Sabtu, 03 Maret 2018

KOMPETENSI ULAMA



KOMPETENSI ULAMA



Oleh: Dr. Zulkarnaini, M. Ag



Gelar Ulama

 


Kata “ulama” sudah begitu akrab dengan kehidupan masyarakat kita. Prediket ini hanya diberikan untuk orang-orang dengan ciri-ciri tertentu. Meskipun bentuk katanya jamak, namun dalam penggunaan sehari-hari di tengah masyarakat digunakan juga untuk seseorang yang dipandang layak menyandang prediket tersebut, misalnya seorang ulama. 

Ulama dipandang sebagai orang yang lebih tahu tentang agama sekaligus sumber informasi tentang agama. Untuk menetapkan apakah suatu keputusan atau tindakan sesuai dengan ketentuan agama biasanya masyarakat bertanya kepada ulama. Malah lebih dari itu di kalangan masyarakat tertentu, apa yang dilakukan ulama adalah petunjuk praktis ajaran agama. 

Dalam struktur kelembagaan masyarakat Minang ulama itu ada yang digelari “Malin” ada pula yang menyebutnya “Tuanku Labai” dan di nagari tertentu disebut Pakiah dan Katik. Yang jelas gelar-gelar adat tersebut biasanya diberikan kepada orang-orang yang dipandang lebih banyak mengerti tentang agama.

                                           Indikator Ulama
Permasalahan yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat, terutama masyarakat awam adalah tentang indikator penilaian siapa yang layak dipandang sebagai ulama. Ada yang dipandang ulama karena pandai membaca do’a dan zikir-zikir tertentu, walaupun bacaan dan susunan do’a atau zikir tersebut masih perlu dipertanyakan. Ada pula yang dianggap ulama karena kemahirannya berceramah, yang dengan retorikanya bisa membuat pendengarnya terkagum-kagum. Tidak sedikit pula gelar ini disandangkan kepada orang-orang yang dikabarkan mampu melakukan sesuatu yang luar biasa, seperti kebal senjata tajam, bisa mengetahui rahasia seseorang dan mampu mengobati penyakit-penyakit tertentu.

Apabila kemampuan menggunakan ilmu kebal dijadikan ukuran kebenaran ilmu seseorang berarti orang yang tidak kebal dipertanyakan kebenaran ilmunya. Pandangan ini jelas keliru, karena dalam Al-Qur’an dan Hadis disebutkan bahwa banyak para Nabi itu mati terbunuh oleh kalangan kafir, termasuk misalnya Nabi Zakaria dan Yahya. Malah Nabi Muhammad sendiri dalam perang Uhud mengalami luka parah.

Kalau yang jadi ukurannya kemampuan mengobati orang sakit berarti orang yang tidak sanggup mengobat orang lain apakah akan kita ragukan kebenaran ilmunya? . Perlu kita ketahui bahwa pada umumnya kematian seseorang diawali dengan penyakit yang menimpanya, khususnya yang meninggal pada usia muda. Kita mengetahui bahwa anak-anak Nabi Muhammad meninggal dalam usia muda ketika masih hidup, kecuali Fathimah. Isteri ‘Ali ini meninggal tidak lama setelah Nabi wafat. Sesuai dengan anjuran Nabi kepada ummatnya untuk berobat ketika sakit dan mengobati teman yang sakit, tentu saja Nabi telah berusaha mengobati putra-putrinya sebelum mereka menghembuskan nafas terakhir di hadapan ayah mereka tercinta. Hal ini berarti bahwa kebenaran ilmu agama seseorang tidak diukur dengan kedukunannya.

                                                    Ilmu Ulama
Sesuai dengan akar katanya, keulamaan itu terkait dengan penguasaan ilmu dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan akan kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam istilah sehari-hari ilmu ini disebut dengan ilmu agama. Dalam Al-Qur’an surat Fathir pertengahan ayat 28 Allah Ta’ala berfirman:  انما يخشى الله من عباده العلماء (Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). 

Ayat ini mengisyaratkan bahwa ilmu ulama itu terkait dengan informasi tentang Allah Tuhan semesta alam. Orang yang takut kepada Allah adalah orang yang kenal dengan Allah.  Informasi tentang Allah terdapat dalam wahyu dan wahyu Allah untuk ummat Islam adalah Al-Qur`an yang rinciannya terdapat dalam Hadis Nabi. Kedua sumber ajaran Islam ini disampaikan dalam bahasa Arab. Kalau sudah dialihbahasakan ke bahasa lain tidak lagi disebut sebagai Al-Qur`an atau Hadis, tetapi terjemahan Al-Qur`an atau terjemahan Hadis. 

Hal ini berarti bahwa tingkat ilmu ulama itu diukur dengan pemahamannya tentang Al-Qur`an dan Hadis Nabi dan kualitas pemahaman tersebut dengan sendirinya diukur pula dengan penguasaan pengetahuan yang digunakan untuk memahami kedua sumber ajaran Islam tersebut, terutama kaidah-kaidah bahasa Arab. Dengan demikian sangatlah aneh apabila ada yang mengaku ulama atau lebih tahu tentang agama dalam kondisi awam dengan kaidah-kaidah bahasa Arab

Proses Menjadi Ulama

Ayat 28 surat Fathir juga mengisyaratkan bahwa ulama itu ditandai dengan dua kapasitas, yaitu kapasitas keilmuan atau intelektual dan kapasitas kepribadian atau moral. Kapasitas keilmuan terbaca dari arti kata ulama itu sendiri, sedangkan kapasitas kepribadian dipahami dari sikap takut kepada Allah. Sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu lain, ilmu agama atau ilmunya para ulama itu diperoleh melalui proses belajar mengajar secara bertahap. Untuk sampai ke tingkat ulama tersebut biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Dalam sejarah, tidak ada yang menjadi ulama melalui mimpi. Begitu juga tidak ada yang jadi ulama dengan cara bersemedi, bertapa atau batarak. Ulama juga tidak bisa diperoleh melalui warisan atau keturunan. Anak ulama kalau ingin jadi ulama harus mengikuti proses pembelajaran sebagaimana yang telah dilakukan ayahnya. 

Sikap takut kepada Allah sebagai unsur kapasitas kepribadian ulama mengandung arti takut berbuat dosa. Takut berbuat dosa berarti takut meninggalkan kewajiban dan takut melakukan yang diharamkan Allah. Akhirnya marilah kita bersikap selektif dalam menerima informasi tentang ajaran agama, terutama bila ajaran itu yang aneh-aneh atau berbeda dari yang umumnya dipahami dan diamalkan oleh ummat Islam. Dalam hal ini Allah mengingatkan kita dalam surat al-Nahl ayat 43 dan al-Anbiya` ayat 7: فاساألوا اأهل الذكر ان كنتم لا تعلمون  Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar