Kamis, 23 April 2020

IJTIHAD MAJELIS TARJIH DAN TAJDID MUHAMMADIYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH ANTARA RUKYAH DAN HISAB

 IJTIHAD MAJELIS TARJIH DAN TAJDID MUHAMMADIYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH ANTARA RUKYAH  DAN HISAB

 
Oleh: Aya S. Miza, S.H

(Wakil Bendahara Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sumatera Barat Periode 2018-2022 )

Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat itu dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial ekonomi dan lain-lainnya. Berbagai  persoalan kontemporer telah muncul kepermukaan persoalan-persoalan tersebut meliputi berbagai bidang kehidupan , mulai dari bidang ekonomi, sosial-budaya sampai pada masalah-masalah rekayasa manusia dalam bidang ilmu kedokteran.  oleh karena itu ijtihad masa sekarang ini lebih diperlukan dibandingkan dengan masa-masa yang lampau.

Salah satu fenomena keagamaan yang muncul dalam masyarakat di Indonesia pada tahun-tahun terakhir adalah perbedaan cara penetapan awal bulan Kamariah, bagi sebagian orang dianggap kurang penting namun bagi sebagian orang menjadi masalah yang sangat penting dan mendasar terutama dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijah. 

Pada awal Majelis Tarjih dan Tajdid memutuskan bahwa penentuan awal bulan puasa, idul fitri dan idul adha menggunakan rukyah meskipun hisab dapat pula digunakan, tetapi kalau terjadi perbedaan antara hasil rukyah dan hisab maka yang dipandang mu’tabar adalah rukyah. Artinya Muhammadiyah ketika itu lebih cenderung menggunakan rukyah ketimbang hisab. Dalam perkembangannya, keputusan Tarjih ke-26 tahun 2003 di Padang bergeser dari mengutamakan rukyah kepada pemikiran bahwa hisab memiliki fungsi dan kedudukan yang sama dengan rukyah sebagai penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijah. Penggunaan hisab dinyatakan sah dan sesuai dengan Sunnah Nabi SAW, bukan hanya posisi rukyah dan hisab sama kedudukannya, dalam praktisnya hisab lebih utama dilakukan  dan bahkan dalam bentuk yang praktis Muhammadiyah nyaris tidak lagi menggunakan rukyah.

Mengutip Musthafa Abd al-Razaq (w. 1947/1336), dan ‘Abd al-Halim dalam al-Fiqh al-Islami bayn al-Tathawwur wa al-Tsabat (t.t) menyatakan, dalam khazanah keilmuan keislaman klasik, ushul fiqh memiliki kedudukan yang amat istimewa. Karena ilmu ini dapat dipergunakan untuk melakukan penggalian terhadap aturan-aturan keagaman, baik dalam persoalan politik, ekonomi, sosial-budaya, maupun hukum. Sebagai organisasi sosial berbasis Islam, memiliki lembaga-lembaga dalam memberikan bimbingan keagamaan (religious practical guidance) di kalangan umat, khususnya warga persyarikatan Muhammadiyah. 

Wujud tanggung jawab itu antara lain  merumuskan keputusan-keputusan hukum yang didasarkan kepada metode penetapan  hukum (manhaj istinbath al-ahkam). Kenyataan bahwa Muhammadiyah kaya dengan produk Ijtihad sebagai organisasi Islam yang berorientasi pada tajdid. Muhammadiyah , tajdid dapat berarti reformasi dan dapat pula berarti modernisasi. Tajdid dalam arti yang pertama, kelihatannya sudah banyak dilakukan oleh organisasi sosial keagamaan ini. Tetapi tajdid dalam arti yang kedua perlu diteliti lebih lanjut. Untuk menyelesaikan masalah-masalah fiqh kontemporer (Penentuan awal  Bulan Kamariah antara Hisab dan Rukyah), yang merupakan akibat dari kemajuan fiqh dan teknologi, organisasi ini berpendapat bahwa peranan akal manusia menjadi penting artinya dalam memahami ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam al-Qur’an dan hadits. Karena itu, bagi Muhammadiyah, Ijtihad bukan saja perlu, namun juga harus dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer itu.