Pembagian Zakat dan Shadaqah (Kemiskinan Bukanlah Tontonan)
Oleh : Buya Gusrizal Gazahar
(Ketua Umum MUI Sumbar Periode 2015-2020)
A. Muqaddimah
Sudah menjadi sunnatullah dalam kehidupan ini, adanya keragaman dalam berbagai hal termasuk rizqi yang dianugerahkan Allah awj kepada hambaNYA. Itu dimaksudkanNYA untuk menjaga keseimbangan gerak alur kehidupan manusia sebagaimana isyarat ayat berikut ini:
وَلَو بَسَطَ اللَّهُ الرِّزقَ لِعِبادِهِ لَبَغَوا فِى الأَرضِ وَلٰكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ ما يَشاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبادِهِ خَبيرٌ بَصيرٌ
“Dan jikalau Allah mengulurkan rizqi kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan dengan ukuran sesuai kehendakNYA. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”(QS. al-Syura 42:27)
Namun, di antara manusia ada yang lupa hikmah perbedaan tersebut sehingga kemiskinan dan kefaqiran dipandang sebagai tempat berlabuhnya penghinaan serta pelecehan. Padahal, hina dan mulia pada hakikatnya tidak identik dengan miskin dan kaya. Betapa banyak orang kaya yang hina dan tidak sedikit orang miskin yang mulia. Dalam ajaran agama Islam, kemuliaan tidak diukur dari jumlah harta kekayaan seseorang tapi ketaqwaanlah yang menjadi ukuran utama di sisi Allah swt sebagaimana firmanNYA:
يٰأَيُّهَا النّاسُ إِنّا خَلَقنٰكُم مِن ذَكَرٍ وَأُنثىٰ وَجَعَلنٰكُم شُعوبًا وَقَبائِلَ لِتَعارَفوا ۚ إِنَّ أَكرَمَكُم عِندَ اللَّهِ أَتقىٰكُم ۚ إِنَّ اللَّهَ عَليمٌ خَبيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”(QS. al-Hujurat 49:13)
Kenapa harta tidak jadi ukuran ? Karena ia merupakan sesuatu yang mudah datang dan lenyap dari sisi manusia dan Allah swt yang telah memberikan kemuliaan kepada anak cucu adam mrlalui fithrahnya, sepertinya tidak menginginkan kemuliaan itu dipertaruhkan dengan sesuatu yang sementara. Bukankah apa saja yang ada di tangan manusia itu akan berujung dengan habis ? Sebagaimana pernyataan Rabb al-‘izzah:
ما عِندَكُم يَنفَدُ ۖ وَما عِندَ اللَّهِ باقٍ ۗ وَلَنَجزِيَنَّ الَّذينَ صَبَروا أَجرَهُم بِأَحسَنِ ما كانوا يَعمَلونَ
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”(QS. al-Nahl 16:96)
Jadi, harta tidak akan mencukupkan manusia dari segalanya. Kalau ada yang berpandangan demikian, itu tak lebih dari pengharapan yang tak akn berwujud sebagaimana dinyatakan Allah swt dalam firmanNYA:
يَحسَبُ أَنَّ مالَهُ أَخلَدَهُ • كَلّا ۖ لَيُنبَذَنَّ فِى الحُطَمَةِ
“dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya(3) sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah(4)” (QS. al-Humazah 104:3-4)
B. Sejukkan Ketamakan Dengan Shadaqah
Thabi’at kecintaan terhadap harta yang dimiliki manusia, walau merupakan perhiasan dasar kejadian manusia sebagaimana diisyaratkan oleh Allah awj dalam kitabNYA:
زُيِّنَ لِلنّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّساءِ وَالبَنينَ وَالقَنٰطيرِ المُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ وَالخَيلِ المُسَوَّمَةِ وَالأَنعٰمِ وَالحَرثِ ۗ ذٰلِكَ مَتٰعُ الحَيوٰةِ الدُّنيا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسنُ المَـٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik” (QS. Ali ‘Imran 3:14)
tak bisa dibiarkan membara sehingga membakar manusia itu sendiri. Ia perlu disejukkan dengan kerelaan melepaskan sebagian yang telah tergenggam di tangan mereka. Untuk itulah guna shadaqah baik yang wajib maupun yang sunat. Penulis melihat, ini adalah salah satu yang bisa difahami dari kalimat “tuthahhiruhum wa tuzakkyhim” dalam firman Allah awj:
خُذ مِن أَموٰلِهِم صَدَقَةً تُطَهِّرُهُم وَتُزَكّيهِم بِها وَصَلِّ عَلَيهِم ۖ إِنَّ صَلوٰتَكَ سَكَنٌ لَهُم ۗ وَاللَّهُ سَميعٌ عَليمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”(QS. al-Taubah 9:103)
C. Zakat Bukan Belas Kasihan Orang Kaya
Bila shadaqah termasuk zakat berfungsi pembersihan dan penyucian mereka yang diberikan rezki oleh Allah awj maka bisa dipastikan bahwa shadaqah maupun zakat bukan belas kasihan si kaya terhadap si miskin. Di samping alasan kembalinya akibat dari shadaqah maupun zakat kepada mereka yang menunaikannya, Allah awj berulang-ulang menegaskan bahwa bagian harta yang ditunaikan itu adalah hak mereka yang menerima dan kewajiban mereka yang mengeluarkannya. Penegasan Allah swt tersebut bisa dilihat dalam firmanNYA:
وَفى أَموٰلِهِم حَقٌّ لِلسّائِلِ وَالمَحرومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”(QS. al-Dzariyat 51:19)
Hakikat ini yang harus dihadirkan dalam qalbu setiap orang yang berzakat! Yang mereka berikan adalah kewajiban mereka dan hak orang-orang yang berhak. Itu semua bukan belas kasihan dan bukan pula bantuan kemanusiaan. Yang diambil oleh fuqara’, masakin dan yang berhak lainnya adalah hak yang diberikan oleh Allah awj dan kewajiban yang diletakkan di atas pundak orang yang kaya. Maka bisa dikatakan bahwa si kayalah yang butuh si miskin guna membersihkan dirinya dari bahaya tamak dan semangat menghalalkan segala cara dalam mencari kekayaan. Inilah hakikat yang diisyaratkan oleh hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam al-Bukhary dalam kitah shahihnya:
عن حارثةَ بنَ وَهبٍ –رضي الله عنه- قال: سمعتُ النبيَّ -صلى الله عليه وسلم- يقول: “تَصدَّقوا، فإِنه يأتي عليكم زمانٌ يَمشي الرجلُ بصدَقتِه فلا يَجِدُ من يقبَلُها، يقولُ الرجلُ: لو جئتَ بها بالأمسِ لَقبِلْتُها، فأمَّا اليومَ فلا حاجةَ لي بها”
“dari Haritsah Ibn Wahab ra, dia berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda; bersedekahlah kamu sekalian ! Maka sesungguhnya akan datang suatu zaman kepada kamu sekalian dimana seseorang berjalan membawa shadaqahnya namun ia tidak menemukan orang yang menerimanya bahkan orang yang berkata kepadanya; kalau engkau datang membawa sedekah itu kemarin, tentu aku terima. Adapun hari ini, saya tidak lagi membutuhkannya.”
D. Jangan Hina Mereka !
Subhanallah ! Kalau hakikat shadaqah seperti itu adanya maka apakah pantas orang-orang miskin itu dibariskan di depan rumah menadahkan tangan? Apakah pantas membiarkan mereka berebutan saling injak menginjak satu sama lain untuk memperebutkan apa yang sebenarnya menjadi hak mereka ? Dan apakah patut seorang yang diberi kelebihan rezki oleh Allah awj tersenyum memandang mereka saling dorong bahkan ada yang meninggal untuk memperebutkan sekedar makan satu hari? Kalau ada yang menganggap itu suatu kepantasan maka sudah saatnya dia memperingatkan dirinya dengan firman Allah awj:
يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا لا تُبطِلوا صَدَقٰتِكُم بِالمَنِّ وَالأَذىٰ كَالَّذى يُنفِقُ مالَهُ رِئاءَ النّاسِ وَلا يُؤمِنُ بِاللَّهِ وَاليَومِ الءاخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفوانٍ عَلَيهِ تُرابٌ فَأَصابَهُ وابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلدًا ۖ لا يَقدِرونَ عَلىٰ شَيءٍ مِمّا كَسَبوا ۗ وَاللَّهُ لا يَهدِى القَومَ الكٰفِرينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih tak berbekas. Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang yang kafir”(QS. al-Baqarah 2:264)
E. Khitam
Sudah saatnya pemandangan dan berita bergerombolnya fakir miskin di tempat pembagian shadaqah dan zakat tidak lagi menghiasi media negeri ini. Perilaku meminta-minta dan mengundang fakir miskin menadahkan tangan adalah perilaku yang tidak diridhai oleh Allah swt. Setiap hati yang berisi belas kasih anugerah Allah swt, bisa merasakan alangkah tidak pantasnya perbuatan tersebut. Sayangnya, perbuatan itu terus berlanjut walaupun peringatan dari Allah swt dan Rasulullah saw lebih dari cukup sebagai peringatan agar menjauhi perbuatan tersebut. Bahkan lembaga-lembaga zakatpun menjadi contoh dalam mempertontonkan kemiskinan dan tidak bertanggung jawabnya para ‘amil dalam pengelolaan amanah yang ada di pundak mereka. Mudah-mudahan perubahan yang diredhai Allah awj segera datang! Wallahu al-musta’an.
Padang: 15 Ramadhan 1434 H
Sumber: https://zurrahmah.wordpress.com/category/tulisan-buya-gusrizal-gazahar/
Sudah menjadi sunnatullah dalam kehidupan ini, adanya keragaman dalam berbagai hal termasuk rizqi yang dianugerahkan Allah awj kepada hambaNYA. Itu dimaksudkanNYA untuk menjaga keseimbangan gerak alur kehidupan manusia sebagaimana isyarat ayat berikut ini:
وَلَو بَسَطَ اللَّهُ الرِّزقَ لِعِبادِهِ لَبَغَوا فِى الأَرضِ وَلٰكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ ما يَشاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبادِهِ خَبيرٌ بَصيرٌ
“Dan jikalau Allah mengulurkan rizqi kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan dengan ukuran sesuai kehendakNYA. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”(QS. al-Syura 42:27)
Namun, di antara manusia ada yang lupa hikmah perbedaan tersebut sehingga kemiskinan dan kefaqiran dipandang sebagai tempat berlabuhnya penghinaan serta pelecehan. Padahal, hina dan mulia pada hakikatnya tidak identik dengan miskin dan kaya. Betapa banyak orang kaya yang hina dan tidak sedikit orang miskin yang mulia. Dalam ajaran agama Islam, kemuliaan tidak diukur dari jumlah harta kekayaan seseorang tapi ketaqwaanlah yang menjadi ukuran utama di sisi Allah swt sebagaimana firmanNYA:
يٰأَيُّهَا النّاسُ إِنّا خَلَقنٰكُم مِن ذَكَرٍ وَأُنثىٰ وَجَعَلنٰكُم شُعوبًا وَقَبائِلَ لِتَعارَفوا ۚ إِنَّ أَكرَمَكُم عِندَ اللَّهِ أَتقىٰكُم ۚ إِنَّ اللَّهَ عَليمٌ خَبيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”(QS. al-Hujurat 49:13)
Kenapa harta tidak jadi ukuran ? Karena ia merupakan sesuatu yang mudah datang dan lenyap dari sisi manusia dan Allah swt yang telah memberikan kemuliaan kepada anak cucu adam mrlalui fithrahnya, sepertinya tidak menginginkan kemuliaan itu dipertaruhkan dengan sesuatu yang sementara. Bukankah apa saja yang ada di tangan manusia itu akan berujung dengan habis ? Sebagaimana pernyataan Rabb al-‘izzah:
ما عِندَكُم يَنفَدُ ۖ وَما عِندَ اللَّهِ باقٍ ۗ وَلَنَجزِيَنَّ الَّذينَ صَبَروا أَجرَهُم بِأَحسَنِ ما كانوا يَعمَلونَ
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”(QS. al-Nahl 16:96)
Jadi, harta tidak akan mencukupkan manusia dari segalanya. Kalau ada yang berpandangan demikian, itu tak lebih dari pengharapan yang tak akn berwujud sebagaimana dinyatakan Allah swt dalam firmanNYA:
يَحسَبُ أَنَّ مالَهُ أَخلَدَهُ • كَلّا ۖ لَيُنبَذَنَّ فِى الحُطَمَةِ
“dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya(3) sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah(4)” (QS. al-Humazah 104:3-4)
B. Sejukkan Ketamakan Dengan Shadaqah
Thabi’at kecintaan terhadap harta yang dimiliki manusia, walau merupakan perhiasan dasar kejadian manusia sebagaimana diisyaratkan oleh Allah awj dalam kitabNYA:
زُيِّنَ لِلنّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّساءِ وَالبَنينَ وَالقَنٰطيرِ المُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ وَالخَيلِ المُسَوَّمَةِ وَالأَنعٰمِ وَالحَرثِ ۗ ذٰلِكَ مَتٰعُ الحَيوٰةِ الدُّنيا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسنُ المَـٔابِ “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik” (QS. Ali ‘Imran 3:14)
tak bisa dibiarkan membara sehingga membakar manusia itu sendiri. Ia perlu disejukkan dengan kerelaan melepaskan sebagian yang telah tergenggam di tangan mereka. Untuk itulah guna shadaqah baik yang wajib maupun yang sunat. Penulis melihat, ini adalah salah satu yang bisa difahami dari kalimat “tuthahhiruhum wa tuzakkyhim” dalam firman Allah awj:
خُذ مِن أَموٰلِهِم صَدَقَةً تُطَهِّرُهُم وَتُزَكّيهِم بِها وَصَلِّ عَلَيهِم ۖ إِنَّ صَلوٰتَكَ سَكَنٌ لَهُم ۗ وَاللَّهُ سَميعٌ عَليمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”(QS. al-Taubah 9:103)
C. Zakat Bukan Belas Kasihan Orang Kaya
Bila shadaqah termasuk zakat berfungsi pembersihan dan penyucian mereka yang diberikan rezki oleh Allah awj maka bisa dipastikan bahwa shadaqah maupun zakat bukan belas kasihan si kaya terhadap si miskin. Di samping alasan kembalinya akibat dari shadaqah maupun zakat kepada mereka yang menunaikannya, Allah awj berulang-ulang menegaskan bahwa bagian harta yang ditunaikan itu adalah hak mereka yang menerima dan kewajiban mereka yang mengeluarkannya. Penegasan Allah swt tersebut bisa dilihat dalam firmanNYA:
وَفى أَموٰلِهِم حَقٌّ لِلسّائِلِ وَالمَحرومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”(QS. al-Dzariyat 51:19)
Hakikat ini yang harus dihadirkan dalam qalbu setiap orang yang berzakat! Yang mereka berikan adalah kewajiban mereka dan hak orang-orang yang berhak. Itu semua bukan belas kasihan dan bukan pula bantuan kemanusiaan. Yang diambil oleh fuqara’, masakin dan yang berhak lainnya adalah hak yang diberikan oleh Allah awj dan kewajiban yang diletakkan di atas pundak orang yang kaya. Maka bisa dikatakan bahwa si kayalah yang butuh si miskin guna membersihkan dirinya dari bahaya tamak dan semangat menghalalkan segala cara dalam mencari kekayaan. Inilah hakikat yang diisyaratkan oleh hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam al-Bukhary dalam kitah shahihnya:
عن حارثةَ بنَ وَهبٍ –رضي الله عنه- قال: سمعتُ النبيَّ -صلى الله عليه وسلم- يقول: “تَصدَّقوا، فإِنه يأتي عليكم زمانٌ يَمشي الرجلُ بصدَقتِه فلا يَجِدُ من يقبَلُها، يقولُ الرجلُ: لو جئتَ بها بالأمسِ لَقبِلْتُها، فأمَّا اليومَ فلا حاجةَ لي بها”
“dari Haritsah Ibn Wahab ra, dia berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda; bersedekahlah kamu sekalian ! Maka sesungguhnya akan datang suatu zaman kepada kamu sekalian dimana seseorang berjalan membawa shadaqahnya namun ia tidak menemukan orang yang menerimanya bahkan orang yang berkata kepadanya; kalau engkau datang membawa sedekah itu kemarin, tentu aku terima. Adapun hari ini, saya tidak lagi membutuhkannya.”
D. Jangan Hina Mereka !
Subhanallah ! Kalau hakikat shadaqah seperti itu adanya maka apakah pantas orang-orang miskin itu dibariskan di depan rumah menadahkan tangan? Apakah pantas membiarkan mereka berebutan saling injak menginjak satu sama lain untuk memperebutkan apa yang sebenarnya menjadi hak mereka ? Dan apakah patut seorang yang diberi kelebihan rezki oleh Allah awj tersenyum memandang mereka saling dorong bahkan ada yang meninggal untuk memperebutkan sekedar makan satu hari? Kalau ada yang menganggap itu suatu kepantasan maka sudah saatnya dia memperingatkan dirinya dengan firman Allah awj:
يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا لا تُبطِلوا صَدَقٰتِكُم بِالمَنِّ وَالأَذىٰ كَالَّذى يُنفِقُ مالَهُ رِئاءَ النّاسِ وَلا يُؤمِنُ بِاللَّهِ وَاليَومِ الءاخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفوانٍ عَلَيهِ تُرابٌ فَأَصابَهُ وابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلدًا ۖ لا يَقدِرونَ عَلىٰ شَيءٍ مِمّا كَسَبوا ۗ وَاللَّهُ لا يَهدِى القَومَ الكٰفِرينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih tak berbekas. Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang yang kafir”(QS. al-Baqarah 2:264)
E. Khitam
Sudah saatnya pemandangan dan berita bergerombolnya fakir miskin di tempat pembagian shadaqah dan zakat tidak lagi menghiasi media negeri ini. Perilaku meminta-minta dan mengundang fakir miskin menadahkan tangan adalah perilaku yang tidak diridhai oleh Allah swt. Setiap hati yang berisi belas kasih anugerah Allah swt, bisa merasakan alangkah tidak pantasnya perbuatan tersebut. Sayangnya, perbuatan itu terus berlanjut walaupun peringatan dari Allah swt dan Rasulullah saw lebih dari cukup sebagai peringatan agar menjauhi perbuatan tersebut. Bahkan lembaga-lembaga zakatpun menjadi contoh dalam mempertontonkan kemiskinan dan tidak bertanggung jawabnya para ‘amil dalam pengelolaan amanah yang ada di pundak mereka. Mudah-mudahan perubahan yang diredhai Allah awj segera datang! Wallahu al-musta’an.
Padang: 15 Ramadhan 1434 H
Sumber: https://zurrahmah.wordpress.com/category/tulisan-buya-gusrizal-gazahar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar