IJTIHAD MAJELIS TARJIH DAN TAJDID MUHAMMADIYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH ANTARA RUKYAH DAN HISAB
Oleh: Aya S. Miza, S.H
(Wakil Bendahara Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sumatera Barat Periode 2018-2022 )
(Wakil Bendahara Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sumatera Barat Periode 2018-2022 )
Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan
masyarakat itu dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial ekonomi
dan lain-lainnya. Berbagai persoalan
kontemporer telah muncul kepermukaan persoalan-persoalan tersebut meliputi
berbagai bidang kehidupan , mulai dari bidang ekonomi, sosial-budaya sampai
pada masalah-masalah rekayasa manusia dalam bidang ilmu kedokteran. oleh karena itu ijtihad masa sekarang ini
lebih diperlukan dibandingkan dengan masa-masa yang lampau.
Salah satu fenomena keagamaan yang muncul dalam masyarakat
di Indonesia pada tahun-tahun terakhir adalah perbedaan cara penetapan awal
bulan Kamariah, bagi sebagian orang dianggap kurang penting namun bagi sebagian
orang menjadi masalah yang sangat penting dan mendasar terutama dalam penentuan
awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijah.
Pada awal Majelis Tarjih dan Tajdid memutuskan bahwa
penentuan awal bulan puasa, idul fitri dan idul adha menggunakan rukyah
meskipun hisab dapat pula digunakan, tetapi kalau terjadi perbedaan antara
hasil rukyah dan hisab maka yang dipandang mu’tabar adalah rukyah. Artinya
Muhammadiyah ketika itu lebih cenderung menggunakan rukyah ketimbang hisab.
Dalam perkembangannya, keputusan Tarjih ke-26 tahun 2003 di Padang bergeser
dari mengutamakan rukyah kepada pemikiran bahwa hisab memiliki fungsi dan
kedudukan yang sama dengan rukyah sebagai penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal
dan Zulhijah. Penggunaan hisab dinyatakan sah dan sesuai dengan Sunnah Nabi
SAW, bukan hanya posisi rukyah dan hisab sama kedudukannya, dalam praktisnya
hisab lebih utama dilakukan dan bahkan
dalam bentuk yang praktis Muhammadiyah nyaris tidak lagi menggunakan rukyah.
Mengutip Musthafa Abd al-Razaq (w. 1947/1336), dan ‘Abd al-Halim dalam
al-Fiqh al-Islami bayn al-Tathawwur wa al-Tsabat (t.t) menyatakan, dalam
khazanah keilmuan keislaman klasik, ushul fiqh memiliki kedudukan yang amat
istimewa. Karena ilmu ini dapat dipergunakan untuk melakukan penggalian
terhadap aturan-aturan keagaman, baik dalam persoalan politik, ekonomi,
sosial-budaya, maupun hukum. Sebagai organisasi sosial berbasis Islam, memiliki
lembaga-lembaga dalam memberikan bimbingan keagamaan (religious practical
guidance) di kalangan umat, khususnya warga persyarikatan Muhammadiyah.
Wujud tanggung jawab itu antara lain
merumuskan keputusan-keputusan hukum yang didasarkan kepada metode
penetapan hukum (manhaj istinbath
al-ahkam). Kenyataan bahwa Muhammadiyah kaya dengan produk Ijtihad sebagai
organisasi Islam yang berorientasi pada tajdid. Muhammadiyah , tajdid dapat
berarti reformasi dan dapat pula berarti modernisasi. Tajdid dalam arti yang
pertama, kelihatannya sudah banyak dilakukan oleh organisasi sosial keagamaan
ini. Tetapi tajdid dalam arti yang kedua perlu diteliti lebih lanjut.
Untuk menyelesaikan masalah-masalah fiqh kontemporer (Penentuan awal Bulan Kamariah antara Hisab dan Rukyah),
yang merupakan akibat dari kemajuan fiqh dan teknologi, organisasi ini
berpendapat bahwa peranan akal manusia menjadi penting artinya dalam memahami
ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam al-Qur’an dan hadits. Karena itu, bagi
Muhammadiyah, Ijtihad bukan saja perlu, namun juga harus dilakukan dalam
menghadapi masalah-masalah kontemporer itu.