Jumat, 22 Februari 2019

INILAH KEUTAMAAN WAKAF UANG

 INILAH KEUTAMAAN WAKAF UANG 

 

Wakaf bukanlah istilah baru bagi umat Islam di Tanah Air. Sejak dulu, umat Islam yang kaya biasa mewakafkan tanah dan bangunan yang mereka miliki untuk digunakan di jalan Allah. Mungkinkah setiap Muslim bisa berwakaf tanpa harus menunggu menjadi kaya?

Jawabannya, bisa. Sejak 2002, para ulama di Indonesia mulai mengenalkan wakaf uang yang memungkinkan setiap Muslim bisa mewakafkan uang mereka. Lalu sejak kapan wakaf uang mulai diterapkan di dunia Islam? Sejatinya, wakaf uang memang belum dikenal di zaman Rasulullah. Wakaf uang (cash waqf) baru dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriyah.

Imam Az-Zuhri (wafat 124 H) merupakan salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam.

Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI), Prof KH Tholhah Hasan, mengungkapkan, dalam sejarah perwakafan di negara-negara Islam, pada zaman kepemimpinan Salahudin Al-Ayyubi, di Mesir sudah berkembang wakaf uang. Hasilnya, digunakan untuk membiayai pembangunan negara serta membangun masjid, sekolah, rumah sakit serta tempat-tempat penginapan.

’’Sebelumnya juga, Nurudin Az-Zangki yang berkuasa di Suriah juga menggunakan wakaf uang untuk memberdayakan umat,’’ ungkap Kiai Tholhah. Wakaf uang semakin popular pada era kekuasaan Kekhalifahan Turki Usmani. Pada zaman itu, wakaf uang telah menjadi bagaian dari kehidupan umat Islam.

Bersumber dari dana wakaf uang itulah, pemeritah Turki Usmani mendirikan rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah dan lain sebagainya. ‘’Di Indonesia, wakaf uang memang kurang popular, karena sebagian besar umat Islam Indonesia bermazhab Syafi'i,’’ tuturnya.

Pada April 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa yang membolehkan wakaf uang. Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, mengatakan, wakaf uang adalah sesuatu yang memiliki nilai yang diwakafkan untuk kepentingan masyarakat. ''Dulu, wakaf uang diperdebatkan tapi kini tidak lagi. Yang penting, //'ain//-nya (benda)-nya tidak berkurang dan nilainya tetap, bisa dipertahankan,'' ungkapnya.

Menurut tokoh Nahdlatul Ulama ini, uang yang diwakafkan, terlepas kepemilikannya dari pemiliknya. Artinya, uang itu sudah menjadi milik Allah SWT dan masyarakat. Sehingga, ahli warisnya tidak berhak lagi untuk menguasai uang tersebut.

Lantas siapa saja yang bisa mewakafkan uang? Menurut dia, siapa saja bisa mewakafkan uangnya. Dengan catatan uang tersebut adalah miliknya sendiri, bukan milik orang lain. ''Uang yang diwakafkan haruslah uang yang didapat dari cara yang halal. Jangan hasil mencuri atau korupsi,'' ujarnya menegaskan.

Kiai Ma’ruf menambahkan tak ada batas minimal atau maksimal besaran wakaf uang. Yang terpenting, papar Kiai Ma’ruf, uang itu miliknya sendiri dan didapat dengan cara yang halal. Wakaf uang di Indonesia juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Guna mengatur masalah wakaf, Indonesia juga telah memiliki Badan Wakaf Indonesia (BWI). Lemaga independen ini dibentuk untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. BWI telah mengatur tata cara mewakafkan uang, dengan bekerja sama dengan lima bank syariah sebagai penerima wakaf uang (PWU).

Kelima bank syariah itu antara lain; Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank Muamalat, Bank DKI Syariah serta Bank Mega Syariah. Menurut Kiai Ma’ruf, selain bisa membayarkan wakaf uang kepada lembaga yang dikelola BWI, umat Islam pun bisa mewakafkan uangnya kepada lembaga-lembaga yang siap dan mampu mengelola wakaf.

''Tidak ada masalah seseorang mewakafkan uangnya kepada lembaga pendidikan, asal wakaf uang tersebut dapat dikelola dengan baik dan nilainya tidak berkurang. Lebih menarik jika setelah penyerahan wakaf uang, kepada //wakif// diserahkan sertifikat sebagai tanda bukti wakaf uang,'' ungkapnya.

Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, Prof Nasaruddin Umar, mengakui wakaf uang relatif baru dalam dunia Islam. ''Memang ini (wakaf uang) relatif baru di dunia perbendaharaan fikih Indonesia, karena mayoritas mazhab yang berlaku di Indonesia adalah Syafi’I,’’ ujar Rektor PTIQ itu menegaskan.

Dalam Mazhab Syafi'I, kata dia, tidak ditemukan //qaul// (pendapat) yang memberikan pembenaran terhadap wakaf uang. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menambahkan, satu-satunya //qaul// yang bisa ditemukan dalam kitab fikih ialah //qaul// Abu Hanifah yang menganggap wakaf uang itu dimungkinkan.

''Organisasi Konferensi Islam (OKI) beberapa waktu lalu di Saudi Arabia sepakat memberikan legitimasi wakaf uang. Ternyata, kesepakatan ini disambut negara-negara Islam sangat positif,'' jelasnya. Wakaf uang, menurutnya, memungkinkan setiap Muslim untuk berwakaf.
''Potensi wakaf uang di Indonesia sangat besar bisa melebihi dari potensi zakat yang nilainya mencapai Rp 19,3 triliun. Karena seseorang bisa mewakafkan uangnya, tanah maupun kebun atau sawahnya,'' imbuh Prof Nasaruddin.

Untuk itu, sudah saatnya semua pihak bekerja sama membangun kesadaran umat Islam untuk gemar berwakaf baik dalam bentuk uang, tanah maupun benda lainnya. Karena, wakaf itu sifatnya permanen, tidak seperti zakat yang harus habis dibagikan kepada para mustahiknya.

''Wakaf justru harus tetap pokoknya dan bahkan kalau bisa bertambah. Yang dapat dimanfaatkan adalah hasil dari pengelolaan wakaf,'' paparnya. Indonesia bisa meniru negara Islam yang telah berhasil mengelola dana wakaf sehingga memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat.
Prof Nasaruddin dan Kiai ma’ruf mengajak para pegawai negeri, pegawai swasta dan pekerja yang memiliki pendapatan di atas rata-rata, untuk mewakafkan uangnya. Jika dikelola dengan professional dan transparan, dana wakaf uang itu akan mampu memartabatkan umat yang masih terjerat dalam kubangan kemiskinan dan ketertinggalan.

Sumber:   https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/07/22/m7jawq-inilah-keutamaan-wakaf-uang

Selasa, 05 Februari 2019

FATWA DAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR


FATWA DAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
Oleh: Dr. Zulkarnaini, M.Ag
(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM SUMBAR Periode 2015-2020)

ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويامرون بالمعروف وينهون عن المنكر واولئك هم المفلحون

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S.4 Ali Imran : 104)

Pendahuluan

Pada suatu kesempatan ketika memberikan kata sambutan dalam acara Rakor MUI, seorang tokoh pejabat eksekutif menyampaikan pesan yang ditujukan kepada Majelis Ulama Indonesia: “Berilah kami fatwa! Kami sangat membutuhkan fatwa dari MUI.” Karena Gayuang bisao basambuik, kato bisao bajawab, pembicara yang mewakili MUI menjawab bahwa tidak semua kasus hukum memerlukan fatwa. Fatwa itu dibutuhkan untuk menjelaskan hukum perbuatan manusia mukallaf yang hukumnya masih samar-samar, khususnya bagi orang awam. Segala sesuatu yang sudah pasti, diketahui semua muslim dan tidak ada keraguan di kalangan umumnya umat Islam, tidak lagi memerlukan fatwa. Misalnya yang menyangkut urusan ibadah, seperti; hukum shalat yang lima waktu, zakat, puasa di bulan Ramadhan, naik haji ke Baitullah, setiap pribadi muslim sudah mengetahui hukum wajibnya. Begitu juga halnya yang menyangkut perbuatan terlarang, seperti; berjudi, berzina/prostitusi, praktik riba, mengkonsumsi daging babi dan mencuri, semuanya sudah menjadi pengetahuan umum setiap muslim. Tidak yang mengingkari tentang keharamannya.
Fatwa

Fatwa Ulama dibutuhkan bila ditemukan kesamar-samaran ketika seorang muslim akan menyesuaikan perbuatannya dengan ketentua syara’. Misalnya; pada zaman sekarang siapa saja yang dianggap sebagai  musafir dan berapa lama yang bersangkutan masih berstatus musafir, sehingga berhak menggunakan rukhshah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan menjamak serta mengqashar shalat. Begitu juga halnya status hukum hewan yang disembelih setelah dilakukan staning. Yang tak kalah kontroversinya adalah penggunaan vaksin MR untuk kepentingan imunisasi anak-anak. Kasus-kasus ini memang memerlukan kajian yang mendalam yang dalam istilah ushul fiqh disebut ijtihad. Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah tersebut sangat mungkin terjadi. Pihak yang berbeda pendapat boleh dijadikan alasan untuk menjustis orang lain sebagai kelompok radikal, ektrim dan istilah negatif lainnya.

Bila di kalangan kkomunitas muslim terjadi Kasus pelanggaran terhadap hukum-hukum tersebut, pihak pemegang kekuasaan tidak perlu lagi menunggu fatwa MUI. Yang dibutuhkan adalah amar ma’ruf dan nahi mungkar. Yang menyangkut kewajiban diperlukan amar ma’ruf, misalnya; warga atau karyawan yang tidak melaksanakan shalat diperintahkan untuk menunaikannya pada waktunya. Yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan diberikan tindakan agar yang bersangkutan mau mematuhi kewajiban tersebut. Begitu juga yang enggan membayar zakat perlu diintruksikan agar melaksanakannya secara rutin. Sedangkan untuk yang terkait dengan praktik yang haram diperlukan adalah nahi mungkar. Umpamanya bila terbukti ada yang menjual makanan yang terbuat dari daging babi, yang  melakukan praktik protitusi, apalagi yang mengelolanya, yang terlibat perjudian, apalagi pihak yang melindunginya, yang ikut praktik riba/rente, masyarakat muslim, terutama pemegang kekuasaan, dituntut untuk mengambil tidakan buat menghentikannya.

Menyangkut produk yang konsumennya adalah umat islam pihak pemerintah perlu memberikan perlindungan dan jaminan terhadap kehalalannya. Bila di Negara sekuler saja umat Islam mendapat jaminan perlindungan konsumen halal tentu saja di Indonesia yang rakyatnya mayoritas muslim dan pemerintahnya kebanyakan beragama Islam, tentu saja perlindungan dan jaminan itu lebih dibutuhkan lagi. Sebagaimana disarankan oleh MUI kota Padang setiap produk yang akan dikonsumsi oleh umat Islam perlu disertai sertifikat halal. Sebaliknya bagi kalangan masyarakat muslim agar bersikap selektif ketika akan mengkonsumsi atau menggunakan produk tertentu, terutama yang diproduksi oleh produsen non-muslim. Artinya produk yang tidak memakai label sertifikat halal, buat sementara sebaiknya ditinggalkan.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf dan nahi mungkar yang hakiki adalah yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, apakah itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Hal ini karena hakekat amar itu adalah perintah dan nahi itu berarti melarang atau larangan. Baik perintah maupun larangan secara hakikatnya adalah dari pihak yang posisinya  lebih tinggi ke pihak yang posisinya di bawah. Pihak yang lebih tinggi mengandung arti pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasaan adalah kelompok yang mempunyai mempunyai power untuk memaksa pihak yang di bawahnya untuk mematuhi ketentuan yang ditetapkannya. Ulama, muballigh dan rakyat bisaa hanya bisa menganjurkan, menghimbau dan memotivasi. Karena itu, fatwa yang dikeluarkan oleh ulama, pesan dakwah yang disampaikan oleh muballigh memerlukan payung kekuasaan dari pihak pemerintah. Kalau ini terlaksana insyaallah baldatun thayyibatu wa rabbun ghafur, negri yang baik, adil dan makmur yang diridhai Allah akan terwujud.  

Padang, 01 Februari 2019