FATWA DAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
Oleh: Dr. Zulkarnaini, M.Ag
(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM SUMBAR Periode 2015-2020)
ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويامرون بالمعروف وينهون عن المنكر واولئك هم المفلحون
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S.4 Ali Imran : 104)
Pendahuluan
Pada suatu kesempatan ketika memberikan kata sambutan dalam acara Rakor MUI, seorang tokoh pejabat eksekutif menyampaikan pesan yang ditujukan kepada Majelis Ulama Indonesia: “Berilah kami fatwa! Kami sangat membutuhkan fatwa dari MUI.” Karena Gayuang bisao basambuik, kato bisao bajawab, pembicara yang mewakili MUI menjawab bahwa tidak semua kasus hukum memerlukan fatwa. Fatwa itu dibutuhkan untuk menjelaskan hukum perbuatan manusia mukallaf yang hukumnya masih samar-samar, khususnya bagi orang awam. Segala sesuatu yang sudah pasti, diketahui semua muslim dan tidak ada keraguan di kalangan umumnya umat Islam, tidak lagi memerlukan fatwa. Misalnya yang menyangkut urusan ibadah, seperti; hukum shalat yang lima waktu, zakat, puasa di bulan Ramadhan, naik haji ke Baitullah, setiap pribadi muslim sudah mengetahui hukum wajibnya. Begitu juga halnya yang menyangkut perbuatan terlarang, seperti; berjudi, berzina/prostitusi, praktik riba, mengkonsumsi daging babi dan mencuri, semuanya sudah menjadi pengetahuan umum setiap muslim. Tidak yang mengingkari tentang keharamannya.
Fatwa
Fatwa Ulama dibutuhkan bila ditemukan kesamar-samaran ketika seorang muslim akan menyesuaikan perbuatannya dengan ketentua syara’. Misalnya; pada zaman sekarang siapa saja yang dianggap sebagai musafir dan berapa lama yang bersangkutan masih berstatus musafir, sehingga berhak menggunakan rukhshah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan menjamak serta mengqashar shalat. Begitu juga halnya status hukum hewan yang disembelih setelah dilakukan staning. Yang tak kalah kontroversinya adalah penggunaan vaksin MR untuk kepentingan imunisasi anak-anak. Kasus-kasus ini memang memerlukan kajian yang mendalam yang dalam istilah ushul fiqh disebut ijtihad. Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah tersebut sangat mungkin terjadi. Pihak yang berbeda pendapat boleh dijadikan alasan untuk menjustis orang lain sebagai kelompok radikal, ektrim dan istilah negatif lainnya.
Bila di kalangan kkomunitas muslim terjadi Kasus pelanggaran terhadap hukum-hukum tersebut, pihak pemegang kekuasaan tidak perlu lagi menunggu fatwa MUI. Yang dibutuhkan adalah amar ma’ruf dan nahi mungkar. Yang menyangkut kewajiban diperlukan amar ma’ruf, misalnya; warga atau karyawan yang tidak melaksanakan shalat diperintahkan untuk menunaikannya pada waktunya. Yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan diberikan tindakan agar yang bersangkutan mau mematuhi kewajiban tersebut. Begitu juga yang enggan membayar zakat perlu diintruksikan agar melaksanakannya secara rutin. Sedangkan untuk yang terkait dengan praktik yang haram diperlukan adalah nahi mungkar. Umpamanya bila terbukti ada yang menjual makanan yang terbuat dari daging babi, yang melakukan praktik protitusi, apalagi yang mengelolanya, yang terlibat perjudian, apalagi pihak yang melindunginya, yang ikut praktik riba/rente, masyarakat muslim, terutama pemegang kekuasaan, dituntut untuk mengambil tidakan buat menghentikannya.
Menyangkut produk yang konsumennya adalah umat islam pihak pemerintah perlu memberikan perlindungan dan jaminan terhadap kehalalannya. Bila di Negara sekuler saja umat Islam mendapat jaminan perlindungan konsumen halal tentu saja di Indonesia yang rakyatnya mayoritas muslim dan pemerintahnya kebanyakan beragama Islam, tentu saja perlindungan dan jaminan itu lebih dibutuhkan lagi. Sebagaimana disarankan oleh MUI kota Padang setiap produk yang akan dikonsumsi oleh umat Islam perlu disertai sertifikat halal. Sebaliknya bagi kalangan masyarakat muslim agar bersikap selektif ketika akan mengkonsumsi atau menggunakan produk tertentu, terutama yang diproduksi oleh produsen non-muslim. Artinya produk yang tidak memakai label sertifikat halal, buat sementara sebaiknya ditinggalkan.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf dan nahi mungkar yang hakiki adalah yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, apakah itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Hal ini karena hakekat amar itu adalah perintah dan nahi itu berarti melarang atau larangan. Baik perintah maupun larangan secara hakikatnya adalah dari pihak yang posisinya lebih tinggi ke pihak yang posisinya di bawah. Pihak yang lebih tinggi mengandung arti pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasaan adalah kelompok yang mempunyai mempunyai power untuk memaksa pihak yang di bawahnya untuk mematuhi ketentuan yang ditetapkannya. Ulama, muballigh dan rakyat bisaa hanya bisa menganjurkan, menghimbau dan memotivasi. Karena itu, fatwa yang dikeluarkan oleh ulama, pesan dakwah yang disampaikan oleh muballigh memerlukan payung kekuasaan dari pihak pemerintah. Kalau ini terlaksana insyaallah baldatun thayyibatu wa rabbun ghafur, negri yang baik, adil dan makmur yang diridhai Allah akan terwujud.
Padang, 01 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar