Selasa, 01 Mei 2018

URGENSI TAFSIR AL-QUR`AN DAN SYARAH HADIS BAGI JURU DAKWAH


URGENSI TAFSIR  AL-QUR`AN DAN SYARAH HADIS
BAGI JURU DAKWAH

Oleh: Dr. Zulkarnaini, M. Ag
(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah 
Sumatera Barat Periode 2015-2020 )



I
PENDAHULUAN

Idealnya setiap juru dakwah adalah ulama, akan tetapi realitas di lapangan tidak demikian. Tidak sedikit mereka yang dianggap juru dakwah dan diterima malah disenangi masyarakat, tetapi tidak disebut sebagai ulama. Mereka disebut juru dakwah karena keterampilannya dalam berdakwah dan rutinitas kegiatannya memang dalam bidang dakwah.  Idealnya setiap juru dakwah adalah ulama, akan tetapi realitas di lapangan tidak demikian. Mereka tidak disebut sebagai ulama, karena tidak menguasai bidang ilmu yang selayaknya dimiliki oleh ulama.  Meskipun bukan ulama, namun massa penggemarnya banyak, kehadirannya dalam acara-acara tertentu ditunggu banyak orang, ceramahnya diminati ummat dan pesan-pesan yang disampaikannya dalam ceramah diterima dan diikuti.
Berdakwah berarti mengajak orang kepada Allah, (Q.S.41:33) dengan cara mengikuti jalan-Nya (Q.S.16:125) yang ditunjukkan-Nya dalam agama dan syari’at-Nya, yaitu agama Islam. Dalam istilah lain, berdakwah berarti mengajak manusia untuk mengikuti pesan-pesan Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur`an menurut tuntunan sunnah Nabi yang terdapat kitab-kitab hadis. Dengan demikian, bila pesan-pesan yang disampaikan seseorang kepada masyarakat tidak merujuk kepada Al-Qur`an ataupun hadis Nabi, maka kegiatannya tersebut tidak layak disebut sebagai kegiatan dakwah.
 Al-Qur`an diturunkan kepada Nabi SAW dalam bahasa Arab. Demikian juga hadis, baik dalam bentuk ucapan Nabi, maupun perbuatan dan taqrirnya dituturkan oleh para Sahabat kepada mereka yang tidak ikut bersama Nabi ketika hadis itu berlangsung dengan bahasa Arab. Pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur`an dan hadis, karena Nabi SAW yang menerima teks-teks Al-Qur`an dan bertugas menyampaikan dan menjelaskannya kepada ummatnya adalah orang Arab dan berada di lingkungan orang Arab.
Untuk membantu ummat Islam Indonesia dalam memahami maksud yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi, pihak-pihak yang berkompeten telah berusaha menerjemahkan kedua sumber ajaran Islam tersebut. Berbagai terjemah Al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi bisa diakses di toko buku dan perpustakaan. Dengan membaca terjemah ini, paling tidak bisa menarik perhatian ummat Islam untuk mengetahui lebih jauh maksud pesan yang terkandung di dalam teks berbahasa Arab tersebut.   
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa sejumlah besar kata dalam bahasa Indonesia terambil dari bahasa Arab atau setidaknya ditemukan kesamaannya dalam bahasa Arab. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut: yakin (يقين), sabar (صبر), ikhlas (اخلاص), adil (عادل), khusyuk (خشوع), kafir (كافر), fitnah (فتنة), doa (دعاء), sedekah (صدقة), syukur (شكور) dan banyak lagi kalau disebutkan satu persatu.
Kondisi ini pada satu sisi cukup membantu ummat Islam Indonesia untuk memahami teks-teks Al-Qur`an dan hadis serta bacaan tertentu dalam ibadah, akan tetapi pada sisi lain tidak jarang menimbulkan masalah, yaitu keliru dalam memahami teks-teks Al-Qur`an dan hadis Nabi. Hal ini karena sebagian kata Arab yang telah diadopsi menjadi bahasa Indonesia tersebut mengalami perubahan atau penyempitan arti setelah masuk ke dalam kosakata Indonesia. Sebagai contoh dapat dilihat, misalnya kata “kafir” dalam bahasa Indonesia berarti tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya kata kafir menurut bahasa Indonesia ditujukan khusus untuk orang yang tidak mau menganut agama Islam, atau berada di luar Islam.
Dalam Al-Qur`an istilah “kafir” itu ternyata tidak hanya ditujukan kepada mereka yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang yang putus asa dari rahmat Allah juga dianggap kafir (Q.S. Yusuf: 87). Begitu juga orang yang tidak bersyukur disebut juga kafir (Q.S. Ibrahim: 7). Demikian juga mereka yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah termasuk orang-orang kafir (al-Maidah: 44).
Dalam hadis Nabi riwayat al-Thabrani dari Anas, disebutkan bahwa istilah kafir itu ditujukan juga kepada orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Termasuk juga dalam kelompok kafir mereka yang menghadap para normal (‘arraf) atau tukang tenung (kahin), lalu mempercayai ucapan mereka (Hadis riwayat Ahmad dan al-Hakim dariAbu Hurairah). 
Kesalahan dalam menyampaikan maksud ayat Al-Qur`an dan kandungan hadis yang sengaja dikutip sebagai landasan pesan-pesan yang disampaikan dalam berdakwah sangat bagi ummat, terutama bagi yang menyampaikan. Bila ummat sesat gara-gara kecerobohan juru dakwah tersebut, maka juru dakwah yang ceroboh tersebut layak disebut sebagai kelompok dhallun mudhillun (sesat dan menyesatkan). Karena itu, sesuai dengan kandungan judul di atas, upaya memahami kitab tafsir Al-Qur`an dan syarah hadis sebelum kegiatan dakwah dilangsungkan, sangatlah penting dan mendesak untuk dilakukan para juru dakwah.
Permasalahan yang hendak dibicarakan dan dicarikan jawabannya dalam tulisan ini adalah bagaimana kebutuhan juru dakwah terhadap tafsir Al-Qur`an dan syarah hadis. Agar tulisan ini terarah, sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka uraian pada bagian berikutnya khusus membicarakan kebutuhan juru dakwah terhadap tafsir Al-Qur`an dan syarah hadis, diiringi dengan bagian rincian contoh-contoh kasus ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadis-hadis yang mengandung perbedaan antara terjemahan harfiyah dengan penjelasan tafsir dan syarah. Pada bagian akhir dikemukakan suatu kesimpulan yang berisi jawaban terhadap permasalahan yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan ini.
II
KEBUTUHAN JURU DAKWAH KEPADA TAFSIR AL-QUR`AN DAN SYARAH HADIS
Tanpa mengecilkan keberadaan kitab-kitab terjemahan dan jasa para penerjemah, dengan mengandalkan terjemahan Al-Qur`an dan terjemahan hadis saja belum cukup untuk memahami kandungan kedua sumber syari’at Islam tersebut secara utuh. Untuk itu diperlukan penjelasan (bayan) yang sudah dituangkan oleh para ulama yang memang ahli di bidangnya dalam berbagai kitab. Kitab yang berisi penjelasan tentang teks ayat-ayat Al-Qur`an biasa disebut kitab “tafsir”, misalnya: Tafsir al-Qur`an al-‘Azhim karya al-Imam Ibnu Katsir, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an oleh al-Qurthubi dan Shafwat al-Tafasir oleh al-Shabuni, Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka.
 Selanjunya kitab yang berisi penjelasan tentang hadis-hadis Nabi biasa  disebut kitab “syarah” hadis, misalnya: Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, oleh al-Imam al-Nawawi, Fath al-Bari (penjelasan tentang hadis-hadis riwayat al-Bukhari oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan Subul al-Salam oleh al-Shan’ani (penjelasan tentang hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Bulugh al-Maram karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani) dan Nail al-Authar oleh al-Syaukani (Penjelasan tentang hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Muntaqa al-Akhbar karya Ibnu Taimiyah)
Memahami Al-Qur`an tanpa merujuk kepada kitab-kitab tafsir dan memahami hadis dengan mengabaikan kitab-kitab syarah hadis sangat berpeluang untuk terjerumus pada kesalahpahaman (misunderstood) dalam memahami dan menerapkan ajaran Islam.  Hal ini antara lain karena ditemukan cukup banyak teks ayat dan hadis yang maksudnya berbeda dari arti lahir yang biasa dipahami banyak orang. Berspekulasi dalam menyimpulkan maksud ayat Al-Qur`an dan hadis Nabi adalah tindakan yang dilarang keras dalam Islam, karena Al-Qur`an itu adalah kalam Allah. Dalam penyampaian pesan Al-Qur`an terkandung makna bahwa yang disampaikan itu adalah pesan atau titah Allah. Tindakan ini termasuk atau dipandang mengatakan atas Allah atau mengatasnamakan titah Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui. Melakukan tindakan tersebut berarti melakukan apa yang disuruh oleh syetan , sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya Q.S. al-Baqarah: 169).

Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.

Permasalahan yang sama juga tedapat pada hadis Nabi, akan tetapi  tidak hanya pemahaman tentang maksud teks hadis, tetapi apakah teks itu bisa dipertanggungjawabkan sebagai hadis Nabi. Berbeda dengan Al-Qur`an yang teks ayat-ayatnya terhimpun dalam satu mushhaf, hadis nabi tersebar di berbagai kitab hadis. Untuk memgetahui apakah suatu teks yang yang disebut-sebut sebagai hadis Nabi itu benar-benar ada (disandarakan ke Nabi, ada perawinya dan ada pula sanadnya), diperlukan penelusuran ke berbagai kitab hadis yang jumlahnya cukup banyak. Ada yang populer ada pula yang asing terutama bagi kalangan yang tidak menekuni spesialisasi ilmu hadis. Karena keterbatasan waktu dan ruang yang tersedia, masalah yang akan dibicarakan terbatas pada pemahaman teks hadis saja.   
Tindakan menyampaikan pesan-pesan tertentu dengan mengatasnamakan sabda Nabi hanya dengan mengandalkan kitab-kitab terjemahan hadis,sangat berpeluang untuk terjerumus dalam dosa,  yang ancaman sanksinya disebutkan dalam hadis mutawatir berikut:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار. (Siapa yang berbohong atas saya maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari api neraka). 
Dari segi keotentikannya dari Nabi, menurut  Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib hadis ini tergolong hadis mutawatir.  

III
BEBERAPA CONTOH PEMAHAMAN TEKS AYAT DAN HADIS
YANG TIDAK SEJALAN DENGAN MAKSUDNYA
A. PEMAHAM AYAT-AYAT AL-QUR`AN
1. Pemahaman maksud kata fitnah (فتنة) yang terdapat dalam beberapa ayat, misalnya surat al-Baqarah ayat 191 dan 217 sebagai berikut: والفتنة أشد من القتل .... dan fitnah itu lebih besar (bahayanya) dari pembunuhan. والفتنة أكبر من القتل .... dan berbuat fitnah itu lebih besar (dosanya) dari pembunuhan. Demikian juga dalam surat al-Taghabun ayat 15 yaitu: انما أموالكم وأولادكم فتنة.... Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah.
Fitnah dalam bahasa Indonesia berarti perkataan yang bermaksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang). Menfitnah berarti menjelekkan nama orang (menodai nama baik, merugikan kehormatan dan sebagainya).
Bila ditelusuri arti fitnah dalam ketiga ayat, ternyata tidak sejalan dengan maksud kata itu dalam bahasa Indonesia. Fitnah dalam ayat 191 dan 2217 surat Al-Baqarah berarti : Penyiksaan dan penganiayaan serta pengusiran yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap ummat Islam dengan maksud untuk memaksa mereka kembali menjadi musyrik atau kafir. Fitnah dalam kedua ayat ini bisa juga berarti kekufuran orang-orang musyrik dan penolakan terhadap keesaan Allah. 
Kata fitnah dalam surat al-Taghabun ayat 15 berarti ujian dan cobaan (ikhtibar dan ibtila`). Artinya harta dan anak-anak itu dianugerahkan Allah kepada orang-orang yang beriman untuk menguji agar kelihatan siapa yang patuh di antara mereka dan siapa yang durhaka. 

2. Kata ammarah (أمارة) yang terdapat dalam ayat  53 surat Yusuf. Kata ammarah dalam ayat tersebut dikaitkan dengan kata an-nafs sebagai berikut: ان النفس لأمارة بالسوء. Ayat ini sering dijadikan dasar tentang adanya nafsu amarah. Amarah dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan marah. Marah berarti sangat tidak senang karena sebab-sebab tertentu, seperti dihina, diperlakukan tidak sewajarnya dan sebagainya. Bila kata amarah dalam bahasa Indonesia dihubungkan dengan nafsu, maka pengertian yang biasa muncul adalah bahwa nafsu amarah berarti nafsu yang sifatnya suka membuat seseorang marah-marah.
Dalam Al-Qur`an, kata ammarah, dalam ayat 53 surat Yusuf tersebut adalah bentuk mubalaghah dari  amir yang berarti selalu menyuruh. Jadi maksudnya bahwa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Menurut al-Shabuni kata ammarat bi al-su`  dalam ayat ini berarti mayyalah ila al-syahawat  yang berarti bahwa nafsu manusia itu condong kepada syahawat. Menurut sebagian ahli tafsir, ini diungkapkan oleh Yusuf sebagai sikap tawadhu’nya. 

3. Kata yaqin (يقين) dalam surat al-Hijr ayat 99 atau ayat terakhir. Dalam kamus bahasa Indonesia kata yakin yang kata Arabnya yaqin ( يقين ) artinya percaya dengan sungguh-sungguh. Dalam kamus bahasa Arab pengertian yaqin tidak berbeda dari kamus bahasa Indonesia. Kata ini diartikan meyakini dan mengetahui dengan pasti. Para ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan yaqin dalam ayat tersebut adalah maut atau kematian. Jadi secarah utuh ayat 99 surat al-Hijr tersebut bermaksud: Sembahlah Tuhanmu hai Nabi Muhammad sampai datang kepadamu kematian. Kematian itu disebut al-yaqin, karena memang diyakini terjadinya.  

B. PEMAHAMAN HADIS-HADIS NABI
Memahami maksud  teks-teks hadis tanpa merujuk kepada syarahnya juga berpeluang mengalami kekeliruan. Sejumlah kosakata Arab yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi ternyata tidak bisa dipahami melalui terjemahnya saja. Berikut dikemukakan tiga buah contoh:

1. Kata nashihah (نصيحة) yang terdapat dalam hadis Nabi yang cukup populer berikut:      
الدين النصيحة. Secara sederhana sering diterjemahkan : Agama itu adalah nasehat.
Nasehat dalam bahasa Indonesia berarti ajaran atau pelajaran baik; anjuran (petunjuk, peringatan, teguran) yang baik. Bila terjemah ini yang digunakan untuk memahami kata nashihah dalam hadis tersebut, maka maksud hadis tersebut adalah: Agama (Islam) itu adalah ajaran atau anjuran yang baik atau secara lebih jelas, agama itu adalah menyampaikan nasehat.
Bila hadis ini hanya satu kalimat itu saja, maka tidak ada masalah dalam menerjemahkannya seperti di atas, akan tetapi hadis itu masih ada sambungannya. Lengkapnya adalah sebagai berikut:
الدين النصيحة. قلنا: لمن؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
ِAgama itu adalah nashihah. Kami bertanya: “Untuk/kepada siapa nashihah itu ya Rasulullah”? Rasulullah menjawab: “Kepada Allah, kitab-Nya, Rasulnya, pemimpin kaum muslimin dan umumnya mereka”.
Kalau nashihah hanya ditujukan kepada sesama ummat Islam, maka tidak ada masalah diterjemahkan dengan nasehat atau anjuran, akan tetapi sasarannya ditujukan kepada Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya. Tentu saja tidak mungkin ummat Islam menasehati Allah, demikian juga kitab-Nya dan Rasul-Nya.
Kalau begitu tentu ada makna lain yang cocok dengan konteks hadis ini. Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa kata al-nashihah sama dengan al-nushh artinya adalah memurnikan amal dari unsur kepalsuan, penipuan, kecurangan atau kepura-puraan. Arti ini cocok untuk taubat nashuha yaitu taubat yang tulus atau taubat yang sejujurnya, bukan taubat pura-pura. Begitu juga dengan terjemahan kata idza nashahu lillah sebagaimana terdapat dalam ayat 91 surat al-Taubah:

Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak mempeoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada alas an untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 
Dengan demikian arti yang cocok untuk nashihah dalam hadis di atas tulus atau jujur atau ikhlash. Jadi isi kandungan hadis di atas adalah bahwa agama seseorang itu ditandai dengan keikhlasannya kepada Allah, jujur kepada Kitab-Nya, jujur kepada Rasul-Nya, jujur kepada para pemimpin ummat Islam dan jujur kepada umumnya kaum muslimin.

2. Kata nikah dalam hadis  yang berbicara tentang apa yang tidak boleh dilakukan ketika isteri sedang haidh. Sebahagian masyarakat berpendapat bahwa ketika seorang perempuan sedang haidh, yang bersangkutan dilarang melangsungkan akad nikah. Alasan mereka adalah hadis riwayat Imam Muslim dari Anas ibn Malik berikut: اصنعوا كل شيئ الا النكاح. (perbuatlah segala sesuatu selain nikah).

Berdasarkan hadis ini pernah pelaksanaan upacara akad nikah disuruh tunda, gara-gara calon pengantin perempuan mengaku mengalami haidh ketika akad nikah akan dilangsungkan, pada hal jadwal pernikahan dan pesta perkawinannya adalah pada hari yang sama. Alasannya adalah bahwa hadis riwayat Muslim di atas melarang perempuan haidh menikah dalam arti melangsungkan akad nikah.  
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memang disebutkan bahwa kata “nikah” itu berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri (dengan resmi). Walaupun ditambahkan artinya dengan perkawinan, namun penekanannya dalam kamus tersebut adalah perjanjian resmi, yang dalam istilah fikih disebut akad (‘aqd). Jadi larangan menikah (nikah) dalam hadis tersebut dipahami sebahagian masyarakat, terutama masyarakat awam, sebagai larangan melaksanakan akad nikah.
 Hadis tersebut memang berbicara tentang apa yang dilarang terhadap perempuan yang sedang haidh, yaitu nikah, akan tetapi nikah yang dimaksud di sini adalah melakukan hubungan suami isteri (jima’/wath`/senggama). Pengertian ini diketahui dengan memperhatikan konteks (sabab al-wurud) hadis tersebut. Menurut Anas, di kalangan masyarakat Yahudi, suami tidak mau makan bersama isterinya yang sedang haidh dan tidak pula menggaulinya. Para Sahabat datang kepada Nabi untuk menanyakan ketentuan hukumnya bagi masyarakat muslim. Untuk menjawab pertanyaan tersebut turunlah ayat 222 surat al-Baqarah:

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang mensucikan diri.

Setelah selesai ayat ini turun Rasulullah SAW bersabda kepada mereka yang bertanya: “Perbuatlah segala sesuatu selain nikah”! Kata nikah yang disebutkan dalam hadis ini bukanlah akad nikah. Yang dimaksud dalam konteks ini adalah jima’ atau wath` yang biasa diterjemahkan dengan senggama. Hadis-hadis yang menjelaskan persoalan ini antara lain dapat dilihat dalam kitab Asbab al-Nuzul.

Untuk lebih meyakinkan bahwa hadis اصنعوا كل شيئ الا النكاح.  tidak ada sangkut pautnya dengan akad nikah, dapat dilihat dari judul yang diberikan oleh ahli hadis untuk teks hadis tersebut. Dalam kitab syarah hadis, misalnya kitab Subul al-Salam, yang ditulis oleh al-Shan’ani, yaitu kitab syarah hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Bulugh al-Maram, karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, hadis ini dicantumkan di bawah judul: يباح الاستمتاع بالحائض فيما دون الفرج  (Dibolehkan Menikmati Isteri yang Sedang Haidh Selain Hubungan Kelamin).  Selanjutnya dalam kitab Nail al-Authar karangan al-Syaukani, yaitu kitab syarah hadis yang terdapat dalam kitab Muntaqa al-Akhbar karya Ibnu Taimiyah, hadis tersebut ditempatkan di bawah judul: تحريم مباشرة الحائض فى الفرج وما يباح منها  (Haram Melakukan Hubungan Kelamin dengan Perempuan Haidh dan Apa yang Dibolehkan).

3. Kata siwak (سواك) yang terdapat dalam hadis yang menganjurkan bersiwak sebelum memulai shalat. Banyak hadis yang berisi anjuran untuk bersiwak. Ada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Nasa`i dan al-Bukhari yang bersumber dari ‘Aisyah yang menyatakan bahwa bersiwak itu membuat mulut jadi suci dan menyebabkan Allah menjadi ridha. Ada  pula hadis yang diriwayatkan oleh jama’ah dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa kalaulah tidak menyulitkan bagi ummat, Nabi menyuruh mereka bersiwak setiap kali akan shalat. Menurut riwayat Imam Ahmad yang juga bersumber dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bersiwak sebelum shalat itu adalah ketika hendak berwudhuk. Ada pula hadis yang berisi anjuran bersiwak bila hendak shalat malam. Malah menurut ‘Aisyah tindakan pertama Nabi masuk rumah adalah bersiwak. Begitu pentingnya bersiwak itu, malah pada saat puasa pun Nabi bersiwak. 
Sejumlah ummat Islam memahami siwak itu sebagai jenis kayu tertentu yang biasa digunakan untuk pembersih atau sikat gigi, akan tetapi dalam syarah hadis ditemukan bahwa kata siwak itu bisa berarti nama benda tertentu yang dipakai untuk penggosok gigi dan bisa juga berarti kegiatan atau kerja membersihkan gigi.
Artinya, perbuatan membersihkan gigi, apa pun alat yang dipakai untuk itu disebut juga bersiwak dan bila dilakukan pada waktu yang disebutkan dalam hadis-hadis tentang siwak tersebut, sudah terhitung menjalankan sunnah Nabi.

VI
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, bahwa dalam menyampaikan pesan-pesan agama, para juru dakwah wajib merujuk kepada Al-Qur`an dan hadis Nabi. Kedua, kekeliruan dalam penyampaian maksud ayat-ayat Al-Qur`an dan kandungan hadis-hadis Nabi sangat membahayakan bagi ummat. Ketiga, untuk menghindari kesalahpahaman dalam mengungkapkan pesan-pesan ayat-ayat Al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi, para juru dakwah perlu merujuk kepada kitab-kitab tafsir dan syarah hadis.


REFERENSI :
Khathib, Muhammad ‘Ajjaj al-, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)
Munawwir, Ahmad Warson al-, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, (Krapyak Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984)
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), cet. VIII                      
Qurthubi, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al- [selanjutnya disebut al-Qurthubi], al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993)
Saleh, K. H. Qamaruddin dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, tt,) cet. Ke-2, hlm. 71  
Shabuni, Muhammad ‘Ali al-, Shafwat al-Tafasir, (Beirut: Dar al-Qur`an al-Karim, 1981 M), cet. IV,
Shan’ani Muhammad ibn Isma’il al-, Subul al-Salam, (Mesir: Mathba’at Muhammad ‘Ali Shabih wa Auladih, t.t.), juz 1, hlm. 150
Suyuthi, Jalal al-Din ibn Abi Bakr al-, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), cet. IV
Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali al-, Nail al-Authar, (Mesir: Mathba’ah ‘Utsmaniyah, 1357H)
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa  
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. III



Tidak ada komentar:

Posting Komentar