Oleh: Ustadz Nadjib Hamid MSi,
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Seorang dosen muda dari sebuah perguruan tinggi swasta terlihat gelisah. Sebab cita-citanya untuk bisa kuliah S2 di negara adidaya kandas sudah. Bukan karena tidak bisa memenuhi persyaratan akademiknya, tapi lantaran kedua orangtuanya tidak merestui anak perempuannya pergi sendirian ke luar negeri tanpa ada mahramnya.
Mahram—bukan muhrim—adalah suatu terminologi agama untuk menyebut lawan jenis yang halal bersentuhan, seperti suami-isteri, atau lelaki-perempuan yang masih ada hubungan kekerabatan, baik karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan.
“Perempuan pergi ke luar negeri tanpa mahram itu melanggar syari’ah,” tegas sang ayah, sembari menyitir sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Hurairah, “Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman dengan Allah dan hari akhir, bermusafir selama tiga malam, melainkan bersama mahramnya.”
Juga hadits lain yang semakna, seperti hadits riwayat Muttafaq alaih dari Ibnu Abbas, “… janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya…” Hadits Ibnu Umar, “Tidak boleh seorang perempuan bepergian selama tiga malam kecuali bersama mahramnya.”
Hadits Abu Sa’id, “Rasulullah SAW melarang seorang perempuan bepergian dalam jarak dua hari dua malam kecuali bersama suaminya atau mahramnya.”.Juga Hadits Abu Sa’id, “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk bepergian tiga hari atau lebih kecuali bersama dengan suaminya atau anaknya, atau saudaranya, atau siapa saja di antara mahramnya.” (HR Jama’ah, kecuali Bukhari dan an-Nasa’i)
Hadits-hadits itu pula yang menurut sang ayah mendasari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika Munas ke-6 tahun 2000 mengeluarkan fatwa, bahwa para perempuan yang meninggalkan keluarga untuk bekerja ke luar kota, atau ke luar negeri tanpa mahram merupakan tindakan yang tak sejalan dengan ajaran agama Islam.
Tentu saja si dosen perempuan itu tidak puas dengan penjelasan sang ayah. Karena faktanya, kini pemilahan pekerjaan dan kegiatan antara laki-laki dan perempuan semakin tidak kentara. Saat ini hampir tidak ada lagi lapangan pekerjaan yang tidak ada perempuan di sana, yang konsekuensinya kerap mengharuskan perempuan melakukan perjalanan ke luar negeri atau ke luar daerah tanpa ada mahramnya. Tapi toh, tidak menimbulkan masalah.
Maka pertanyaannya, apakah larangan terhadap perempuan untuk bepergian sendirian itu bersifat mutlak atau kondisonal saja?
Memang, kalau hanya berpijak pada hadits-hadits tersebut di atas, semuanya menjelaskan bahwa seorang perempuan dilarang bepergian dalam jarak tertentu tanpa didampingi mahram.
Namun ternyata ada hadits lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Adi bin Hatim, ia berkata bahwa ketika dirinya berada bersama Rasulullah SAW, datang seseorang yang mengadukan kemiskinannya. Kemudian datang pula laki-laki lain yang mengadukan terganggunya keamanan perjalanan karena banyak para penyamun.
Maka, Rasulullah SAW bersabda, “… Hai Adi, pernahkah kamu ke Hirah (Irak). Aku jawab belum pernah, tapi saya telah mendengar ceritanya. Nabi melanjutkan: Seandainya usia Anda panjang, kelak Anda akan melihat ’skedup’ (yang di dalamnya perempuan) berangkat dari Hirah (Irak) pergi mengunjungi Baitullah tanpa disertai suami, dengan tidak merasa takut kecuali kepada Allah.”
Hadits ini tidak berisi perintah atau larangan. Tapi sebuah informasi yang menerangkan tentang prediksi masa depan kejayaan Islam yang memungkinkan seorang perempuan bisa bepergian tanpa disertai suami, atau mahram lainnya, karena situasinya yang aman.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa larangan tersebut bersifat kondisional. Artinya, jika kondisi keamanan tidak memungkinkan, maka demi menjaga kemaslahatan perempuan itu sendiri, seorang perempuan dilarang bepergian dalam batas jarak tertentu tanpa mahram. Tetapi apabila situasinya aman dan tentram, maka larangan itu tidak harus diberlakukan. Sesuai kaidah fiqih, bahwa hukum itu bisa berubah sesuai perubahan illatulhukmi-nya. Allahu a’lam.