Rabu, 02 Mei 2018

HADIS-HADIS MUKHTALIF DAN TANAWWU’ AL-‘IBADAH


HADIS-HADIS MUKHTALIF DAN TANAWWU’ AL-‘IBADAH
Oleh : Prof. Dr. Edi Safri

Guru Besar Hadis/Ilmu Hadis Fak. Ushuluddin IAIN IB Padang
Pembina Majelis Tarjih dan tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
 Sumatera Barat Periode 2015-2020


 


A. Pengertian
Metode pemahaman hadis terbaik untuk mendapatkan jawaban yang komprehensif atas suatu masalah yang dibahas (dari perspektif hadis) ialah melalui metode mawdhu’iy atau tematis. Metode ini dipandang lebih baik  karena melalui metode ini semua hadis-hadis terkait masalah yang dibahas tersebut dikaji dengan memperhatikan keterkaitan makna satu dengan lainnya yang saling menjelaskan sehingga ditemukan pemahaman yang komprehensif.
 Akan tetapi suatu persoalan yang sering muncul dan bahkan bisa menimbulkan kebingungan setelah diinventarisasi hadis-hadis terkait masalah tersebut ialah seringkali antara satu hadis dengan hadis lainnya tampak saling bertentangan (kontradiksi), sementara  hadis-hadis tersebut semua sama-sama berkualitas shahih yang tentunya sama-sama boleh dijadikan dalil atau hujjah (maqbul). Katakanlah hadis pertama mengandung hukum melarang, sedang hadis kedua justru membolehkannya. Oleh karena itu dalam persoalan ini bisa timbul kebingungan, yakni  yang manakah di antaranya yang akan diperpegangi dan diamalkan atau yang akan dijadikan dalil/hujjah dan bagaimana pula dengan hadis yang lainnya. Dengan kata lain, bagaimana harusnya memahami hadis-hadis yang tampak saling bertentangan tersebut.
Hadis-hadis berkasus seperti ini dalam kajian ilmu hadis disebut dengan hadis-hadis mukhtalif, yakni hadis-hadis maqbul (shahih atau minimal hasan) yang secara lahiriah mengandung makna saling bertentangan, namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan melainkan dapat dicari pengompromian atau penyelesaiannya. Oleh karena itu masalah utama hadis-hadis mukhtalif ini ialah bagaimana harusnya kita memahami hadis-hadis tersebut agar terhindar dari makna lahiriah yang tampak saling bertentangan tersebut.
Sebagai contoh, dalam suatu riwayat Rasulullah bersabda :
 عـبـد اللـه بن عـمـر ان رسـول اللـه صـلى اللـه علـيه وسـلـم قـال : لا يخـطـب احـدكـم عـلى خـطـبـة أخـيـه حـتى يأ ذن أو يـتـرك . رواه أبـو داود
Hadis  Abdullah ibn ‘Umar ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda: janganlah seseorang kamu meminang wanita yang telah dipinang saudaranya hingga ia izinkan atau ia tinggalkan pinangannya itu. Hadis riwayat Abu Daud.
Dalam riwayat lain, Fatimah Binti Qays yang diceraikan suaminya, setelah melewati masa iddahnya melapor kepada Rasulullah dengan mengatakan:
يا رسـول اللـه قـد انـقـضـت عـدتـى وقـد خـطـبـانى مـعـاويـة وأبـو جـهـم .  فقـال رسـول اللـه أمـا مـعـاويـة فصـعـلـوك لا مـال لـه وأمـا أبو جـهـم رجـل لا يـضـع عصـاه عـن عـاتـقـه ، فانـكـحى أسـامـة بـن زيـد . رواه الجـماعة الا البـخارى
Ya Rasulullah, masa iddahku sudah berakhir dan Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangku. Rasulullah mengatakan, Mu’awiyah iotu laki-laki pengangguran, tidak ada hartanya sedang Abu Jahm itu laki-laki yang  suka memukul  isterinya. Oleh karena itu  nikahlah engkau dengan Usamah bin Zayd.Hadis riwayat al-Jama’ah kecuali al-Bukhari
Dalam hadis pertama Rasulullah melarang seseorang memi nang wanita yang telah dipinang oleh orang lain, sementara dalam hadis kedua, Fatimah Binti Qays yang mengaku telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm, justru dipinangkan oleh Rasulullah untuk shahabat beliau Uamah bin Yazid. Kedua hadis ini sama-sama shahih dan karenanya sama-sama menjadi hujjah atau dalil. Masalahnya ialah yang manakah yang akan diperpegangi, hadis  yang melarangkah sehingga hukumnya mutlak haram  ataukah yang membolehkan sehingga hukumnya mubah. Atau, dapatkah kedua hadis ini dikompromikan maknanya sehingga kleduanya sama-sama dapat diamalkan dan tidak ada yang tidak ditinggalkan?.
Dalam menghadapi hadis-hadis bermasalah seperti ini, Imam al-Syafi’iy mengingatkan:
“Jangan sekali-kali mempertentangkan hadis-hadis Rasulullah yang satu dengan yang lainnya selama mungkin ditemukan jalan pengompromiannya agar hadis-hadis tersebut sama-sama dapat diamalkan. Jangan telantarkan yang satu lantaran yang lain karena kita punya kewajiban yang sama untuk mengamalkan masing-masingnya. Oleh karena itu jangan jadikan (nilai) hadis-hadis itu sebagai bertentangan kecuali tidak mungkin dapat diamalkan selain harus meningggalkan salah satunya.
Jadi pokok masalahnya ialah bagaimanakah harusnya mema hami hadis-hadis tersebut dengan pemahaman yang baik dan benar sesuai prinsip yang ditegaskan Imam al-Syafi’i di atas.
Khusus dalam masalah ibadah, mirip dengan hadis-hadis mukhtalif ini, sering kali pula kita temukan apa yang disebut dengan hadis-hadis tanawwu’ al-‘ibadah, yakni hadis-hadis yang menerang kan praktik ibadah tetentu yang dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah, akan tetapi antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan versi sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Keberagaman atau perbedaan versi dimaksud adakalanya dalam bentuk tatacara pelaksanan dan adakalanya dalam bentuk  bacaan yang dibaca.”
Sebagai contoh, hadis-hadis tanawwu’ al-‘ibadah dalam bentuk tatacara pelaksanaan adalah hadis-hadis yang menerangkan tatacara berwudu’:
عن ابـن عـباس رضى اللـه عنـه قال : تـوضـأ رسـول اللـه صلى اللـه علـيـه و سـلـم مرة مرة . رواه الجـماعة الا مسـلم
Hadis dari Ibn ‘Abbas ra., bahwa Rasulullah berwuduk dengan membasuh anggota wuduk beliau masing-masing hanya satu kali, satu kali. Hadis iriwayat al-jamah kecuali Muslim.
عن عبـد اللـه بن زيـد أن رسـول اللـه صلى اللـه علـيـه و سـلـم تـوضأ مرتـين مـرتـين .رواه أحـمـد و البـخارى
Hadis dari Abdullah ibn Zaid, bahw Rasulullah berwuduk dengan membasuh anggota wuduknya masing-masing dua kali-, dua kali. Hadis riwayat Ahmad dan al-Bukhari
عن عثـمان رضى اللـه عنـه: أن النبى صلى اللـه علـيـه و سـلـم تـوضأ ثـلاثا ثـلاثا . رواه أحمد و مسـلم
Hadis dari ‘Usman, ra. Bahwa Rasulullah berwuduk dengan membasuh anggota wuduk beliau masing-masing tiga kali, tiga kali hadis riwayat Imam Ahmad dan Muslim.
Adapun contoh hadis-hadis tanawwu;’ al-‘ibadah dalam hal bacaan yang dibaca antara  lain adalah hadis-hadis tentang beragamnya bacaan tasyahhud, tentang, tentang bacan (do’a) iftitah, tentang bacaan basma lah dalam shalat jahar, tentang baca qunut dan sebagainya.
Permasalahannya ialah yang manakah di antaranya yang akan kita amalkan dan bagaimana pula dengan hadis yang lainnya. Dengan kata lain, bagaimana harusnya kita memahami hadis-hadis tanawwu’ al-‘ibadah ini dan menyikapinya dengan baik. Hal ini harus menjadi perhatian kita semua karena dalam pengalaman kita selama ini seringkali persoalan ini telah melahirkan tidak saja perbedaan pendapat bahkan telah menjurus kepada perpecahan sesama anggota masyarakat bahwa di kalangan satu jamaah masjid sendiri.

B. Penyelesaian/Pemahaman Hadis-hadis Mukhtalif
   Para ulama menegaskan bahwa tidak ada hadfis-hadis shahih yang benar-benar betentangan antara yang satu dengan yang lain. Demikian juga dengan hadis-hadis mukhtalif. Perten tangan yang tampak hanyalah pada makna zahirnya, bukan makna yang sesungguhnya. Oleh karena itu tugas kita adalah mencari dan menemukan makna yang sesungguhnya tersebut.
Prinsip dasar yang ditekankan Imam al-Syafi’i dalam hal ini ialah dengan mencari titik temu makna hadis-hadis tesebut dengan metode kompromi (al-jam’ wa al-tawfiq). Langkah-langkahnya adalah:

a. Dengan menggunakan pendekatan kaidah ushul.
        Yakni memahami hadis-hadis yang tampak saling bertentangan tersebut dengan mempedomani kaidah ushul terkait. Sebagaimana diketahui bahwa bagaimana harusnya memahami dalil dan mengistibath-kan hukum-hukumnya adalah ranah kajian ushul fiqh. Dengan menerapkan kaidah ushul terkait niscaya akan ditemukan pema haman yang tepat.  Adakalanya pertentangan zahiriah yang tampak hanyalah petentangan antara dalil yang ‘am dengan yang khash. Sesuai kaidah ushul, penyelesaian pemahamannya ialah bahwa dalil ‘am ditanggungkan berlakunya atas dalil yang khash.
Dengan kata lain dalil yang ‘am di-takhshish-kan dengan dalil yang khash. Dalam kaitan ini terlebih dahulu harus diketahui dengan baik mana-mana dalil yang ‘am dan mana-mana dalil yang khash.  

b. Penyelesaian dengan Pemahaman Kontekstual
Yang dimaksud dengan pemahaman kontekstual ialah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan  mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa dan situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut, yang lazim disebut dengan sabab wurud al-hadits.
Menurut Imam al-Syafi’iy tidak ada hadis Rasulullah yang tidak memiliki sabab al-wurud. Hanya ada yang memang diriwayatkan sabab-nya tersebut dan ada yang tidak. Untuk yang ada sabab al-wurud-nya tentu tidak banyak riwayat sabab al-wurud-nya maka (kata al-Syafi’iy) berpandai-pandailah memperkirakan sabab al-wurud-nya tersebut dengan mempelajari qarinah-qarinah yang ada.  
Hadis-hadis tentang perihal peminangan di atas, misalnya dapat diselesaikan dengan pemahaman kontekstual. Bahwa hadis kedua konteksnya bebeda dengan hadis pertama. Hadis pertama larangan meminang wanita yang sudah dalam pinangan laki-laki lain (pinangannya sudah diterima dan disepakati untuk diteruskan ke jenjang pernikahan). Sedang hadis kedua, Fatimah binti Qays meskipun mengatakan , قد خطبـانى معـاوية و أبو جـهم (Aku telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm), namun sebenarnya ia belum  berada dalam pinangan seseorang, melainkan yang ia maksud ialah bahwa ia telah dilamar untuk dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm dan ia belum memutuskan menerima yang mana di antaranya. Qarinahnya ialah karena ia mengatakan dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm (oleh dua orang). Sedang pinangan hanya boleh diterima untuk satu orang. Kedua, kalaulah ia sudah dalam pinangan orang lain, tentu Rasulullah tidak mungkin akan menyuruh meninggalkan Mu’awiyah dan meninggalkan Abu Jahm, dan menyarankan untuk menikah dengan Usamah ibn Zayd. Jadi, Fatimah binti Qays ketika itu sebenarnya hanyalah beru menerima lamaran peminangan oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm, dann belum diputuskan menerima yang mana di antaranya. Oleh karena itu tidaklah menyalahi hadius pertama bila mana Rasulullah meminangkannya untuk Usamah bin Zayd.

c. Penyelesaian dengan cara Takwil
   Apabila tidak atau sulit menemukan penyelesaian dengan pemahaman kontekstual maka penyelesaian berikutnya dapat dilakukan dengan cara takwil. Takwil yakni memalingkan lafaz dari makna lahiriahnya kepada makna lain yang lebih tepat karena ada dalilatau qarinah yang menghendakinya, atau yang menunjukkan ketidaktepatan makna lahiriahnya. Contoh tentang hadis yang menerangkan waktu yang afdhal untuk melaksanakan shalat subuh.  Dalam riwayat Rafi’ ibn Khadij dikatakan :
 أن رسـول اللـه صلى اللـه علـيـه و سـلـم قال : أسـفـروا با الصـبـح فان ذلـك أعـظـم لأجـوركـم . رواه الشـافعى
Bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “tunaikanlah shalat subuh pada waktu subh sudah mlai terang (sudah menyebarkan cahaya kekuning-kuningan mendekati matahari terbit). Riwayat imam al-Syafi’i.
Sementara dalam riwayat Aisyah dikatakan:
كـن النسـأ المـؤ منـات يصـلـين مـع النـبى صلى اللـه علـيـه و سـلـم الصـبـح ثـم ينـصـرفـن و هـن متـلـفعـات بـمـروطـهـن مـا يعـرفـهـن أحـد مـن الغـلـس .رواه الشا فعى
Wanita-wanita mukminat, biasanya  ikut shalat subuh bersama Rasulullah  kemudian (selesai shalat) mereka pulang sambil membungkus diri dengan kain yang mereka pakai. Tak seorang pun dapatmengenal mereka karena suasan masih gelap. Hadis riwayat Imam al-Syafi’iy.  
Menurut hadis Aisyah ini waktu afdhal shalat subuh adalah di awal waktunya sehingga selesai shalat pun suasana masih gelap. Hal ini tampak bertentangan dengan hadis pertama yang menerangkan waktu afdhalnya mendekati matahari terbit.
Ima al-Syafi’i menyelesaikan hadis-hadis ini dengan cara menakwilkan hadis pertama dan mempertahankan makna hadis Aisyah. Dalam penakwilannya dikatakan oleh al-Syafi’i bahwa hadis pertama disampaikan Rasulullah kepada para shahabat yang karena begitu bersemangat mengejar ibadah yang utama (untuk shalat Subuh), ada di antaranya yang masih jauh waktu subuh sudah datang ke masjid dan sepertinya tidak sabar menunggu Rasulullah. Padahal waktu subuh belum masuk.  Terhadap mereka inilah Rasul mengatakan, “terangkanlah hari untuk mengerjakan salat Subuh”. Jadi makna kata  اسـفـروا yang asalnya berarti terang mendekati matahari terbit ditakwilkan menjadi terang dengan masuknya waktu fajar dengan cahaya putih yang menyeruak kegelapan malam.

d. Penyelesaian dengan Cara Nasakh dan Tarjih.
   Apabila tidak mungkin diselesaikan dengan cara kompromi (al-jam’ wa al-tawfiq) dengan cara-cara tersebut di atas maka langkah selanjutnya ialah dengan menggunakan pendeklatan al-nasakh. Dalam hal ini yang perlu menjadi perhatian ialah mempelajari adakah pada hadis-hadis tesebut terpenuhi syarat-syarat al-nasakh atau tidak. Apabila terpenuhi, maka diberlakukanlah ketentuan al-nasakh, yakni mengamalkan yang nasikh dan meninggalkan yang mansukh. Apabila tidak terpenuhi syarat-syarat al-naskh  maka diberlakukanlah pendekatan tarjih. Dalam hal ini diperpegangilah hadis yang rajih dan ditinggalkan yang marjuh sesuai tuntutan hasil tarjih.

C. Penyelesaian/Pemahaman Hadis-hadis Tanawwu’ al-‘Ibadah
Terhadap hadis-hadis tanawwu’ al-‘ibadah yang perama sekali yang harus diperhatikan ialah kualitas keshahihannya. Apabila semua berkualitas shahih maka berarti mana saja di antaranya boleh diamalkan dan sah ibadahnya, yang dalam istilah al-Syafi’iy disebut “al-ikhtilaf min jihat al-mubahat”. Perbedaan yang ada sama-sama dalam hal dibolehkan, maka mana saja yang dipilih oleh seseorang untuk diamalkannya, boleh dan sah amalannya.   Prinsip ini didasarkan  atas kaidah :
الأصـل فى العـبادة التـوقيـف و الإتـبـاع
Hukum asal dalam masalah ibadah ialah menerima dan mengikuti (sebagai mana diajarkan Rasulullah).  
Meskipun demikian, yang akan dipilih untuk diamalkan tentulah yang utama atau afdhal di antaranya. Dalam hal ini ulama sering berbeda pendapat dalam memandang mana yang utama tersebut. Pertimbangan untuk memilih yang afdhal tersebut adalah:
a. Pertama, dengan memperhatikan mana di antara bentuk-bentuk ibadah tersebut yang lebih sering dilakukan oleh Rasulullah dan shahabat dengan mempelajari mana yang banyak riwayat yang menerangkannya karena Rasulullah dan sahabat biasanya melakukan ibadah dalam bentuk yang afdhal, kecuali dalam hal-hal tertentu.
b. Kedua  dengan memperhatikan mana yang lebih sempurna bentuk amalan tersebut dibanding yang lainnya. Di dahulukanlah yang lebih sempurna dari yang lainnya.
c. Untuk hadis-hadis tanawwu’ al-‘ibadah menyangkut tata berwuduk, al-Syafi’i memilih yang utama untuk diamalkan adalah dengan membasuh anggota wuduk tiga kali-tiga kali karena lebih sempurna dan lebih meyakinkan basahnya seluruh anggota wuduk kita.