KOMPETENSI ULAMA
Oleh: Dr.
Zulkarnaini, M. Ag
Gelar Ulama
Kata “ulama” sudah begitu akrab dengan
kehidupan masyarakat kita. Prediket ini hanya diberikan untuk orang-orang
dengan ciri-ciri tertentu. Meskipun bentuk katanya jamak, namun dalam
penggunaan sehari-hari di tengah masyarakat digunakan juga untuk seseorang yang
dipandang layak menyandang prediket tersebut, misalnya seorang ulama.
Ulama
dipandang sebagai orang
yang lebih tahu tentang agama sekaligus sumber informasi tentang agama.
Untuk menetapkan apakah suatu keputusan atau tindakan sesuai dengan ketentuan
agama biasanya masyarakat bertanya kepada ulama. Malah lebih dari itu di
kalangan masyarakat tertentu, apa yang dilakukan ulama adalah petunjuk praktis
ajaran agama.
Dalam
struktur kelembagaan masyarakat Minang ulama itu ada yang digelari “Malin” ada
pula yang menyebutnya “Tuanku Labai” dan di nagari tertentu disebut Pakiah dan
Katik. Yang jelas gelar-gelar adat tersebut biasanya diberikan kepada
orang-orang yang dipandang lebih banyak mengerti tentang agama.
Indikator
Ulama
Permasalahan
yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat, terutama masyarakat awam
adalah tentang indikator penilaian siapa yang layak dipandang sebagai ulama.
Ada yang dipandang ulama karena pandai membaca do’a dan zikir-zikir tertentu,
walaupun bacaan dan susunan do’a atau zikir tersebut masih perlu dipertanyakan.
Ada pula yang dianggap ulama karena kemahirannya berceramah, yang dengan
retorikanya bisa membuat pendengarnya terkagum-kagum. Tidak sedikit pula gelar
ini disandangkan kepada orang-orang yang dikabarkan mampu melakukan sesuatu
yang luar biasa, seperti kebal senjata tajam, bisa mengetahui rahasia seseorang
dan mampu mengobati penyakit-penyakit tertentu.
Apabila
kemampuan menggunakan ilmu kebal dijadikan ukuran kebenaran ilmu seseorang
berarti orang yang tidak kebal dipertanyakan kebenaran ilmunya. Pandangan ini
jelas keliru, karena dalam Al-Qur’an dan Hadis disebutkan bahwa banyak para
Nabi itu mati terbunuh oleh kalangan kafir, termasuk misalnya Nabi Zakaria dan
Yahya. Malah Nabi Muhammad sendiri dalam perang Uhud mengalami luka parah.
Kalau
yang jadi ukurannya kemampuan mengobati orang sakit berarti orang yang tidak sanggup
mengobat orang lain apakah akan kita ragukan kebenaran ilmunya? . Perlu kita
ketahui bahwa pada umumnya kematian seseorang diawali dengan penyakit yang
menimpanya, khususnya yang meninggal pada usia muda. Kita mengetahui bahwa
anak-anak Nabi Muhammad meninggal dalam usia muda ketika masih hidup, kecuali Fathimah.
Isteri ‘Ali ini meninggal tidak lama setelah Nabi wafat. Sesuai dengan anjuran
Nabi kepada ummatnya untuk berobat ketika sakit dan mengobati teman yang sakit,
tentu saja Nabi telah berusaha mengobati putra-putrinya sebelum mereka
menghembuskan nafas terakhir di hadapan ayah mereka tercinta. Hal ini berarti
bahwa kebenaran ilmu agama seseorang tidak diukur dengan kedukunannya.
Ilmu Ulama
Sesuai dengan akar katanya, keulamaan itu
terkait dengan penguasaan ilmu dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang
mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan akan kebesaran dan keagungan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dalam istilah sehari-hari ilmu ini disebut dengan ilmu
agama. Dalam Al-Qur’an surat Fathir pertengahan ayat 28 Allah Ta’ala
berfirman: انما يخشى الله من عباده العلماء (Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa ilmu
ulama itu terkait dengan informasi tentang Allah Tuhan semesta alam. Orang yang
takut kepada Allah adalah orang yang kenal dengan Allah. Informasi tentang Allah terdapat dalam wahyu
dan wahyu Allah untuk ummat Islam adalah Al-Qur`an yang rinciannya terdapat
dalam Hadis Nabi. Kedua sumber ajaran Islam ini disampaikan dalam bahasa Arab.
Kalau sudah dialihbahasakan ke bahasa lain tidak lagi disebut sebagai Al-Qur`an
atau Hadis, tetapi terjemahan Al-Qur`an atau terjemahan Hadis.
Hal ini berarti bahwa tingkat ilmu
ulama itu diukur dengan pemahamannya tentang Al-Qur`an dan Hadis Nabi dan
kualitas pemahaman tersebut dengan sendirinya diukur pula dengan penguasaan pengetahuan
yang digunakan untuk memahami kedua sumber ajaran Islam tersebut, terutama
kaidah-kaidah bahasa Arab. Dengan demikian sangatlah aneh apabila ada yang
mengaku ulama atau lebih tahu tentang agama dalam kondisi awam dengan
kaidah-kaidah bahasa Arab
Proses
Menjadi Ulama
Ayat 28 surat Fathir juga
mengisyaratkan bahwa ulama itu ditandai dengan dua kapasitas, yaitu kapasitas
keilmuan atau intelektual dan kapasitas kepribadian atau moral. Kapasitas
keilmuan terbaca dari arti kata ulama itu sendiri, sedangkan kapasitas
kepribadian dipahami dari sikap takut kepada Allah. Sebagaimana halnya dengan
ilmu-ilmu lain, ilmu agama atau ilmunya para ulama itu diperoleh melalui proses
belajar mengajar secara bertahap. Untuk sampai ke tingkat ulama tersebut
biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Dalam sejarah, tidak ada yang
menjadi ulama melalui mimpi. Begitu juga tidak ada yang jadi ulama dengan cara
bersemedi, bertapa atau batarak. Ulama juga tidak bisa diperoleh melalui warisan
atau keturunan. Anak ulama kalau ingin jadi ulama harus mengikuti proses
pembelajaran sebagaimana yang telah dilakukan ayahnya.
Sikap takut kepada Allah sebagai
unsur kapasitas kepribadian ulama mengandung arti takut berbuat dosa. Takut
berbuat dosa berarti takut meninggalkan kewajiban dan takut melakukan yang
diharamkan Allah. Akhirnya marilah kita bersikap selektif dalam
menerima informasi tentang ajaran agama, terutama bila ajaran itu yang
aneh-aneh atau berbeda dari yang umumnya dipahami dan diamalkan oleh ummat
Islam. Dalam hal ini Allah mengingatkan kita dalam surat al-Nahl ayat 43 dan
al-Anbiya` ayat 7: فاساألوا اأهل الذكر ان كنتم لا تعلمون Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang
berilmu jika kamu tidak mengetahui.