidak dapat dicerna dengan akal sehat seperti mampu memecah benda-benda keras (SHIWARI), SINKANG (melompat tinggi) dan memiliki kekuatan super sebagaimana yang dialami para leluhur beladiri Karate. Benarlah apa yang diucapkan Gichin Funakoshi bahwa Tuhan telah menciptakan alam dan tubuh manusia dengan berbagai tujuan. Tetapi barang siapa yang menggunakan kepalan tangan tanpa tujuan yang mulia dan perhitungan yang matang maka ia akan kehilangan harga dirinya di hadapan Tuhan dan manusia.

SHOTO NIJU KUN

Minggu, 20 Januari 2019

FILOSOFI KARATE SHOTOKAN

FILOSOFI KARATE SHOTOKAN 

 

 


Seseorang yang menggeluti suatu seni bela diri dia tidak akan bisa melepaskan dirinya dari ilmu itu. Karena ilmu itu telah menjadi darah daging baginya. Begitu juga dengan diriku. Selama 5 tahun aku belajar karate shotokan aku tidak bisa melepaskan diriku. Kemanapun aku berlari dia selalu mengejarku. Berikut filosofi karate shotokan yang sangat bagus untuk diamalkan dalam kehisupan sehari2:

 

Rakka (Bunga yang berguguran)


Adalah konsep bela diri atau pertahanan di dalam karate. Konsep ini berarti bahwa setiap teknik pertahanan itu harus dilakukan dengan bertenaga (powerfull) dan pasti, dimana dengan hanya menggunakan satu teknik sudah cukup untuk membela diri. Dapat diumpamakan disini; jika teknik itu dilakukan ke atas suatu pokok bunga, maka semua bunga dari pokok tersebut akan berguguran. Dan juga seperti misalnya jika ada orang menyerang dengan sasarannya untuk memukul muka, maka seorang karateka yang diserang tadi hanya menggunakan teknik tangkisan atas (age uke). Apabila tangkisan tersebut kuat dan pasti, maka ia bisa mematahkan tangan si penyerang tadi. Sehingga ia (karateka) tidak perlu lagi membalas dengan serangan susulan karena tangkisan tadi sudah cukup untuk membela diri.

 


Mizu No Kokoro (Minda itu seperti air)


Adalah konsep yang bertujuan untuk bela diri, minda (pikiran) perlulah dijaga dan dilatih supaya selalu tenang. Apabila minda tenang, maka mudah untuk karateka untuk mengelak atau menangkis serangan yang datang. Minda itu seumpama air di danau. Apabila bulan bersinar dimalam hari, maka kita akan bisa melihat bayangan bulan yang terang di danau yang tenang. Seandainya dilemparkan batu kecil ke danau tersebut, maka bayangan bulan di danau itu akan kabur.


Niju Kun adalah 20 Kode Moral Wajib karatedo yang merupakan ajaran penting dari Master Gichin Funakoshi yang menjadi tuntunan dalam dojo juga dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah Niju Kun secara lengkap:

  1. Karate-do wa rei ni hajimari, rei ni owaru koto wo wasurna (Karate-do begins with courtesy and ends with courtesy). Artinya Dalam karate mulai dengan sebuah sikap hormat (rei) dan berakhir dengan sebuah sikap hormat.

  2. Karate ni sente nashi (There is no first attack in karate). Artinya Tidak ada sikap menyerang lebih dulu dalam karate.

  3. Karate wa gi no tasuke (Karate is a great assistance to justice). Artinya Karate adalah sebuah pertolongan kepada keadilan.

  4. Mazu jiko wo shire, shikoshite tao wo shire (Know yourself first, and then others). Artinya Pertama kenali (kuasai) dirimu sendiri baru orang lain.

  5. Gijutsu yori shinjutsu (Spirit first; techniques second). Artinya Semangat/ pemahaman harus lebih utama, barulah kemudian teknik (teori).

  6. Kokoro wa hanatan koto wo yosu (Always be ready to release your mind). Artinya Selalu siap untuk membebaskan pikiranmu.

  7. Wazawai wa getai ni shozu (Misfortune [accidents] always comes out of idleness [negligence]). Artinya Kecelakaan muncul dari kekurang perhatian/ ketelodoran.

  8. Dojo nomino karate to omou na (Do not think that karate training is only in the dojo). Artinya Jangan berfikir bahwa latihan karatedo hanya di dalam dojo saja.

  9. Karate no shugyo wa issho de aru (It will take your entire life to learn karate). Artinya Tidak ada batas dalam mempelajari karatedo, belajar karatedo akan meliputi seluruh kehidupanmu.

  10. Arai-yuru mono wo karate-ka seyo, soko ni myo-mi ari (Put your everyday living into karate and you will find the ideal state of existence myo [secret of life]). Artinya Jalani kehidupan sehari-hari dalam konteks karatedo, maka kamu akan menemukan Myo (sebuah rahasia besar kehidupan).

  11. Karate wa yu no goto shi taezu natsudo wo ataezareba moto no mizu ni kaeru (Karate is like hot water. If you do not give it heat constantly, it will again become cold water). Artinya Karatedo seperti air dalam teko, bila tak dipanaskan maka ia pun akan tetap dingin.

  12. Katsu kangae wa motsu na makenu kangae wa hitsuyo (Do not think that you have to win. Think that you do not have to lose). Artinya Jangan berpikir masalah menang dalam pertarungan tapi pikirkan bagaimana agar kau tidak kalah dalam pertarungan.

  13. Tekki ni yotte tenka seyo (Victory depends on your ability to distinguish vulnerable points from invulnerable ones). Artinya Kemenangan tergantung dari kemampuanmu untuk membedakan antara titik yang mudah diserang dan yang tidak.

  14. Tattakai wa kyo-jutsu no soju ikan ni ari (Move according to your opponent). Artinya Pertarungan ditentukan dengan bagaimana kamu mampu mengontrol gerakanmu ataukah gerakanmu ditentukan oleh lawanmu.

  15. Hito no te ashi wo ken to omoe (Think of the hands and feet as swords). Artinya Pikirkan bahwa kedua tangan dan kakimu adalah pedang.

  16. Danshi mon wo izureba hyakuman no tekki ari (When you leave home, think that you have numerous opponents waiting for you. It is your behavior that invites trouble from them). Artinya Jika kamu keluar rumah, bayangkan selalu ada banyak musuh yang siap menanti. Semuanya tergantung pada tingkah lakumu apakah mencari ataukah menghindari masalah dari mereka.

  17. Kamae wa shoshinsha ni ato wa shizentai (Beginners must master low stance and posture; natural body position for advanced). Artinya Karateka pemula harus menguasai kuda-kuda dan bentuk tubuh. Karateka tingkat mahir lebih baik dengan Shinzetai (posisi tubuh alami) dalam sebuah pertarungan.

  18. Kata wa tadashiku jissen wa betsu mono (Practicing a kata is one thing, and engaging in a real fight is another). Artinya Memainkan sebuah Kata hanyalah satu hal. Penerapannya dalam sebuah pertarungan yang sesungguhnya adalah lebih berarti.

  19. Chikara no kyojaku, karada no shinshuku, waza no kankyu wo wasaruna (Do not forget [1] strength and weakness of power, [2] stretching and contraction of the body, and [3] slowness and speed of techniques. Apply these correctly). Artinya Jangan pernah melupakan koreksi terus-menerus akan tiga hal ini dalam sebuah latihan: [1] Pengaturan kelembutan dan kekerasan akan tenaga; [2] Peregangan dan pemanasan anggota tubuh; [3] Pengaturan kecepatan dan kelambatan sebuah teknik.

  20. Tsune ni shinen kufu seyo (Always think and devise it all times). Artinya Selalu memikirkan dan menemukan cara untuk melaksanakan semua ajaran ini sepanjang waktu.